meningkatkan ketidakpastian uncertainty dalam melakukan usaha atau berinvestasi di daerah tersebut Kuncoro, 2005.
World Bank 2006 menemukan bahwa maraknya korupsi dalam bentuk suap menyuap, pungutan liar dan sejenisnya membuat iklim investasi sektor non
pertanian di perdesaan menjadi terhambat. Hal tersebut menjadi penyebab rendahnya investasi di suatu daerah KPPOD,2005. Studi yang di lakukan oleh
LPEM FEUI 2003 terhadap hambatan perdagangan antar daerah di Indonesia pada era desentralisasi menunjukkan bahwa pungutan-pungutan dan uang suap
yang dibayar oleh perusahaan kepada birokrat baik yang terkait dengan proses produksi dan pengangkutan bahan baku dan produk menyebabkan
meningkatnya biaya produksi dan biaya transportasi barang antar daerah meningkat. Akibatnya barang tersebut menjadi lebih mahal ketika sampai ke
tangan konsumen. Harga yang mahal membuat kesejahteraan konsumen menurun. Biaya transportasi yang meningkat akibat pungutan liar dan
penyuapan menyebabkan produk yang dihasilkan di suatu daerah menjadi tidak kompetitif di pasar tujuan.
2.4. Keterkaitan Korupsi dengan Faktor Budaya : Kajian Empiris
Secara faktual nilai-nilai budaya mempunyai pengaruh yang signifikan pada praktek-praktek bisnis di berbagai negara Hofstede, 1997 dalam Husted,
1999. Fenomena penyuapan yang melibatkan interaksi antara dua pihak yakni penyuap dan yang disuap sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang
inheren ada dalam diri penyuap dan yang disuap, serta lingkungan budaya dimana penyuapan muncul Husted, 1999. Oleh karena itu, di samping
ditentukan oleh faktor sosial ekonomi, penyuapan juga ditentukan oleh faktor budaya.
Myrdal 1970 mengidentifikasi bahwa warisan budaya feodal kerajaan- kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client, dimana rakyat
biasa atau bawahan berkewajiban memberi upeti, kemudian berkembang menjadi suap uang sogokan kepada pemegang kekuasaan atau atasan. Tumbuh
suburnya perilaku suap-menyuap juga terkait dengan warisan kondisi historis kultural yang telah berjalan berabad-abad akibat represi yang dilakukan oleh
penjajah Alatas dalam Damanhuri, 2006. Rose-Ackerman 1999 menulis
bahwa korupsi merupakan masalah multidimensional yang telah menjadi kultur. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku suap, hubungan patronase, pemberian hadiah
yang telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat. Lamsdorff 1999 menunjukkan bahwa kualitas kelembagaaninstitusi,
sistem penggajian pejabat pemerintah warisan penjajah, gender dan faktor kultural yang tercermin dalam kapital sosial merupakan faktor penyebab korupsi.
Triesman 2000 menunjukkan bahwa negara-negara dengan tradisi Protestan dan mewarisi perangkat hukum Inggris memiliki tingkat korupsi yang rendah .
Husted 1999 dan Sanyal 2005 menunjukkan bahwa faktor-faktor budaya, di samping faktor-faktor ekonomi mempengaruhi derajat korupsi di
suatu negara. Faktor-faktor budaya yang menurut Husted dan Sanyal yang menjadi determinan korupsi antara lain 1 power distance ; 2 Individualism ;
3 Masculinity-Feminity ; 4 Uncertainty Avoidance ;5 Confucian Dynamism. Power distance
mengacu pada hanya sedikit anggota suatu institusi yang powerful
dan organisasi-organisasi di suatu negara berharap dan menerima bahwa kekuasaan didistribusikan secara tidak merata. Faktor Power distance
ini menghasilkan sistem paternalistik paternalistic system yang merupakan ruang subur bagi korupsi karena unsur favoritism dan nepotism.
Individualism mengacu pada pengambilan keputusan persoalan hidup
lebih ditentukan secara individual. Menurut Husted 1999 suatu masyarakat yang tingkat individualism rendah, akan mengalami tingkat korupsi yang lebih
tinggi. Sementara masculinity mengacu pada dominannya laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Makin besar tingkat masculinity, maka makin besar
tingkat korupsi. Husted 1999 juga mencatat bahwa negara yang mempunyai karakter kuat sebagai penghindar resiko, cenderung memiliki tingkat korupsi
yang lebih tinggi. Mas’oed 1994 dalam Dwiyanto, et al 2006 menyatakan bahwa faktor
kultural dalam masyarakat Indonesia pada umumnya cenderung kondusif untuk mendorong terjadinya korupsi. Faktor kultural tersebut antara lain, perilaku
feodalistik yang menghinggapi birokrasi di Indonesia. Perilaku feodalistik membawa berbagai konsekuensi yakni tidak adanya akuntabilitas, karena
pertanggungjawaban hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya, etos kerja yang
hanya berorientasi kepada petunjuk pimpinan, tumbuhnya citra image bahwa pimpinan selalu benar, pimpinan tidak dapat disalahkan dan sebagainya .
