dan berwibawa. Munculnya Gamawan Fauzi Bupati Solok periode 2001-2005 yang berhasil meletakkan dasar-dasar partisipasi dan transparansi di Kabupaten
Solok dan kemudian menjadi Gubernur Sumatera Barat 2005-2010 adalah salah satu contoh. Akhirnya sebagaimana yang akan dijelaskan nanti, budaya
Minangkabau dengan tungku tigo sajarangan dan kerapatan adat nagari yang mewarnai proses pembangunan di Kabupaten Solok membuat kelembagaan di
Kabupaten Solok memperoleh nilai A sangat baik sebagaimana hasil survei pemeringkatan kelembagaan yang dilakukan oleh KPPOD tahun 2005.
7.1.2. Struktur Sosio-Budaya Masyarakat Kabupaten Sukoharjo Budaya
Jawa
Masyarakat Kabupaten Sukoharjo merupakan bagian dari masyarakat dengan sistem budaya Jawa. Letaknya yang sangat dekat dengan Kota Surakarta
Solo dan Yogyakarta membuat masyarakat Sukoharjo merupakan bagian dari wilayah negarigung kebudayaan Jawa atau kebudayaan Mataram.
Berdasarkan kelas sosialnya, orang Jawa terdiri dari kelas darah biru keluarga keraton dan keturunan bangsawan atau bendara-bendara, priyayi
pegawai negeri dan kaum terpelajar dan wong cilik, yaitu petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya Kodiran, 2007. Kaum darah biru
bendarabangsawan dan priyayi menempati lapisan atas dalam status sosial, sementara wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah. Hal tersebut tercermin
dalam penggunaan bahasa di mana bahasa Jawa dibedakan menjadi bahasa Jawa ngoko
dan kromo. Bahasa ngoko digunakan untuk orang yang sudah dikenal atau yang sudah akrab. Umumnya pada level wong cilik. Sedangkan bahasa
kromo digunakan sebagai komunikasi orang yang lebih muda ke orang yang
lebih tua, atau dari wong cilik dengan kelompok priyayi atau bangsawan. Dalam hal tertentu, kaum bangsawan mempunyai tingkat bahasa sendiri yaitu bahasa
kedaton yang khusus digunakan dalam kalangan istana kerajaan. Hal demikian
merupakan cerminan hierarki sosial yang terbentuk dalam struktur sosio-budaya masyarakat Jawa Kodiran, 2007.
Tekanan kekuasaan dari raja-raja dan bangsawan-bangsawan feodal dari zaman kejayaan kerajaan-kerajaan Jawa dahulu, kemudian tekanan kekuasaan
dari pemerintah kolonial yang telah mencapai kemantapan di Jawa telah
mempunyai efek yang dalam terhadap rakyat petani di Jawa. Akibatnya, sebagian mentalitas rakyat petani pedesaan di Jawa, termasuk di Sukoharjo,
adalah sikapnya yang pasif terhadap hidup, menyukai gerakan kebathinan yang diwujudkan dalam sikap nerimo, ketabahannya yang ulet dalam hal menderita
tetapi lemah dalam berkarya Kodiran, 2007. Terbentuknya strata sosial dan tekanan-tekanan pada zaman kerajaan
serta zaman kolonial Belanda tersebut, menyebabkan terbentuknya hubungan hierarchical
dalam masyarakat dan terbawa dalam hubungan dalam pemerintahan birokrasi. Dalam setiap hubungan tersebut akan muncul pola
“atasan-bawahan” atau muncul pola patron dan klien. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, hubungan tersebut membuat bawahan selalu
menyenangkan pimpinan, tidak berani membantah, selalu “sendiko dawuh” selalu taat pada atasan, selalu menunggu perintah atasan tidak kreatif dan
inovatif dan pada derajat tertentu bawahan beranggapan bahwa pimpinan selalu benar. Lahirlah sikap “mikul dhuwur mendhem jero” terhadap pimpinan.
Orang Jawa selalu dihinggapi rasa ewuh pakewuh dalam berhubungan dengan atasan. Akibatnya tidak ada mekanisme kontrol terhadap pimpinan dan inilah
pemicu penyalahgunaan kekuasaan yang ada dalam diri pemimpin. Hal demikian makin terdorong oleh mentalitas sebagian besar penduduk yang pasif
dan nerimo. Berbeda dengan masyarakat Solok dengan budaya Minangkabau yang
syarat dengan organisasi adat yang mantap, masyarakat di Jawa tidak mengenal kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi adat yang sudah mantap yang dapat
berbuat kreatif sendiri. Organisasi masyarakat tersebut telah dirusak oleh kolonial Belanda dengan menumpangkan organisasi administratif langsung dari
atas top down yang biasanya dikepalai oleh pegawai dari kalangan priyayi yang sering tak suka memikul tanggung jawab dan lebih suka menunggu
perintah dari atas Kodiran,2007. Oleh karena itu, sulit mengharapkan lahirnya pemimpin yang berjiwa kreatif dan berintegritas. Bagi orang Jawa, pemimpin
selalu berasal dari bangsawan yang diwariskan secara turun temurun dan merupakan wahyu dari Tuhan.
Dengan latar belakang sosio budaya seperti diuraikan di atas, maka proses pembangunan mengalami berbagai hambatan. Dalam proses
perencanaan pembangunan sebagaimana yang akan diuraikan nanti, maka akan sangat sulit menerapkan prinsip-prinsip penadbiran baik good governance.
Masyarakat yang pasif membuat partisipasi masyarakat menjadi rendah, kontrol terhadap penguasa juga rendah yang berimplikasi pada rendahnya checks and
balances . Pimpinan menjadi tidak transparans dan tidak akuntabel dan akhirnya
inilah yang kemudian memicu terjadinya korupsi dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan APBD dan perizinan usaha sebagaimana akan
diuraikan nanti.
7.1.3. Struktur Sosio-Budaya Masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara