Instrumen-Instrumen yang Dapat Dipilih Masyarakat dan Perusahaan Menghadapi Paksaan

Sementara itu, kelompok yang menghadapi situasi penawaran berlebih over supply yang mempunyai permintaan kebijakan D 2 dan D 3 biasanya terdiri dari masyarakat umum citizen atau pengusaha kelompok pengusaha yang ingin masuk dalam bisnis komoditas A, pengusaha kecil atau menengah UKM akan meminta untuk menurunkan kebijakan yang restriktif. Untuk memudahkan penjelasan dan ilustrasi, kita perhatikan saja kelompok yang mempunyai permintaan D 2 misalkan saja masyarakat umum. Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 3 a dan Gambar 3 b, jika masyarakat umum bisa mempengaruhi pengurangan kebijakan yang restriktif menjadi hanya pada tingkat S 2 , maka mereka akan memperoleh kenaikkan surplus konsumen sebesar aQ b dan meningkatkan utilitas mereka dari I ke I 1 . Jika kemudian mereka dapat mempengaruhi pengurangan tax-price mungkin dengan subsidi sehingga dicapai keseimbangan pada harga Q 2 , maka surplus konsumen yang bisa dinikmati oleh masyarakat umum akan meningkat menjadi luas daerah aQ 2 c, dan kepuasan utilitasnya meningkat dari I ke I 2 yang lebih besar dari pada I 1 . Jadi, eliminasi terhadap koersi secara langsung berhubungan dengan maksimisasi kepuasaan. Namun demikian patut untuk di catat, bahwa Breton 1974 cenderung mengadopsi bahwa eliminasi terhadap koersi tersebut tidak serta merta disebabkan oleh alasan maksimisasi kepuasan semata. Dalam konteks ini, Rubens 1950 dalam Gonarsyah 1997 menemukan bahwa faktor politik dan sosial yang lebih menjadi alasan terhadap eliminasi koersi tersebut dibandingkan alasan-alasan kalkulasi ekonomi.

3.1.2. Instrumen-Instrumen yang Dapat Dipilih Masyarakat dan Perusahaan Menghadapi Paksaan

Coercion Serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya : Model Matematis Dari penjelasan sebelumnya, persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara mereka mengeliminasi koersi tersebut, instrumen apa yang akan dipilih? Menurut Breton 1974 dan Stevens 1993, dalam menghadapi situasi koersif tersebut, masing-masing kelompok dapat mempengaruhi perumusan, pelaksanan dan pengawasan regulasi agar regulasi yang ditetapkan sesuai dengan kepentingannya atau meminta tingkat pajak tax-price sesuai dengan kemampuan membayar willingness to pay yang dimilikinya. Dengan kata lain, jika suatu perusahaan menghadapi regulasi S, maka perusahaan tersebut akan berusaha melakukan berbagai tindakan dengan menggunakan instrumen-instrumen politik dan ekonomi yang dikuasainya, sehingga koersi yang dihadapi menjadi lebih kecil Breton, 1974. Sebagaimana telah dibahas pada sub bab 2.6, instrumen yang digunakan dapat legal atau illegal. Misalkan biaya yang harus dikeluarkan jika menggunakan instrumen legal yang bisa dipilih dinotasikan sebagai l, dan biaya menggunakan instrumen illegal dalam bentuk lobi dengan penyuapan dinotasikan sebagai b, serta penggunaan instrumen tersebut memerlukan waktu t, maka menghadapi regulasi S, perusahaan akan melakukan usaha sebesar fl,b,t agar regulasi S menjadi lebih dekat dengan S ~ regulasi yang diinginkan. Misalkan setelah melakukan usaha sebesar fl,b,t, perusahaan berhasil mencapai jarak sebesar S Δ yakni jarak antara regulasi S dengan regulasi yang diinginkannya yakni S ~ . Secara matematis hal ini dapat dinyatakan sebagai: , , ~ t b l f S S S = − = Δ 3.1 Persamaan 3.1 di atas dapat dituliskan sebagai : , , ~ t b l f S S − = 3.2 Usaha mengatasi koersi dengan fl,b, t ini sangat tergantung dengan biaya masing-masing instrumen untuk mencapai S , waktu yang diperlukan untuk mencapai , situasi yang dihadapi dan kondisi yang dimilikinya. Bagi masyarakat umum, cenderung akan menggunakan pergerakan sosial social movement atau aksi lain yang membutuhkan sedikit biaya tetapi memerlukan waktu yang sangat intensif seperti melakukan demonstrasi, memboikot, atau mengeluarkan sikap pro atau kontra terhadap suatu kebijakan tertentu. Sementara, bagi perusahaan yang telah ada dalam bisnis komoditas A atau punya kepentingan dengan bisnis tersebut kemungkinan akan memilih lobi dengan cara menyuap ~ S ~ menyogok, berkontribusi dalam bentuk uang dan sejenisnya terhadap partai politik, atau memberi hadiah gratifikasi kepada politisi atau pejabat agar regulasi dibuat sesuai dengan kepentingan dan diinterpretasikan sesuai dengan keinginan pengusaha tersebut Gonarsyah, 1997. Dalam konteks kondisi di berbagai daerah di Indonesia, lemahnya tata aturan kelembagaan ekonomi dan politik, serta pengaruh budaya masyarakat dan budaya birokrasi yang ada, melakukan penyuapan dan memberi hadiah kepada politisi atau pejabat pemerintah adalah pilihan yang biayanya relatif kecil dibandingkan keuntungan yang bisa diperoleh jika regulasi tersebut sesuai dengan keinginannya. Jalur formal melalui proses politik yang “benar”, di samping memakan waktu relatif lama juga tidak bisa menjamin peluang bahwa regulasi yang akan dirumuskan sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian dalam konteks di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa biaya mereduksi koersi melalui instrumen legal akan sangat mahal, sehingga perusahaan cenderung memilih instrumen illegal melalui lobi dengan penyuapan, memberi hadiah dan sejenisnya. Hal inilah yang kemudian mendorong terjadinya korupsi yang melibatkan pejabat eksekutif, legislatif dan pengusaha. Dengan mengadopsi model yang digunakan oleh Henderson dan Kuncoro 2004 serta diasumsikan perusahaan memilih menyuap, maka besarnya penyuapan dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi dapat dirumuskan sebagai berikut: Misalkan biaya untuk mencapai S regulasi yang diinginkan adalah ~ ~ S c , dimana c’,c’’ 0, maka perusahaan akan meminimumkan ~ S c ditambah biaya memilih jalur legal l , biaya penyuapan b dan biaya waktu untuk mereduksi koersi wt. Secara matematis dapat dituliskan sebagai : , , t w b l t b l f S c + + + − 3.3 Min di mana w’0 ; w’’ ≥0. Perusahaan atau masyarakat, akan menyuap sebesar b dan menggunakan waktu t untuk mereduksi koersi sedemikian sehingga : . . ; 1 . . ; 1 . . w f f S c f f S c f f S c t b l = − = − = − 3.4 Dengan asumsi bahwa persamaan 3.4 adalah well behaved function, maka dapat ditunjukkan bahwa besarnya korupsi atau penyuapan ditentukan oleh besarnya koersi akibat regulasi S atau secara matematis dapat dituliskan sebagai : ; ; S f t S f b S f l = = = 3.5 Sebagaimana telah dijelaskan bahwa penggunaan instrumen legal formal dalam menghadapi regulasi S dalam konteks di Indonesia menjadi sangat mahal, maka perusahaan atau masyarakat umum cenderung akan menggunakan instrumen lobi dengan penyuapan, pemberian hadiah atau gratifikasi dan sejenisnya. Hal inilah yang mendorong maraknya korupsi dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi. Berdasarkan model matematis yang dikembangkan tersebut, dapat diketahui bahwa besarnya korupsi yang dicerminkan oleh besarnya penyuapan b=uang suap dan waktu untuk berurusan dengan regulasi t dipengaruhi oleh tingkat regulasi S. Dengan demikian analisis bagaimana korupsi terjadi, meluas dan marak di berbagai daerah sangat ditentukan oleh banyaknya Perda