Deskripsi Faktor Ekonomi Politik di Daerah pada Era Desentralisasi

Dengan menggunakan data antar daerah, dalam bab ini akan dianalisis secara makro berbagai faktor ekonomi politik dan budaya di era desentralisasi yang memicu terjadinya korupsi di daerah kabupatenkota. Pembahasan akan dilakukan dengan menguraikan secara deskriptif kualitatif faktor-faktor ekonomi politik di daerah dan menganalisis hasil dugaan model ekonometrika.

6.1. Deskripsi Faktor Ekonomi Politik di Daerah pada Era Desentralisasi

Sejak otonomi daerah diberlakukan mulai tahun 2001, daerah memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sumber daya ekonomi dan keuangan serta kewenangan dalam bidang sosial politik. Kekuasaan dan kewenangan tersebut termuat dalam UU No 221999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 251999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. Dua UU tersebut kemudian direvisi menjadi UU No 322004 dan UU No 332004. Kewenangan daerah dalam bidang ekonomi dan keuangan, berimplikasi pada derasnya aliran sumber daya keuangan dari pusat ke daerah. Jika sebelumnya dana pembangunan daerah dikelola oleh pusat lewat pendekatan sektoral – departemen dalam bentuk DIP Daftar Isian Proyek dan SDO Subsidi Daerah Otonom serta Inpres Instruksi Presiden, maka sejak pelaksanaan otonomi daerah, dana pembangunan tersebut langsung diterima oleh daerah melalui Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK, Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Sumber Daya Alam, sebagaimana diatur dalam UU No 251999. Dana tersebut selanjutnya masuk dalam bagian penerimaan APBD dan selanjutnya digunakan untuk membiayai proses pemerintahan dan pembangunan wilayah. Akibat kebijakan ini, dana yang dikelola sendiri oleh pemerintah daerah menjadi meningkat sangat besar. Sebagai gambaran dapat diberikan ilustrasi peningkatan dana perimbangan di setiap daerah pada tahun 2001 pada saat awal pelaksanaan otonomi daerah dibandingkan dana bagi hasil, SDO, dan dana Inpres yang diberikan oleh pusat ke daerah sebelum desentralisasi yaitu tahun 19961997 Tabel 7. Dari Tabel 7 tersebut terlihat bahwa berdasarkan nilai rupiahnya dana yang ditransfer ke daerah terutama ke daerah kabupatenkota nilainya hampir meningkat lima kali lipat, yaitu dari sebesar 17.8 trilyun rupiah pada tahun 19961997 menjadi sebesar 83.6 trilyun rupiah pada tahun 2001. Memang tidak semua daerah meningkat berlipat-lipat, tetapi beberapa daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti daerah-daerah kabupatenkota di Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Timur, APBD-nya meningkat sangat besar Tabel 6 dan Tabel 8. Transfer dana pembangunan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah tersebut dari tahun ke tahun cenderung makin meningkat Tabel 9 . Tabel 6. Nilai APBD Beberapa Kabupaten Kota Tahun 19961997 dan tahun 2001 APBD JUTA RUPIAH PROPINSI KABUPATENKOTA 19961997 2001 Kenaikan PESISIR SELATAN 36 619 163 895 347.6 SOLOK 39 975 193 264 383.5 PADANG KOTA 69 838 278 580 298.9 SUMATERA BARAT SOLOK KOTA 9 800 56 952 481.2 INDRAGIRI HULU 57 776 303 145 424.7 KAMPAR 90 401 509 282 463.4 BENGKALIS 109 544 1 030 159 840.4 RIAU PEKAN BARU KODYA 50 410 346 227 586.8 BOYOLALI 34 434 257 634 648.2 SUKOHARJO 29 491 211 958 618.7 WONOGIRI 39 606 280 773 608.9 KARANGANYAR 31 262 253 491 710.9 SRAGEN 34 503 257 094 645.1 SEMARANG 37 619 253 568 574 SURAKARTA KODYA 51 167 216 027 322.2 JAWA TENGAH SEMARANG KODYA 124 646 448 628 259.9 PASIR 60 417 448 989 643.2 KUTAI 194 346 1 543 232 694.1 BERAU 42 094 360 643 756.8 BULONGAN 73 442 413 767 463.4 BALIKPAPAN 56 916 409 077 618.7 KALIMANTAN TIMUR SAMARINDA 54 947 480 730 774.9 Sumber : Riyanto, 2003 Tabel 7. Perbandingan Dana Bagi Hasil Pajak Non Pajak, SDO, Inpres Sebelum Desentralisasi Fiskal Tahun 19961997 dengan Dana Perimbangan Setelah Desentralisasi Fiskal Tahun 2001 19961997 2001 Perubahan 2001-199697 PROPINSI Nilai Miliar Distribusi Nilai Miliar Distribusi Nilai Distribusi DI Aceh 482.42 2.71 3 071.79 3.67 2 589.37 0.96 Sumut 1 026.11 5.76 3 878.85 4.64 2 852.74 -1.12 Sumbar 472.34 2.65 2 021.20 2.42 1 548.86 -0.23 Riau 538.47 3.02 6 700.79 8.01 6 162.32 4.99 Jambi 333.45 1.87 1 253.89 1.50 920.44 -0.37 Sumsel 718.32 4.03 2 559.20 3.06 1 840.88 -0.97 Bengkulu 210.78 1.18 748.686 0.90 537.91 -0.28 Lampung 465.05 2.61 2 104.76 2.52 1 639.71 -0.09 Bangka Belitung - - 422.427 0.51 422.43 0.51 Total Sumatera 4 246.94 23.84 22 761.59 27.22 18 514.65 3.38 DKI Jakarta 771.87 4.33 3 684.46 4.41 2 912.59 0.08 Jabar 2 258.64 12.68 7 766.05 9.29 5 507.41 -3.39 Jateng 1 961.25 11.01 8 858.46 10.59 6 897.21 -0.42 DI Yogya 292.15 1.64 1 204.51 1.44 912.36 -0.20 Jatim 2 065.43 11.59 10 036.14 12.00 7 970.71 0.41 Banten - - 1 672.11 2.00 1 672.11 2.00 Total Jawa 7 349.34 41.25 33 221.72 39.73 25 872.38 -1.52 Kalbar 470.49 2.64 1 728.81 2.07 1 258.32 -0.57 Kalteng 424.65 2.38 1 487.61 1.78 1 062.96 -0.60 Kalsel 454.35 2.55 1 559.34 1.87 1 104.99 -0.68 Kaltim 606.99 3.41 6 521.86 7.80 5 914.87 4.39 Total Kalimantan 1 956.49 10.98 11 297.63 13.51 9 