Korupsi dan Perilaku Pencarian Rente

II. TINJAUAN TEORI DAN PUSTAKA

2.1. Korupsi dan Perilaku Pencarian Rente

Rent Seeking Behaviour Kata korupsi berasal dari kata Corruptio dari bahasa Latin, dari kata kerja corrumpere yang artinya dusta, busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dalam perkembangannya, kata korupsi mengandung makna dan konotasi yang luas, baik secara ekonomi maupun politik. Tranparency International 2005 mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang di pemerintahan untuk keuntungan pribadi the abuse of public office for private gain. Kekuasaan sebagai alat untuk mengatur negara dan melayani publik telah disalahgunakan untuk keuntungan pribadi. Dalam konteks ekonomi, Shleifer dan Vishny 1993 mendefinisikan : corruption as the sale by government officials of government property for personal gain . Sementara Bardhan 1997 mendefinisikan korupsi sebagai : The use of public office for private gains, where an official an agent entrusted with carrying out of task by the public principal engages in some sort of malfeasance for private enrichment which is difficult to monitor for the principal. Dengan pengertian korupsi sebagaimana dijelaskan di atas, Rose- Ackerman 1999 menyimpulkan bahwa perilaku korupsi tidak pernah terpisah dengan entitas pemerintah government. Krueger 1974 mengidentifikasi bahwa perilaku pencarian rente rent seeking behaviour merupakan usaha-usaha yang dilakukan oleh badan pemerintah dengan melakukan berbagai hambatan restriksi melalui regulasi sehingga orang per orang harus bersaing untuk mendapatkan rente tersebut. Kadang-kadang bentuk persaingan dalam pencarian rente rent seeking tersebut sangat legal, tetapi juga dapat dalam bentuk-bentuk lainnya, seperti penyuapan, korupsi, penyelundupan, dan pasar gelap. Sementara itu, Stevens 1993 mendefinisikan pencarian rente sebagai usaha dengan menggunakan proses politik political process sedemikian sehingga mengizinkan perusahaan atau kelompok perusahaan untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang melebihi biaya imbangan opprotunity cost-nya. Dengan pengertian seperti ini korupsi terjadi karena perilaku pencarian rente dari badan pemerintah dan perusahaan yang berusaha membuat regulasi lewat proses politik sehingga menciptakan peluang untuk melakukan korupsi. Karena sangat luasnya pengertian korupsi, pembatasan pengertian korupsi dalam berbagai konteks akan sangat membantu dalam memfokuskan suatu analisis. Sebagai contoh misalnya dalam konteks politik, Rose-Ackerman mengidentifikasi korupsi menjadi empat bentuk yaitu kleptokrasi, monopoli bilateral, negara yang didominasi mafia, dan suap kompetitif dengan adanya kemungkinan spiral. Korupsi dalam bentuk kleptokrasi ditandai oleh korupsi yang terpusat pada puncak pemerintahan. Seorang kleptokrat yang kuat yang menghadapi pelaku swasta yang lemah akan berusaha menguras rente dari masyarakat dan swasta dengan mengorganisasikan aktivitas pencarian rente melalui pengaturan negara. Korupsi dalam bentuk monopoli bilateral ditandai oleh sama besarnya kekuatan antara pemerintah dan swasta, sehingga korupsi dilakukan dengan berbagi keuntungan di antara mereka. Di sisi lain, jika pihak swasta yang kuat berhadapan dengan negara yang lemah, maka akan menimbulkan korupsi dalam bentuk negara yang didominasi oleh mafia swasta. Kasus ini ditandai oleh keadaan bahwa dalam setiap hal kekuasaan swastalah apakah dalam bentuk perusahaan tunggal atau oligarki yang terjalin kuat yang mendominasi negara dan yang membeli kerjasama petugas pemerintah. Bentuk terakhir dari korupsi menurut konteks politik adalah suap kompetitif. Kasus ini ditandai oleh sejumlah besar pegawai tingkat rendah berhadapan dengan sejumlah besar warga. Hal ini disebabkan oleh pengawasan yang lemah terhadap korupsi dimana pertanggungjawaban umum juga sangat kurang. Hal ini banyak terjadi dalam proses pelayanan umum yang diberikan pemerintah, misalnya dalam proses pembuatan KTP, SIM, dan sejenisnya . Sementara itu dalam konteks ekonomi, Rose-Ackerman 1999 mengelompokkan perilaku korupsi badan pemerintah ke dalam aktifitas- aktifitas berikut: 1. Pembayaran untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan Payments that equate supply and demand. Pemerintah seringkali menyediakan barang dan jasa untuk dikonsumsi publik secara gratis atau menjualnya di bawah harga pasar. Maka kadangkala terdapat dua harga barang yang berlaku : harga dari pemerintah yang rendah dan harga yang tinggi pada pasar kompetitif. Hal ini membuat perusahaan yang membutuhkan barang dan jasa tersebut membayar agen pemerintah menyuap untuk mendapatkan akses terhadap pasokan barang dengan harga di bawah harga pasar Rose- Ackerman, 1999. Besarnya suap merupakan keuntungan bagi agen, dan hal ini tercipta dengan adanya pembentukan keseimbangan dari permintaan dan penawaran yang terjadi. Contohnya, penyelundupan bahan bakar minyak BBM ke industri atau ke luar negeri. 