dan regulasi yang kemudian menimbulkan berbagai masalah dalam pelaksanaannya. Makin banyaknya Perda yang bermasalah, maka makin banyak situasi koersif yang dihadapi pengusaha dan masyarakat umum. Dan semakin banyak koersi yang tercipta, maka semakin banyak pula terjadi korupsi. Oleh karena itu analisis terhadap terjadinya korupsi dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi akan diawali dengan mengaitkan korupsi dengan banyaknya perda yang bermasalah di berbagai daerah dan berbagai faktor ekonomi politik dan budaya yang ada dalam suatu daerah. Penjelasan dan analisis yang lebih dalam bagaimana mekanisme banyaknya regulasi “bermasalah” sehingga menimbulkan korupsi dapat dijelaskan melalui analisis terhadap bagaimana mekanisme terbentuknya regulasiPerda, siapa yang mengambil inisiatif awal munculnya suatu regulasi, bagaimana peranan akademisi didalam menyusun kajian sebelum suatu regulasi ditetapkan, faktor-faktor apa yang mempengaruhi masyarakat dan pengusaha kelompok pengusaha sehingga mereka cenderung memilih menyuap, memberi hadiah ke pejabat dan sejenisnya sebagai instrumen untuk memperbaiki situasi koersi yang dihadapi karena adanya regulasi tertentu. Sebagaimana dijelaskan oleh Breton 1974 dan Stevens 1993 bahwa kecenderungan pilihan pengusaha dalam memperbaiki koersi dengan instrumen suap dan lobi-lobi juga sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi, politik yang dihadapi serta faktor budaya yang menyertai kehidupan dirinya dan masyarakat umum di mana mereka tinggal misal budaya Jawa, Batak , Dayak, atau Minang, terutama budaya birokrasi. Secara matematis kecenderungan pengusaha untuk memilih lobi dengan menyuap, memberi hadiah dan sejenisnya dapat di dekati dengan konsep peluang. Misalkan peluang melakukan penyuapan adalah P i , maka P i =1 artinya perusahaan akan menggunakan lobi dan suap sebagai satu-satunya cara untuk mereduksi koersi, sementara jika P i =0, berarti perusahaan akan memilih cara legal formal dalam mengatasi koersi. Jadi peluang melakukan penyuapan menunjukkan kecenderungan perusahaan atau masyarakat memilih suap sebagai instrumen untuk mengatasi koersi yang dihadapinya. Dengan demikian, jika P i mendekati 1 dan semua perusahaan memilih lobi dan suap sebagai sasaran untuk mengatasi koersi dalam perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi, maka tingkat korupsi cenderung akan menjadi lebih besar. Penggunaan tingkat korupsi individu dengan menggunakan konsep peluang melakukan penyuapan ini sejalan dengan rumusan yang digunakan oleh Chakrabarti 2000, di mana tingkat korupsi seseorang diukur sebagai tingkat peluang seseorang tersebut melakukan ketidakjujuran atau dishonesty Index, sebagaimana diuraikan pada Bab II dan persamaan 2.1. Dengan mengawinkan rumusan Chakrabarti 2000 dan penjelasan yang disampaikan oleh Breton 1974 dan Stevens 1993 di mana kecenderungan pilihan pengusaha dalam memperbaiki redress koersi dengan instrumen suap dan lobi-lobi sangat ditentukan oleh kondisi sosial ekonomi, politik yang dihadapi serta faktor budaya yang menyertai kehidupan dirinya dan masyarakat umum serta pengusaha di mana mereka tinggal, maka secara matematis dapat diformulasikan bahwa : udaya , faktor b or politik nomi, fakt faktor eko f P i = 3.6 Dari sisi individu-individu pengusaha, faktor sosial ekonomi yang diduga mempengaruhinya melakukan penyuapan terhadap pejabat pemerintah atau legislatif dalam menghadapi koersi yang muncul akibat regulasi tertentu adalah tingkat pendidikan, umur pengusaha. Diduga makin tinggi tingkat pendidikan, umur