yang sudah terlanjur diterima anggota DPRD dikembalikan ke kas daerah. Tidak ada yang bisa menjamin hal tersbut.
Kasus penanganan lumpur Lapindo menunjukkan betapa lemahnya presiden dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan kepentingan bisnis
pengusaha yang duduk dalam kabinetnya. Sementara skandal PP 37 menunjukkan lemahnya kepemimpinan SBY dalam menghadapi lobi DPR dan
DPRD. Dalam konteks otonomi daerah PP 372006 ini mencerminkan lemahnya administrasi-politik dari pusat yang menyangkut rumusan regulasi pelaksanaan
otonomi daerah. Diperkirakan masih banyak PP atau Keputusan menteri yang terkait regulasi otonomi daerah yang kemudian menimbulkan masalah
24
. Dua kasus di atas hanyalah sekedar contoh yang kemudian mendapat perhatian luas
dari masyarakat. Diperkirakan masih banyak contoh-contoh lain, di mana para pengusaha tersebut mampu mendikte SBY dalam perumusan kebijakan publik
baik lewat jabatan menteri maupun melalui tekanan dari DPR atau DPRD.
5.3. Dari Orde Baru ke Era Reformasi : Pola Korupsi dan Kinerja
Perekonomian
Dari uraian sub bab 5.1 dan 5.2 di atas terlihat bahwa, walaupun derajat korupsi pada era Orde Baru dan Era Reformasi relatif tidak berbeda dan kedua
model korupsi tersebut sama-sama menggunakan regulasi sebagai pintu masuk melakukan korupsi, tetapi pola korupsi antara keduanya tidak bisa disamakan.
Pola korupsi zaman Orde Baru adalah model korupsi kleptokrasi, di mana Presiden Soeharto waktu itu menjadi pengatur dan pengendali kehidupan sosial
ekonomi dan politik. Dengan kata lain, korupsi ada dalam kendali Soeharto. Sementara pola korupsi pada Era Reformasi adalah model korupsi di mana
negara di dominasi oleh swasta. Pada era Orde Baru kepemimpinan Soeharto sangat kuat, sedangkan pada Era Reformasi kepemimpinan sangat lemah,
terutama pemerintahan SBY-JK saat ini. Dengan kepemimpinan yang lemah inilah kemudian swasta menjadi lebih dominan mengatur kehidupan ekonomi
dan politik negara, melalui jabatan publik dalam pemerintahan SBY-JK.
24
Secara lebih mendalam dan rinci, PP dan Keputusan Menteri yang berdampak terhadap otonomi daerah ini akan dibahas pada Bab VI.
Perbedaan pola korupsi dan kualitas kepemimpinan antara pemerintahan Orde Baru dengan pemerintahan Era Reformasi tersebut memberikan implikasi
yang berbeda terhadap kinerja pembangunan ekonomi Indonesia. Sebagaimana disajikan pada Tabel 5, kinerja pembangunan ekonomi relatif cukup baik,
walaupun derajat korupsi di era Orde Baru sangat tinggi. Sementara di Era Reformasi korupsi juga merajalela dan kinerja pembangunan ekonomi
memburuk. Pertumbuhan ekonomi pada era Orde Baru mencapai rata-rata 7.5 per tahun. Sementara pertumbuhan ekonomi pada era reformasi masih berkisar
antara 5 - 6.5. Angka kemiskinan yang pada tahun 1980 mencapai 28.56 menurun menjadi 11.34 pada tahun 1996. Sementara pada Era
Reformasi angka kemiskinan masih tetap tinggi yaitu menjadi 17.75 pada tahun 2006. Di era Orde Baru pengangguran juga cukup rendah hanya sekitar
4.89 pada tahun 1996. Sementara pada tahun 2005, pengangguran diperkirakan mencapai 11.24 atau hampir 12 juta orang.