341.14 2.53 Sulut 376.83 2.11 870.18 1.04 493.35 -1.07 Sulteng 329.81 1.85 1 162.65 1.39 832.84 -0.46 Sulsel 805.84 4.52 3 240.51 3.88 2 434.67 -0.64 Sultra 265.23 1.49 957.944 1.15 692.71 -0.34 Gorontalo - - 421.555 0.50 421.56 0.50 Total Sulawesi 1 777.72 9.98 6 652.84 7.96 4 875.12 -2.02 Bali 353.84 1.99 1 659.60 1.98 1 305.76 -0.01 NTB 327.37 1.84 1 576.90 1.89 1 249.53 0.05 NTT 485.31 2.72 2 227.18 2.66 1 741.87 -0.06 Maluku 335.57 1.88 451.77 0.54 116.20 -1.34 Maluku Utara - - 568.75 0.68 568.75 0.68 Irja 743.72 4.17 3 284.05 3.93 2 540.33 -0.24 TOTAL 17 817.97 100.00 83 610.73 100.00 65 792.76 Sumber : Riyanto, 2003 Tabel 8. Kenaikan dalam APBD Daerah Kabupatenkota dan Propinsi Tahun 2001 Dibandingkan dengan APBD Daerah Tahun 2000 Persentase Kenaikan APBD Propinsi Nominal Riil DI Aceh 82.31 68.81 Sumut 73.78 60.91 Sumbar 74.17 61.27 Riau 180.96 160.14 Jambi 57.12 45.48 Sumsel 95.18 80.73 Bengkulu 54.04 42.63 Lampung 87.19 73.32 DKI Jakarta 193.09 171.38 Jabar 72.99 60.17 Jateng 66.47 54.13 DI Yogyakarta 57.11 45.47 Jatim 81.02 67.61 Bali 70.55 57.91 Ntb 59.43 47.62 Ntt 82.97 69.41 Kalbar 4.72 -3.04 Kalteng 71.47 58.77 Kalsel 47.69 36.75 Kaltim 427.56 388.49 Sulut 338.96 306.44 Sulteng 251.33 225.30 Sulsel 52.58 41.28 Sultra 51.97 40.71 Maluku 92.09 77.86 Irian Jaya 52.93 41.60 Rata-Rata 106.91 91.58 Stdev 96.62 89.47 Coefisien Variasi 90.38 97.69 Sumber : Riyanto, 2003 Tabel 9. Dana Perimbangan Trilyun Rupiah 2002-2005 Keterangan 2002 2003 2004 2005 Dana Perimbangan 94.53 109.93 112.19 124.31 Bagi Hasil 24.60 29.93 26.93 31.22 DAU 69.11 76.98 82.13 88.77 DAK 0.82 3.02 3.13 4.32 Sumber : Depkeu, 2005 Di samping aliran dana perimbangan yang mengucur deras dari pusat, daerah juga mempuyai wewenang mengelola sumber daya ekonomi lainnya, antara lain sumber daya alam seperti kehutanan, pertambangan dan perikanan. Sesuai dengan UU No 221999 yang kemudian direvisi menjadi UU No 322004 daerah memiliki tiga wewenang berkaitan dengan sumber daya alam sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 1 dan ayat 2, yaitu: pertama, daerah berwenang memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerahnya. Ke-dua, daerah berwenang melakukan kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Ke-tiga, daerah berwenang melakukan pengelolaan perizinan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Dari gambaran seperti yang diuraikan di atas terlihat bahwa kebijakan otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepada daerah yang demikian besar baik keuangan maupun sumber daya alam. Namun karena lemahnya akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai akibat dari bakumain faktor ekonomi politik dan budaya, kewenangan yang besar tersebut justru memicu berbagai perilaku pencarian rente rent seeking di daerah dan akhirnya memicu terjadinya korupsi. Dalam bentuk yang paling sederhana, faktor kewenangan ekonomi dan keuangan yang cukup menggiurkan tersebut, lalu berkombinasi dengan bangkitnya kembali faktor-faktor primordialisme dan komunalisme yang selama masa Orde Baru ditekan di bawah permukaan, mendorong para pencari rente rent seekers di daerah membentuk daerah-daerah administrasi baru atau yang lebih dikenal sebagai pemekaran. Alih-alih pemekaran wilayah digunakan sebagai sarana peningkatan kesejahteraan dan pelayanan publik, yang terjadi justru pemekaran wilayah sebagai sarana untuk mendapatkan rente dari kebijakan otonomi daerah. Pemekaran wilayah berarti terbukanya peluang untuk menduduki jabatan di pemerintahan baru. Oleh karena itu, para pencari rente rent seekers akan berusaha dengan cara apapun agar usulan pemekaran wilayah dikabulkan oleh pemerintah pusat. Untuk hal ini mereka berani memberi “upeti” yang cukup besar kepada DPR agar DPR meloloskan undang-undang pemekaran wilayahnya Piliang, Ramdani dan Pribadi, 2003 . Kasus pemekaran propinsi Papua Barat adalah bukti mengenai hal tersebut Kompas, Kamis, 20 Januari 2003. Dalam bentuknya yang kompleks, fenomena munculnya jejaring rente di daerah terlihat dari pertarungan-pertarungan antar kelompok kepentingan di daerah dalam merebut kekuasaan. Pola-pola pertarungan kepentingan dalam memperebutkan rente di daerah tersebut makin bertambah kompleks, ketika faktor ekonomi dan keuangan tersebut berinteraksi dengan faktor politik yakni proses pemilihan Kepala Daerah pilkada dan pengambilan keputusan politik strategis yang dilakukan oleh partai-partai politik di era desentralisasi 4 . Akibatnya, berbagai keputusan politik strategis yang berkaitan dengan pilkada dan perumusan peraturan daerah perda sangat kental dengan nuansa korupsi, tidak transparans dan sulit dipertanggungjawabkan. Pencalonan Kepala Daerah dan anggota DPRD yang tidak transparans menyebabkan sangat sulitnya memperoleh anggota DPRD yang berkualitas dan Kepala Daerah yang memiliki karakter kepemimpinan leadership yang kuat dan berintegritas. Data KPPOD 2005 menunjukkan bahwa hampir 60 dari 228 kabupatenkota di Indonesia yang diteliti memiliki Kepala Daerah dengan kualitas kepemimpinan dengan nilai C ke bawah lihat Tabel 