PERDA= BIROKRSI = DAU2005 = Korupsi Dalam Pembangunan Wilayah Suatu Kajian Ekonomi Politik Dan Budaya

Analisis berikutnya akan membahas ekonomi politik korupsi pada era desentralisasi untuk mengidentifikasi bagaimana dan mengapa persoalan- persoalan korupsi tersebut muncul dalam implementasi otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga saat ini. Untuk itu akan dilakukan analisis berbagai faktor ekonomi politik dan budaya di era desentralisasi yang memicu terjadinya korupsi di daerah kabupatenkota. Analisis yang digunakan meliputi analisis kuantitatif dan kualitatif. Dengan mengacu kepada kerangka konseptual yang digunakan dan hipotesa yang ingin diuji serta hasil studi pustaka, model kuantitatif yang dikembangkan menggunakan empat persamaan berikut : KORUPNDX = α + α 1 PERDA + α 2 LEADER + α 3 TRANSP + α 4 PARTPSI+ α 5 KD_GOLKAR+ α 6 KD_PDIP+ α 7 KD_GABBS R+ α 8 KD_GABKCL+ α 9 DAU2005+BH_TAX+PAD+ α 10 B H_SDA+ α 11 FEODAL + α 12 BATAK + α 13 D_JAWA + α 14 D_SMTR+ α 15 D_KLMTN+ α 16 D_SLWS+ α 17 D_PAPUA + α 18 D_BALI + α 19 GOLKAR + α 20 PDIP + α 21 PKS+PAN + α 22 PKB+PPP+PBB+ α 23 KORR_TTG+ α 24 MHL_NDX + α 25 HDI+ α 26 BIROKRSI+ ε 1

4.1 PERDA=

β + β 1 BIROKRSI + β 2 PARTPSI + β 3 HELPFUL + β 4 EKS_LEG + β 5 HUB_OR+ β 6 TRANSP_1+ β 7 TRANSP_2+ β 8 KORUPNDX + β 9 JASA+ β 10 HDI+ ε 2

4.2 BIROKRSI =

γ + γ 1 LEADER + γ 2 FEODAL + γ 3 BATAK + γ 4 EKS_LEG + γ 5 BELPEG + γ 6 IND_TIM+ γ 7 LAM_SKLH+ γ 8 MHL_NDX + γ 9 PARTPSI+ γ 10 KORUPNDX+ γ 11 PERDA+ ε 3