seseorang yeng lebih tua, maka diduga cenderung akan memiliki peluang menyuap lebih kecil, karena pendidikan, umur mencerminkan sumber daya manusia yang mencerminkan kemampuan dalam akses yang lebik baik dalam informasi perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi, di mana dalam model Chakrabarti pengaruh sumber daya manusia terhadap tingkat korupsi adalah negatif. Sementara itu, dari sisi politik faktor-faktor yang mempengaruhi individu melakukan penyuapan adalah keterlibatan pengusaha dalam perumusan regulasikebijakan, pilihan partai politik pada pemilu 2004. Lebih lanjut, faktor sosial budaya yang diduga mempengaruhi pengusaha melakukan penyuapan adalah tempat lahir dan tempat tinggal didekati dengan asal suku pengusaha tersebut. Variabel tempat lahir, tempat tinggal dan suku bangsa mencerminkan tingkat budaya paternalistik dan feodalistik seseorang, dan budaya lokal lain yang jauh dari prinsip penadbiran baik good governance. Dalam model Chakrabarti, variabel-variabel budaya ini diduga mempengaruhi sifat pengambilan resiko risk taking individu. Diduga sesorang yang dilahirkan dan hidup dalam lingkungan budaya feodalistik cenderung mempunyai peluang menyuap lebih tinggi dibandingkan orang yang hidup dalam budaya egaliter. Beberapa budaya lokal yang tercermin dalam nilai dan pandangan hidup beberapa suku daerah di Indonesia seperti Jawa, Batak, Minang dan mungkin suku lain, yang berdampak buruk pada prinsip penadbiran baik. Prinsip “ mikul dhuwur mendhem jero ” pada kultur Jawa yang diterapkan dalam tubuh birokrasi sehingga membuat atasan dianggap selalu benar atau dibenarkan, atasan harus dipuja-puja keberhasilannya dan disembunyikan kelemahannya, atasan tidak boleh dikritik, bawahan menjadi ewuh pakewuh. Kemudian prinsip “anak dipangku kemenakan dibimbing ” yang mewarnai relasi sosial suku Minang yang kemudian mempengaruhi pola rekrutmen pejabat maupun pengadaan barang dan jasa pemerintah daerah. Termasuk juga pandangan hidup suku Batak yang melihat kesuksesan seseorang dilihat dari Hagabeon mempunyai banyak anak, Hamoraon kekayaan dan Hasangapon kehormatanpangkat. Sebenarnya dalam kondisi masyarakat yang harmoni, prinsip-prinsip budaya tersebut tidak menjadi masalah, tetapi dalam kondisi lingkungan masyarakat dan birokrasi yang disharmoni oleh kekuasaan, prinsip-prinsip budaya-budaya tersebut disalahgunakan dan “dimanfaatkan”, sehingga memberikan pengaruh terhadap terjadinya korupsi. Penentuan daerah yang dikategorikan sebagai daerah yang lingkungan budayanya cenderung feodalistik didasarkan atas kajian-kajian budaya yang dilakukan oleh Koentjaraningrat 1984, 1993, 2000 dan Mulder 2005. Koentjaraningrat dan Mulder mengidentifikasi bahwa budaya Jawa cenderung feodalistik dibandingkan dengan budaya-budaya lainnya. Adanya kelas priyayi dalam struktur penduduk di kebudayaan Jawa menunjukkan ciri feodalisme tersebut. Menurut Koentjaraningrat 1984 daerah-daerah yang termasuk dalam kebudayaan Jawa adalah seluruh bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Dalam konteks wilayah saat ini bagian wilayah budaya Jawa adalah Propinsi Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta dan Jawa Timur. Jika dilihat dari pembagian wilayah kebudayaannya, Pusat kebudayaan Jawa adalah di Kota Yogyakarta dan Kota Surakarta Solo dan sekitarnya yang dalam istilah kerajaan disebut sebagai sebagai Negarigung , dimana istana-istana kerajaan Jawa berada. Wilayah budaya Jawa lainnya adalah Pesisir Kulon wilayahnya meliputi Indramayu-Cirebon, Brebes, Tegal dan Pekalongan, Banyumas dan Bagelan