V. EKONOMI POLITIK KORUPSI NASIONAL DAN FAKTOR BUDAYA YANG MEMPENGARUHINYA :
SOFISTIKASI STRUKTUR RENTE WARISAN ORDE BARU
5.1. Ekonomi Politik Korupsi dan Faktor Budaya Pemicu Korupsi di Era
Orde Baru
Tidak bisa dipungkiri bahwa korupsi yang meluas di tingkat nasional dan berbagai daerah saat ini, tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan perkembangan
perjalanan Bangsa Indonesia dari mulai zaman kerajaan-kerajaan, penjajahan kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi saat ini. Tumbuh
suburnya perilaku suap-menyuap terkait dengan warisan kondisi historis kultural yang telah berjalan berabad-abad akibat represi yang dilakukan oleh
penjajah
1
. Akibatnya secara terus menerus masyarakat dan penguasa birokrasi terbiasa dengan upeti, uang sogokan untuk menjaga loyalitas terhadap atasan
atau penguasa. Akibat penjajahan Belanda, muncul sikap mental priyayi.
Koentjaraningrat 1974 mengidentifikasi bahwa mentalitas priyayi menganggap bahwa tujuan dari bekerja adalah untuk kebahagiaan yang terwujud dalam
kedudukan yang tinggi, kekuasaan dan pemilikan lambang-lambang kekayaaan seperti rumah mewah, pakaian mewah, mobil mentereng dan seterusnya. Hal
ini, jika diterapkan di birokrasi maka akan menghasilkan program-program fisik sebagai simbol dan gengsi sosial yang kurang bermanfaat bagi karya produktif
yakni peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat luas. Sikap mental priyayi juga akan berpengaruh pada pola perasaan tentang
kesalahan. Bila dia bersalah, asal tidak ketahuan, sehingga tidak menggoyahkan kedudukannya dan dia tidak terganggu oleh perasaaan menyesal. Jika kita lihat
keadaan sekarang, apa yang diidentifikasi oleh Koentjaraningrat ini banyak benarnya. Banyak mantan pejabat pada masa Orde Baru yang diduga melakukan
korupsi, tanpa merasa bersalah dan perasaan malu, malah menduduki posisi penting jabatan publik saat ini. Hal ini sangat berbeda dengan budaya bersalah
guilt culture bangsa Jepang yang memilih bunuh diri harakiri karena malu
1
Lihat Alatas dalam Damanhuri, 2006. Triesman 2000 menujukkan bahwa negara-negara yang dijajah oleh Belanda mengalami tingkat korupsi yang lebih besar dibandingkan negara-
negara yang dijajah oleh Inggris.
telah melakukan kesalahan shame culture dan kebudayaan Barat Eropa yang terus terganggu oleh perasaan bersalah budaya dosa yang mendalam
Benedict,1946 dalam Zainuri, 2007 Mentalitas priyayi juga beranggapan bahwa segala tindakan harus
diarahkan untuk pelayanan dan penghormatan pada atasan, senior, dan pemimpin. Atasan harus dihormati dan dilayani. Jiwa feodal ini menyebabkan
seorang bawahan akan merasa mulia bila mampu memberi pelayanan terbaik pada atasan, dan pada tahap tertentu, adalah kebanggaan bila bawahan memberi
cinderamata dan bingkisan kepada atasan. Sikap mental yang diuraikan diatas, sebagaimana dijelaskan oleh
Koentjaraningrat 1974 berakar pada budaya feodalistik dan paternalistik yang berkembang pada masa-masa kerajaan dan pada masa kolonial. Mentalitas
birokrasi waktu itu lebih menonjolkan sikap sebagai seorang aristokrat priyayi. Aparat birokrasi waktu itu lebih memposisikan diri sebagai penguasa yang
harus dilayani daripada melayani masyarakat sehingga, pemerintahan diurus dengan tanpa akuntabilitas publik dan jauh dari kepentingan publik. Di sinilah
awal terjadinya praktek kolusi dan korupsi di kalangan aparat birokrasi. Tumbuhnya kultur korup birokrasi merupakan ekses dari adanya sikap mental
aristrokat di kalangan birokrasi yang ingin dilayani dan dihormati. Berkembangnya sikap feodalisme di dalam tubuh birokrasi kolonial
waktu itu, berakibat pada akuntabilitas birokasi hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya, bukan kepada publik. Demikian pula loyalitas dan pertanggung
jawaban aparat di tingkat bawah semata-mata hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya. Prestasi kerja hanya dinilai dari loyalitas bawahan terhadap atasan.