Tabel 5. Indikator Kinerja Perekonomian Indonesia dari Era Orde Baru sampai Era Reformasi
Tingkat Pengangguran Era Tahun
Pertumbuhan Ekonomi
Angka Kemiskinan
Persen Jumlah Orang
1976 6.89 40.08 -
- 1980 9.88 28.56
- -
1990 7.24
15.08 2.51
1 951 702 1996
7.82 11.34
4.89 4 407 769
1997 4.78
17.18 4.68
4 275 155 Orde Baru
1998 -13.10
26.87 5.46
5 062 483 1999
0.85 23.43
6.36 6 030 319
2003 4.35
17.42 9.50
9 531 090 2004
7.16 16.60
9.86 10 251 300
2005 5.00
15.97 11.24
11 899 266 2006
6.11 17.75
10.28 10 932 000
Era Reformasi
2007 6.19 -
- -
Sumber : BPS, beberapa tahun penerbitan Dari Tabel 5, juga terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi pada era Orde
Baru relatif mampu mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Sementara pada Era Reformasi, kualitas pertumbuhan ekonomi memburuk, karena pertumbuhan
ekonomi meningkat, tetapi kemiskinan dan pengangguran bertambah. Pada era
Orde Baru, harga-harga kebutuhan pokok relatif stabil dan terjangkau, sementara pada era Reformasi, terutama dua tahun terakhir harga-harga
cenderung meningkat dengan tingkatan yang lebih besar Lihat Gambar 4.
0.00 20.00
40.00 60.00
80.00 100.00
120.00 140.00
160.00 180.00
200.00
19 90Q
1 19
90Q 4
19 91Q
3 19
92Q 2
19 93Q
1 19
93Q 4
19 94Q
3 19
95Q 2
19 96Q
1 19
96Q 4
19 97Q
3 19
98Q 2
19 99Q
1 19
99Q 4
20 00Q
3 20
01Q 2
20 02Q
1 20
02Q 4
20 03Q
3 20
04Q 2
20 05Q
1 20
05Q 4
20 06Q
3
IH K
Gambar 4. Kecenderungan Kenaikan Indeks Harga Konsumen Periode 1990 -2006
Sumber : LPEM FEUI, 2007
Dengan trilogi pembangunannya yaitu 1 pertumbuhan ekonomi yang tinggi, 2 pemerataan hasil-hasil pembangunan, dan 3 stabilitas politik dan
keamanan, Orde Baru berhasil membuat kinerja perekonomian yang relatif baik. Itulah mengapa walaupun kebebasan politik rakyat, kebebasan pers, partisipasi
politik rakyat dihambat dan tokoh politik serta mahasiswa yang “vokal” meneriakan kebebasan dan demokrasi dibungkam, tetapi pada zaman Orde Baru
rakyat merasa mudah mencari penghidupan, karena lapangan kerja cukup terbuka dan harga barang terjangkau. Korupsi memang merajalela, tetapi rakyat
mudah mencari penghidupan. Hal ini mengisyaratkan adanya fenomena korupsi yang “menetes” ke bawah.
