Dengan latar belakang sosio budaya seperti diuraikan di atas, maka proses pembangunan mengalami berbagai hambatan. Dalam proses
perencanaan pembangunan sebagaimana yang akan diuraikan nanti, maka akan sangat sulit menerapkan prinsip-prinsip penadbiran baik good governance.
Masyarakat yang pasif membuat partisipasi masyarakat menjadi rendah, kontrol terhadap penguasa juga rendah yang berimplikasi pada rendahnya checks and
balances . Pimpinan menjadi tidak transparans dan tidak akuntabel dan akhirnya
inilah yang kemudian memicu terjadinya korupsi dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan APBD dan perizinan usaha sebagaimana akan
diuraikan nanti.
7.1.3. Struktur Sosio-Budaya Masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara
Budaya Kalimantan, Kutai-Dayak
Penduduk asli Kabupaten Kutai Kartanegara adalah suku Kutai, suku Dayak Benuaq, suku Dayak Tunjung, suku Dayak Bahau, suku Dayak Modang,
suku Dayak Kenyah, suku Dayak Punan dan suku Dayak Kayan. Dalam banyak literatur, terutama literatur yang disusun oleh ahli anthropologi Belanda dan
Inggris, identitas orang dayak digambarkan sebagai suku yang primitif namun “eksotik” dengan ciri yang melekat berburu kepala, pengelompokan sosial
mereka di rumah-rumah panjang, serta ritual-ritual kematian mereka, animisme dan gaya hidup nomadik Maunati, 2005. Istilah ‘Dayak’ paling umum
digunakan untuk menyebut orang-orang asli pedalaman di Kalimantan yang non muslim dan non melayu. Ave dan King dalam Maunati 2005 bahkan
beranggapan bahwa mayoritas orang Melayu di Kalimantan sebenarnya adalah orang Dayak yang kemudian masuk Islam, termasuk orang Kutai. Dalam
perkembangannya orang Dayak yang masuk Kristen masih dianggap sebagai orang dayak, namun mereka yang menjadi muslim tak lagi diakui sebagai orang
Dayak Maunati, 2005. Sebagian besar anthropolog menganalisis bahwa yang membuat suku
Dayak lebih unik adalah organisasi sosial politiknya yang khas. Conley 1973 dalam Maunati 2005 mengidentifikasi sistem desa-desa, kepala-kepala suku,
dewa, pegawai rendahan dan tetua-tetua rumah panjang sebagai segi organisasi sosio-politik suku Dayak. Kekuasaan politik kepala adat dan desa bersifat tidak
terstruktur dan simbolik. Desa berfungsi sebagai unit yang otonom dan lengkap. Penduduk suku Kenyah salah satu sub suku Dayak memberi hadiah kepada
kepala adat agar bisa bergabung membentuk persekutuan yang tidak mengikat guna menghadapi musuh. Tetapi pada umumnya kepala adat tidak mencampuri
urusan-urusan desa Maunati, 2005. Kepala suku dipilih dari golongan bangsawan dan bersifat turun
temurun. Kepala suku mewakili rakyatnya atas segala hal yang berurusan dengan pemerintah atau dalam urusan antar desa. Kepala suku juga bertindak
sebagai hakim bagi para pelaku kejahatan. Dalam sistem desa suku Dayak dikenal Dewan Tetua desa yang terdiri dari kepala rumah panjang ditambah
bangsawan-bangsawan yang memenuhi syarat sebagai pemimpin dan penasehat. Dewan ini bertugas mengontrol kepala suku yang juga seorang bangsawan.
Sementara orang biasa berfungsi sebagai pejabat rendahan yang bertugas menghadiri pertemuan-pertemuan dan mengumumkan keputusan-keputusan
kepala suku. Kepala rumah panjang dipilih berdasakan kesepakatan antara penduduk dan kepala desa yang bersangkutan Maunati, 2005. Memberi hadiah
atau upeti berupa beras kepada ketua rumah panjang secara formal juga umum dilakukan oleh salah satu sub suku dayak yaitu suku Maloh King, 1985 dalam
Maunati, 2005. Maunati juga mengidentifikasi bahwa suku Dayak mengenal struktur kelas sosial yang biasanya dibagi menjadi tiga yaitu bangsawan ipun
uma , rakyat biasa kelas menengah panyun, golongan petani dan tukang serta
kelas budak, walaupun tidak semua sub suku Dayak mengenal strata sosial tersebut.
