Perumusan Regulasi tentang Perizinan, Sosialisasinya dan Perda “Bermasalah “

7.4.2. Perumusan Regulasi tentang Perizinan, Sosialisasinya dan Perda “Bermasalah “

Perizinan usaha merupakan bagian penting dalam pembangunan wilayah. Dengan perizinan inilah alokasi sumber daya ekonomi di atur dan dikelola. Oleh karena itu, dalam konteks perizinan ini ada banyak regulasi yang mengaturnya, mulai dari aturan dari pemerintah pusat, baik itu melalui undang- undang maupun sampai dengan keputusan menteri, dan aturan di daerah itu sendiri yang biasanya diatur dalam Peraturan Daerah Perda atau Keputusan Bupati. Perda-perda tersebut merupakan hasil keputusan Pemda dengan DPRD. Idealnya, sebelum suatu perda ditetapkan, proses perumusannya harus melibatkan semua pemangku kepentingan dan menimbang semua masukan dari masyarakat. Tapi implementasi di lapangan masih banyak perda yang disusun tanpa partisipasi dari masyarakat, sosialisasi yang kurang dan tidak transparans dalam pelaksanaanya. Berikut akan diuraikan bagaimana situasi perumusan Perda di Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Solok dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk memberikan gambaran bagaimana perumusan Perda-perda khususnya perda yang terkait dengan perizinan di Sukoharjo, berikut diberikan petikan hasil wawancara dengan dengan Bagian Hukum Sekda Sukoharjo, Bapak W :’ “Setiap tahun kami lakukan registrasi dalam rangka menyusun program Raperda. Kami undang instansi-instansi terkait kira- kira tahun anggaran nanti atau yang sudah berjalan ini, Perda apa yang mau disusun atau dibahas bersama dewan. Kemudian kita menentukan prioritas Perda mana yang urgent. Penyusunan Perda ini mengacu pada UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Undang-Undang dimana SKPD mempunyai kewenangan dibidang masing-masing untuk menyusun draft awal lebih dulu. Draft awal tersebut setelah jadi dikonsultasikan ke bagian hukum untuk dilihat dari aspek hukumnya. Kemudian setelah itu kami lempar ke masyarakat untuk disosialisasikan agar dapat masukan kira-kira Raperda seperti itu kurang lebihnya apa, kendala-kendalanya apa. Sosialisasi ini juga kami lakukan lewat internet karena Pemkab Sukoharjo sudah mempunyai website di internet. Tapi selama ini belum banyak tanggapan masyarakat lewat internet. Setelah itu SKPD memperbaiki draft Perda dan setelah itu dimatangkan setengah kamar di eksekutif, kemudian kita bawa ke dewan. Ketika ditanya mengenai asal muasal draft dan ada tidaknya dukungan naskah akademik terhadap draft awal Perda tersebut, Bpk W menjelaskan sebagai berikut: “Menurut UU, naskah akademik itu bukan suatu keharusan. Yang selama ini kita praktekkan ya hanya menyusun draft itu dengan melakukan perbandingan atau studi banding dengan daerah lain. Materinya kita sesuaikan dengan kondisi dan potensi di Sukoharjo. Selama ini kami baru sekali memakai konsultan untuk menyusun naskah akademik, Namun hasilnya malah cukup jauh dari yang kita harapkan, sehingga akhirnya kita kembali...ya sudahlah wong kita yang tahu persis daerah kita kok, kita tahu mekanismenya dan tahu persis materi-materi yang akan kita atur... akhirnya kita saling koordinasi saja dengan Bagian Hukum dan SKPD dalam merumuskan Perda”. Sementara itu tentang dinamika pembahasan perda di Sukoharjo, Bagian Hukum Sukoharjo menjelaskan “pembahasan di DPRD lancar-lancar saja. Memang ada DPRD yang kritis tetapi setelah kita jelaskan mereka mengerti juga” Dengan pola seperti itu menurut Kepala Bagian Hukum Sukoharjo tidak banyak terjadi gejolak dalam pelaksanaanya. Selanjutnya