wilayahnya meliputi Banyumas, Purwokerto, Wonosobo, Pesisir Wetan Demak, Kudus, dan sekitarnya serta wilayah Gresik dan sekitarnya, Surabaya wilayahnya meliputi Surabaya dan sekitarnya, Mancanegari wilayahnya meliputi Madiun, Kediri, Malang dan daerah delta sungai Brantas dan sekitarnya, Tanah Sabrang Wetan wilayahnya meliputi Banyuwangi dan sekitarnya . Faktor budaya suku Batak yang memegang prinsip kesuksesan yang dinilai dari Hamoraon banyak harta dan Hasangapon ikut memberi tekanan kepada masyarakat dan birokrat Batak untuk mencari keduanya dengan jalan korupsi. Dalam hal ini sesuai dengan analisis Koentjaraningrat 2002 daerah Suku Batak adalah KabupatenKota di Sumatera Utara yang meliputi daerah Dataran Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Dairi, Toba , Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Faktor budaya yang juga diidentifikasi terkait dengan penyuapan adalah kecenderungan pengusaha atau masyarakat tersebut untuk selalu memberi hadiah. Sebagaimana dikemukakan oleh Mauss 1896 bahwa hadiah yang diberikan oleh sesorang kepada orang lain tidak pernah gratis The gift is never free. Jadi perilaku seseorang yang cenderung untuk selalu memberi hadiah dalam berbagai urusan, cenderung akan memberikan beban hutang budi bagi orang yang diberi. Akhirnya pemberian hadiah ini akan cenderung menjadi penyuapan, terutama jika hadiah ini diberikan oleh pengusaha kepada birokrat agar pengusaha mendapat kemudahan dalam urusan bisnisnya. Sementara itu, dari sisi perusahaan, faktor-faktor yang mempengaruhinya melakukan penyuapan dalam menghadapi koersi akibat suatu regulasi adalah ukuran perusahaan, jenis usaha, umur perusahaan. Faktor sosial budaya yang mempengaruhi perusahaan melakukan penyuapan adalah lokasi usaha di daerah mana usaha tersebut berdiri hal ini mencerminkan tingkat budaya paternalistik dan feodalistik yang hidup dalam budaya birokrasi di daerah di mana perusahaan tersebut beroperasi. Faktor sosial budaya lainnya yang terkait dengan kecenderungan terjadinya penyuapan adalah sikap attitude birokrasi. Sikap birokrasi terlihat dari apakah pengusaha atau masyarakat merasa seorang birokrat itu memiliki sifat suka membantu helpful atau tidak, ketika pengusaha atau masyarakat berurusan dalam mengurus perijinan, pajak atau lainnya. Secara intuitif diduga bahwa sifat suka membantu tidaknya seseorang ini mencerminkan kecenderungan mereka terlibat dalam penyuapan. Mereka yang kurang helpful cenderung mengharapkan suap, sehingga pada awalnya pengusaha dipersulit atau diperlambat dalam mengurus administrasi yang terkait dengan regulasi. Tetapi, jika kemudian pengusaha memberi uang pelicin uang suap, birokrat tersebut berubah menjadi lebih helpful. Sikap birokrasi juga tercermin dalam apakah seorang birokrat mempunyai sifat kecenderungan menggunakan kesempatan berbuat tidak jujur atau menabrak aturan yang ditentukan jika ada kesempatan. Baik buruknya sikap seorang birokrat ditentukan oleh banyak faktor antara lain struktur insentif yang ia terima, tingkat pendidikan birokrat, agama dan suku. Diduga, birokrat yang digaji besar dalam pelaksanaan dan pengawasan regulasi, cenderung lebih helpful dibandingkan birokrat yang gajinya lebih rendah. Di duga juga birokrat yang latar belakang budayanya feodalistik Jawa dan budaya Hamoraon-Hasangapon Batak, memiliki attitude yang kurang baik dalam pelayanan agar ada peluang untuk memperoleh rente demi kekayaan dan kehormatanpangkat. Oleh karena budaya birokrasi yang feodalistik paternalistik, maka kepemimpinan leadership Kepala Daerah diduga