Sementara itu untuk Korupsi di Kabupaten Solok tidak ada yang terungkap ke publik. Wawancara dengan informan dari sebuah LSM yang
bergerak dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Solok mengindikasikan bahwa fenomena suap-menyuap memang ada, tetapi sulit
untuk dibuktikan. Dibandingkan dengan dua daerah lain yakni Kukar dan Sukoharjo, korupsi di Solok relatif kecil.
Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, proses perumusan regulasi, pelaksanaan regulasi yang relatif partisipatif, transparans dan akuntabel serta
kepemimpinan leadership Kepala Daerah telah berhasil meredam aksi-aksi kecurangan dan penyelewengan yang potensial timbul dari proses perumusan
dan pelaksanaan APBD di Solok. Secara prosedural administratif proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi di Kabupaten Solok relatif
lebih baik dibandingkan dengan di Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Kukar. Sementara itu, dugaan-dugaan korupsi APBD di Kukar dan Sukoharjo
secara ekonomi politik lebih banyak terjadi karena proses perumusan dan pelaksanaan APDB yang tidak partisipatif, tidak transparans dan tidak akuntabel
serta pengawasan yang lemah. Struktur sosio-budaya masyarakat dan dominannya Kepala Daerah dan birokrat serta anggota DPRD dalam proses
penyusunan APBD menjadi penyebab mengapa proses ini menjadi tidak partisipatif, transparans dan akuntabel.
Untuk melihat lebih jelas bagaimana korupsi dalam APBD ini terjadi, bagian berikut akan menguraikan proses perumusan, pelaksanaan dan
pengawasan APBD di tiga daerah tersebut. Pembahasan akan diawali dengan menguraikan aturan normatif proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan
APBD, kemudian dari aturan normatif tersebut akan diuraikan bagaimana implementasi proses tersebut di tiga daerah penelitian.
7.3.2. Aturan Normatif Proses Penyusunan APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD merupakan sebuah bentuk regulasi anggaran publik di daerah untuk mengalokasikan anggaran yang
terkait dengan berbagai kebijakan dan perencanaan pembangunan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sejak era desentralisasi, APBD di berbagai
daerah meningkat cukup besar dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai kegiatan seperti untuk membangun infrastruktur publik dan mendororng aktifitas ekonomi sosial
masyarakat dan sebagainya. Ada beberapa tahapan dalam proses penyusunan APBD. Tahapan-
tahapan ini diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004, UU No 322004 , UU No 33 tahun 2004, PP No. 58 Th. 2005, Kepmendagri No. 29 Th. 2002.
Sedangkan untuk penyusunan RAPBD Th 2007 selain peraturan tersebut diatas, ada acuan baru yaitu Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No 26 Th. 2006 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2007. Deskripsi proses perencanaan
APBD tersebut diberikan pada Gambar 10. Sebelum APBD disahkan oleh Pemerintah Daerah Pemda bersama
DPRD, terlebih dahulu Pemda menyusun Kebijaksanaan Umum Anggaran KUA, Penetapan Plafon Anggaran Sementara PPAS yang didasarkan atas
Rencana Kerja Pembangunan Daerah RKPD. RKPD ini untuk selanjutnya dirinci ke dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD yang
juga mengacu kepada Rencana Strategis masing-masing SKPD Renstra SKPD.
Renstra SKPD tersebut didasarkan atas Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah RPJMD yang juga menjadi acuan penyusunan RKPD.
Sementara RPJMD harus mengacu kepada RPJPD. RPJPD adalah recana pembangunan jangka panjang 20 tahunan, RPJMD adalah dokumen perencanaan
jangka menegah 5 tahun dan RKPD adalah rencana pembangunan tahunan. Dalam konteks ini RPJMD adalah visimisi dan strategi serta program
pembangunan Kepala Daerah terpilih, sedangkan RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD yang berisi program-program pembangunan selama satu tahun.
RKPD inilah yang kemudian diatur dan didanai oleh APBD. Menurut UU No 25 tahun 2004, RPJPD dan RPJMD ditetapkan dalam
Perda. RKPD juga ditetapkan dalam bentuk Perda yakni Perda tentang APBD. Proses perumusan perencanaan pembangunan untuk menghasilkan RKPD ini
difasilitasi oleh Bappeda dan dinas-dinas di lingkungan pemerintahan daerah.
DIAGRAM PROSES PERENCANAA N PENGANGGARAN Berdasarkan UU No. 25 Th 2004 dan PP No. 13 Th. 2006
P enyusunan
RPJP
P enyusunan
RPJMD
P enyusunan
RKPD
P embahasan
KUA
P embahasan
PPAS
P em bahasan RAP BD
P engesahan AP BD
Pe m ba ha s a n
ABT
P enyusunan
R EN STR A SK PD
P enyusunan
R EN JA SK PD
RKA S KP D
RAS K DAS K
S KP D
Pembahasan Oleh Panitia
A nggaran Pemerintah D an D PR D
Proses Perencanaan Oleh B A PPED A dan
D inas-D inas
Nota Kesepakatan KDH dengan
P im p. DP RD
PERUBAHAN PENYESUAIAN
DASK SKPD
P er da AP BD
P er da P er ubahan
AP BD
RPJ P
N as ional
Gambar 10. Alur Proses Perencanaan Pembangunan
Sumber : Disarikan dari berbagai regulasi penyusunan APBD
Proses perumusan dokumen perencanaan dimulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Musrenbang di desa atau pemerintah setingkat
desa. Usulan-usulan rencana pembangunan dari desa tersebut, kemudian di bawa ke dalam Musrenbang Kecamatan dan selanjutnya dibahas dalam
Musrenbang KabupatenKota. Dalam proses Musrenbang tersebut diharapkan melibatkan semua pemangku kepentingan mulai dari masyarakat, LSM, tokoh
masyarakat, pemerintah dan anggota DPRD. Setelah Musrenbang Kabupaten selesai, selanjutnya Bappeda dan Dinas-
dinas menyusun Kebijakan Umum Anggaran KUA dan Penetapan Plafon Anggaran Sementara PPAS. KUA dan PPAS inilah yang dibawa oleh Pemda
ke dalam rapat kerja dengan DPRD untuk dibahas bersama. Dari Proses inilah lahir Nota Kesepakatan antara Kepala Daerah KDH dengan Pimpinan DPRD.