4.3 DAU2005 =

Π + Π 1 KORUPNDX + Π 2 PAD+BH_SDA+BH_TAX + Π 3 POVERTY + Π 4 POP+ Π 5 DAU2004 + ε 4 4.4 Persamaan 4.1 di atas menganalisis hubungan korupsi yang dicerminkan oleh indeks korupsi KORUPNDX dengan kualitas perumusan dan pelaksanaan regulasi PERDA atau kualitas kelembagaan. Indeks Korupsi bernilai antara 0 sampai 10, di mana makin kecil nilainya menunjukkan tingkat korupsi makin tinggi. Diduga semakin berkualitas proses perumusan dan pelaksanaan Perda, maka korupsi semakin rendah KORUPNDX makin besar atau α 1 0. Tabel 1. Variabel yang Digunakan dalam Model Ekonometrika dan Deskripsinya Nama Variabel Deskrispi Sumber Data KORUPNDX Indeks Korupsi, yang diukur dengan indeks penyalahgunaan wewenang KPPOD,2005 PARTSPSI Partisipasi pengusaha dalam proses perumusan regulasi KPPOD,2005 HELPFUL Respons Pemda terhadap persoalan dunia usaha KPPOD,2005 BIROKRSI Kualitas Birokrasi KPPOD,2005 TRANSP_1 Transparansi Biaya pelayanan KPPOD,2005 TRANSP_2 Kejelasan Prosedur Pelayanan KPPOD,2005 EKS_LEG Hubungan antara eksekutif dan legislatif KPPOD,2005 HUB_OR Hubungan antara Parpol dan Ormas Lainnya KPPOD,2005 LEADER Kepemimpinan Kepala Daerah KPPOD,2005 PERDA Kualitas Proses Perumusan dan Pelaksanaan Peraturan Daerah KPPOD,2005 FEODAL Budaya Feodalisme, 1=untuk Jateng, DIY, dan Jatim,; 0=lainnya BATAK Dummy variable untuk kabupaten di SUMUT suku batak Didefinisikan berdasarkan studi literatur PPP Perolehan suara PPP di daerah tersebut pada PEMILU 2004 www.kpu.org DEMOKRAT Perolehan suara Partai Demokrat di daerah tersebut pada PEMILU 2004 www.kpu.org PAN Perolehan suara PAN di daerah tersebut pada PEMILU 2004 www.kpu.org PKB Perolehan suara PKB di daerah tersebut pada PEMILU 2004 www.kpu.org PKS Perolehan suara PKS di daerah tersebut pada PEMILU 2004 www.kpu.org PDIP Perolehan suara PDIP di daerah tersebut pada PEMILU 2004 www.kpu.org GOLKAR Perolehan suara GOLKAR di daerah tersebut pada PEMILU 2004 www.kpu.org PAR_LAIN Perolehan suara Partai lainnya di daerah tersebut pada PEMILU 2004 www.kpu.org JASA Nilai tambah sektor jasa, mencerminkan peranan sektor jasa PAD Besarnya PAD dalam APBD BH_SDA Bagi Hasil Sumber Daya Alam, mencerminkan tingginya SDA BH_TAX Bagi Hasil Pajak DAU2004 dan DAU2005 Dana Alokasi Umum 2004 dan 2005 DEPKEU, 2005 D_JAWA Dummy variable untuk daerah di Pulau Jawa D_SMTR Dummy variable untuk daerah di Pulau Sumatera D_KLMTN Dummy variable untuk daerah di Pulau Kalimantan D_SLWS Dummy variable untuk daerah di Pulau Sulawesi D_BALI Dummy variable untuk daerah di Pulau Bali D_PAPUA Dummy variable untuk daerah di Pulau Papua KD_GOLKAR Dummy variable daerah dengan Kepala Daerah yang hanya didukung oleh Partai Golkar KD_PDIP Dummy variable daerah dengan Kepala Daerah yang hanya didukung oleh Partai Golkar KD_GABBSR Dummy variable daerah dengan Kepala Daerah yang didukung oleh gabungan Partai-partai besar KD_GABKCL Dummy variable daerah dengan Kepala Daerah yang didukung oleh gabungan Partai-Partai kecil IND_TIM Dummy variable untuk wilayah Indonesia Timur yaitu Kalimantan, Sulawesi, Papua, NTT, NTB Didefinisikan HDI Human Development Index BPS,2005 LAM_SKLH Rata-rata lama sekolah penduduk di kabupatenkota BPS,2005 Nama Variabel Deskrispi Sumber Data MHL_NDX Indeks Kemahalan Depkeu,2005 BELPEG Alokasi gaji pegawai per jumlah pegawai di suatu daerah Depkeu.2005 Sementara itu variabel lain yang juga diduga mempengaruhi korupsi adalah kualitas kepemimpinan LEADER, budaya feodalistik FEODAL, budaya lokal daerah Batak BATAK, transparansi TRANSP, partisipasi PARTPSI, DAU, PAD, Bagi Hasil Pajak BH_TAX dan Bagi Hasil SDA BH_SDA serta kondisi politik yang dicerminkan oleh perolehan suara partai politik GOLKAR, PDIP, PAN, PKS, PKB,PPP, PBB dan Partai Lainnya dan partai pendukung Kepala Daerah KD_GOLKAR, KD_PDIP, KD_GABSR, KD_GABKCL . Hipotesanya adalah : makin berkualitas tingkat kepemimpinan, maka korupsi makin rendah KORUPNDX makin besar atau α 2

0. Makin

feodal, maka makin tinggi tingkat korupsinya makin rendah KORUPNDX atau α 3 0. Daerah-daerah di SUMUT di mana budaya Batak beroperasi, diduga mempunyai tingkat korupsi lebih tinggi KORUPNDX lebih kecil atau α 12 0. Makin besar DAU, Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil SDA dan PAD, korupsi makin tinggi KORUPNDX makin kecil atau α 9 0 dan α 10