Sementara itu, Coomans 1987 dalam Maunati 2005 mengidentifikasi bahwa Suku Kutai adalah keturunan dari suku Dayak Tunjung, dan budaya
Kutai telah dipengaruhi oleh banyak kebudayaan yang berbeda-beda yakni budaya Jawa, Bugis dan India. Pengaruh India terhadap budaya Kutai karena
dari sisi historisnya pada abad V Masehi di Kutai muncul kerajaan Kutai yang merupakan kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Sementara pengaruh budaya
Bugis, karena letak kerajaan Kutai ada di sebelah barat Selat Makasar, di mana kerajaan Makasar yang berbasis Islam berada. Sebelum menjadi Kesultanan
Kutai Kartanegara yang berbasis agama Islam, Kerajaan Kutai merupakan
kerajaan tertua di Indonesia dan merupakan kerajaan Hindu pada abad ke-5 Masehi dengan Rajanya bernama Mulawarman. Saat ini nama Raja Kutai
digunakan sebagai nama Universitas Mulawarman di Samarinda, Kaltim www.kutaikartanegara.go.id. Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan
baik oleh kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali adalah Sultan Aji Muhammad Idris 1735-
1778. Pada masa penjajahan Belanda, Kerajaan Kutai menjadi bagian wilayah
kekuasaan ekonomi politik Belanda. Tidak berbeda dengan di Jawa, Pemerintah Belanda melakukan tekanan-tekanan kepada penduduk Kutai dengan
menggunakan gaya feodal memanfaatkan pengaruh kerajaan Kutai untuk megambil kekayaan alam Kutai. Tahun 1888, pertambangan batu bara pertama
di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di
wilayah Kutai www.kutaikartanegara.go.id . Dari uraian di atas terlihat bahwa struktur sosio budaya masyarakat Kutai
Kartanegara sangat dipengaruhi oleh budaya suku Dayak yang mengenal strata sosial bangsawan, kelas menengah dan budak, terbiasa memberi upeti kepada
tetua rumah panjang dan kepala suku, pemimpin dipilih dari golongan
bangsawan dan bersifat turun temurun, tetapi dalam pengambilan keputusan dilakukan dengan kesepakatan antara penduduk dan pimpinan dan ada dewan
pemberi nasehat dan mengontrol kepala suku. Seiring dengan berjalannya waktu budaya Kutai juga dipengaruhi oleh budaya Jawa, India Hindu dan
Bugis Islam. Dapat dicermati pula bahwa secara historis Kabupaten Kutai merupakan wilayah kerajaan dengan gaya feodal yang kemudian dimanfaatkan
oleh Belanda untuk mengeksploitasi kekayaan alam Kutai. Walaupun penduduk asli adalah suku Kutai dan Dayak yang merupakan masyarakat yang relatif
egaliter, tetapi tekanan-tekanan pada zaman kerajaan Hindu dan penjajahan Belanda, membuat budaya egaliter masyarakat tersebut berubah menjadi budaya
feodal. Bahkan penduduk suku Kutai dan suku Dayak yang merupakan masyarakat asli di Kabupaten Kutai seolah-olah menjadi bagian luar dari proses
pembangunan karena pada masa Orde Baru mereka dianggap sebagai suku
terasing dan primitif . Akibatnya suku Kutai dan suku Dayak yang merupakan penduduk asli Kutai ini menjadi masyarakat yang inferior dalam proses
pembangunan dan menjadi sangat pasif Maunati, 2004. Mereka lebih menjadi objek alih-alih subjek pembangunan. Partisipasi mereka sangat terbatas.
Akhirnya jalannya pemerintahan jauh dari kontrol masyarakat dan tidak berfungsinya proses checks and balances dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Secara ringkas, deskripsi sosio-budaya yang menjadi ciri pokok ketiga daerah tersebut diberikan pada Tabel 17 berikut.
Tabel 17. Deskripsi Sosio-Budaya di Tiga Lokasi Penelitian Ciri Pokok
Kab. Solok Kab.Sukoharjo
Kab. Kukar Struktur
Masyarakat Egaliter
Feodal Feodal
Sistem Kekerabatan
Matrilineal Patrilineal
Patrilineal Struktur
Kepemimpinan Kerapatan Adat
Nagari, Tungku Tigo Sajarangan
Hierarchycal atasan-bawahan
Hierarchycal, suku dayak
termarginalisasi Kelembagaan Baik
Buruk Buruk
7.2. Gambaran Umum Struktur Ekonomi Politik Pembangunan Wilayah