Bapak W menjelaskan: “ Karena sejak awal, dalam penyusunan perda ini kami selalu menimbang aspek ideologis, sosiologis, politis dan yuridis. Aspek sosiologis ini yang kita tekankan , agar tidak terjadi gejolak”. Namun demikian, informan dari Bagian Hukum tersebut mengakui bahwa ada beberapa perda yang kemudian menimbulkan masalah antara lain sebagaimana diungkapkan oleh Bapak W sebagai berikut : “Perda kami yang kena pinalti dari pusat ada dua yakni perda tentang Tenaga Kerja yang bertentangan dengan UU tenaga Kerja yang baru. Hal yang bertentangan adalah mengenai perizinan K3 keselamatan dan Keamanan Kerja. Dalam Perda tersebut kami mengenakan retribusi, tetapi dalam UU tenaga kerja tidak diperbolehkan. Kami mendapat surat dari Depdagri agar Perda tersebut dibatalkan dan kini sudah mencabut Perda tersebut. Yang kedua adalah Perda mengenai izin Retribusi Mengemudikan Kendaraan Tidak Bermotor. Untuk perda ini, kami dibagian hukum sejak awal sudah mengingatkan, tetapi teman-teman di Dinas Perhubungan terpaksa membuat Perda ini karena desakan dari tukang becak, andong yang minta Surat Izin Mengemudikan becak dan andong tersebut. Hal ini untuk menghindari ditahannya becak dan andong oleh Polisi jika masuk ke wilayah Solo. Akhirnya Perda tersebut kami cabut. Karena retribusinya yang tidak diperbolehkan, maka kami ganti dengan Peraturan Bupati dan retribusinya kami hapus, tetapi kami tetap mengeluarkan izin mengemudi untuk tukang becak dan andong tersebut. Beberapa waktu yang lalu kami juga mengevaluasi Perda bersama dengan GTZ sebelum Raperda tahun ini. Ada dua perda yang disarankan untuk dikaji ulang agar tidak memberikan dampak negatif terhadap investor- investor yang akan masuk ke Sukoharjo. Satu adalah perda tentang Izin Gangguan yang berkaitan dengan retribusinya yang terlalu besar dan yang kedua adalah Perda tentang Izin Perdagangan dan Perindustrian. Kedua Perda tersebut disarankan oleh GTZ agar besaran tarif retribusinya diturunkan atau dihilangkan sekalian.” Sementara itu untuk penyusunan Perda tentang Perizinan di Kabupaten Solok dapat digambarkan lewat uraian Kasubag TU dan Kepegawaian Bappeda Kabupaten Solok berikut: “Proses penyusunan perda lebih banyak melibatkan pihak eksekutif pemda dan badan legislatif DPRD. Draft perda yang akan diterbitkan dibawa oleh bupati pada DPRD dengan didampingi SKPD yang berkepentingan dengan perda tersebut. Setelah draft disetujui oleh DPRD, sebelum disahkan oleh bupati terlebih dahulu dinilai oleh Tim ahli yang terdiri dari para akademisi, tokoh masyarakat, badan perwakilan nagari, dll. Yang akan memberikan masukan pada pemerintah daerah perlu tidaknya sebuah perda diterbitkan. Jika penilaian tim ahli ini positif maka perda tersebut baru dapat disahkan. Dari pihak akademisi ada beberapa draft perda yang terlebih dahulu disusun naskah akademiknya, seperti perda nagari yang belum lama ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah kabupaten Solok. Perda yang memiliki naskah akademik biasanya perda yang bersifat sangat teknis. Naskah akademik mayoritas disusun oleh Tim dari Universitas Andalas Padang. Perbedaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah kabupaten Solok dengan daerah lain adalah adanya klinik perencanaan yang berada di bawah Bappeda. Klinik perencanaan ini dibuat untuk SKPD di Solok yang berencana menerbitkan suatu peraturan. Di klinik ini, SKPD tersebut dapat berkonsultasi penuh mengenai Perda yang akan diterbitkan. Klinik ini dibuka 2 hari dalam seminggu. Di klinik inilah tempat berkumpulnya para