Akibatnya bawahan akan selalu menjaga kepuasan pimpinan sehingga memunculkan budaya kerja yang selalu menyenangkan pimpinan, seperti
membuat laporan yang menyenangkan pimpinan tanpa berdasar fakta, berlomba- lomba menghormati pimpinan secara berlebihan guna mengambil hati pimpinan
dengan cara pemberian parsel, cinderamata, uang dan segala sesuatu yang menjadi kesenangan pimpinan.
Pembentukan etos kerja juga mengalami feodalisasi, penyelesaian tugas menunggu petunjuk pimpinan, munculnya citra image bahwa pimpinan selalu
bertindak benar, pimpinan tidak dapat disalahkan. Bawahan yang tidak loyal dan tunduk pada perintah pimpinan dianggap “mbalelo”. Akhirnya yang
muncul adalah sifat inferior dalam diri seorang bawahan dan sifat superior dalam diri seorang atasan dan menyebabkan sikap paternalistik. Akibatnya ada
rasa enggan atau ewuh pakewuh muncul dari pegawai bawahan dan masyarakat, bahkan disertai rasa hormat yang berlebihan kepada pejabat birokrasi, seperti
gubernur, bupati atau walikota. Dalam menjalankan tugas selalu minta petunjuk atasan. Masih lengket dalam ingatan kita bagaimana budaya
paternalistik ini tumbuh subur pada zaman Orde Baru. Hal ini ditunjukkan oleh Menteri Penerangan zaman Orde Baru, di mana dalam setiap kesempatan selalu
mengucap “menurut petunjuk Bapak Presiden”. Budaya paternalistik dan ewuh pakewuh
ini juga membawa akibat pada tidak beraninya bawahan atau atasan mengemukakan pendapat secara terang-terangan, sehingga seringkali sesuatu
yang sangat jelas dibuat menjadi ‘kabur’. Sebagai contoh misal dalam soal kenaikan harga yang sudah jelas bahwa harga memang dinaikkan, tetapi
disamarkan dengan menggunakan harga “disesuaikan”. Hal demikian
merupakan budaya koruptif. Budaya feodalistik yang mewarnai birokrasi tersebut pada masa Orde
Baru makin tumbuh subur, seiring dengan makin berkembangnya sistem politik yang berbasis pada budaya politik Jawa. Kondisi ini tidak lepas dari figur
Presiden Soeharto waktu itu, yang berasal dari Jawa dengan mengadopsi kepemimpinan model kerajaan Jawa yang salah kaprah. Model budaya Jawa
yang menganut prinsip “mikul dhuwur mendhem jero” mengangkat tinggi dan mengubur dalam-dalam, menyebar keseluruh daerah bersamaan dengan
ditempatkannya orang-orang Jawa di posisi penting birokrasi di berbagai daerah. Prinsip budaya “mikul dhuwur mendem jero” ini biasanya digunakan oleh anak
untuk memuliakan orang tua. Tetapi faktanya prinsip ini juga digunakan dalam birokrasi zaman Orde Baru, dimana yang dimuliakan adalah atasan dan yang
memuliakan adalah bawahan. Akibatnya, hanya keberhasilan-keberhasilan pimpinan saja yang diungkap, sementara jika pimpinan melakukan kesalahan
maka kesalahan ini harus disembunyikan dalam-dalam. Hal inilah yang kemudian menyebabkan berbagai praktek bad governance, karena pimpinan
menjadi tidak accountable dan tidak transparans dalam mengelola kebijakan publik dan akhirnya memicu korupsi. Hegemoni budaya Jawa sedemikian ini
tumbuh subur dalam praktek birokrasi zaman Orde Baru. Budaya feodalistik dan paternalistik tersebut sebenarnya merupakan
pengejawantahan budaya birokrasi patrimonial. Birokrasi patrimonial ini bersandarkan diri pada tiga unsur yakni klientisme, kaburnya wilayah publik
dengan wilayah pribadi private, dan kultur nonrasional. Klientisme merujuk pada pola hubungan kekuasaan yang dibangun oleh penguasa dan lingkungan
sekitarnya. Dalam birokrasi modern, pusat loyalitas ada pada impersonal order hukum. Namun dalam birokrasi klientisme, loyalitas ada pada diri penguasa.