Dwiyanto, et al 2006 menemukan bahwa pengaruh budaya Jawa yang sangat kuat dalam sejarah terbentuknya birokrasi di Indonesia dari zaman
kolonial sampai saat ini ikut memberikan ruang yang subur bagi korupsi. Budaya Jawa yang mempercayai bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak
dapat dibagi dan merupakan wahyu dari Tuhan, sehingga dalam terminologi politik Jawa tidak pernah dikenal konsep akuntabilitas publik. Hal tersebut
merupakan ruang subur bagi tumbuhnya perilaku korup di lingkungan birokrasi. Faktor budaya lain yang berperan penting dalam tumbuh suburnya korupsi
adalah budaya paternalistik yang terus terpelihara dalam birokrasi di Indonesia Dwiyanto, et al, 2006. Budaya agraris yang masih dimiliki sebagian besar
masyarakat Indonesia yang cenderung mengembangkan budaya harmoni sosial dalam masyarakat dan menghindari konflik, menghindari kritik terhadap
pimpinan atasan, dan enggan menuntut haknya atas perlakuan aparat pemerintah yang merugikan kepentingannya juga menjadi kurang kondusif bagi
prinsip-prinsip penadbiran baik good governance. Hal ini akan berimplikasi pada terbukanya peluang agen pemerintah untuk melakukan korupsi.
Sementara itu, Simanjuntak 2005 mengidentifikasi bahwa budaya patrimonial yang hidup subur dibanyak daerah merupakan lahan subur
tumbuhnya korupsi. Budaya paternalistik dan patrimonial tersebut tidak memberikan iklim yang bersahabat pada prinsip-prinsip transparansi dan
akuntabilitas. Simanjuntak 2005 juga mengidentifikasi bahwa primordialisme yang berkombinasi dengan konstruksi birokrasi lama yang dibanyak daerah
masih tetap kokoh, terutama di daerah, di mana dana-dana pembangunannya sepenuhnya berasal dari APBD atau bahkan APBN merupakan lahan subur
tumbuhnya korupsi saat ini. Melihat perkembangan studi yang mencoba mengaitkan korupsi dan
budaya, tampaknya belum banyak studi yang secara khusus melihat bagaimana mekanisme faktor budaya tersebut berinteraksi dalam proses pembangunan
sehingga menimbulkan korupsi. Dalam studi ini, kaitan antara budaya dan korupsi dilihat melalui mekanisme faktor budaya dalam mempengaruhi respons
pemerintah, masyarakat dan perusahaan dalam menanggapi proses pembuatan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi.
Persoalan lain yang perlu dianalisis adalah apakah korupsi sudah membudaya ataukah pernyataan bahwa korupsi sudah membudaya merupakan
justifikasi rasionalisasi tindakan korupsi dengan memanfaatkan budaya. Mereka yang mengatakan bahwa korupsi sudah membudaya, karena melihat
bahwa korupsi sudah menjadi kebiasaan dan meluas dalam praktek bernegara dan berbangsa serta dalam keseharian kehidupan masyarakat. Memang
sebagaimana yang dikatakan oleh Bourdieu dalam Sutrisno dan Putranto 2007 bahwa kebiasaan sebagai sesuatu yang penting untuk mengkaji kebudayaan.
Menurut Bourdieu kebiasaan merupakan kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus gaya hidup,
sebagai motivasi preferensi, cita rasa dan perasaan emosi dan sebagai
perilaku yang mendarah daging.
Sementara itu, Sigmund Freud 1961 dalam bukunya Civilizations and Its Discontents
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh alam sadar dan alam tidak sadar yang tersembunyi. Kedua alam tersebut saling berinteraksi. Yang
ada bersama dalam dua alam tersebut adalah id, ego dan superego. Id adalah naluri-naluri primitif yang menuntut pemuasan selekasnya yang terdiri dari
naluri untuk hidup dan naluri untuk mati. Ego senantiasa menjaga kestabilan diri manusia dan bersifat adaptif terhadap kenyataan dan ego merupakan wadah
bagi rasio dan akal sehat. Sementara superego merupakan wadah suara hati dan moralitas yang keduanya diturunkan dari masyarakat, khususnya dari
sosialisasi dan ajaran atau didikan orang tua. Berdasarkan uraian tersebut, patut untuk dikemukakan pendapat
Koentjaraningrat 2007 yang memberikan kriteria bahwa sesuatu dikatakan telah menjadi nilai budaya cultural value jika sesuatu tersebut dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang penting dan berharga dalam hidupnya. Dalam tataran empiris, untuk mengarah
kepada jawaban dari pertanyaan di atas, dapat dilakukan dengan mengelaborasi dan mengevaluasi apakah orang yang melakukan korupsi tidak
malu lagi melakukan korupsi, karena hal tersebut sudah menjadi kebiasaan dan
hati nurani serta moralitas sebagian besar masyarakat menilai korupsi bukan
sesuatu yang memalukan. Priyono dalam Sutrisno dan Putranto 2007 mengatakan bahwa
budayalah yang digunakan sebagai alasan karena beberapa budaya yang jauh dari penadbiran baik good governance merupakan patologi yang merusak
tatanan ekonomi politik sehingga mempengaruhi peluang terjadinya korupsi. Jadi, secara sederhana budaya dimanfaatkan sebagai justifikasi rasionalisasi
melakukan tindakan korupsi.
2.5. Berbagai Pendekatan Model yang Digunakan dalam Mengkaji