tim ahli yang dapat menilai apakah suatu peraturan perlu diterbitkan”. Nara sumber penelitian ini di Bagian Hukum Kabupaten Solok menambahkan: ”Peranan masyarakat dan lainnya dalam penerbitan suatu perda biasanya adalah dalam bentuk konsinyering saat pembahasan dengan DPRD. Untuk pengusaha biasanya banyak diundang bila akan diterbitkan perda mengenai pajak dan retribusi dari suatu ornament. Karena dari pihak pengusaha ini yang biasanya menjadi objek dari pajak dan retribusi itu sendiri. Untuk perda yang melibatkan seluruh masyarakat, dalam penyusunannya sebelum diajukan ke DPRD sudah melibatkan tokoh masyarakat, contohnya seperti saat penyusunan Perda Nagari. Perda ini dimulai dari tokoh masyarakat sendiri kemudian dirumuskan oleh suatu tim baru kemudian diajukan ke DPRD. Di DPRD dilakukan pembahasan, jika DPRD menilai masih kurang setuju maka para tokoh masyarakat kembali diundang dalam pembahasannya” Mengenai sosialisasi tentang Perda, Wakil Kepala bagian Hukum Kabupaten Solok menguraikan sebagai berikut : “Untuk bagian hukum perda yang disosialisasikan adalah perda nagari sedangkan perda yang berkaitan dengan pajak dan retribusi disosialisasikan oleh BPKD. Bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh biro hukum antara lain dengan menerbitkan perda dalam sebuah buku dalam jumlah terbatas yang dapat dimiliki oleh masyarakat yang memerlukan. Atau jika memang sangat diperlukan dilakukan dalam bentuk workshop di kantor pemerintah daerah dengan mengundang seluruh lapisan masyarakat yang berkepentingan. Evaluasi dari suatu perda juga dilakukan setiap tahun dengan melihat kondisi di lapangan. Evaluasi ini untuk menilai apakah suatu perda dapat tetap berlaku tetapi memerlukan beberapa revisi sehingga akan diterbitkan dalam perda baru atau memang harus dicabut sepenuhnya. Beberapa perda yang direvisi dapat dilihat pada list rekapitulasi perda kabupaten Solok”. Sementara itu pendapat dari salah seorang LSM LAPAU dan juga anggota APPI juga mendukung bahwa perumusan Perda cukup partisipatif dan transparans: “Elemen masyarakatLembaga Swadaya Masyarakat memiliki peranan dalam setiap perumusan dan pelaksanaan regulasi atau Perda di Kabupaten Solok. Seperti dalam perumusan dan pelaksanaan adanya Pakta Integritas dan Perda No. 52001 tentang transparansi, LSM selaku elemen masyarakat turun ke lapangan dengan melakukan pemantauanpengawasan dengan menyeleksi beberapa item yang ada pada setiap instansikantor yang berhubungan dengan inventaris kantor. Kemudian hasil seleksi akan dibawa ke dalam rapat kelayakan dan perizinan tentang kekurangan-kekurangan yang dimiliki dan langsung disampaikan kepada dinas-dinas terkait” Pendapat yang berbeda diberikan oleh salah satu anggota LSM Peduli Hutan Lestari :. “Kepemimpinan kepala daerah masih dinilai belum menunjukkan transparansi yang menonjol dalam pemerintahannya. Masih terdapatnya kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan sesuatu demi kepentingannya sendiri. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam perda masih bertentangan dengan Keputusan Presiden dalam Perda tertentu. Kenyataannya di lapangan, birokrasi yang begitu sulit masih terdapat dalam pengurusan perizinan tertentu, dan adanya rekayasa-rekayasa politik dari elite politik dan pemerintah.” Uraian di atas memang memberi kesan adanya pro dan kontra tentang perumusan, sosialisasi dan pelaksanaan Perda. Hasil pengamatan penelitian di lapangan, terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang Pemda Solok, mereka sangat terbuka. Semua dokumen perda tidak ada