Dalam birokrasi modern, pembagian wewenang yang dihormati seperti yang digariskan dalam trias politika eksekutif, legislatif, yudikatif. Tetapi dalam
klientisme, penguasa mengintervensi wewenang legislatif dan yudikatif. Dalam budaya patrimonial, hubungan antara pimpinan dan bawahan bersifat
patron-klien dan loyalitas penguasa diikat oleh karisma individu ataupun imbalan berupa materi ekonomi yang didistribusikan secara tertutup. Dalam
birokrasi patrimonial, banyak ditemui ada pengusaha yang “dipelihara” oleh penguasa. Pengusaha ini diberi perlindungan politik serta mendapat fasilitas
kemudahan dalam mengembangkan jejaring rentenya. Sebagai imbalannya mereka menyetor dana dalam jumlah yang sangat besar bagi kas politik
penguasa untuk menjalankan politik patrimonialnya. Dalam budaya modern, wilayah publik dan wilayah pribadi sangat
terpisah. Sedangkan dalam birokrasi yang patrimonial, batas wilayah publik dengan wilayah privat dibuat kabur. Kaburnya batas wilayah publik dengan
wilayah pribadi inilah yang menjadi sumber maraknya korupsi di negara yang bergaya patrimonial. Budaya patrimonial yang ada dalam birokrasi di Indonesia
masa Orde Baru dicerminkan oleh pola-pola rekrutmen politik yang umumnya masih berbasis patron-client. Rekrutmen ini tidak hanya rekrutmen pejabat
birokrasi, perusahaan negara, pejabat polisi, tetapi juga rekrutmen pejabat militer. Dan dalam relasi patron–client, rente adalah “bahan bakar” sekaligus
pelumas yang menghidupi dan memperlancar, termasuk dalam pencapaian target-target kekuasaan dan politik Simanjuntak, 2005.
Melalui penerapan sistem politik sentralistik dan hegemoni, penyeragaman diberlakukan di lingkungan birokrasi pemerintah di era Orde
Baru. Loyalitas para aparat birokrasi pemerintah ditujukan kepada negara dan pemerintah, bukan kepada rakyat. Politik penyeragaman dan membangun
loyalitas birokrat tersebut merupakan embrio bagi munculnya penyeragaman aspirasi dan kepentingan politik birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk
mendukung Golkar waktu itu atau mendukung kekuasaan
2
. Sentralisasi birokrasi pada masa Orde Baru telah menyebabkan
parkinsonisasi birokrasi yang menyebabkan terjadinya patologi dalam bentuk tindakan penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh
birokrasi. Elite birokrasi menempatkan dirinya lebih dari pada masyarakat dan menempatkan dirinya lebih tinggi dari masyarakat, sehingga mereka perlu
dihormati dan dihargai karena merupakan figur yang berkuasa, yang dapat menentukan nasib orang lain.
Perilaku elite birokrasi demikian makin nyata setelah birokrasi digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan oleh oligarki Orde Baru. Melalui tiga kaki
oligarkinya Orde Baru berhasil menguasai dan mengendalikan seluruh jajaran birokrasi mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Ketiga kaki oligarki
Orde Baru tersebut adalah istana pengusaha kroni Presiden Soeharto, tangsi militer dan partai politik penguasa Golkar. Dengan ketiga jalurnya yakni
Jalur A ABRI, Jalur B birokrasi dan Jalur G kader Golkar yang berasal dari ormas pendiri Golkar yakni MKGR, KOSGORO dan SOKSI, partai penguasa
ini menjadi benteng yang sakti dalam melindungi bisnis istana dan sekaligus men-sipil-kan bisnis keluarga Soeharto
3
. Birokrasi baik di tingkat pusat maupun di daerah sebagai pengatur
alokasi dan distribusi sumber daya negara serta sebagai pengatur kegiatan ekonomi praktis dikuasai dan dikendalikan oleh oligarki tersebut. Bahkan
lembaga legislatif di pusat DPR dan di daerah DPRD semua dalam kendali oligarki tersebut. Pemilu memang setiap lima tahun dilaksanakan dan setiap
lima tahun pula hasilnya sudah bisa dipastikan. Pada masa ini DPR dan DPRD
2
Lihat Dwiyanto, et al 2005
3
Lihat Aditjondro 2006, halaman 7-16
dikuasai oleh Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI
4
. Bahkan untuk menjamin dominasi Golkar pada tahun 1985 disahkanlah UU yang berimplikasi pada
meningkatnya jumlah anggota DPR dari 470 menjadi 500. Hal ini menyebabkan jumlah para “wakil rakyat” yang diangkat oleh pemerintah menjadi lebih
banyak
5
. Lembaga-lembaga legislatif hasil bentukan Orde Baru tersebut hanya
berfungsi untuk legitimasi kekuasaan saja. Semua kebijakan, UU, bahkan proyek-proyek pembangunan lewat APBN dan APBD di daerah semua dalam
kendali eksekutif yang dikuasai oleh jejaring rente oligarki tersebut. Lewat kekuasaan yang sentralistik dan mayoritas tunggal partai Golkar serta didukung
oleh militer, semua pejabat di pusat yakni di departemen-departemen dan di daerah baik itu Gubernur dan BupatiWalikota dikendalikan dan diatur oleh
Presiden bersama keluarga dan kroninya. Sudah menjadi hal yang lumrah waktu itu kalau Bupati dan Gubernur berasal dari militer, agar oligarkinya tetap kuat
sampai ke daerah. Oleh karena itu, mana kala di suatu daerah muncul Kepala Daerah yang dipilih DPRD tidak sesuai dengan skenario oligarki ini, maka
melalui tangan Menteri Dalam Negeri, hal tersebut dapat dibatalkan. Sekedar memberikan contoh bagaimana Orde Baru mengendalikan pejabat di daerah
adalah pemilihan Bupati Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan pada tahun 1996
6
. Untuk memperoleh dukungan militer yang makin besar dalam birokrasi
dan oligarkinya, di samping memberikan jabatan kepada para petinggi militer dalam jabatan sipil, banyak militer yang telah diikat kesetiaannya pada keluarga
batih Soeharto melalui perkongsian bisnis milik keluarga Soeharto dengan yayasan-yayasan milik satuan-satuan TNI dan POLRI. Keterkaitan antara
berbagai perusahaan negara BUMN, perusahan militer dan perusahaan Soeharto menyebabkan makin kuatnya oligarki tersebut, sehingga mampu
menguasai dan mengatur serta mengendalikan seluruh sektor ekonomi negara dan swasta di Indonesia.
Sebagai contoh adalah dalam hal pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam. Hak pemanfaatan sumber daya alam, seperti kehutanan dan
4
Saat itu lewat dwi fungsinya, ABRI terlibat dalam aktivitas politik
5
Lihat Elson 2001
6
Lihat Majalah Gatra, Edisi 18 Mei 1996
pertambangan selama pemerintahan Orde Baru diatur dan dikendalikan oleh oligarki tersebut melalui tangan-tangan di pusat-pusat pemerintahan. Akibatnya
Orde Baru dengan oligarkinya merajalela membangun struktur jejaring rente yang kian hari kian kuat. Alih-alih kebijakan ekonomi yang diterapkan dari
pusat sampai daerah berpihak kepada rakyat, malahan praktis semua kebijakan baik itu melalui APBN maupun pengelolaan sumber daya alam selalu berpihak
dan menguntungkan individu-individu yang ada dalam tiga kekuatan oligarki tersebut.