Sementara itu di Era Reformasi saat ini, kebebasan politik, kebebasan pers, transparansi dan akuntabilitas sering digembar-gemborkan. Tetapi
faktanya rakyat merasa hidupnya tambah sulit. Proses demokratisasi baru sebatas
demokrasi prosedural, di mana pengusaha yang duduk dalam elite kekuasaan berusaha mengeruk rente sebesar-besarnya. Korupsi merajalela dan tidak
“menetes” ke bawah, sehingga muncul kecenderungan, yang kaya tambah kaya dan yang miskin semakin miskin. Laporan majalah Forbes Asia edisi bulan
Desember 2007 menunjukkan kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat besar. Dalam daftar 40 orang terkaya di
Indonesia tersebut terdapat Abu Rizal Bakrie dan keluarga di urutan pertama dengan kekayaan 5.4 miliar USD. Aksa Mahmud dan Yusuf Kalla masing-
masing berada di urutan ke-24 dan ke-30 dengan kekayaan masing-masing sebesar 340 juta USD dan 230 juta USD
25
. Faisal Basri menulis di Kompas, 14 Januari 2008 tentang bagaimana usaha berbagai kelompok usaha yang pada
tahun 1998 dihantam krisis dengan cepat bisa pulih usahanya. Berikut petikan paragraf dari tulisan dengan judul “Usaha Kecil Guncang” tersebut :
“Dalam kurun waktu singkat, banyak dari usaha mereka segar bugar kembali, bahkan telah menjelma menjadi kekuatan yang jauh
lebih besar ketimbang pada masa prakrisis. Aset-aset lama mereka kuasai kembali dengan tebusan sangat murah setelah dicuci
bersih di Badan Penyehatan Perbankan Nasional sehingga terbebas dari berbagai jenis kewajiban kepada pihak ketiga. Segala
biaya yang dibenamkan untuk menyelamatkan perbankan dan pengusaha hingga kini telah mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun,
yang semuanya ditanggung rakyat. Sebagian lagi masuk ke relung- relung kekuasaan untuk menghirup darah segar baru lewat konsesi
dan fasilitas baru dan bentuk-bentuk praktik pemburuan rente gaya lama”
Data indeks Gini yang disajikan pada Gambar 5, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2003 – 2007, ketimpangan pendapatan masyarakat
meningkat cukup tajam yang ditunjukkan oleh membesarnya indeks Gini dari 0.316 pada tahun 2003 menjadi 0.376 pada tahun 2007. Indeks ukuran
ketimpangan pendapatan tahun 2007 ini bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1995 yang hanya 0.327. Secara kualitatif ukuran ketimpangan ini, bisa
disimak dalam beberapa berita di media massa akhir-akhir ini yang isinya sangat kontras dengan bertambahnya kekayaan pejabat publik yang diuraikan
sebelumnya. Kemiskinan yang menimpa korban lumpur Lapindo di Sidoarjo
25
Lihat http:www.wikimu.comNewsDisplayNews.aspx?id=5480
dan adanya penduduk yang makan nasi “aking” adalah sedikit contoh ketimpangan yang makin membesar.
Gambar 5. Perkembangan Indeks Gini Indonesia, 1994-2007 Sumber : Data BPS, beberapa tahun penerbitan
Ketimpangan tersebut makin tergambar jelas, jika kita simak petikan paragraf yang ditulis oleh Faisal Basri di Kompas, 14 Januari 2008 berikut:
“…….belakangan ini daya beli masyarakat berpendapatan menengah ke bawah cenderung terseok-seok. Kecenderungan
tersebut sangat kentara sejak tahun 2006, terutama di Jawa. Kemerosotan daya beli tercermin dari penurunan upah riil buruh
tani di Jawa dan pekerja informal. Pada tahun 2007 berdasarkan data bulan Desember tahun 2007, dari tiga jenis kegiatan sektor
informal, hanya upah riil buruh bangunan yang meningkat, itu pun hanya naik 0,75 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Ternyata kemerosotan upah riil sudah merembet ke sektor industri manufaktur, bahkan dengan kondisi yang lebih parah. Data
terakhir menunjukkan, upah nominal di tiga jenis industri padat karya yang tersedia seluruhnya merosot. Ketiga industri tersebut
adalah industri rokok, industri pakaian jadi, dan industri batu bataubin. Dengan demikian, bisa kita bayangkan, betapa
kemerosotan daya beli praktis telah terjadi merata di kalangan masyarakat berpendapatan rendah” .
Studi ini tidak berpretensi untuk menyimpulkan bahwa korupsi pada era Orde Baru lebih baik dari pada korupsi pada Era Reformasi. Apa yang ingin
disampaikan adalah bahwa korupsi yang terjadi saat ini mempunyai konsekuensi yang sangat serius terhadap buruknya kinerja pembangunan
ekonomi. Jika hal tersebut terus terjadi dan ketimpangan terus membesar sebagai akibat dari korupsi yang merajalela di kalangan elite pejabat-pengusaha, maka
bukan tidak mungkin akan terjadi revolusi sosial.
5.4. Simpulan