yang ditutup-tutupi, bahkan penerimaan retribusi dari Perda tersebut diberikan semua secara terbuka. Perumusan Perda di Kabupaten Kukar sangat berbeda dengan Solok dan Sukoharjo. Dominasi SKPD sangat dominan. Sementara DPRD belum berfungsi sebagai lembaga legislasi dengan baik. Ketika informan dari GTZ ditanya bagaimana proses perumusan Perda yang terkait dengan perizinan di Kukar, informan tersebut menjelaskan sebagai berikut: “Naskah akademik untuk Perda di Kukar ini hampir tidak ada. Kebanyakan Perda dirumuskan sendiri oleh SKPD yang berkepentingan. Kalaupun ada hanya formalitas saja” Dan ketika kami tanyakan peranan DPRD dalam perumusan regulasi ini, salah satu informan di Bagian Hukum Sekda Kukar menjelaskan : “ Kalau kita Raperda, kita harus memahami latar belakang anggota DPRD. Dalam pembahasan Raperda mereka yang hadir separuh saja sudah bagus” Sosialisasi Perda juga sangat kurang. Bahkan sangat terkesan tertutup dan tidak transparans. Untuk memberikan gambaran penilaian perusahaan terhadap proses perumusan dan pelakasanaan Perda yang terkait dengan perizinan di tiga daerah tersebut, berikut akan diuraikan persepsi pengusaha di daerah penelitian mengenai hal tersebut. Dalam hal keterlibatan pengusaha dalam perumusan regulasi perizinan, banyak pengusaha mengatakan jarang dilibatkan, terutama untuk daerah Sukoharjo dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Sedangkan untuk Kabupaten Solok, ada 60 perusahaan yang mengaku hampir selalu dilibatkan dalam proses perumusan Perda. Persentase keterlibatan pengusaha dalam perumusan regulasi dapat dilihat pada Tabel 25. Ketika responden perusahaan ditanya mengenai mudah tidaknya menduga perubahan peraturankebijakan yang berhubungan dengan dunia usaha, banyak yang mengatakan antara agak sulit diduga, sampai tidak dapat diduga sama sekali, terutama di Kutai Kartanegara dan di Sukoharjo. Sedangkan untuk di Kabupaten Solok ada kecenderungan perubahan peraturan mungkin bisa diduga dan sangat mudah diduga, karena ada sekitar 47 responden yang mengatakan demikian Tabel 26 Tabel 25. Keterlibatan Pengusaha dalam Perumusan Regulasi Jawaban Kukar Solok Sukoharjo Tidak ada 20.00 3.23 Amat Jarang 10.00 3.33 6.45 Jarang 40.00 23.33 61.29 Sering 26.67 13.33 29.03 Hampir Selalu 16.67 Selalu 3.33 43.33 Total 100.00 100.00 100.00 Sumber : Hasil Survei Lapangan, 2007 Tabel 26. Persentase Respons Pengusaha terhadap Perubahan Kebijakan Keterangan Kukar Solok Sukoharjo Tidak dapat diduga sama sekali 20.0 16.7 9.7 Sangat sulit diduga 23.3 10.0 Agak sulit di duga 20.0 26.7 45.2 Ada kemungkinan bisa diduga 26.7 16.7 29.0 Sangat mudah diduga 3.3 30.0 16.1 Sepenuhnya dapat diduga 6.7 Total 100 100.0 100 Sumber : Hasil Survei Lapangan, 2007 Uraian kualitatif dan temuan kuantitatif mengenai keterlibatan dan persepsi berbagai pemangku kepentingan terhadap perumusan dan sosialisasi Perda sebagaimana telah dibahas di atas dapat memberikan gambaran kualitas perumusan perda yang menyangkut perizinan usaha. Untuk Kabupaten Solok boleh dikatakan perumusan perda yang dihasilkan serta sosialisasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten Solok relatif lebih baik dibandingkan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Kukar. Yang paling buruk adalah Kabupaten Kukar. Hal ini konsisten dengan penilaian yang diberikan oleh KPPOD tahun 2005 dalam soal kelembagaan di mana Kabupaten Solok dinilai sangat baik dengan nilai A, sementara Sukoharjo dan Kukar dinilai agak buruk dengan nilai C.

7.4.3. Kualitas Pelaksanaan Perizinan Usaha di Kabupaten Solok,