sangat menentukan besaran korupsi. Beberapa daerah seperti Kabupaten Solok Sumatera Barat, Kabupaten Jembrana Bali, dan Kabupaten Sragen Jawa Tengah mempunyai kualitas kelembagaan yang sangat baik sebagai hasil dari kualitas kepemimpinan Kepala Daerahnya. Tingkat korupsi di daerah-daerah tersebut sangat rendah KPPOD, 2005. Dalam menganalisis kaitan antara korupsi dengan banyaknya regulasi yang bermasalah dan faktor-faktor ekonomi politik serta budaya, akan digunakan analisis ketergantungan dependency dengan menggunakan tabel kontingensi dua arah Chi-Square serta menggunakan analisis regresi. Pendekatan secara mikro dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam masyarakat dan perusahaan yang terlibat suap menyuap dengan birokrasi dalam proses perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi, akan menggunakan analisis tabel kontingensi dua arah Chi-Square dan dilanjutkan dengan menggunakan model regressi logistik Logistic Regression. Uraian lebih rinci tentang metode analisis akan diuraikan pada BAB IV. Selanjutnya, untuk menganalisis secara lebih dalam bagaimana mekanisme korupsi terjadi melalui perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi, studi ini akan melakukan kajian secara kualitatif dan mendalam terhadap dua regulasi yang telah diimplementasikan di daerah penelitian terpilih yaitu Perda tentang APBD dan Perda yang terkait dengan Perizinan Usaha. Dalam konteks pembangunan wilayah dua regulasi tersebut sangat penting. APBD merupakan regulasi untuk mengalokasikan sumber daya keuangan publik dalam proses pembangunan. Sementara Perda yang terkait dengan perizinan berfungsi sebagai pengatur aktivitas ekonomi wilayah. Regulasi-regulasi tersebut berpotensi menimbulkan persaingan tidak sehat, menghalangi akses masyarakat terhadap sumber daya, menghalangi lalu lintas barang antar daerah, jika dirumuskan dengan kualitas yang buruk. Kajian terhadap dua kelompok regulasi tersebut dilakukan secara kualitatif dan dimulai dengan menganalisis siapa yang mengambil inisiasi awal suatu regulasi, bagimana peranan akademisi dalam perumusan naskah akademik tentang suatu regulasi, sejauh mana naskah akademik tersebut diadopsi oleh birokrasi dalam memutuskan suatu regulasi. Untuk menganalisis apakah korupsi sudah membudaya, maka akan dilakukan analisis secara kualitatif baik lewat studi literatur maupun dengan menggali nilai-nilai dan pandangan hidup yang dipahami oleh seseorang pengusaha terhadap korupsi. Analisis dilakukan dengan menggunakan konsep yang dirumuskan oleh Koentjaraningrat 2007 dan Bourdieu dalam Sutrisno dan Putranto 2007. Koentjaraningrat memberikan kriteria bahwa sesuatu dikatakan telah menjadi nilai budaya cultural value jika sesuatu tersebut dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat dianggap sebagai sesuatu yang penting dan berharga dalam hidupnya. Sementara menurut Bourdieu kebiasaan memang sebagai sesuatu yang penting untuk mengkaji kebudayaan. Menurut Bourdieu kebiasaan merupakan kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara yang khusus gaya hidup, sebagai motivasi preferensi, cita rasa dan perasaan emosi dan sebagai perilaku yang mendarah daging. Mengikuti pendapat Freud 1961 tentang super ego yang merupakan wadah suara hati dan moralitas yang keduanya diturunkan dari masyarakat, khususnya dari sosialisasi dan ajaran atau didikan orang tua, maka kita bisa menganalisis apakah hati nurani dan moralitas masyarakat menganggap korupsi sebagai sesuatu yang tidak memalukan dan menilai sebagai sesuatu yang wajar.

3.2. Hipotesis Penelitian