Hipotesis Penelitian Korupsi Dalam Pembangunan Wilayah Suatu Kajian Ekonomi Politik Dan Budaya

hati dan moralitas yang keduanya diturunkan dari masyarakat, khususnya dari sosialisasi dan ajaran atau didikan orang tua, maka kita bisa menganalisis apakah hati nurani dan moralitas masyarakat menganggap korupsi sebagai sesuatu yang tidak memalukan dan menilai sebagai sesuatu yang wajar.

3.2. Hipotesis Penelitian

Sejalan dengan permasalahan, tujuan dan kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini, maka disusun beberapa hipotesis dugaan sebagai berikut : 1. Pada level makro, faktor-faktor ekonomi politik yang diduga mempengaruhi terjadinya korupsi adalah rendahnya kualitas peraturan daerah perda, rendahnya kualitas kepemimpinan kepala daerah, rendahnya transparansi pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat dalam perumusan perda, rendahnya kualitas sumber daya manusia. Faktor budaya yang diduga mempengaruhi terjadinya korupsi adalah budaya feodalistik dan paternalistik yang membentuk hubungan antara “bawahan” dan “atasan” dan pola hubungan patron klien dalam tubuh birokrasi dan partai politik. Bakumain interplay faktor ekonomi politik dan budaya tersebut diduga memberikan tekanan- tekanan dalam proses perumusan kebijakan perda sehingga terbentuk perda yang melegalkan suatu perilaku korup legalized corruptive behavior atau perda bermasalah. 2. Pada level mikro yakni pada tingkatan perusahaan, faktor-faktor ekonomi yang diduga mempengaruhi pengusaha melakukan penyuapan adalah tingkat pendidikan, ukuran dan jenis usaha serta umur perusahaan. Faktor-faktor ekonomi politiknya adalah keterlibatan masyarakat atau pengusaha dalam perumusan regulasikebijakan, pilihan partai politik pada pemilu 2004, hubungan antara eksekutif Kepala Daerah dengan legislatif DPRD, kepemimpinan leadership Kepala Daerah. Sementara faktor sosial budaya yang diduga mempengaruhi pengusaha memilih lobi dengan penyuapan dalam memperbaiki koersi yang dihadapi adalah tempat lahir dan tempat tinggal, suku, serta nilai-nilai dan pandangan hidup serta cita-cita ideologi yang dipahami oleh seseorang tentang korupsi penyuapan. Faktor budaya lain yang diduga berpengaruh adalah sikap yang cenderung untuk memberi hadiah serta sikap birokrasi yang tercermin apakah birokrat cenderung suka membantu atau tidak. 3. Korupsi diduga belum atau tidak membudaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia, tetapi budaya yang dimanfaatkan sebagai alasan rasionalisasi tindakan melakukan korupsi . IV. METODE ANALISIS DAN PROSEDUR PENELITIAN 4.1. Metode Analisis untuk Menelaah Kaitan antara Korupsi dengan Perda-Perda Bermasalah Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya : Pendekatan Secara Makro Sebagaimana telah dijelaskan dalam kerangka pemikiran bahwa terjadinya korupsi dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi terkait dengan banyaknya regulasiPerda-Perda “bermasalah” beserta faktor ekonomi politik dan budaya yang mempengaruhinya. Fokus kajian memang diarahkan untuk menelaah maraknya korupsi di berbagai daerah sejak otonomi daerah diberlakukan 1 Januari 2001 sampai saat ini. Tetapi karena persoalan-persoalan yang memicu korupsi tersebut tidak dapat dilepaskan dengan kejadian, situasi dan kondisi sosial budaya dan ekonomi politik yang terjadi di tingkat nasional, baik pada saat ini maupun sebelumnya, terutama pengaruh Orde Baru yang mewarnai aktivitas ekonomi dan politik hingga saat ini, maka pada tahap awal akan dianalisis terlebih dulu ekonomi politik korupsi pada tingkat nasional dari Orde Baru sampai Orde Reformasi dan faktor budaya yang mempengaruhi munculnya korupsi tersebut. Analisis dilakukan dengan metode studi pustaka dan pembahasan akan diawali dengan mendeskripsikan bagaimana konfigurasi ekonomi politik korupsi pada masa orde baru dan faktor budaya yang mempengaruhinya. Analisis berikutnya akan menggambarkan bagaimana konfigurasi ekonomi politik di tingkat pusat pada Era Reformasi pasca Orde Baru. Praktek-praktek korupsi yang telah melekat lama dalam birokrasi dan pejabat Orde Baru ini diduga terduplikasi pada era reformasi. Pada masa ini ditengarai fenomena kembalinya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik warisan Orde Baru. Analisis ini dituangkan pada Bab V. Dengan menguraikan dua hal tersebut di atas, diharapkan akan menjadi jelas bagaimana dan dalam konfigurasi ekonomi politik dan faktor budaya yang bagaimana otonomi daerah tersebut lahir dan dilaksanakan. Sehingga kita bisa menarik ”benang merah” mengapa muncul berbagai persoalan-persoalan pembangunan wilayah, terutama persoalan korupsi yang meluas baik di tingkat pusat maupun daerah pada era desentralisasi dan reformasi saat ini. Analisis berikutnya akan membahas ekonomi politik korupsi pada era desentralisasi untuk mengidentifikasi bagaimana dan mengapa persoalan- persoalan korupsi tersebut muncul dalam implementasi otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga saat ini. Untuk itu akan dilakukan analisis berbagai faktor ekonomi politik dan budaya di era desentralisasi yang memicu terjadinya korupsi di daerah kabupatenkota. Analisis yang digunakan meliputi analisis kuantitatif dan kualitatif. Dengan mengacu kepada kerangka konseptual yang digunakan dan hipotesa yang ingin diuji serta hasil studi pustaka, model kuantitatif yang dikembangkan menggunakan empat persamaan berikut : KORUPNDX = α + α 1 PERDA + α 2 LEADER + α 3 TRANSP + α 4 PARTPSI+ α 5 KD_GOLKAR+ α 6 KD_PDIP+ α 7 KD_GABBS R+ α 8 KD_GABKCL+ α 9 DAU2005+BH_TAX+PAD+ α 10 B H_SDA+ α 11 FEODAL + α 12 BATAK + α 13 D_JAWA + α 14 D_SMTR+ α 15 D_KLMTN+ α 16 D_SLWS+ α 17 D_PAPUA + α 18 D_BALI + α 19 GOLKAR + α 20 PDIP + α 21 PKS+PAN + α 22 PKB+PPP+PBB+ α 23 KORR_TTG+ α 24 MHL_NDX + α 25 HDI+ α 26 BIROKRSI+ ε 1

4.1 PERDA=