10. Tabel 10 tersebut juga menunjukkan bahwa parpol-parpol di tingkat lokal tidak mampu melahirkan pemimpin dan anggota DPRD yang berjiwa kenegarawanan dan memiliki budaya politik yang tinggi. Akibatnya, jabatan Kepala Daerah, baik itu dipilih langsung oleh DPRD maupun melalui pilkada langsung dan keberadaan anggota DPRD bukannya menjadi solusi bagi persoalan pembangunan daerah, tetapi malah menjadi masalah, karena jabatan tersebut digunakan sebagai ajang korupsi 5 . Hal ini disebabkan karena bagi anggota DPRD dan Kepala Daerah, kekuasaan politik yang dimilikinya dianggap bukan sebagai 4 Pemilihan Kepala Daerah pada periode 2001-2004 sebagaimana diatur dalam UU No 221999 yaitu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sementara setelah periode tahun 2004 yakni mulai tahun 2005, Pilkada dilakukan secara langsung sebagaimana diatur dalam UU No 322004. 5 Lihat ICW 2004 amanah, tetapi merupakan tambang madu untuk mengeruk rente dari masyarakat. Hal demikian semakin banyak terjadi sejalan makin banyaknya Kepala Daerah yang berlatar belakang sebagai politisi-pengusaha Lihat Tabel 11. Tabel 10. Kualitas Kepemimpinan Kepala Daerah dan Tingkat Kemiskinan Nilai Leadership Banyaknya Persentase Rata-rata Leadership skala 1-9 KabupatenKota Angka Kemiskinan A 6.55 45 19.74 12.40 B 5.83 48 21.05 13.10 C 5.36 46 20.18 19.14 D 4.81 46 20.18 13.74 E 3.88 43 18.86 17.12 Total 228 100.00 Sumber: Diolah dari data KPPOD 2005 dan BPS 2005 Tabel 11. Latar Belakang Pekerjaaan Kepala Daerah Terpilih Hasil Pilkada Langsung tahun 2005-2006 Birokrat Mantan Kepala Daerah Politisi Profesional Pengusaha TNI POLRI Kepala Daerah 50 80 28 9 14 7 Wakil Kepala Daerah 86 10 44 26 19 0 Sumber : Kompas, 17 April 2007 Pola relasi DPRD dengan Kepala Daerah juga dijadikan ajang untuk mengeruk rente, terutama ketika Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan harus bertanggungjawab kepada DPRD sebagaimana diatur dalam UU No 221999. Posisi DPRD waktu itu lebih kuat dan dominan dibandingkan Kepala Daerah. Format politik seperti ini sebenarnya diharapkan untuk membangun mekanisme checks and balances yang lebih operasional. Tetapi kenyataannya tidak demikian, pola hubungan yang terbina antara DPRD dengan Kepala Daerah di satu sisi telah menciptakan ketegangan baru antara Kepala Daerah dan DPRD, tetapi di sisi yang lain di dalam realitasnya, otoritas ini dipakai sebagai ajang tawar menawar yang saling menguntungkan di antara keduanya. Relasi Kepala Daerah dengan DPRD dapat dikatakan sebagai relasi yang “tegang” sekaligus “pragmatis dan kompromistis”. Dalam praktek, mekanisme ini seringkali memunculkan kasus politik uang money politics dan jual beli suara antara fraksi di DPRD. Fenomena ini terjadi hampir di semua daerah, mulai dari pemilihan Kepala Daerah, intervensi dalam pelaksanaan program-program pembangunan daerah, laporan pertanggung- jawaban sampai pemberhentian Kepala Daerah 6 . Sehingga waktu itu periode 2001-2004 muncul istilah bahwa acara pertanggungjawaban tahunan Kepala Daerah merupakan “pesta” DPRD, sedangkan pertanggung jawaban lima tahunan merupakan “pesta” atau “jamuan besar”. Hal demikian menyebabkan makin kuatnya tekanan-tekanan dalam perumusan regulasi perda yang kemudian akan melahirkan perda yang hanya melayani kepentingan elite eksekutif dan DPRD atau yang dikenal sebagai perda bermasalah. Sekedar memberi contoh, sebut saja, kasus di Sukoharjo Jawa Tengah. Diduga untuk meloloskan Laporan Pertanggung Jawabannya, Bupati telah melakukan kolusi bersama DPRD dalam penganggaran pembelian sepeda motor untuk semua anggota DPRD dalam APBD 2002. Diperkirakan kasus-kasus sejenis dengan Sukoharjo juga marak di berbagai daerah dan besaran korupsinya tentu saja disesuaikan dengan besaran APBD daerah masing-masing. Hal ini terlihat dari banyaknya “perselingkuhan” keduanya dalam menyusun anggaran untuk kepentingan DPRD dengan alasan seperti fasilitas perumahan, kesehatan, mobilitas, menjaring aspirasi, bantuan konstituen, kunjungan kerja, studi banding dan lainnya. Bahkan hal tersebut malahan mendapat dukungan legal dari pemerintah pusat dalam bentuk PP 1102000 yang kemudian direvisi menjadi PP 242004 yang mengatur Kedudukan Keuangan dan Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD. Dengan dasar PP tersebut, setiap daerah mengeluarkan Perda tentang Kedudukan Keuangan dan Protokoler Pimpinan dan Anggota DPRD. Pola hubungan DPRD dengan Kepala Daerah tersebut dicoba diperbaiki dengan Pilkada Langsung dengan UU No 322004. Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh rakyat secara politis posisinya sangat kuat. Di lain pihak DPRD, di 6 Lihat Haris 2005 samping memiliki fungsi legislasi dan anggaran budgeting, DPRD juga masih mempunyai hak untuk mengontrol Kepala Daerah yakni hak interpelasi, hak angket dan menyatakan pendapat ayat 2 pasal 43 UU No322004. Di dalam pengaturan seperti ini, secara teoritis Kepala Daerah tidak bisa begitu saja meninggalkan DPRD dalam proses perumusan kebijakan publik. Disini diharapkan tumbuhnya fungsi checks and balances. Namun fakta dilapangan berkata lain. Konfigurasi ekonomi politik yang dicerminkan oleh relasi antara DPRD dan Kepala Daerah pascapilkada langsung dapat menghasilkan tiga bentuk. Yang pertama adalah executive heavy. Kasus ini akan terjadi di daerah-daerah di mana Kepala Daerahnya dipilih secara mayoritas mutlak dan memperoleh dukungan dari partai-partai yang memiliki suara mayoritas di DPRD. Hal ini misalnya terjadi di Kabupaten Mojokerto. Pasangan Achmadi- Suwandi bupati incumbent memperoleh suara lebih dari 80. Mereka didukung oleh tiga partai besar PKB, PDIP dan Golkar, dua partai tengahan PAN dan PKS dan sejumlah partai kecil. Dalam komposisi seperti ini sulit untuk menemukan adanya DPRD yang kritis terhadap Kepala Daerah, sehingga terjadi menurunnya kualitas chekcs and balances. Dalam kasus di mana Kepala Daerah terpilih dari salah satu partai besar, misalnya PDI-P saja atau Golkar saja atau partai-partai lain, hubungan antara Kepala Daerah–DPRD akan lebih cenderung dinamis. Ada kemungkinan muncul praktek oposisi, sehingga muncul chekcs and balances. Yang ke-tiga adalah relasi Kepala Daerah dengan DPRD yang bersifat legislative heavy . Ini terjadi di daerah dimana Kepala Daerah terpilih dari partai politik di luar parlemen. Misalnya yang terjadi di Banyuwangi. Di dalam kasus seperti ini partai- partai yang menguasai DPRD akan berusaha menjatuhkan Kepala Daerah melalui hak-hak yang dimilikinya Marijan, 2006. Tampaknya setelah melihat 188 kasus Pilkada langsung yang dilaksanakan dari tahun 2005 sampai 2006, kecenderungan terjadinya chekcs and balances masih sedikit, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Kecenderungan yang terjadi adalah mengarah kepada executive heavy, dimana Kepala Daerah terpilih mendapat dukungan oleh sebagian besar anggota DPRD, karena pada saat pencalonan mereka diusung oleh beberapa gabungan parpol yang menguasai suara di DPRD. Kalau sudah demikian, maka DPRD yang menjadi pendukung Kepala Daerah lebih mudah melakukan “perselingkuhan” dengan Kepala Daerah. Itulah mengapa tunjangan fasilitas rumah, kesehatan, mobilitas, menjaring aspirasi, bantuan konstituen, kunjungan kerja, studi banding, uang “kedeudeuh” dan sebagainya tidak lagi menjadi tuntutan, tetapi sudah menjadi hal yang biasa. Alih-alih Kepala Daerah dan DPRD memikirkan dan merencanakan bagaimana menggunakan anggaran dan membuat regulasi untuk membela kepentingan masyarkat, malahan yang terjadi adalah keduanya selalu memikirkan bagaimana PAD Pendapatan Asli Daerah yang merupakan salah satu komponen APBD budget bisa ditingkatkan menjadi lebih besar, agar tunjangan-tunjangan DPRD tersebut menjadi lebih besar lagi. Hal ini terlihat dari keluarnya perda- perda untuk meningkatkan PAD yang kemudian menimbulkan banyak masalah seperti menimbulkan persaingan tidak sehat, menghalangi akses masyarakat terhadap sumber daya, menghalangi lalu lintas barang antar daerah, ketidakjelasan kriteria jenis jasa yang diberikan pemerintah daerah yang perlu dibiayai dengan retribusi, dan pengenaan pajakpungutan yang berganda dengan pungutanpajak yang telah ada. Memang perda-perda tersebut banyak yang kemudian dibatalkan oleh pemerintah pusat lewat keputusan Menteri Keuangan seperti disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Perkembangan SK Menteri Keuangan untuk Pembatalan Perda Bermasalah No. Surat Menteri Keuangan Tanggal Surat Jumlah 01 No.S-486MK.072001 2 Nopember 2001 68 02 No.S-523MK07.2001 12 Desember 2001 12 03 No.S-70MK.072002 14 Maret 2002 40 04 No.S-26MK.072002 18 Desember 2002 52 05 No.S-0006MK.072003 17 Januari 2003 1 06 No.S-018MK.072003 30 Juni 2003 33 Sumber: Kompas, 13 Agustus 2003 Tetapi karena tidak ada satu unit yang ditugasi khusus untuk menelaah perda-perda tersebut dan makin bertambah banyaknya perda yang bermasalah, maka kemampuan pemerintah pusat untuk mempelajari dan mengontrol perda- perda kurang memadai. Akibatnya, masih banyak perda yang lolos hingga saat ini. Banyaknya “perda bermasalah” akan menyebabkan maraknya suap-menyuap yang dilakukan oleh masyarakat terhadap birokrat. Di samping melalui berbagai perda tentang pajak dan retribusi, cara untuk meningkatkan APBD juga dilakukan melalui lobi-lobi pejabat daerah ke lembaga di pusat yang berwenang memutuskan besarnya DAU Dana Alokasi Umum, DAK Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil yakni Depdagri dan Depkeu bersama DPR. Jika mereka tidak berhasil melobi Depkeu dan Depdagri, kemudian mereka akan melobi DPR melalui Panitia Anggaran di DPR agar DAU daerahnya diperbesar. Hal ini terlihat dari temuan adanya budget di APBD yang dianggarkan oleh daerah sebagai anggaran untuk mengurus DAU ke pusat. Bahkan anggaran tersebut ada yang mencapai ratusan juta rupiah 7 . Berdasarkan uraian deskriptif di atas, terlihat jelas bagaimana bakumain faktor ekonomi keuangan dan politik memicu korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah dan anggota DPRD. Catatan ICW 2004 menunjukkan bahwa pada tahun 2004 ada 432 kasus korupsi di berbagai daerah yang mayoritas dilakukan oleh Kepala Daerah 83 kasus dan anggota DPRD 124 kasus. Sebagian besar korupsi tersebut dilakukan melalui perda APBD dan perda yang terkait dengan perizinan. Fakta ini menggambarkan apa yang dikenal sebagai korupsi “bergerojok” 8 yang melibatkan Kepala Daerah bersama-sama dengan DPRD yang “bibit” korupsinya sudah muncul sejak proses perumusan program dan anggaran dalam APBD. Korupsi demikian menjadi seolah-olah legal legalized Corruption dan terencana corruption by design. 7 Lihat Simantjuntak, 2005. 8 Istilah ini digunakan untuk mengganti kata “berjamaah” dalam istilah “korupsi berjamaah”, karena kata berjamaah mengandung konotasi positip yang digunakan dalam Sholat Berjamaah bagi pemeluk Islam. Banyak kalangan Islam, terutama pemuka agama di Kabupaten Solok yang memprotes penggunaan kata berjamaah dalam istilah “korupsi berjamaah”. 6.2. Faktor Ekonomi Politik dan Budaya yang Mempengaruhi Korupsi di Daerah pada Era Desentralisasi : Hasil Analisis Model Ekonometrika Pada sub-bab sebelumnya telah diuraikan gambaran faktor ekonomi politik yang menjadi latar belakang mengapa korupsi meluas di berbagai daerah di era desentralisasi. Pada sub-bab ini, penyebab korupsi yang meluas di berbagai daerah tersebut akan dianalisis secara mendalam dengan menggunakan model ekonometrika sebagaimana yang dirumuskan dalam persamaan 4.1, 4.2, 4.3 dan persamaan 4.4. Karena persamaan-persamaan tersebut merupakan sebuah sistem persamaan yang mengaitkan faktor ekonomi politik dan budaya dengan terjadinya korupsi, maka estimasi terhadap persamaan-persamaan tersebut dilakukan secara simultan dengan menggunakan metode generalized least square GLS. Hasil estimasi keempat persamaan tersebut disajikan pada Tabel 13, Tabel 14, Tabel 15, dan Tabel 16. Dari hasil estimasi tersebut secara umum dapat dilihat bahwa, dugaan keempat persamaan tersebut secara statistik mampu menjelaskan masing-masing peubah terikatnya dependent variable-nya. Hal ini dapat dilihat dari nilai peluang- F Prob F yang semuanya signifikan pada taraf nyata 0.01. Dilihat dari nilai R-square-nya, dugaan keempat model tersebut mempunyai nilai R-square yang cukup baik. Tabel 13 misalnya, yang menyajikan hasil dugaan faktor-faktor yang mempengaruhi korupsi mempunyai nilai R-square sebesar 0.66. Artinya 66 variasi tingkat korupsi dapat dijelaskan oleh variasi yang terjadi pada variabel bebasnya faktor-faktor yang mempengaruhinya. Sementara Tabel 14 yang menyajikan dugaan parameter faktor-faktor ekonomi politik dan budaya yang mempengaruhi kualitas proses perumusan dan pelaksanaan perda PERDA sebagai peubah terikat mempunyai nilai R-square yang cukup besar yakni 0.94. Tabel 15 yang menyajikan dugaan parameter faktor-faktor ekonomi politik yang mempengaruhi kualitas birokrasi BIROKRSI sebagai peubah terikatnya memiliki nilai R-square 0.64 dan Tabel 16 yang menyajikan hasil dugaan parameter model yang menjelaskan keterkaitan DAU dengan korupsi dan faktor ekonomi lainnya mempunyai nilai R-square 0.94. Tabel 13. Hasil Estimasi Faktor Ekonomi Politik dan Budaya yang Mempengaruhi Indeks Korupsi KORUPNDX Nama Variabel Deskripsi Variabel Coefficient P-value INTERCEPT -0.1855 0.93 GOLKAR Suara Perolehan Parpol Golkar di setiap daerah -0.0178 0.01 PDIP Suara Perolehan Parpol PDIP di setiap daerah -0.0089 0.29 PKS+PAN Suara Perolehan Parpol PKS dan PAN di setiap daerah -0.0074 0.35 PKB+PPP+PBB Suara Perolehan PKB+PPP+PBBB di setiap daerah -0.0041 0.52 LEADERSHIP Kualitas Kepemimpinan 0.1291 0.02 KD_GOLKAR Dummy daerah yang Kepala Daerahnya dari Parpol Golkar -0.1319 0.35 KD_PDIP Dummy daerah yang Kepala Daerahnya dari Parpol PDIP -0.3119 0.08 KD_GABBSR Dummy daerah yang Kepala Daerahnya dari Gabungan Partai Besar 0.0071 0.96 KD_GABKCL Dummy daerah yang Kepala Daerahnya dari Gabungan Partai Kecil -0.2434 0.31 TRANSP Transparansi Biaya dan Prosedur Pelayanan Publik 0.2798 0.04 PARTPSI Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Regulasi 0.3941 0.00 PERDA Kualitas Proses Perumusan dan Pelaksanaan Peraturan Daerah 0.4828 0.04 DAU+BH_TAX+PAD Dana Alokasi Umum+Bagi Hasil Pajak + Pendapatan Asli Daerah -0.0004 0.23 BH_SDA Bagi Hasil Sumber Daya Alam -0.0002 0.80 BIROKRSI Kualitas Pelayanan Birokrasi 0.4681 0.00 HDI Human Development Index 0.0028 0.57 MHL_NDX Indeks Kemahalan -0.0143 0.17 FEODAL Dummy Daerah dengan Budaya Feodalistik -0.3467 0.18 BATAK Dummy Daerah Batak -0.3106 0.26 KORR_TTG Indeks Korupsi Tertangga terdekat 0.1245 0.01 D_JAWA Dummy Variabel Geografi Daerah Jawa 0.3538 0.20 D_SMTR Dummy Variabel Geografi Daerah di Sumatera 0.1942 0.39 D_KLMTN Dummy Variabel Geografi Daerah di Kalimantan -0.0878 0.72 D_SLWS Dummy Variabel Geografi Daerah di Sulawesi -0.2559 0.23 D_PAPUA Dummy Variabel Geografi Daerah di Papua -0.7362 0.14 D_BALI Dummy Variabel Geografi Daerah di Bali 0.3791 0.32 F-stat=13.80 ProbF-stat=0.000 R-square =0.66 DW=1.72 Sementara itu, dilihat dari tanda koefisiennya, dugaan keempat model tersebut memiliki tanda koefisien sesuai dengan yang dihipotesiskan, kecuali satu tanda koefisien pada Tabel 13 yaitu variabel KD_GABBSR yang tandanya positif, padahal