Kesepakatan ini berisi Rencana Kerja dan Anggaran setiap SKPD RKA SKPD. Selanjutnya APDB tersebut disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD,
sehingga menjadi Perda tentang APBD yang secara rinci berisi Dokumen Anggaran Satuan Kerja DASK. Menurut aturan Permendagri No 13 tahun
2006, setiap daerah diwajibkan melaporkan APBD-nya ke Pemerintah Pusat cq. Departemen Dalam Negeri satu bulan sebelum tahun anggaran baru dimulai.
Tetapi fenomena yang terjadi di banyak daerah, banyak yang terlambat menyusun perda APBD, termasuk Kabupaten Kukar. Hal ini ditengarai oleh
lamanya tarik menarik kepentingan anggota DPRD dengan Bappeda yang telah melakukan proses perumusan anggaran lewat mekanisme Musrenbang.
Sementara itu, dalam implementasi penggunaan anggaran tersebut, terutama untuk pengadaan barang dan jasa mengacu kepada Kepress No 80
tahun 2003. Dalam Kepres ini diatur proses penunjukkan langsung, tender dan sebagainya. Setelah APBD berjalan satu semester, Pemda bersama DPRD bisa
melakukan perubahan terhadap APBD untuk memberikan kesempatan program pembangunan yang belum masuk dalam APBD untuk dimasukkan. Oleh karena
itu, dalam APBD ada yang disebut dengan ABT yakni Anggaran Belanja Tambahan yang dituangkan dalam Perda Perubahan APBD yang berisi juga
tentang penyesuaian-penyesuaian pada tengah tahun anggaran berjalan.
Pada akhir masa anggaran, Kepala Daerah dengan koordinatornya Sekretaris Daerah menyusun Laporan Pertanggung Jawaban APBD. Laporan
Pertanggung Jawaban tersebut paling lambat 3 bulan setelah akhir tahun anggaran harus disampaikan kepada BPK Badan Pemeriksa Keuangan. Jika
pemeriksaan BPK tidak menemukan penyelewengan, maka kemudian Laporan Pertanggungjawaban APBD tersebut diajukan ke DPRD untuk disahkan menjadi
Perda tentang Pertanggungjawaban APBD. Dari uraian di atas, kita dapat melihat seberapa besar partisipasi
masyarakat bisa ikut mempengaruhi proses penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan APBD. Dalam banyak kasus di berbagai daerah, terutama hasil
pengamatan terhadap dua dari tiga daerah penelitian yang akan dibahas nanti, proses Musrenbang mulai dari DesaNagari, Kecamatan sampai
KabupatenKota, masih belum ideal seperti yang diinginkan. Hal umum yang masih terjadi dalam proses Musrenbang adalah hanya untuk persyaratan
prosedural formal belaka. Dari uraian tersebut di atas juga terlihat seberapa besar peranan Kepala
Daerah dan birokrasi dalam proses perumusan APBD, kemudian juga betapa besarnya peranan anggota DPRD dalam menentukan setiap mata anggaran
dalam APBD. Dan seperti yang akan dijelaskan nanti, banyak usulan program pembangunan dari masyarakat yang tidak lolos dan digantikan dengan usulan
program dari DPRD maupun dari SKPD atau Kepala Daerah. Proses ini sangat jauh dari akuntabel dan transparans, sehingga proses ini sangat berpotensi
melahirkan program-program pembangunan yang di kemudian hari menimbulkan persoalan korupsi. Proses perumusan APBD juga memicu
penyelewengan-penyelewengan dalam pelaksanaan APBD. Dengan demikian, korupsi yang terjadi dalam APBD ini sudah mulai
kelihatan “bibit”nya sejak proses perumusannya. “Bibit” ini kemudian tumbuh besar dalam pelaksanaanya. Lebih-lebih jika antara eksekutif dan legislatif
melakukan kolusi dengan politik “dagang sapi”. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab VI, proses interaksi Kepala Daerah dengan DPRD banyak
melahirkan program-program yang hanya untuk kepentingan eksekutif Kepala Daerah dan legislatif DPRD, bukan untuk kepentingan rakyat. Disinilah kita
bisa melihat pentingnya kualitas kepemimpinan leadership Kepala Daerah dan integritas anggota DPRD, serta sistem kepartaian. Sebagaimana telah diuraikan
pada Bab VI, pelaksanaan pilkada langsung yang masih jauh dari ideal menyebabkan sangat sulitnya untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas.
Persoalan ini, makin tambah krusial, karena lembaga legislatif yang diharapkan mampu membawa aspirasi masyarakat, mengontrol kekuasaan Kepala Daerah,
dan mengawasi proses pengaturan aktifitas ekonomi dan pembangunan, tidak berfungsi sebagaimana mestinya, malah ikut-ikutan “bermain”. Kepentingan-
kepentingan kelompok jangka pendek lebih banyak mewarnai sepak terjang para anggota DPRD.
7.3.3. Proses Perumusan, Pelaksanaan dan Pengawasan Perda APBD di