Dalam konteks teori Representative Government Breton, 1974 dimana aturan dan kebijakan merupakan hasil bakumain interplay antara pemerintah,
perusahaan swasta dan masyarakat umum, maka apa yang terjadi pada masa Orde Baru adalah dominannya oligarki tersebut yakni istana, tangsi dan partai
penguasa yang menguasai seluruh pemerintahan dalam mengatur dan mengambilan kebijakan serta menyusun regulasi. Dengan demikian mereka
berperan sebagai pemasok supplier dan sekaligus peminta demander dari suatu regulasi, sehingga dipastikan adanya konflik kepentingan conflict of
interest . Dan seperti yang diperkirakan oleh Breton 1974, pola demikian
akan mengakibatkan semua keputusan, kebijakan dan regulasi akan berpihak kepada kepentingan oligarki tersebut. Sementara masyarakat umum sama sekali
tidak punya akses dalam penentuan kebijakan dan regulasi pembangunan dan akhirnya menjadi “obyek penderita”.
Dalam konteks teori ekonomi politik Breton, 1974; Stvens, 1993 , model yang berlaku pada Orde Baru adalah model pemerintahan administratif
administrative government, di mana birokrasi mendominasi semua keputusan kebijakan publik. Bahkan lembaga legislatif hanya dijadikan sebagai alat
legitimasi birokrasi dalam mengambil kebijakan publik. Akhirnya yang berlaku pada waktu itu adalah munculnya segitiga besi oligarchy antara birokrasi
eksekutif – militer – kelompok kepentingan, dimana birokrasi dan kelompok kepentingan jejaring rente Orde Baru mendominasi dalam setiap kebijakan
publik. Munculnya subgovernment dengan segitiga besi iron triangle memberikan suatu keadaan di mana partisipasi yang sangat dihambat, stabilitas
yang mempertahankan status quo, dan pengambilan keputusan yang terpusat
pada elite birokrasi. Jadi sub government merupakan bukti bahwa sistem pengambilan kebijakan yang berorientasi kolektif sangat kurang dan tidak
mendorong pemerintahan yang demokratis representative atau cenderung kediktatoran. Seperti yang diprediksi oleh model Buchanan dan Tullock 1962,
pengambilan keputusan bersama yang demikian, akan memunculkan biaya eksternalitas yang sangat mahal. Birokrasi menjelma seperti tukang sihir yang
jahat wicked witch model sebagaimana diduga oleh Niskanen atau yang oleh Buchanan 1989 disebut sebagai ‘Leviathan’ semacam ikan paus yang besar.
Akibatnya pada era Pemerintahan Orde Baru, korupsi tumbuh subur melalui jalur birokrasi agen pemerintah, pejabat bersama dengan individu dan
kelompok yang ada dalam oligarki Orde Baru tersebut. Pada dekade awal kekuasaan Orde Baru hubungan antara pengusaha dan
birokrat sering diistilahkan sebagai hubungan usaha Ali Baba, di mana Ali yang pejabat dan Baba yang pemodal. Lewat hubungan ini kontrak-kontrak dalam
APBN dan lisensi-lisensi impor diberikan oleh Ali yang pejabat dan Baba yang pemodal, yang sekaligus keluarga dekat dan kroni Soeharto. Model usaha Ali
Baba ini terus berlangsung karena pada akhirnya pengusaha-pengusaha yang terlibat hubungan usaha Ali Baba ini menjadi salah satu kaki dari kekuatan
oligarki Orde Baru yang berfungsi sebagai penyandang dana politik political financiers
. Model usaha Ali Baba ini juga kemudian meluas dalam kontrak- kontrak APBN. Dalam hal pengelolaan keuangan negara melalui APBN, korupsi
dilakukan dengan melakukan kolusi antara birokrat pejabat dengan pengusaha. Program-program pembangunan dan kebijakan yang disusun tersebut merupakan
hasil kolusi antara birokrat-pengusaha yang ingin mencuri uang negara melalui jejaring rente. Cara yang dilakukan adalah ikut sertanya pejabat tertentu
