Keterkaitan antara Korupsi dengan Perumusan Regulasi : Tinjauan

pendekatan model keseimbangan umum general equilibrium model. Modelnya terdiri dari static model dan multi-period model. Model Chakarbarti 2002 di rumuskan dalam bentuk persamaan berikut : p i = 1______ 2.1 2 b i γ 2 k i S1-q Dari persamaan 2.1 tersebut dapat diketahui bahwa tingkat korupsi individu dishonesty index, Pi akan berkurang dengan tingkat penghindaran resiko b i , tingkat resiko yang mereka hadapi dari aksi pemberantasan korupsi γ , tingkat human capital k i , kualitas dari social institution S. Tingkat korupsi individu makin tinggi dengan makin meningkatnya level korupsi secara sosial. Agent Based Model yang dikembangkan oleh Chakrabarti 2001 memang telah berhasil menjelaskan perilaku korupsi dengan lebih baik dibandingkan dengan model-model sebelumnya. Tetapi model ini sebagaimana juga disadari oleh Chakrabarti belum mampu menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku pengambilan resiko risk taking seorang agen dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas institusi. Chakrabarti 2001 juga belum mampu menjelaskan bagaimana faktor-faktor sosio kultural tersebut mempengaruhi perilaku risk taking dan institusi. Secara eksplisit Chakrabarti menyebut bahwa sejarah dan bentuk serta sistem hukum akan mempengaruhi rasio sosial kapitalkualitas institusi S terhadap human kapital K.

2.6. Keterkaitan antara Korupsi dengan Perumusan Regulasi : Tinjauan

Teori dan Model-Model Ekonomi Politik dalam Kebijakan Publik Studi-studi terdahulu menyimpulkan bahwa terjadinya korupsi tidak dapat dipisahkan dari proses pelaksanaan regulasi. Johnson, et al 1998 menemukan bahwa negara dengan banyak regulasi cenderung mempunyai tingkat korupsi yang lebih tinggi dan banyak menumbuhkan aktivitas ekonomi yang tidak tercatat unofficial economy activity. SMERU 1999 misalnya yang mencoba menganalisis pengaruh regulasi perdagangan di daerah terhadap perekonomian daerah tersebut menemukan bahwa banyak regulasikebijakan yang menyangkut pajak, retribusi dan halangan-halangan dalam tarif dan tata niaga perdagangan untuk melindungi kepentingan usaha atau dagang kelompok yang menyuap birokrat pemerintah daerah tersebut. Dalam hal ini regulasi memicu terjadinya korupsi. Studi yang di lakukan oleh LPEM FEUI 2003 terhadap hambatan perdagangan antar daerah di Indonesia pada era desentralisasi menunjukkan bahwa pungutan-pungutan dan uang suap yang dibayar oleh perusahaan kepada birokrat karena banyaknya regulasi baik yang terkait dengan proses produksi dan pengangkutan bahan baku dan produk. Henderson dan Kuncoro 2004 menemukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001, suap-menyuap pada tingkat Pemerintahan Daerah Pemda meningkat sejalan dengan fakta bahwa makin banyaknya aturan-aturan baru pemerintah daerah khususnya pajak, retribusi dan berbagai jenis perizinan serta kebijakan regulasi di daerah yang diciptakan sebagai aturan semu artificial agar pejabat lokal birokrasi lokal bersama dengan kelompok kepentingan tertentu memperoleh peluang mendapatkan rente dari aturan tersebut. Secara teoritis suatu kebijakan publik regulasi merupakan hasil keputusanpilihan bersama collective choice. Penentuan keputusan kolektif mencoba membuat pengaturan untuk menyediakan dan mencari suatu mekanismeproses bagi pencapaian tujuan untuk mengagregasikan kepentingan- kepentingan individu-individu dalam suatu masyarakat. Aturan yang bisa dipilih adalah metode dictatorship atau memilih orang yang kompeten dan cakap dalam bidang tersebut, membuat konsensus, melakukan voting, menyerahkan keputusan pada perwakilan, membiarkan keputusan diambil oleh kelompok elite. Sebagaimana dikemukan oleh Olson 1965 bahwa tindakan bersama collective action sangat kurang terorganisir dan adanya konflik antara kepentingan individu dengan kepentingan bersama sehingga sulit mencapai tingkat optimum sosial yang diinginkan 1 . Buchanan dan Tullock dalam The Calculus of Consent 1962, mengembangkan model yang menyangkut pilihan kelembagaan institutional choices . Dalam banyak penataan kolektif collective arrangement, baik itu berbentuk regulasi atau undang-undang akan berakibat terciptanya keuntungan gains dan biaya yang masuk dalam “utility calculus” individu. Secara logika, individu akan memilih atau berpindah migrate kepada penataan arrangement 1 Lihat Mancur Olson 1965, The Logic of Collective Action yang memaksimumkan nilai keuntungan bersih net gain bagi dirinya sendiri. Potensi penataan aktivitas tersebut berada dalam spektrum yang luas dimana ada dua ekstrim yaitu kegiatan yang tidak terorganisasi sama sekali unorganized activity di satu sisi, dan kegiatan kolektif yang secara komplit diatur pemerintah completely collective governmental atau kegiatan kelembagaan sangat tinggi very high institutional activity, di sisi yang lain. Dalam rezim yang tidak terorganisasi unorganized akan dijumpai biaya interdependensi interdependence cost dan disekonomi eksternal external diseconomics karena kegiatan pribadi private activity. Hal tersebut diharapkan tereduksi oleh solusi bilateral di luar pasar. Tetapi karena adanya pembonceng free riders dan tingginya biaya transaksi, menyebabkan biaya interdependensi dan disekonomni eksternal tetap tinggi, khususnya dalam situasi dimana konsumsi ekonomi dapat dicapai hanya dengan jumlah anggota kelompok masyarakat yang besar . Dalam suatu kelompok tertentu, di suatu lokasi tertentu atau dalam bentuk institutional tertentu, individu-individu dipandang selalu mencarimemaksimalkan keuntungan bersih dari interdependensi sosial social interdependence . Oleh karena itu dalam proses pilihan-pilihan kolektif collective choices, misal perumusan regulasi, akan muncul adanya eksternalitas dan membangkitkan biaya tambahan. Biaya tersebut oleh Buchanan dan Tullock 1962 dikelompokkan menjadi biaya pengambilan keputusan decision making cost dan biaya eksternalitas politik political externality cost . Biaya eksternalitas politik menggambarkan bagaimana proses politik dapat mengakibatkan biaya pada individu yang tidak terwakili. Biaya ini misal diberi symbol C i merupakan fungsi dari keputusan dalam sebuah group dengan ukuran kelompok tertentu atau ditulis C i = C i Na ; dimana Na N ; Na = jumlah orang dalam kelompok berukuran N yang dibutuhkan untuk menyetujui pengambilan keputusan sebelum tindakan kolektif collective action diambil. Dalam kasus Na= N, maka Ci = 0 biaya eksternal sama dengan nol, karena setiap individu punya kekuatan veto. Jika Na = 1 ; maka Ci akan sangat besar, karena setiap individu secara potensial akan menguasai individu yang lain. Dan Jika Na naik, maka Ci menurun. Biaya yang kedua adalah biaya pengambilan keputusan decision making cost . Yakni menyangkut waktu dan usaha yang diperlukan untuk mencapai keputusan, dimana Di = Di Na dan jika Na naik, maka Di juga akan naik. Misalkan manfaat atau keuntungan gain adalah sebesar G. Menurut Buchanan dan Tullock 1962 dalam mengambil keputusan individu akan selalu mempertimbangkan G gain dan Biaya Ci + Di. Diasumsikan kelompok berukuran tetap dan mempunyai derajat preferensi preference yang homogen. Model ini dapat digambarkan seperti dalam Gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa individu, akan menerima aturan pengambilan keputusan antara Na’ – Na”. Biaya Manfaat Gain Ci + Di Di G Ci N Na Na i Na ii Jumlah orang Gambar 1. Buchanan –Tullock Model Model Buchanan dan Tullock memiliki beberapa implikasi penting salah satunya adalah seseorang dapat memilih peraturan voting yang berbeda untuk situasi yang berbeda, tergantung pada penilaian biaya-biaya yang dihadapi oleh seseorang. Implikasi berikutnya adalah bahwa keputusan yang bulat dapat sangat mahal, sifat kelompok dapat mempengaruhi biaya total dan pemilihan aturan keputusan yang paling efisien. Dalam suatu masyarakat yang saling tidak percaya satu sama lain, mungkin akan lebih menyukai keputusan yang bulat sebagai aturan keputusan, karena biaya eksternalitas politiknya tinggi. Di sini terlihat bahwa masyarakat dengan trust yang tinggi akan sangat efisien dalam mengambil keputusan kolektif. Di sinilah terlihat pentingnya modal sosial sosial capital dalam keputusan kolektif. Implikasi lain model Buchanan dan Tullock 1962 adalah aturan mayoritas bukanlah sebuah aturan keputusan yang efisien 2 . Menurut Stevens 1993, aturan mayoritas memang memenuhi keadilan, tetapi tidak dapat memenuhi persyaratan konsistensi dan efisiensi serta tidak bisa memperkirakan hasilnya, karena aturan mayoritas bisa menghadapai masalah siklikal dan mungkin tidak akan menemukan equilibrium dalam pengambilan keputusan bersama. Hal ini seperti dijelaskan oleh Arrow 1951 bahwa suatu keputusan kolektif yang ideal harus memenuhi lima aksioma kondisi ideal berikut : 1 Pareto optimality yakni kondisi dimana jika setiap orang lebih menyukai aternatif x dibandingkan alternative lainnya, maka proses pilihan kolektif seharusnya lebih menyukai x dibandingkan y, 2 Non-dictatorship yakni bahwa tak seorang pun mempunyai kontrol penuh pada proses kolektif, 3Unrestricted domain yakni proses pilihan kolektif mampu mencapai keputusan kolektif untuk semua kombinasi pereferensi individu yang mungkin, 4 Rationality, bahwa proses pilihan kolektif adalah rasional, 5 Bebas dari alternatif yang tidak relevan independence of irrelevant alternatives Berdasarkan hasil analisisnya, Kenneth J. Arrow 1951 menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada aturan rule yang akan dapat memenuhi semua persyaratan yang dikemukakan oleh karakter ideal yang diinginkan tersebut. Hal ini karena tidak ada satu cara pun untuk menjumlahkan perferensi individu- individu yang berbeda untuk memuaskan semua karekteristik ideal yang diinginkan. Teorema ini dalam public choice disebut sebagai Arrows Imposible Theorem . Aturan mayoritas pada intinya tidak stabil, seperti ditunjukkan empat puluh tahun yang lalu oleh Teorema Arrow. Stabilitas dapat dipulihkan melalui preferensi berpuncak tunggal dan oleh pemilih tengah median voter, jika isunya berdimensi tunggal yaitu, jika mereka tersusun sepanjang bidang spasial. 2 Dalam aturan ini etika egalitarian menjadi faktor penting, dimana setiap individu masyarakat satu orang memiliki satu suara. Jika ini kita kontraskan dengan masyarakat feodalistik dan paternalistik, dimana hanya satu dua elite saja yang menentukan pengambilan keputusan, maka akan sangat jelas hal ini akan menimbulkan biaya ekternalitas politik yang besar. Ideologi, sebagaimana dimanifestasikan melalui spektrum politik liberal- konservatif, menawarkan janji sebuah dimensi tunggal. Kontrol agenda adalah jalan utama kedua untuk memulihkan stabilitas dalam aturan mayoritas. Kedua tipe penstabil-ideologi dan kontrol agenda-ditawarkan oleh perwakilan terpilih yang akan menanggung biaya pembentukan koalisi dengan imbalan suara. Untuk kasus perumusan perda regulasi di derah-daerah di Indonesia, terlihat bahwa lima tipe ideal yang disyaratkan oleh Arrow 1951 mustahil diwujudkan. Kontrol agenda juga sangat kurang. Dan tidak adanya ideologi dan platform dari Parpol. Hal ini akan menimbulkan biaya eksternalitas politik dan pengambilan keputusan menjadi sangat mahal. Dari sisi penawaran supply, perumusan regulasi memerlukan seseorang yang dapat dan mampu mengorganisasikan tindakan kolektif collective action guna mewujudkannya. Stevens 1993 mengemukakan bahwa biasanya seseorang yang mampu memimpin dalam mengarahkan tindakan kolektif collective action dan sekaligus melakukannya dapat mengukuhkan kekuasaannya disebut sebagai politikus, dan aktivitasnya disebut sebagai kegiatan politik. Tingkat imbalan keuntungan yang diperoleh oleh politikus atas jasa tersebut adalah berupa penguatan posisi kekuasaan secara politik, yang biasanya kekuasaan tersebut akan terwujud karena terjadinya dukungan politik suara dari masyarakat secara meluas Stevens, 1993. Pandangan ini mengatakan bahwa keputusan kolektif dilakukan dengan memilih orang-orang yang kompeten dan cakap dalam bidang yang dimaksud selanjutnya mereka diberikan kekuasaan dan masyarakat menyerahkan keputusan kolektif pada perwakilan. Dalam demokrasi langsung yang kecil, ketidaksabaran individu- individu akan mendominasi pembuatan aturanundang-undang hukum. Namun secara teoritis, pemerintahan yang mewakili representative akan memurnikan dan memperluas pandangan publik tersebut. Asumsinya perwakilan yang dipilih oleh publik lebih bijaksana dan lebih moderat daripada yang diwakilinya. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan leadership menjadi sesuatu yang sangat krusial dalam membentuk warna pemerintahan yang representatif 3 . Pilihan rasional rational choice dalam tindakan kolektif menghadapi berbagai kendala. Kendala-kendala tersebut antara lain bahwa pilihan yang diambil sangat bernuansa konservatif secara politik, didasarkan atas motivasi kepentingan yang sangat sempit, egois dalam menginterpretasikan kebutuhan manusia, bersifat mengejarmementingkan kepentingan pribadi masing-masing yang mau-tidak-mau akan membawa dampak negatif terhadap masyarakat dan sering gagal dalam meramalkan hasil keputusan karena sangat tergantung pada peran yang melekat pada dirinya, norma-norma value dan kekuatan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak, dan juga asumsi pilihan rasional membawa kepada cara berpikir yang sempit. Berbagai kendala yang melekat tersebut akan sangat menentukan kekuatan politik dan pola relasi serta dominasi antar berbagai pemangku kepentingan stakeholders, baik itu peminta maupun pemasok regulasi Stevens, 1993. Hal inilah yang kemudian melahirkan model-model ekonomi politik dalam pilihan public. Ada empat model umum berkaitan dengan ekspektasi terhadap pemasok politik terpilih elected political suppliers yaitu: good fairly model, semi good fairly model , Uncertain World Model, Wicked Witch Model Stevens, 1993. Anthony Downs 1957 dalam bukunya yang berjudul “An Economic Theory of Democracy“ mengidentifikasi bahwa model yang banyak berlaku adalah Wicked Witch Model model tukang sihir yang jahat. Down menjelaskan bahwa kepentingan pribadi partai politik atau pemasok politik terpilih mencoba untuk mengatur negara demokrasi dengan bersaing mendapatkan persetujuan pemilih dalam sebuah sistem aturan mayoritas. Menurut Down 1957, platform dan ideologi partai dapat digunakan sebagai acuan pemilih dan penstabilisasi preferensi politik pemilih. Tetapi karena kebanyakan Partai politik masih