Berbagai Pendekatan Model yang Digunakan dalam Mengkaji

hati nurani serta moralitas sebagian besar masyarakat menilai korupsi bukan sesuatu yang memalukan. Priyono dalam Sutrisno dan Putranto 2007 mengatakan bahwa budayalah yang digunakan sebagai alasan karena beberapa budaya yang jauh dari penadbiran baik good governance merupakan patologi yang merusak tatanan ekonomi politik sehingga mempengaruhi peluang terjadinya korupsi. Jadi, secara sederhana budaya dimanfaatkan sebagai justifikasi rasionalisasi melakukan tindakan korupsi.

2.5. Berbagai Pendekatan Model yang Digunakan dalam Mengkaji

Keterkaitan Korupsi dengan Pembangunan Ekonomi Secara umum pendekatan yang digunakan untuk mengkaji kaitan korupsi dengan pembangunan ekonomi dan faktor budaya dikelompokkan menjadi dua yakni penelitian yang bersifat teoritis dan penelitian yang bersifat empiris. Kebanyakan penelitian yang bersifat teoritis membangun model perilaku korupsi pada tingkatan mikro yakni pada level individu. Biasanya perilaku korupsi didasarkan pada riset yang dilakukan kepada para agen pemerintah. Sementara studi yang bersifat empiris lebih banyak mengkaji korupsi pada tingkatan antar negara Chakrabarti, 2001. Penelitian yang bersifat teoritis dipelopori oleh Krueger 1974 dan Rose- Ackerman 1975 yang mencoba memahami fenomena korupsi dan perilaku pencarian rente. Studi tersebut merupakan awal dari penelitian mengenai perilaku korupsi. Model teoritis berikutnya diperkenalkan oleh Edward Banfield 1975 yang kemudian dikenal sebagai Banfield Model. Pada model ini, perilaku korupsi digambarkan pada sebuah binary choice, yaitu antara melakukan korupsi atau tidak. Kemudian konsekuensi yang dihasilkan dari keputusan yang dipilih. Model berikutnya yang mencoba melihat interaksi antara agen pemerintah dengan individu masyarakatinstitusi dalam teori permainan game theory adalah Correa Model. Model ini didasarkan pada studi yang dilakukan Hector Correa 2001. Correa Model menggambarkan berbagai kemungkinan dari interaksi antara pemerintah dengan individuinstitusi, baik secara legal maupun illegal dengan menggunakan konsep teori permainan. Correa menggambarkan berbagai konsekuensi dari setiap interaksi ini. Model ini lebih lengkap dari model-model korupsi sebelumnya, karena menjelaskan korelasi dengan masyarakatsosial. Model-model teoritis yang diuraikan sebelumnya memang berhasil menjelaskan perilaku korupsi individu, tetapi belum memasukkan faktor-faktor sosio-kultural sebagai penyebab perilaku korupsi tersebut. Kajian terhadap penyebab dan akibat korupsi lebih banyak menggunakan pendekatan studi empiris ketika mulai tersedia data persepsi korupsi antar negara beberapa tahun terakhir ini. Oleh karena itu analisis yang digunakan biasanya menggunakan analisis perbandingan antara negara dan berkisar pada analisis regresi dan korelasi. Dengan menggunakan analisis korelasi dan regresi Husted 1999 dan Sanyal 2005 mengkaji keterkaitan korupsi dengan faktor ekonomi dan faktor budaya. Sementara itu studi empiris lainnya yang dikembangkan oleh Kuncoro 2004,2006 serta Henderson dan Kuncoro 2004,2006 mencoba mengkaji fenomena korupsi pasca desentralisasi di Indonesia pada tingkat lokal kabupatenkota dengan menggunakan pendekatan survei lapangan. Survei dilakukan dengan menanyakan besarnya biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan ketika berhubungan dengan agen pemerintah untuk mengurus administrasi yang berkenaan dengan perizinan, pajak, retribusi dan sebagainya. Dengan menggunakan pendekatan model mikro perusahaan dalam merespons regulasi yang diberikan oleh agen pemerintah, data survei tersebut digunakan untuk mengestimasi keterkaitan antara penyuapan dengan beberapa variabel seperti besarnya pajak, banyaknya retribusi baru dan berbagai aturan baru sejak desentralisasi. Metode estimasinya menggunakan pendekatan model regresi. Kaitan antara mikro dan makro yakni makro model dari korupsi dengan fondasi mikro model yang kuat coba dikembangkan oleh Chakrabarti 2001. Chakrabarti mengembangkan model yang berusaha melengkapi model yang sudah dikembangkan sebelumnya, yakni dengan menghubungkan studi perilaku korupsi individu dengan perilaku korupsi secara makro antar negara yang selama ini masih merupakan hubungan yang hilang missing link. Modelnya dikenal dengan nama ”Agent Based Model of Corruption” yang menggunakan pendekatan model keseimbangan umum general equilibrium model. Modelnya terdiri dari static model dan multi-period model. Model Chakarbarti 2002 di rumuskan dalam bentuk persamaan berikut : p i = 1______ 2.1 2 b i γ 2 k i S1-q Dari persamaan 2.1 tersebut dapat diketahui bahwa tingkat korupsi individu dishonesty index, Pi akan berkurang dengan tingkat penghindaran resiko b i , tingkat resiko yang mereka hadapi dari aksi pemberantasan korupsi γ , tingkat human capital k i , kualitas dari social institution S. Tingkat korupsi individu makin tinggi dengan makin meningkatnya level korupsi secara sosial. Agent Based Model yang dikembangkan oleh Chakrabarti 2001 memang telah berhasil menjelaskan perilaku korupsi dengan lebih baik dibandingkan dengan model-model sebelumnya. Tetapi model ini sebagaimana juga disadari oleh Chakrabarti belum mampu menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku pengambilan resiko risk taking seorang agen dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas institusi. Chakrabarti 2001 juga belum mampu menjelaskan bagaimana faktor-faktor sosio kultural tersebut mempengaruhi perilaku risk taking dan institusi. Secara eksplisit Chakrabarti menyebut bahwa sejarah dan bentuk serta sistem hukum akan mempengaruhi rasio sosial kapitalkualitas institusi S terhadap human kapital K.

2.6. Keterkaitan antara Korupsi dengan Perumusan Regulasi : Tinjauan