0. Semakin transparans

dan partisipatif dalam perumusan dan pelaksanaan Perda, makin rendah tingkat korupsinya KORUPNDX makin besar atau α 3 0 dan α 4 0. Sementara itu, Kepala Daerah yang hanya didukung oleh Partai Golkar atau PDIP, gabungan Parpol besar dan gabungan Parpol kecil, makin tinggi tingkat korupsinya KORUPNDX makin kecil atau α 5 0 , α 6 0 dan α 7 0. Di samping itu, juga diduga daerah-daerah yang makin jauh dari Pusat Pemerintahan Jakarta , diduga memiliki tingkat korupsi yang lebih besar KORUPNDX makin kecil. Untuk menguji dugaan ini dimasukkanlah variable dummy wilayah yaitu D_JAWA, D_SMTR, D_KLMTN, D_SLWS, D_BALI, D_PAPUA di mana di diduga α 13 0 , α 14 α 18 0 tetapi α 15 0, α 16 0 dan α 17

0. Diduga juga,

tingkat korupsi dipengaruhi tingkat korupsi secara sosial , di mana korupsi di daerah lain KORR_TTG mempengaruhi tingkat korupsi di suatu daerah α 23 0. Hal Ini sesuai dengan dugaan Chakabarti, dimana jika korupsi secara sosial meningkat, akan menyebabkan korupsi individu suatu daerah juga akan meningkat. Diduga juga, daerah-daerah yang biaya hidup mahal diukur dengan MHL_NDX , akan mendorong terjadinya korupsi KORUPNDX makin kecil atau α 24 0 , karena dengan struktur dan tingkat gaji birokrat seperti saat ini, tekanan ekonomi akibat mahalnya biaya hidup, akan mendorong birokrat pegawai pemerintah melakukan korupsi. Daerah dengan pelayanan birokrasi yang buruk BIROKRSI juga diduga mempunyai tingkat korupsi yang lebih besar KORUPNDX kecil atau α 26 0. Karena korupsi sangat dipengaruhi oleh kualitas perumusan dan pelaksanaan regulasi, maka menjadi sangat penting untuk menganalisis faktor- faktor ekonomi politik yang mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan regulasi. Untuk menganalisis ini digunakan persamaan 4.2. Dari persamaan 4.2 terlihat bahwa kualitas perumusan dan pelaksaan regulasi dipengaruhi oleh faktor ekonomi politik yakni tingkat partisipasi masyarakat dalam proses perumusan regulasi PARTPSI, transparansi kejelasan dalam biaya dan prosedur dalam Perda, SK Kepala Daerah tentang pajak, retribusi dan perizinan usaha TRANSP_1 dan TRANSP_2, kualitas pelayanan birokrasi yang diukur dengan respon Pemda untuk membantu persoalan dunia usaha HELPFULL dan kualitas pelayanan birokrasi terhadap dunia usaha BIROKRSI. Diduga makin besar partisipasi masyarakat, maka proses perumusan regulasinya makin baik β 2 0, sehingga Perda yang dihasilkan makin berkualitas dan dalam pelaksanaan Perda tersebut tidak banyak menimbulkan koersi, karena pengusaha sudah dilibatkan mulai dari proses perumusannya. Kemudian, dalam pelaksanaan Perda, terutama Perda yang menyangkut retribusi, pajak dan perizinan usaha, akan makin berkualitas dalam pelaksanaannya jika dalam Perda tersebut dinyatakan secara transparans tentang biaya dan prosedur pelaksanaanya β 6 0 dan β 7 0. Dalam hal ini, pencantuman setiap biaya dan prosedur dalam setiap pelayanan akan mendorong pelaksanaan Perda perizinan makin baik, sehingga memperkecil peluang terjadinya suap menyuap. Demikian juga sebaliknya. Kualitas pelaksanaan regulasi juga dipengaruhi oleh respon Pemda HELPFUL dan kualitas pelayanan birokrasi BIROKRSI. Diduga makin bagus respon Pemda dan makin baik kualitas pelayanan birokrasi, maka pelaksanaan regulasi akan makin baik β 1 0 dan β 3 0. Kualitas perumusan regulasi juga dipengaruhi oleh kualitas hubungan eksekutif dan legislatif EKS_LEG serta kualiats hubungan antara Ormas dengan Parpol HUB_OR. Dalam hal ini di duga β 4 0 dan β 5 0. Sementara kualitas proses perumusan dan pelaksanaan Perda juga dipengaruhi oleh tingkat korupsi. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan persamaan 4.1, maka diduga berlaku hubungan timbal balik antara korupsi dan kualitas Perda yakni kualitas Perda mempengaruhi korupsi dan korupsi mempengaruhi kualitas Perda. Makin besar tingkat korupsi makin kecil KORUPNDX , maka kualitas Perda makin rendah β 8 0. Sementara itu dominannya sektor jasa JASA dalam suatu wilayah diduga berpengaruh negatif terhadap kualitas Perda β 9 0. Kualitas Perda juga diduga ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia di suatu daerah yang diukur dengan HDI Human Development Index. Dalam hal ini diduga β 10 0. Sebagaimana telah diuraikan dalam kerangka pemikiran dan dicerminkan dalam persamaan 4.2 bahwa kualitas birokrasi sangat menentukan kualitas perumusan dan pelaksanaan regulasi, maka selanjutnya akan dianalisis faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas birokrasi. Untuk analisis ini digunakan persamaan 4.3. Persamaan 4.3 juga ingin melihat apakah kualitas birokrasi dipengaruhi oleh korupsi KORUPNDX dan kualitas Perda PERDA. Hipotesanya adalah semakin tinggi tingkat korupsi di suatu daerah KORUPNDX makin kecil, kualaitas birokrasi makin rendah γ 10 0 dan semakin berkualitas suatu Perda, maka kualitas birokrasi semakin baik γ 11 0. Karena keterbatasan data yang tersedia, maka faktor kualitas birokrasi ini hanya dikaitkan dengan faktor kepemimpinan Kepala Daerah LEADER, alokasi untuk gaji pegawai BELPEG dan budaya feodalisme FEODAL serta budaya lokal Batak di Sumatera Utara, hubungan eksekutif dan legislatif EKS_LEG , gaji pegawai BELPEG dan dummy wilayah Indonesia Timur IND_TIM dan rata-rata pendidikan birokrat di daerah yang di-proxy dengan rata-rata lama sekolah LAMA_SKLH serta tingkat biaya hidup MHL_Indeks=indeks kemahalan. Diduga semakin tinggi tingkat pendidikan penduduk suatu daerah, maka semakin berkualitas birokrasinya γ 7 0. Dan semakin mahal biaya hidup di daerah, maka semakin memperburuk kualitas birokrasi γ 8 0. Hal ini, karena mereka melayani dengan pola ‘kalau bisa diperlambat mengapa harus dipercepat, agar bisa membuka peluang memperoleh “uang tambahan” untuk menghadapi tekanan ekonomi biaya hidup yang mahal. Selanjutnya, faktor budaya FEODAL yang digunakan untuk menjelaskan kualitas birokrasi di daerah adalah budaya feodalistik. Variabel budaya feodalistik direpresentasikan dalam variabel dummy di mana untuk daerah KabupatenKota yang masuk dalam wilayah budaya Jawa yang meliputi wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur selain Madura dikelompokkan sebagai daerah dengan lingkungan budaya yang cenderung feodalistik dan daerah diluar wilayah tersebut dikelompokkan dalam lingkungan budaya yang tidak cenderung feodalistik egaliter, sehingga variabel dummy untuk daerah KabupatenKota di Jawa Tengah dan Jawa Timur kecuali Madura diberi nilai dummy variable 1 dan selainnya diberi nilai dummy varaible nol. Untuk kemudahan mengingatnya variabel ini diberi nama FEODAL. Diduga, budaya daerah yang feodal, kualitas birokrasinya rendah γ 2 0. Faktor budaya lain yang akan dieksplorasi adalah budaya Batak BATAK. Prinsip Hagabeon, Hamoraon dan Hasangapon di Batak berpengaruh pada peluang terjadinya korupsi, karena memberikan tekanan kepada masyarakatnya untuk mencari kesuksesan dengan ukuran harta kekayaan Hamoraon dan ukuran pangkatkehormatan hasangapon melalui berbagai cara, termasuk korupsi. Sesuai dengan analisis Koentjaraningrat 2002 daerah Suku Batak adalah KabupatenKota di Sumatera Utara yang meliputi daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Dairi, Toba , Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Diduga daerah dengan budaya Batak, kualitas birokrasinya lebih rendah dibandingkan daerah di luar Batak γ 3 Diduga juga hubungan eksekutif dan legislatif yang kondusif akan meningkatkan kualitas birokrasi γ 4 0. Sementara itu untuk daerah Indonesia Timur yaitu Kalimantan, Sulawesi, Papua dan NTT serta NTB diduga mempunyai kualitas birokrasi yang lebih