Keterkaitan antara Korupsi dengan Pembangunan Ekonomi

meninggi perlu diimbangi dengan pengembangan sistem tata-pengaturan kelembagaan yang kompatibel, jika tidak, maka akan muncul informal forms of governance yang hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk menangguk keuntungan-keuntungan jangka pendek Dawkins, 2003 seperti dikutip oleh Putri dan Dharmawan, 2006. Sementara itu, menurut GMT pertumbuhan ekonomi suatu kawasan negara, daerah dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktivitas tata pengaturan administrasi-politik yang secara operasional mampu membangkitkan keputusan–keputusan dan aturan-aturan yang menentukan decisive bagi berkembangnya aktivitas ekonomi kawasan tersebut. Artinya, kekuatan organisasi pengaturan politik lokal dapat berfungsi sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal. Mesin pertumbuhan yang diperkenalkan oleh teori ini menunjuk pada keberadaan sejumlah organisasi sosial lokal yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah Berkembangnya aktivitas ekonomi juga berarti sebuah dorongan bagi pertumbuhan ekonomi suatu kawasan.

2.3. Keterkaitan antara Korupsi dengan Pembangunan Ekonomi

Wilayah:Kajian Teoritis dan Empiris Kepustakaan tentang kaitan antara korupsi dan pembangunan diwarnai oleh adanya perbedaan dua pandangan. Pandangan pertama mengatakan bahwa dalam kondisi pajak dan aturan-aturan yang berlebihan dan cenderung menghambat aktivitas ekonomi, penyuapan bribery dapat menjadi pelumas grease dalam perekonomian, karena dengan suap dapat dihindari hambatan dan lambannya birokrasi. Huntington 1968, misalnya, menyatakan bahwa pajak dan regulasi yang berlebihan akan terus menghambat aktivitas ekonomi, jika tanpa penyuapan. Pandangan ini dikenal dengan istilah hipotesis pelumas efisien efficient grease hypothesis. Kelemahan pandangan ini terletak pada asumsi yang digunakan yakni bahwa distorsi-distorsi regulasi dapat dimitigasi oleh suap menyuap yang bersifat eksogen. Sejalan dengan pandangan ini, Lui 1985 dengan model antrian queuing model menunjukkan bahwa korupsi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, karena dengan menyuap perusahaan dapat mempercepat urusan yang terkait dengan lambatnya proses perizinan. Menurut Lui 1985, penyuapan dapat menjadi pelumas “mesin” birokrasi yang lambat. Model ini juga mengasumsikan bahwa penyuap dan yang disuap masing-masing berlaku jujur dalam antrian dan tidak ada bencana moral moral hazard. Beck dan Maher 1986 serta Lien 1986 seperti dikutip oleh Bardhan 1997 menunjukkan bahwa pemenang dari tender selalu perusahaan yang berani memberikan uang sogokan tertinggi dan hanya perusahaan yang biayanya paling kecil yang berani memberikan suap paling tinggi. Jadi penyuapan membuat perusahaan menjadi lebih efisien. Tentu saja model ini mengandung kelemahan karena model ini mengasumsikan bahwa agen pemerintah hanya mempertimbangkan besaran uang sogokan saja dalam proses tender, penyuap akan memberikan barang yang sesuai dengan kontrak dan tender tidak dibatasi. Padahal dalam kenyataannya banyak proses tender yang diwarnai oleh unsur- unsur nepotisme atau kasus penyuap memberikan barang dan jasa yang dibawah kualitas yang disebut dalam kontrak atau dalam kenyataannya penyuapan digunakan untuk membatasi kompetisi dalam tender Bardhan,1997. Dalam perkembangannya, pandangan hipotesis pelumas efisien mulai dipertanyakan karena sejumlah asumsi yang digunakan dalam analisis hubungan korupsi dan pembangunan yang digunakan sangat lemah. Sebagai contoh, misalnya, asumsi bahwa distorsi-distorsi regulasi dapat dimitigasi oleh suap. Asumsi ini kurang mendapat dukungan yang sahih, karena sering kali distorsi- distorsi dalam perekonomian dan penyuapan disebabkan oleh faktor-faktor yang sama. Bardhan 1997 mengeritik teori hipotesis pelumas efisien dengan mengatakan bahwa distorsi-distorsi tersebut tidak eksogen terhadap sistem, tetapi merupakan bagian yang built-in dalam praktek-praktek korupsi dari sistem politik yang bercirikan hubungan patron-klien. Karena birokrat memiliki kuasa diskresi discretionary power dengan suatu aturan tertentu, aturan–aturan yang menghambat secara endogen dibuat oleh pejabat pemerintah yang korup, sedemikian sehingga mereka menyusun bentuk dan sejumlah hambatan terhadap perusahaan agar mereka dapat memperoleh uang sogokan semaksimal mungkin. Akibatnya perusahaan yang telah membayar uang sogokan lebih besar, akan tetap harus membayar uang suap yang lebih besar lagi. Berdasarkan argumen ini, penyuapan bukannya menjadi pelumas birokrasi yang bekerja lamban, tetapi segala kelambanan birokrasi tersebut sengaja diciptakan agar birokrasi mempunyai peluang yang lebih banyak untuk melakukan korupsi. Kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat. Argumen lain yang menolak hipotesis pelumas efisien diberikan oleh Krueger 1974. Menurut Krueger 1974 penyuapan menjadi masalah ekonomi karena ia terdeteksi sebagai perilaku pencarian rente yang dilakukan oleh entitas pemerintah. Berbagai penyebab