dengan perusahaan yang memenangkan tender proyek dari APBN, karena jasa pejabat tersebut. Imbalannya atau uang sogokannya adalah berupa dana yang
berupa persentase dari nilai proyek di APBN hingga jatah saham bagi pejabat yang bersangkutan di perusahaan tersebut. Lewat jatah saham tersebut, pejabat-
pejabat banyak yang menduduki dewan komisaris atau dewan direksi, sehingga mereka secara terus-menerus dapat mengeruk keuntungan tanpa terlibat
langsung dalam roda bisnis perusahaan. Dengan cara demikian maka lahirlah birokrat- pengusaha
7
. Dalam pengelolaan sumber daya alam dan kebijakan pengaturan
ekonomi, terjadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk membela dan menguntungkan individu atau kelompok yang ada dalam tiga kekuatan oligarki
tersebut. Dalam pengelolaan hutan misalnya bagaimana keluarga dan kroni Soeharto melalui Kepres dan Departemen Kehutanan menggasak kekayaan
hutan Indonesia. Sebut saja BH, pada masa pemerintahan Soeharto. Melalui berbagai manipulasi regulasi melalui pemberian konsesi perizinan HPH,
melalui RKT Rencana Kerja Tahunan dan RKL Rencana Kerja Lima Tahunan, melalui Timber Cruising, menunggak dan memalsu dana reboisasi,
dan sebagainya, kekayaan hutan dikeruk oleh kroni dan anak-anaknya Soeharto
8
. Lewat Kasus yang terakhir inilah BH dengan PT MPD yang dimilikinya terlibat dalam penggelapan dana rebosiasi dan dana pemetaan hutan
antara tahun 1986-1988. Pola korupsi dengan menggunakan regulasi berupa Kepres dan lain-lain
yang dilakukan oleh kroni Soeharto ini dari sisi budaya didorong oleh sikap ingin mencapai tujuan dengan cepat dan tak ingin berusaha selangkah demi
selangkah. Sehingga yang terjadi adalah sikap mentalitas menerabas atau sikap mental jalan pintas. Mental ini memang bukan hanya dimiliki sebagian besar
bangsa Indonesia, tetapi juga banyak dijumpai di negara lain. Tetapi mentalitas demikian kemudian memperoleh peluang yang lebih besar karena mempunyai
akses kekuasaan dan politik. Di tingkat pusat sebut saja Keputusan Presiden No 441987 yang
memberikan wewenang perusahaan Nyonya SHR untuk membangun dan mengoperasikan jalan-jalan tol di seluruh negeri. Keputusan Presiden No
41996 yang menunjuk BPPC yang diketuai oleh HMP untuk memonopoli pembelian dan penjualan cengkeh di Indonesia. Keputusan Presiden No 861994
dan No 141997 yang menunjuk sebuah perusahaan milik bersama BT dan HMP sebagai distributor tunggal bahan peledak produksi perusahaan milik
7
Lihat ICW ,2002, halaman 42.
8
Lihat Laporan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2000 dalam Tempo, Edisi 3-9 April 2000.
negara. Juga Kepres tentang Mobil Nasional yang menunjuk perusahaan HMP sebagai pelaksana proyek tersebut yang bekerjasama dengan PT KIA dari
Korea. Contoh di atas hanya sekedar memberikan gambaran saja dan masih banyak lagi perilaku rent seeking keluarga cendana dan kroninya yang
menggunakan keputusan presiden atau pemerintah. Pada level daerah perilaku korupsi dengan pola oligarki Soeharto pada
masa Orde Baru juga tidak kalah banyak. Sebagaimana yang pernah diungkap oleh SMERU 1999 keluarga dan kroni Soeharto menekan Kepala Daerah
terutama Gubernur untuk membuat SK Gubernur dan sejenisnya demi kepentingan usaha kroni dan keluarga Soeharto. Misalnya dalam soal
perdagangan jeruk di Kalimantan Barat Kalbar. Pada tahun 1991 Gubernur Kalbar mengeluarkan surat keputusan SK yang menunjuk PT BCM sebagai
koordinator perdagangan jeruk di Kalbar. Semua jeruk harus dijual melalui KUD yang kemudian menjualnya kepada pedagang pengumpul yang telah
ditentukan. Pedagang Pengumpul selanjutnya harus menjual kepada PT BCM untuk perdagangan antar pulau, khususnya ke Pulau Jawa.