rendah sebagai akibat rendahnya kualitas sumber daya manusianya γ 6 0 . Untuk menguji dugaan bahwa korupsi juga mempengaruhi DAU digunakan persamaan 4.4. Dalam hal ini, disamping diduga makin besar DAU, makin besar tingkat korupsi, diduga juga semakin besar tingkat korupsi KORUPNDX semakin kecil, maka semakin besar DAU π 1 0, karena perilaku koruptif birokrat menyebabkan birokrat mencari berbagai cara agar DAU dari Pemerintah Pusat meningkat dan selanjutnya ketika DAU ditambah malah dikorupsi. Data untuk analisis kuantitatif sebagaimana dijelaskan di atas adalah data sekunder yang bersumber dari Survei Pemeringkatan Daya Saing Investasi KabupatenKota yang dilakukan oleh KPPOD pada tahun 2005. Melalui Survei tersebut, KPPOD menanyakan persepsi pengusaha terhadap lima hal yang menceminkan penyalahgunaan wewenang aparat pemerintah daerah. Lima hal tersebut adalah 1 Transparansi informasi tender proyek-proyek pemerintah daerah; 2 Fairness prosess pengambilan keputusan pemenang tender proyek-proyek pemerintah daerah dan 3 pungli biaya ilegal dalam proses tender-tender proyek pemda; 4 besarnya biaya-biaya ilegal dalam proses perizinan oleh petugas atau aparat pelaksana; 5 Tingkat korupsi aparat pelayanan publik. Selanjutnya pengusaha diminta untuk memberikan penilaian terhadap lima hal tersebut dengan skala 1 sampai 9, kemudian dibakukan menjadi indeks penyalahgunaan wewenang aparat Pemda KORUPNDX. Indeks tersebut bernilai antara 0 sampai 10, di mana 0 berarti tingkat korupsi sangat tinggi dan 10 berarti korupsi daerah tersebut sangat rendah. Masih menggunakan data KPPOD tersebut, regulasi yang bermasalah nama variabelnya PERDA diukur melalui persepsipenilaian pengusaha terhadap kebijakan-kebijakan Pemda serta melalui identifikasi dan perhitungan perda bermasalah di setiap daerah. Indeks kualitas Perda mencerminkan kualitas kelembagaan, di mana indeks ini bernilai antara 0 sampai 10, 0 berarti sangat buruk dan 10 sangat baik. Sementara itu kualitas kepemimpinan yang diukur dengan indeks kualitas kepemimpinan nama variabelnya LEADER diukur dengan menggunakan indikator kedisiplinan, kejujuran dan integritas serta kemampuan Kepala Daerah memberikan keteladanan terhadap bawahannya dalam hal kedisiplinan, serta upaya-upaya kepala daerah dalam mendisiplinkan menindak bawahannya yang melakukan pelanggaran. Makin besar indeks leadership berarti kepemimpinan makin berkualitas. Di samping itu, data KPPOD tersebut juga mengandung berbagai ukuran indeks untuk variabel ekonomi politik, misal tentang kualitas perumusan dan pelaksanaan regulasi, kualitas birokrasi pelayanan dan sebagainya. Daftar lengkap variabel dalam survei Pemeringkatan Iklim Investasi KabupatenKota tahun 2005 yang dilakukan KPPOD 2005 dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.2. Metode Analisis untuk Menelaah Kaitan antara Korupsi dengan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya: Pendekatan Studi Kasus Setelah menelaah kaitan antara korupsi dengan regulasi dan faktor ekonomi, politik dan budaya diperoleh pada level agregat makro antar daerah, penelitian ini akan mengkaji lebih dalam kaitan antara korupsi dan faktor-faktor ekonomi politik dan budaya yang mempengaruhinya dengan pendekatan studi kasus di tiga daerah penelitian yaitu di Kabupaten Solok, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara khusus, studi kasus ini diarahkan untuk mengetahui bagaimana proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi serta bagaimana kaitannya dengan peluang terjadinya korupsi. Kajian dalam studi kasus ini difokuskan pada dua kelompok regulasi penting di daerah tersebut yakni 1 tentang bagaimana proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan yang tertuang dalam Perda tentang APBD dan 2 bagaimana proses perizinan usaha yang