sebelumnya diduga berpengaruh negatif terhadap KORUPNDX. Kriteria lain yang dapat digunakan untuk menilai model tersebut adalah nilai Durbin- Watson statistic DW. Secara umum dugaan empat model tersebut memiliki nilai DW sekitar 2 yang berarti tidak ada autokorelasi. Berdasarkan kriteria-kriteria di atas dapat disimpulkan bahwa dugaan keempat model tersebut secara ekonometrika layak digunakan untuk menganalisis keterkaitan antara korupsi dengan faktor ekonomi politik dan budaya. Analisis secara rinci terhadap masing-masing peubah yang mempengaruhi tingkat korupsi KORUPNDX sebagaimana disajikan pada Tabel 13 menunjukkan bahwa: 1. Faktor kepemimpinan LEADERSHIP Kepala Daerah berpengaruh nyata terhadap tingkat korupsi KORUPNDX. Artinya semakin berkualitas kepemimpinan, maka KORUPNDX semakin besar atau tingkat korupsi semakin kecil 9 . Hasil ini menunjukkan bahwa keteladan, kedisiplinan dan integritas Kepala Daerah akan sangat bermanfaat bagi usaha pemberantasan korupsi. Sebaliknya, kepemimpinan yang buruk akan membuat tingkat korupsi di daerah semakin tinggi. Karena sebagian besar, yakni sekitar 60 kabupatenkota dipimpin oleh Kepala Daerah yang kualitas kepemimpinannya buruk dan sangat buruk KPPOD, 2005, maka korupsi merebak di banyak daerah dengan tingkat yang sangat mengkhawatirkan. 2. Ada kecenderungan bahwa wakil partai politik dalam pemerintahan, baik yang menjabat sebagai Kepala Daerah maupun sebagai anggota DPRD, berdampak pada semakin tingginya korupsi, walaupun secara statistik tidak semua parpol pengaruh negatif tersebut nyata. Dilihat dari aspek kepemimpinan, Kepala 9 KORUPNDX bernilai antara 0 sampai 10, di mana makin kecil nilainya berarti tingkat korupsi makin tinggi dan semakin besar nilai berarti tingkat korupsi makin kecil. Daerah yang berasal atau diusung oleh PDIP KD_PDIP berpengaruh signifikan taraf nyata 10 terhadap meningkatnya derajat korupsi KORUPNDX semakin kecil di daerah. Sementara itu, jika dilihat dari perolehan suara parpol di DPRD, hasil analisis menunjukkan bahwa perolehan suara parpol GOLKAR berpengaruh secara nyata pada taraf α=5 terhadap makin buruknya korupsi di daerah. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa partai politik, terutama partai politik besar yaitu Golkar dan PDIP yang dominan memegang kekuasaan dalam eksekutif dan legislatif di berbagai daerah saat ini cenderung korup. Lebih jauh, hasil ini menunjukkan bahwa kehidupan politik dua parpol besar tersebut cenderung didominasi oleh pragmatisme kekuasaan untuk mengeruk rente dari masyarakat dengan jalan melakukan korupsi. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa salah satu “titik tembak” dalam pemberantasan korupsi adalah partai politik, terutama Partai Golkar dan PDIP. Transparansi dan akuntabilitas dalam pencalonan Kepala Daerah dan anggota DPRD oleh dua partai besar tersebut akan berpengaruh nyata dalam usaha menekan dan mengendalikan korupsi. 3. Faktor rendahnya kualitas perumusan dan pelaksanaan peraturan daerah PERDA juga signifikan mempengaruhi korupsi pada taraf nyata 5. Artinya semakin buruk proses perumusan dan pelaksanaan perda, tingkat korupsi semakin tinggi. Proses perumusan perda yang tidak pastisipatif, tidak transparan lihat peubah TRANSP dan PARTPSI pada Tabel 13 menyebabkan perda yang disusun hanya untuk melayani kepentingan pejabat eksekutif dan DPRD saja. Proses perumusan perda yang demikian akan menimbulkan banyaknya perda bermasalah sebagaimana diuraikan pada sub-bab 6.1. Banyaknya perda bermasalah tersebut menandakan bahwa “bibit” korupsi muncul sejak proses perumusan perda, sehingga pelaksanaannya memicu terjadinya korupsi. Hasil ini diperkuat oleh analisis deskriptif pada sub-bab 6.1 di mana sebagian besar korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan anggota DPRD melalui perda, terutama perda tentang APBD dan perda tentang perizinan. 4. Faktor kualitas birokrasi peubah BIROKRSI juga berpengaruh signifikan pada taraf nyata 1. Daerah-daerah dengan kualitas birokrasi yang buruk cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi KORUPNDX kecil. Hal ini menunjukkan bahwa birokrasi warisan Orde Baru, di mana pada masa itu terjadi sentralisasi birokrasi, sehingga hingga kini birokrasi masih terjebak dalam kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal daripada kultur horizontal yang lebih berorientasi kepada kepentingan publik. Oleh karena itu, reformasi birokrasi di daerah perlu dilakukan agar birokrasi menjadi lembaga yang imparsial tidak berpihak, efisien dan efektif. 5. Dengan taraf nyata yang lebih lemah 20, faktor indeks kemahalan daerah juga cenderung mendorong korupsi yang lebih tinggi lihat peubah MHL_NDX dengan tanda koefisien negatif dan p-value =0.17. 