berorientasi : parties formulate policies in order to win election, rather than win election in order to formulate policies , sehingga hasil yang diperoleh cenderung 3 Dalam konteks demokrasi di Indonesia dimana wakil yang dipilih oleh publik yang duduk dalam lembaga legislatif DPR, DPRD dan wakil yang dipilih menduduki jabatan kepala daerah banyak yang tidak memenuhi asumsi ini, sehingga pemerintahan yang terbentuk sangat tidak representatif mewakili kepentingan publik. mendekati model tukang sihir yang jahat Wicked Witch Model. Downs 1957 memandang bahwa partai politik adalah kelompok pemasok regulasi, sehingga mereka bisa mengutamakan kepentingan mereka melalui berbagai regulasi yang disusun oleh wakil mereka di legislatif DPR, DPRD. Berkaitan dengan peminta demander regulasi, yakni masyarakat, perusahaan dan kelompok kepentingan, mereka dapat memilih berbagai tindakan. Bagi masyarakat, mereka dapat berpartisiapsi politik atau melakukan adaptasi pasar. Menurut Breton 1974 dan Stevens 1993, partisipasi politik dapat berupa bergabung pada sebuah kelompok kepentingan, melakukan lobby dan aktivitas personal lainnya, menyumbang uang kepada kandidat atau partai, atau bahkan menjadi kandidat sendiri. Sedangkan adaptasi pasar terhadap keputusan politik dapat dilakukan dengan migrasi geografis, kegiatan illegal atau bergabung dengan sebuah kelompok club. Sementara itu, dalam menghadapi keputusan politik perusahaan dapat beradaptasi melalui proses politik , melalui pasar atau keduanya. Jalur politik yang bisa ditempuh meliputi bergabung dengan kelompok kepentingan misal asosiasi, melakukan lobi, menyumbang kepada kandidat atau kepada partai misal dalam Pemilu, Pilkada atau bahkan masuk ke dalam partai politik kemudian menjadi kandidat. Adaptasi politik lainnya yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah melalui jalur pencarian rente Buchanan, Tollison dan Tullock, 1980. Pencarian rente rent seeking adalah sebuah usaha dengan menggunakan proses politik, sedemikian sehingga memungkinkan sebuah perusahaan atau kelompok perusahaan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang melebihi biaya oportunitasnya. Bagi kelompok kepentingan, yang umumnya mewakili konsumen, produsen, industri, pemilih, pekerja, pemerintah, dan lain-lain, akan melakukan tekanan-tekanan politik dan lobi untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya. Kelompok kepentingan ini jauh lebih berpengaruh karena mereka lebih terorganiasi dalam mempengaruhi kebijakan publik Beery, 1989. Kekuatan tekanan politik kelompok kepentingan ini tergantung pada ukuran, sumber daya dan juga orientasi politiknya. Mereka yang tergabung dalam kelompok kepentingan ini pada umumnya karena alasan keuntungan material Olson, 1965. Interaksi antara pemasok dan peminta regulasi kebijakan publik dapat memunculkan beberapa model antara lain : 1 The Stigler Model 1971 di mana model ini berkesimpulan bahwa produsen selalu menang ; 2 The Peltzman Model 1976, di mana baik produsen maupun konsumen dapat menang ; 3 The Becker Model 1983 dimana model ini lebih umum untuk diterapkan. Model Becker mengenali apa yang disebut sebagai kelompok penekan pressure group yang disebut sebagai kelompok kepentingan interest group yang dapat menggunakan pengaruh pada legislator untuk memperoleh keuntungan atau menghindari peraturan. Tiga model di atas telah mencoba mengkaji teori dan model-model dalam pemerintahan legislatif legislative governmenti. Asumsi model-model tersebut adalah bahwa pemasok politik yang ditunjuk appointed political supplier atau birokrat selalu melakukan apa yang dikehendaki oleh pemasok