merupakan implementasi dari berbagai Perda tentang pengaturan aktivitas ekonomi masyarakat Perda tentang Perizinan. Dalam konteks pembangunan wilayah, dua kelompok regulasi tersebut mempunyai arti yang sangat penting, karena dari dua kelompok regulasi tersebut proses pembangunan di daerah dirumuskan dan dilaksanakan. Menurut GMT theory, kualitas pengaturan ekonomi politik lokal yang tertuang dalam dua regulasi tersebut akan sangat menentukan kinerja “mesin” pembangunan suatu wilayah. Di samping itu, dua kelompok regulasi tersebut sangat penting untuk dicermati lebih dalam, karena sebagaimana yang akan diuraikan nanti pada Bab 6, korupsi yang merajalela di berbagai daerah hampir seluruhnya menyangkut APBD dan pemberian izin pengelolaan sumber daya alam atau perizinan. Faktor yang akan dianalisis menyangkut faktor ekonomi politik serta budaya yang mempengaruhi proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi tersebut sehingga memicu peluang terjadinya korupsi. Faktor budaya yang dianalisis menyangkut kultur birokrasi dan kultur masyarakat yang mempengaruhi proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi sehingga memicu peluang terjadinya korupsi. Studi kasus di tiga daerah yaitu di Kabupaten Solok, Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang dipilih dengan pertimbangan sebagaimana disampaikan pada sub bab 1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Studi dilakukan untuk menganalisis bagaimana proses perumusan dan pelaksanaan regulasi di daerah. Untuk keperluan studi kasus tersebut dilakukan Survei Peran dan Respons Pemangku Kepentingan stakeholders dalam Proses Perumusan, Pelaksanaan dan Pengawasan Regulasi. Dalam survei tersebut dilakukan wawancara mendalam dan FGD Focus Group Discussion dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk juga menggali informasi dari berbagai narasumber dan informan. Prosedur penelitian lapangan dan pemangku kepentingan yang menjadi subyek penelitian ini serta kuesioner dan pedoman wawancara yang digunakan akan dibahas pada sub bab 4.3 tentang Data dan Prosedur Memperolehnya. Selanjutnya informasi-informasi yang diperoleh dari lapangan tersebut digunakan sebagai input untuk melakukan analisis kualitatif maupun kuantitaif. Analisis kualitatif digunakan untuk menelaah faktor-faktor ekonomi politik dan budaya yang mempengaruhi proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan Perda tentang APBD dan Perda tentang perizinan di masing-masing daerah. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui 1 bagaimana proses dan mekanisme perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi di daerah penelitian, siapa yang mendominasi keputusan dalam perumusan regulasi 2 sejauh mana pengusaha, masyarakat, dan akademisi terlibat dalam pengambilan keputusan di suatu daerah; 3 menganalisis peranan akademisi dalam perumusan naskah akademik terkait dengan suatu regulasi serta seberapa banyak dan seberapa kualitasnya naskah akademik memberikan landasan bagi suatu regulasi 4 menganalisis siapa yang diuntungkan oleh regulasi tersebut; 5 menganalisis bagaimana setiap pelaku ekonomi menyikapi berpartisipasi dan berespon terhadap regulasi yang diputuskan oleh birokrat tersebut. Analisis ini juga akan mengungkap kasus-kasus korupsi dalam APBD dan perizinan usaha di daerah penelitian. Khusus untuk menganalisis kasus korupsi dalam perizinan usaha, terutama kaitannya dengan penyuapan yang dilakukan pelaku usaha kepada birokrat, penelitian ini menggunakan model kuantitatif dengan menggunakan analisis model logit Logistik Regression. Model ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perusahaan untuk memilih menyuap atau tidak menyuap ketika berurusan dengan birokrasi perizinan, secara kuantitatif dan pada level mikro. Model logit ini menggunakan