yang memberikan pengaruh negatif berawal dari perilaku tersebut di pemerintahan. Perilaku pencarian rente membuat agen pemerintah menggunakan sebagian dari waktu potensial yang dimilikinya untuk kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencari pendapatan tambahan extra income. Pendapatan tambahan ini semula berfungsi sebagai penutup kekurangan kebutuhan minimum, namun kebanyakan kemudian berkembang menjadi upaya untuk memperkaya diri sendiri. Aspek lain bahwa korupsi berdampak negatif bagi perekonomian adalah karena sifatnya yang rahasia secretive. Tidak seperti pajak, korupsi adalah melawan hukum dan oleh karenanya selalu menghindari pendeteksian. Uang suap sebagai sebuah kontrak tidak bisa dikuatkan di pengadilan. Dan ini membuat peluang bagi yang disuap untuk mengingkari dan minta uang suap lebih tinggi. Beberapa pejabat yang terlibat dalam penyuapan mungkin khawatir dengan masalah reputasi, tetapi kebanyakan dari mereka tidak peduli dengan isu-isu jangka panjang. Oleh karena itulah korupsi berdampak negatif dalam perekonomian Shleifer dan Vishny, 1993. Penelitian empirik yang dilakukan oleh para ahli di berbagai negara berkembang mendukung argumen bahwa korupsi berdampak negatif terhadap ekonomi dan pembangunan. Paulo Mauro 1995,1998 mendemonstrasikan bahwa tingkat korupsi yang tinggi berkorelasi dengan rendahnya pangsa tingkat investasi terhadap Pendapatan Domestik Bruto PDB. Bardhan 1987 menyimpulkan perilaku korupsi di pemerintahan telah menurunkan tingkat pertumbuhan growth secara signifikan. Berbagai perilaku korupsi para agen pemerintah seperti suap, penggelapan pajak dan pencurian barang dan jasa pemerintah membuat pendapatan pemerintah government income menjadi turun. Bila pendapatan pemerintah turun maka dengan dengan sendirinya belanja pemerintah juga akan turun. Investasi yang dilakukan pun sangat kecil pertumbuhannya, besarnya hambatan birokrasi dengan tingginya biaya birokrasi cost of bureaucracy menyebabkan rendahnya tingkat investasi sehingga memberikan efek langsung terhadap pertumbuhan. Hal ini memberikan efek terusan dimana penyerapan tenaga kerja demand of labour menjadi berkurang sehingga tingkat pengangguran unemployment menjadi naik. Hal ini juga yang menjadi dasar dari kesimpulan Gupta, Davoodi dan Rosa 1998 yang menyatakan bahwa perilaku korupsi menyebabkan ketidakmerataan inequality. Lambsdorff 1999 dengan menelaah hasil-hasil kajian empiris tentang keterikatan korupsi dan pembangunan menemukan bahwa korupsi berkaitan dengan keterlibatan pemerintah yang terlalu jauh dalam sektor swasta, kualitas kelembagaan, dan kurangnya kompetisi, kemiskinan dan ketidakmerataan. Lebih jauh Lambsdorff menjelaskan bahwa korupsi berdampak buruk pada investasi, GDP, belanja pemerintah, Capital Inflow dan FDI, serta perdagangan internasional. Hill 1999 menunjukkan bahwa kekuasaan yang sentralistik dan korupsi pada era Orde Baru menyebabkan bangsa Indonesia sangat rentan terhadap krisis. MacIntyre 1999 juga menemukan bahwa regulasi keuangan dan perbankan yang sangat rentan bersama dengan krisis pengelolaan perbankan akibat kolusi antara bankir–pengusaha–birokrat merupakan faktor utama hilangnya kepercayaan investor yang memicu terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Kuncoro 2002 menunjukkan bahwa daerah-daerah di Indonesia yang mempunyai tingkat suap bribery yang tinggi akan dijauhi oleh perusahaan- perusahaan baru yang kemudian akan berdampak terhadap menurunnya produktivitas secara agregat. Henderson dan Kuncoro 2004;2005 juga menemukan bahwa bribery suap yang diduga bisa mempercepat pengurusan perizinan di berbagai daerah ternyata tidak berlaku. Pengusaha yang telah mengeluarkan “uang tambahan” dalam berurusan dengan birokrasi tetap menghadapi lamban dan lamanya berbagai urusan administrasi dengan birokrat. Bahkan banyaknya perilaku pencarian rente di suatu daerah akan cenderung meningkatkan ketidakpastian uncertainty dalam melakukan usaha atau berinvestasi di daerah tersebut Kuncoro, 2005. World Bank 2006 menemukan bahwa maraknya korupsi dalam bentuk suap menyuap, pungutan liar dan sejenisnya membuat iklim investasi sektor non pertanian di perdesaan menjadi terhambat. Hal tersebut menjadi penyebab rendahnya investasi di suatu daerah KPPOD,2005. Studi yang di lakukan oleh LPEM FEUI 2003 terhadap hambatan perdagangan antar daerah di Indonesia pada era desentralisasi menunjukkan bahwa pungutan-pungutan dan uang suap yang dibayar oleh perusahaan kepada birokrat baik yang terkait dengan proses produksi dan pengangkutan bahan baku dan produk menyebabkan meningkatnya biaya produksi dan biaya transportasi barang antar daerah meningkat. Akibatnya barang tersebut menjadi lebih mahal ketika sampai ke tangan konsumen. Harga yang mahal membuat kesejahteraan konsumen menurun. Biaya transportasi yang meningkat akibat pungutan liar dan penyuapan menyebabkan produk yang dihasilkan di suatu daerah menjadi tidak kompetitif di pasar tujuan.

2.4. Keterkaitan Korupsi dengan Faktor Budaya : Kajian Empiris