Contoh lain misalnya dalam soal pemrosesan Teh di Jawa Barat. Kelompok usaha NSB milik BH yang merupakan kroni Keluarga Cendana
membangun empat pabrik pemrosesan di Jawa Barat. Pada hal jumlah pabrik teh kecil dan menegah di Jawa Barat waktu itu sudah kelebihan kapasitas,
terutama disebabkan menurunnya areal perkebunan teh. Investasi PT NSB hanya berupa pabrik, tanpa membangun perkebunan. Petani dan pedagang
pengumpul menolak menjual pucuk teh ke Pabrik tersebut karena harga yang lebih rendah dibandingkan yang ditawarkan di Pabrik lainnya. Oleh karena itu,
kelompok usaha NSB minta tolong kepada pemerintah melalui dua cara agar petani menjual pucuk teh kepada pabriknya. Pertama, dengan dukungan Ditjen
Perkebunan melalui SK yang menunjuk empat pabrik Teh NSB sebagai mitra usaha petani yang memperoleh bantuan ADB melalui proyek pengembangan
budi daya teh rakyat. Dengan bantuan itu, petani terikat harus menjual pucuk tehnya kepada PT NSB sebagai pembeli monopsoni dengan harga yang
ditetapkan perusahaan. Dukungan kedua berasal dari SK Gubernur Jawa barat No 525.223671-Bonprod90, perihal peningkatan pemasukan produksi pucuk
teh ke PT Teh Nusamba Indah. SK ini secara khusus menunjuk daerah-daerah tertentu agar petani menjual pucuk tehnya hanya kepada perusahaan yang
ditunjuk. Kebijakan ini kemudian dikenal dengan istilah Rayonisasi. Selanjutnya melalui SK Bupati di beberapa daerah Kabupaten mengeluarkan
instruksi yang menyatakan agar petani yang dekat dengan PT Teh Nusamba menjual pucuk tehnya ke pabrik ini. Semua ini telah menciptakan hak
monopsoni yang makin memperkecil kesempatan petani untuk ikut merundingkan harga produknya.
Dalam konteks ekonomi politik, korupsi demikian dilakukan dengan menggunakan regulasi formal dengan cara melalui perumusan regulasi. Melihat
situasi dan kondisi yang belum menguntungkan usahanya, perusahaan- perusahaan tersebut berusaha mempengaruhi pengambil kebijakan untuk
membuat kebijakan yang berpihak kepadanya. Untuk kasus Orde Baru, dimana kelompok usaha merupakan bagian dari oligarki Orde Baru, maka dengan
mudah hal ini dilakukan. Secara politik, korupsi demikian tumbuh karena adanya monopoli bilateral antara penguasa dan pengusaha. Dalam soal SK
Gubernur dan Bupati, karena mereka bagian dari birokrasi Orde Baru, maka untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok Orde Baru waktu itu,
Gubernur bisa disuap dan ditekan. Dari sisi penyuapan Gubernur diiming- imingi untuk terus berlanjut masa jabatannya dan uang, sementara ancamannya
adalah pencabutan jabatan gubernur atau jabatan bupati. Dengan pola korupsi demikian, seolah-olah apa yang dilakukan oleh
kelompok usaha kroni Soeharto menjadi legal, karena didukung oleh keputusan legal formal oleh birokrasi ditingkat pusat maupun daerah. Dalam hal ini,
kasus demikian semacam korupsi terlegalisasi legalized corruption. Hampir semua korupsi dibungkus dengan kebijakan pemerintah. Jadi pola korupsi yang
demikian telah berkembang lama di bumi Indonesia hingga saat ini dengan pelaku yang melibatkan kekuatan politico- business oligarchy di mana didukung
oleh tiga kekuatan yaitu pengusaha hitam yang merupakan kroni dan keluarga besar cendana, militer tangsi dan birokrat yang dikuasai oleh partai
penguasa.