data hasil survei ke perusahaan yang menggunakan kuesioner. Hasil analisis dengan studi kasus di tiga daerah penelitian ini diuraikan pada Bab VII. Model regressi logistik Logistic Regression yang digunakan untuk analisis dapat dinyatakan sebagai : i i i X X X P P Log ε β β β β + + + + = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − 3 3 2 2 1 1 1 4.5 Persamaan 4.5 tersebut merupakan implementasi persamaan 3.6 dimana P i adalah peluang individu kecenderungan individu atau pengusaha memilih lobi dengan menyuapmemberi hadiah dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi, memberi hadiah dan sejenisnya. Sementara X 1 menyatakan variabel-variabel ekonomi, X 2 menyatakan variabel-variabel sosial politik dan X 3 menyatakan variabel-variabel budaya. Faktor-faktor ekonomi politik dan budaya yang diduga mempengaruhi menyuap tidaknya perusahaan dalam mengurus perizinan dapat dijelaskan sebagai berikut: Sebagaimana dijelaskan pada kerangka pemikiran, faktor ekonomi yang digunakan untuk menganalisis dapat dirinci menjadi variabel-variabel tingkat pendidikan dan umur. Sedangkan variabel-variabel yang masuk dalam faktor politik antara lain keterlibatan masyarakat atau pengusaha dalam perumusan regulasikebijakan, pilihan partai politik pada pemilu 2004 Variabel-variabel yang dimasukkan sebagai faktor budaya dalam analisis ini antara lain daerah, suku, sebagai proxy terhadap kecenderungan budaya feodal atau egaliter, di mana orangpengusaha yang berasal dari suku Jawa terutama dari pusat kebudayaan Jawa yakni Yogyakarta, Surakarta dan sekitarnya dikelompokkan sebagai memiliki budaya yang cenderung feodalistik. Dalam hal ini variabel ini direpresentasikan dalam bentuk variabel dummy. Variabel budaya yang tidak kalah pentingnya adalah kecenderungan untuk memberi hadiah gift, karena sebagaimana dikatakan oleh Mauss 1896 bahwa gift is never free . Di samping itu budaya memberi hadiah ini juga dapat diukur dengan seberapa besar hadiah yang diberikan oleh pengusaha kepada birokrat, seberapa besar harapan bahwa suatu saat birokrat tersebut membantu bisnis pengusaha yang memberi hadiah, serta seberapa dalam dan banyaknya urusan bisnis yang menggunakan hadiah. Faktor budaya lain yang diduga terkait dengan kecenderungan seseorang memilih menyuap adalah nilai-nilai yang dipahami, pandangan hidup dan cita- cita yang ingin di capai, yang semua itu menggambarkan ideologi seseorang. Dalam hal ini menjadi penting untuk mengetahui cita-cita, nilai-nilai dan pandangan hidup yang dipahami oleh seseorang terhadap korupsi, misalnya apakah benar perilaku korupsi sudah demikian tertanam dalam benak sanubari seseorang dan apakah seseorang telah menjadi apatis dengan korupsi. Dari sisi karakteristik perusahaan yang dimasukkan sebagai variabel ekonomi adalah ukuran perusahaan yang dikategorikan menjadi usaha kecil menengah dan usaha besar dimana kategorinya berdasarkan ukuran banyaknya tenaga kerja, jenis usaha bidang usaha yang dirinci menjadi beberapa yaitu pertambangan, industri manufaktur atau jasa dan lainnya serta umur perusahaan dalam tahun. Dari sisi politik variabel perusahaan yang dianalisis meliputi apakah perusahaan menjadi anggota kelompok kepentingan tertentu seperti menjadi anggota asosiasi atau tidak dan penilaian pengusaha terhadap efektifitas kepemimpinan kepala daerah Faktor budaya juga akan didekati dengan variabel lokasi perusahaan dan attitude birokrat. Lokasi perusahaan akan dikategorikan dalam lokasi daerah penelitian yang budaya feodalistiknya kuat yakni daerah Sukoharjo dan daerah yang budaya feodalitisknya rendah egaliter yakni Kabupaten Solok dengan budaya Minangkabau-nya. Sikap birokrat diukur dengan penilaian responden terhadap pelayanan perizinan oleh birokrasi Pemda.

4.3. Data dan Prosedur Memperolehnya