6. Dengan taraf nyata yang lebih lemah pula, faktor budaya feodal p-value = 0.18 dan budaya Batak p-value = 0.26 menyebabkan korupsi menjadi lebih besar. Dalam kondisi harmoni, prinsip yang ada dalam dalian natolu budaya Batak yang memegang prinsip hagabeon, hamoraon, hasangapon tersebut akan menjadi terhormat jika cara mendapatkan harta dan pangkat dilakukan dengan cara-cara terhormat pula. Namun, karena kondisi masyarakat yang disharmoni karena nafsu kekuasaan dan harta, maka tekanan-tekanan yang berasal dari nilai- nilai materialistik semacam ini akan menyebabkan antara harta kekayaan dan jabatan atau pangkat menjadi tidak independen Simanjuntak dalam Silaban, 2007. Seseorang yang menduduki jabatan digunakan untuk orientasi materi dan seseorang yang memiliki materi harta demi kelengkapan kehormatannnya maka akan berusaha memperoleh pangkat atau jabatan dengan hartanya jalan pintas dan begitu seterusnya lingkaran ini terjalin secara terus menerus. Inilah kiranya yang bisa menjelaskan, mengapa masyarakat Batak yang lebih egaliter, tetapi tingkat korupsinya cenderung lebih tinggi. 7. Secara statistik korupsi di suatu daerah dipengaruhi oleh terjadinya korupsi di daerah lain, terutama daerah terdekat lihat variabel KORR_TTG yang berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 . Hal ini menunjukkan bahwa perilaku korup di suatu daerah sangat dipengaruhi perilaku korup di daerah lainnya. Dengan analogi ini, secara individu sesorang tidak korup, tetapi karena pengaruh lingkungan sosial sekitarnya dan tekanan budaya, seseorang bisa terdorong melakukan korupsi. Ini juga menunjukkan bahwa korupsi sangat ditentukan oleh social learning masyarakat terhadap apa yang terjadi dalam lingkungannya serta pengalaman hidupnya. ‘Kalau orang lain melakukan korupsi, menyuap, mengapa saya tidak’, itulah nilai yang berkembang dalam hubungan antara rakyat dengan lingkungan birokrasi. 8. Temuan lain yang menyangkut mekanisme pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah adalah adanya kecenderungan bahwa daerah-daerah yang jauh dari Jakarta pusat pemerintahan memiliki tingkat korupsi yang lebih tinggi lihat variabel D_SLWS, D_PAPUA yang tanda koefisiennya negatif, walaupun dengan taraf nyata yang agak lemah 20 . Ini manandakan bahwa supervisi pemerintah pusat terhadap penyusunan dan pelaksanaan APBD, terutama di daerah Indonesia bagian timur sangat diperlukan untuk meredam penyalahgunaan anggaran di daerah. Dari hasil analisis tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa faktor rendahnya kualitas perumusan, pelaksanaan perda dan rendahnya kualitas birokrasi sangat berpengaruh terhadap meluasnya korupsi di daerah. Untuk memperdalam analisis mengenai dua faktor tersebut, bagian berikut akan membahas secara rinci dan mendalam faktor-faktor ekonomi politik dan budaya yang mempengaruhi kualitas proses perumusan dan pelaksanaan perda Tabel 14 dan kualitas birokrasi Tabel 15. Dari Tabel 14 terlihat bahwa kualitas proses perumusan dan pelaksanaan perda dipengaruhi secara nyata pada taraf nyata 10 oleh kualitas birokrasi BIROKRSI, partisipasi masyarakat dalam perumusan perda PARTPSI, tranparansi pelaksanaan perda TRANSP_1 dan TRANSP_2, kualitas hubungan antara eksekutif dengan legislatif EKS_LEG, kualitas hubungan organisasi masyarakat HUB_OR. Hal ini menunjukkan bahwa semakin buruk mutu birokrasi di suatu daerah, perumusan dan pelaksanaan perda juga semakin buruk. Proses perumusan perda yang tidak partisipatif dan tidak transparans juga menyebabkan kualitas perda cenderung memburuk yang kemudian memicu korupsi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Sementara itu, hubungan antara eksekutif dengan legislatif yang buruk yang diwarnai oleh “perselingkuhan” di antara keduanya akan menyebabkan buruknya perumusan dan pelaksanaan perda yang kemudian memicu korupsi. Dalam hal ini, “bibit” korupsi yang muncul ketika perumusan perda merupakan hasil perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif. Tabel 14. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Perumusan dan Pelaksanaan Perda Nama Variabel Deskripsi Variabel Coefficient P-value INTERCEPT 0.60300 0.00 BIROKRSI Kualitas Pelayanan Birokrasi 0.08100 0.00 PARTPSI Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Regulasi 0.14900 0.00 HELPFUL Indeks Attitude Birokrasi yang senang membantu 0.01800 0.46 EKS_LEG Indeks kualitas hubungan eksekutif dan legislatif 0.04700 0.06 HUB_OR Indeks kualitas hubungan organisasi masyarakat 0.05600 0.00 TRANSP_1 Transparansi Biaya pelayanan 0.26400 0.00 TRANSP_2 Kejelasan Prosedur Pelayanan 0.28200 0.00 BH_SDA Bagi Hasil Sumber Daya Alam -0.00003 0.77 DAU2005+PAD DAU dan PAD tahun 2005 -0.00002 0.79 HDI Human Development Index 0.00100 0.52 KORUPNDX Indeks Korupsi 0.00400 0.83 F-stat=270.25 ProbF-stat=0.000 R-square =0.94 DW=2.08 Faktor lain yang juga berpengaruh nyata terhadap kualitas proses perumusan dan pelaksanaan perda adalah kualitas hubungan antar organisasi masyarakat. Kualitas hubungan antar organisasi masyarakat merupakan cerminan kualitas modal sosial. Hasil analisis ini sejalan dengan temuan Chakrabarti 2001 di mana korupsi menurun bersamaan dengan meningkatnya kualitas hubungan antar organisasi masyarakat. Peningkatan kualitas hubungan tersebut dapat dilakukan melalui interaksi yang baik, memupuk rasa saling percaya trust dan kerjasama di antara elemen-elemen organisasi masyarakat. Tabel 15. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Birokrasi Nama Variabel Deskripsi Variabel Coefficient P-value INTERCEPT 0.6830 0.33 LEADERSHIP Kualitas Kepemimpinan 0.0790 0.08 FEODAL Dummy Daerah dengan Budaya Feodalistik -0. 0100 0.05 BATAK Dummy Daerah SUMUT -0.1920 0.28 EKS_LEG Indeks kualitas hubungan eksekutif dan legislatif 0.0640 0.09 BELPEG Belanja Pegawai per jumlah pegawai 28.0530 0.03 IND_TIM Dummy variabel untuk wilayah Indonesia Timur -0.0970 0.90 LAMA_SKLH Rata-rata lama sekolah 0.0160 0.46 MHL_NDX Indeks Kemahalan -0.0004 0.92 PARTPSI Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Regulasi 0.2870 0.00 KORUPNDX Indeks Korupsi 0.3120 0.00 PERDA Kualitas Proses Perumusan dan Pelaksanaan Peraturan Daerah 0.0890 0.21 DAU Dana Alokasi Umum 0.0001 0.82 F-stat=30.67 ProbF-stat=0.000 R-square =0.64 DW=2.09 Tabel 16. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Menentukan Besarnya DAU tahun 2005 Nama Variabel Deskripsi Variabel Coefficient P-value INTERCEPT 23.843 0.08 KORUPNDX Indeks Korupsi : Penyalahgunaan wewenang -4.606 0.09 PAD+BH_SDA+BH_TAX PAD+Bagi Hasil SDA+Bagi Hasil Pajak -0.009 0.07 POVERTY Indeks Kemiskinan 0.040 0.24 POPULATION Jumlah Penduduk 0.023 0.00 DAU 2004 DAU tahun 2004 0.849 0.00 BIROKRSI Kualitas Birokrasi 3.563 0.23 F-stat=566.61 ProbF-stat=0.0000 R-square =0.94 DW=2.1 Sementara itu, dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang secara statistik pada taraf nyata 10 mempengaruhi rendahnya kualitas birokrasi adalah kepemimpinan LEADERSHIP, budaya feodal FEODAL, buruknya hubungan eksekutif dengan legislatif EKS_LEG, struktur insentif yang belum memadai BELPEG, rendahnya partisipasi mayarakat dalam mengontrol birokrasi PARTPSI, dan besarnya tingkat korupsi KORUPNDX yang rendah. Rendahnya kepemimpinan Kepala Daerah dan memburuknya hubungan eksekutif dengan legislatif menyebabkan birokrasi menjadi semakin buruk. Hal ini karena budaya peternalistik dan budaya birokrasi yang tidak netral dan selalu berorientasi vertikal. Budaya feodal yang membentuk pola atasan-bawahan dengan kultur ‘mikul dhuwur mendhem jero’ mengangkat kebaikan dan mengubur dalam- dalam kesalahan seorang pimpinan, membuat pimpinan birokrasi sulit untuk dikontrol. Ditambah lagi struktur insentif yang tidak memadai, tidak ada kontrol dari masyarakat, sehingga semakin memperburuk birokrasi di berbagai daerah. Lebih dari itu, makin masifnya korupsi juga makin memperburuk kualitas birokrasi. Jika dikaitkan dengan hasil Tabel 13, maka hubungan antara birokrasi dan korupsi ini merupakan hubungan timbal balik. Birokrasi yang buruk menyebabkan korupsi dan korupsi semakin memperburuk kualitas birokrasi. Jika Tabel 13, Tabel 14, Tabel 15 dan Tabel 16 dianalisis secara simultan untuk melihat hubungan timbal balik antara peubah terikat dependent variable-nya yakni antara kualitas perda PERDA dengan korupsi KORUPNDX, kualitas birokrasi BIROKRSI dengan korupsi KORUPNDX, kualitas perda PERDA dengan kualitas birokrasi BIROKRSI, serta pengaruh tingkat korupsi KORUPNDX terhadap Dana Alokasi Umum DAU maka diperoleh hasil bahwa terjadi hubungan timbal balik yang signifikan antara kualitas birokrasi dengan tingkat korupsi dan antara tingkat korupsi dengan DAU. Sementara hubungan antara kualitas perda dengan korupsi, hanya bersifat satu arah, yakni perda yang berkualitas membuat korupsi bisa dikendalikan. Demikian halnya hubungan antara kualitas birokrasi dengan kualitas perda, berlaku hubungan searah yakni rendahnya kualitas birokrasi sangat mempengaruhi buruknya kualitas perda. Hasil tersebut menunjukkan bahwa birokrasilah yang menjadi penyebab rendahnya kualitas perda dan kualitas perda yang rendah menjadi pemicu terjadinya korupsi. Birokrasi yang buruk juga secara langsung mendorong terjadinya korupsi dan selanjutnya korupsi membuat kualitas birokrasi semakin rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa terjadi hubungan segitiga antara birokrasi, perda dan korupsi, di mana birokrasi sebagai simpul awal hubungan segitiga tersebut. Hal ini menandakan bahwa rendahnya kualitas birokrasi merupakan titik sentral penyebab korupsi. Dari hasil analisis kualitatif deskriptif dan kuantitatif dengan model ekonometrika di atas, terlihat bahwa bakumain interplay faktor ekonomi politik dan budaya tersebut akhirnya melemahkan akuntabilitas politik, adiministratif, moral, dan profesional, yang berarti lemahnya organisasi pengaturan ekonomi politik di daerah. Dengan demikian menjadi jelas mengapa proses desentralisasi yang sudah berjalan hampir tujuh tahun ini masih mengalami kendala dan persoalan serius, terutama meluasnya korupsi di berbagai daerah. Alih-alih tata pengaturan organisasi politik lokal di era desentralisasi ini menjadi mesin pertumbuhan, yang terjadi justru sebaliknya, mesin pertumbuhan “otonomi daerah” tersebut saat ini menghadapi berbagai hambatan yaitu antara lain perda bermasalah, buruknya kepemimpinan, buruknya hubungan antara eksekutif dengan legislatif, dan rendahnya kualitas birokrasi. 6.3. Apakah Benar Korupsi Sudah Membudaya ?