politik yang terpilih elected political supplier. Dalam konteks demokrasi, model-model tersebut merupakan demokrasi parlementer dimana legislatif yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk memilih dan menentukan siapa yang menjalankan kekuasaan kewenangan di eksekutif. Misalnya Kepala Daerah dipilih oleh DPRD untuk menjalankan kekuasaan eksekutif dan memimpin birokrasi. Dalam model ini diasumsikan Kepala Daerah dan birokrasi di bawahnya selalu menjalankan apa yang diputuskan oleh pemasok politik terpilih yakni DPRD. Dalam konteks riil dan dalam pandangan yang berlaku umum, yang terjadi adalah para agen pemerintah eksekutif atau birokrasi merupakan monster hydra-terpimpin Stevens, 1993. Buchanan 1989 bahkan mengidentifikasi bahwa ada kecenderungan yang jelas dalam perilaku yang mementingkan diri sendiri dari para aktor pejabat birokrat dalam proses politik yang mengarah kepada suatu keinginan untuk memperbesar kekuasaan pemerintah secara berlebihan dalam sektor publik yang tumbuh seperti ‘leviathan’ semacam anak ikan paus yang besar. Oleh karena itu, model ekonomi politik yang lengkap akan mencoba mempertimbangkan asumsi bahwa pemasok politik yang ditunjuk eksekutif juga akan mementingkan kepentingannya sendiri. Asumsi umum yang digunakan adalah bahwa eksekutif akan mencoba memaksimumkan anggaran mereka Niskanen, 1971. Ada beberapa isu yang perlu dibahas yaitu, pertama munculnya subgoverment dalam government yang dalam hal ini ditandai oleh adanya segitiga besi, di mana agen administratif birokrasi sebagai pihak ketiga diantara kelompok kepentingan dengan legislator. Berry 1989 dalam Stevens 1993 menggambarkan bahwa adanya “subgovernment” memberikan suatu “image” partisipasi yang sangat dihambat, stabilitas yang mempertahankan status quo, dan pengambilan keputusan yang terpusat pada birokrasi. Isu berikutnya yang menarik untuk diangkat adalah apa yang dibahas dalam administrasi public public administration. Dalam konteks administrasi publik, birokrasi dipandang memainkan peranan penting dalam pembuatan kebijakan policy making. Pandangan pertama tentang pemerintahan administratif administrative government berasal dari Weber 1946 yang menekankan bahwa organisasi dan otoritas sebagai kunci dalam melaksanakan hal-hal dalam pemerintahan Stevens, 1993. Weber percaya bahwa apa yang seharusnya ada dalam birokrasi adalah bagaimana otoritas tersusun dan bagaimana tugas dilaksanakan. Dalam terminologi Weber, otoritas dalam masyarakat modern adalah sah dan rasional jika mengikuti aturan dasar yang berlaku dalam masyarakat dan pemerintahan. Weber mengatakan bahwa untuk mempunyai birokrasi yang baik dan modern, maka harus ada unsur-unsur berikut : 1 Suatu pembagian hak hukumkekuasankewenangan yang jelas ; 2 Suatu hierarki vertikal atau rantai komando ;3 Sebuah aturan dan prosedur- prosedur formal ; 4 Pemeliharaan arsip files dan dokumen-dokumen lainnya; 5 Pegawai yang profesional. Isu lainnya yang terkait dengan birokrasi adalah model Niskanen’s budget maximization Niskanen, 1971. Model ini membahas jalur konflik antara legislatif dan birokrasi yang kemudian diperluas dan difokuskan pada keterkaitan antara pemasok politik terpilih dengan pemasok politik yang ditunjuk. Ada tiga unsur yang dibahas dalam hal ini, yaitu, monopoli bilateral, informasi asimetrik, dan maksimisasi anggaran. Menurut model Niskanen struktur birokrasi yang ada akan menciptakan situasi monopoli bilateral antara eksekutif dan legislatif. Dalam banyak kasus, karena birokrasi mempunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan legislatif, maka birokrasi mendominasi