2. Suap yang diterima agen pemerintah sebagai insentif Bribes as incentive payments for bureaucrats. Mengutip dari literatur yang ditulis Rose- Ackerman 1999:” Since time is money, firms and individual will pay to avoid delay. In many countries a telephone, a passport, or a driver’s license cannot be obtained expeditiously without a payoff. Sometimes the service is avalaible only to the corrupt, but not to the patient but honest citizen”. Kwik Kian Gie 2003 melihat perilaku korupsi di Indonesia dengan pemberian insentif sudah terintegrasi dengan pekerjaan agen pemerintah. Pendapatan resmi official income yang rendah menyebabkan para agen pemerintah selalu mengandalkan pendapatan di luar pendapatan resmi. Pemberian insentif merupakan aktivitas yang mendominasi di setiap pelayanan pemerintah. Pengurusan perizinan usaha, IMB Izin Mendirikan Bangunan dan berbagai pelayanan administrasi publik di Indonesia, tidak pernah dipisahkan dengan fenomena penyuapan Indonesian Corruption Watch , 2000; Kuncoro 2002; 2004; 2006; Henderson dan Kuncoro 2004; 2005 3. Suap yang diterima sebagai cara untuk mengurangi biaya Bribe to reduce cost yang terdiri dari manipulasi regulasi dan manipulasi pajak. Pemerintah menetapkan regulasi mengenai tingkat pajak. Industri dan perusahaan wajib membayar biaya tersebut. Maka perilaku korupsi dimulai dari intervensi individu dan swasta dalam rancangan regulasi diikuti dengan manipulasi pajak. Regulasi yang akan ditetapkan akan sangat berpengaruh terhadap dunia usaha. Maka swasta menginginkan regulasi yang terbentuk dan dapat diinterpretasikan sesuai dengan kepentingan mereka. Dan untuk itu para agen pemerintah sebagai otoritas pembentuk regulasi, dapat menjadikan hal ini sebagai upaya untuk memperkaya diri mereka Rose-Ackerman,1999 . 4. Korupsi pada Pejabat Pemerintahan Corruption of High-Level Official. George Moody-Stuart 1997 pada “Grand Corruption in Third World Development ” menulis : “Grand Corruption” occurs at the highest levels of government and involves major government projects and programs. Pemerintah seringkali memberikan manfaat yang besar bagi swasta dalam memberikan kontrak kerja. Perusahaan kemudian berusaha melakukan suap bribe untuk mendapatkan kontrak tersebut. Pemberi suap terbesar terhadap pejabat di pemerintahanlah yang biasanya mendapatkan kontrak tersebut Rose-Ackerman,1999. Korupsi dalam pemberian kontrak swasta oleh pemerintah terjadi di setiap negara. Bahkan menurut Tranparency International 2005 hal ini juga terjadi juga pada negara-negara maju yang kredibilitas pemerintahannya tinggi seperti negara-negara Skandinavia, Singapura, Kanada dan Selandia Baru. Di Paraguay suap yang diberikan oleh perusahaan internasional yang memenangkan kontrak selama rezim presiden Alfredo Stroessnes 1954-1989 mencapai 10-20 dari nilai kontrak. Di Indonesia sendiri pada tahun 1970-an dua perusahaan asal Jerman melaporkan memberi suap sebesar 20 dari nilai kontrak kepada pejabat di perusahaan minyak milik negara Schwarz,1994. Di Zimbabwe kolusi yang dilakukan antara menteri pos dan telekomunikasi dengan perusahaan telekomunikasi Swedia telah membuat spesifikasi tender hanya dimiliki oleh perusahaan tersebut. Tujuan dari korupsi pada pejabat tinggi high-official merupakan aktivitas untuk akumulasi kekayaan para pejabat dan para koleganya. Di Indonesia korupsi jenis ini telah menyebabkan kebocoran uang negara mencapai 30-50 dari APBN setiap tahunnya ICW,2000; Rosidi , 2006; Nurdjana, 2005. Bentuk dan makna korupsi yang sangat luas dan kompleks tersebut, membuat makna korupsi masih rancu ambigu dan sulit dibedakan. Sebagai contoh misalnya perbedaan antara korupsi politik political coruption dan korupsi ekonomi economic corruption masih belum jelas, khususnya apakah usaha untuk keuntungan pribadi termasuk merancang kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan peluang atau kesempatan agar tetap bertahan di pemerintahan merupakan bentuk korupsi politik atau korupsi ekonomi. Hal ini masih jadi perdebatan, walaupun kemudian bentuk korupsi tersebut dapat dipandang sebagai korupsi ekonomi politik political economic corruption.

2.2. Teori Pembangunan Ekonomi Wilayah : Peranan Politik dan