Menurut Syed Hussein Alatas, pakar Sosiologi Korupsi dari Singapura, Aditjondro, 2006, akibat korupsi yang dilakukan oligarki tersebut menjadikan
Indonesia suatu masyarakat yang dicirikan sebagai korupsi tingkat ke-tiga, yakni tingkat dimana korupsi yang merusak jaringan masyarakat, menjadi self
destructive . Sebagaimana digambarkan oleh Alatas: ”Korupsi merangsang
perkembangan korupsi yang lebih besar dan tingkat yang lebih jauh ini selanjutnya mendorong meningkatnya korupsi yang lebih besar lagi. Ketika
pemerasan telah meluas di kalangan pegawai negeri dan digunakan oleh polisi yang bertugas, petugas di loket, perawat di rumah sakit, ini biasanya
merupakan dampak dari korupsi sebelumnya di level yang lebih tinggi. Bagi negara yang melahirkan korupsi luas di kalangan pegawai negerinya,
dibutuhkan keberadaan situasi korupsi sebelumnya yang menyebabkan munculnya kondisi ini”
. Argumen inilah yang dapat menjelaskan mengapa pada era Orde Baru korupsi dari tingkat rendah yang dalam istilah politik disebut
suap kompetitif yang dilakukan oleh pegawai rendahan sampai korupsi tingkat tinggi yang melibatkan kontrak-kontrak besar dan melalui berbagai kebijakan
yang memberikan hak monopoli dan monopsoni, merebak di mana-mana. Dengan kondisi demikian, terjadilah apa yang disebut kapitalisasi birokrasi
yakni setiap urusan dengan birokrasi memerlukan uang tambahan sebagai sarana transaksi antara birokrasi dan masyarakat dalam pelayanan publik.
Pada tingkatan korupsi pada level birokrasi rendahan, pajak dan retribusi serta berbagai pungutan di jalan raya terhadap barang-barang yang
diperdagangkan di berbagai daerah digunakan sebagai ajang untuk melakukan korupsi
9
. Hal ini diperparah oleh tingkat gaji pegawai negeri yang demikan rendah, sehingga untuk menambah pendapatan, mereka menerima suap dengan
terlebih dulu mempersulit urusan administrasi publik. Birokrasi warisan Orde Baru inilah yang masih beroperasi di berbagai
daerah yang kemudian ikut andil dalam munculnya berbagai permasalahan
9
Lihat SMERU 1999, halaman 6-21. SMERU mencatat berbagai pungutan di jalan raya terhadap komoditi pasir dan buah-buahan di Lebak Banten. Juga terhadap ternak sapi potong
di NTT dan NTB serta di Sulawesi Selatan yang dikenai 16-24 jenis pungutan pajak dan retribusi daerah sehingga menyebabkan disparitas harga. Peternak sapi hanya menerima 69
dari harga sapi di Jakarta. Dan apa yang terjadi, pada saat otonomi daerah diimplementasikan sejak tahun 2001, pola-pola korupsi melalui ajang pungutan pajak dan retribusi ini meluas di
berbagai daerah
reformasi dan desentralisasi, khususnya korupsi. Secara faktual Orde Baru runtuh setelah Soeharto lengser, tetapi secara ekonomi dan politik, serta
pengaruh kultur birokrasi yang diwariskannya, kekuatan serta pola-pola korupsi yang telah tertanam sekian lama baik di birokrasi maupun di masyarakat masih
terus tumbuh dan berkembang biak mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat hingga saat ini.
5.2. Konfigurasi Ekonomi Politik di Level Nasional pada Era Reformasi