legislatif. Dalam hal maksimisasi anggaran, hipotesis Niskanen adalah bahwa birokrasi akan mengutamakan kepentingan sendiri dan membuat anggaran secara tidak efisien, apalagi jika mereka muncul sebagai pemenang dalam hubungan monopoli bilateral. Hipotesis Niskanen ini serupa dengan model pemerintahan legislatif Down, 1957 dan Buchanan, 1989, dimana birokrasi bisa menyerupai gaya penyihir yang jahat Wicked Wicth Model. Dengan penjelasan tersebut dapat dipahami terjadinya kecenderungan penyalahgunaan wewenang. Oleh karena itu isu penadbiran baik good governance menjadi penting untuk memitigasi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh pemasok regulasi. Menurut UNDP 1997 ada sembilan karakteristik yang saling terkait yang menandai adanya good governance prinsip-prinsip good governance yaitu : 1. Partisipasi Masyarakat : Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga- lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif. 2. Tegaknya Supremasi Hukum : Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. 3. Transparansi : tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. 4. Peduli pada pemangku kepentingan stakeholder : lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. 5. Berorientasi pada konsensus : tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. 6. Kesetaraan : Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. 7. Efektifitas dan Efisiensi : Proses-proses pemerintahan dan lembaga- lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. 8. Akuntabilitas : Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan. 9. Visi Strategis : Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Sebagai catatan akhir bab ini, dapat disimpulkan bahwa studi-studi terdahulu yang mengkaji keterkaitan antara korupsi dengan pembangunan sebagaimana telah diuraikan, pada awalnya lebih banyak mengupas dampak korupsi terhadap pembangunan ekonomi dan tipologi korupsi. Kemudian studi berikutnya mulai menganalisis keterkaitan antara korupsi dengan faktor ekonomi, politik dan budaya, tetapi pada umumnya kajiannya bersifat teoritis dan mikro didasarkan pada riset yang dilakukan hanya terhadap perilaku para agen pemerintah birokrasi. Sementara studi yang bersifat empiris lebih banyak mengkaji korupsi antar negara pada tingkatan makro. Chakrabarti 2001 dan Kuncoro 2004; 2006 serta Henderson dan Kuncoro 2004;2006 memang telah berusaha menjembatani analisis mikro-makro tersebut dengan menggunakan analisis “agent based model” yang mengembangkan model makro dari korupsi dengan fondasi model mikro yang kuat. Tetapi studi-studi tersebut juga belum mampu menjelaskan secara jelas dan rinci bagaimana mekanisme faktor ekonomi politik dan sosio kultural tersebut mempengaruhi korupsi. Penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana mekanisme terjadinya korupsi secara mendalam dan mengakar dengan menganalisis fenomena korupsi sejak masih dalam bentuk “bibitnya”. Hal ini dimungkinkan karena, titik masuk analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagaimana mekanisme dan proses perumusan regulasi. Titik masuk analisis tersebut juga memungkinkan studi ini menganalisis interaksi antar berbagai pemangku kepentingan partai politik, DPRD legislatif, eksekutif, pengusaha, masyarakat dan LSM, di mana faktor ekonomi politik dan budaya sangat mempengaruhinya. Dengan demikian studi ini menganalisis fenomena korupsi pada level mikro individu, pada tingkatan meso pengaturan organisasi administrasi politik lokal dan pada tingkatan makro dalam konteks pembangunan wilayah. III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konseptual