reformasi dan desentralisasi, khususnya korupsi. Secara faktual Orde Baru runtuh setelah Soeharto lengser, tetapi secara ekonomi dan politik, serta
pengaruh kultur birokrasi yang diwariskannya, kekuatan serta pola-pola korupsi yang telah tertanam sekian lama baik di birokrasi maupun di masyarakat masih
terus tumbuh dan berkembang biak mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat hingga saat ini.
5.2. Konfigurasi Ekonomi Politik di Level Nasional pada Era Reformasi
Dengan pola kekuasaan Orde Baru yang sentralistik dan kuatnya pengaruh oligarki dalam setiap pengambilan kebijakan pembangunan
menyebabkan berbagai kebijakan pembangunan yang diambil cenderung menyesatkan misleading. Korupsi terjadi hampir di semua lini pemerintahan.
Korupsi yang masif dan kolosal yang dilakukan oleh rezim Orde Baru tersebut menyebabkan terjadinya krisis nasional yang mulai dirasakan pada media tahun
1997. Dipicu oleh regulasi keuangan dan perbankan yang sangat rentan bersamaan dengan krisis pengelolaan perbankan akibat kolusi antara bankir–
pengusaha–birokrat, krisis ekonomi 1998 pun terjadi. Krisis tersebut berdampak pada merosotnya kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat banyak.
Pertumbuhan ekonomi tahun 1998 mengalami kontraksi sampai lebih dari 13, nilai tukar rupiah merosot tajam hingga menyentuh Rp 16 000US dan inflasi
mencapai lebih dari 80 pada kuartal ke-3 tahun 1998 Hill, 1999 dan MacIntyre,1999
Krisis ekonomi tersebut merambat ke krisis politik tahun 1998. Demonstrasi mahasiswa terjadi di mana-mana menuntut pengunduran diri
Soeharto. Puncaknya adalah terjadinya kerusahan Mei 1998 yang dipicu oleh tertembaknya empat mahasiswa Universitas Trisakti. Puncak krisis politik
tersebut adalah mundurnya Presiden Soeharto pada tgl 21 Mei 1998 dari kursi Kepresidenan yang telah 32 tahun digenggamnya Elson, 2001.
Secara legal formal kekuasaan otoritarian Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, memang sudah “habis” sejak 21 Mei 1998. Tetapi secara
politik, pola dan jejaring rente Soeharto belum pernah mati. Hal ini didukung oleh beberapa alasan berikut. Pertama, begitu Soeharto mengundurkan diri,
yang menggantikannya adalah bukanlah seteru politiknya yang memenangkan perkelahian melawannya. Melalui berbagai kebijakan politik pada masa transisi
yang dipegang oleh Habibie beberapa UU Politik waktu itu masih mengakomodasi dan melindungi kepentingan Orde Baru. UU Politik tersebut
juga belum menjamin netralitas birokrasi pada pemilu. Alih-alih Presiden Habibie memberantas korupsi warisan Orde Baru,
malahan berbagai kebijakan diambil untuk menyelamatkan jejaring rente Orde
Baru. Berbagai tuntutan untuk mengusut dan mengadili Soeharto, sama sekali tak dihiraukannya. Bahkan praktek korupsi masih dan terus meluas dengan
memanfaatkan kontrak-kontrak melalui keuangan negara dan juga melalui perusahaan-perusahaan negara BUMN. Kasus seperti Skandal Bank Bali dan
BLBI adalah puncak gunung es korupsi pada masa pemerintahan Habibie
10
. Skandal Bank Bali ini melibatkan Partai Golkar dan Tim Sukses Habibie untuk
pencalonan Presiden tahun 1999, karena dua aktor utama pembobol Bank Bali yakni SN dan JT tertera menjadi tim suksesnya. Dua kasus inilah yang
kemudian menjungkalkan Habibie dari pencalonan kursi presiden pada tahun 1999 Aditjondro,2006.
Alasan ke-dua adalah bahwa secara jaringan bisnis dan ekonomi modal Soeharto sangat besar. Hal ini tidak diragukan lagi, karena selama memerintah
dan berkuasa dengan oligarkinya, kemampuan keuangan dan ekonomi yang dikumpulkannya beserta keluarganya cukup untuk membuat perekonomian
Indonesia bergantung padanya. Kekayaan ini relatif tidak berkurang ketika Soeharto turun dari tahta. Tak ada tindakan yang membekukan kekayaannya,
sehingga cukup banyak waktu baginya untuk mengkonsolidasikan dana tunainya. Belum lagi dana-dana dari jejaring rente yang diperoleh semasa dia
berkuasa Tempo, Edisi 29 Desember 1998 - 4 Januari 1999. Alasan yang ke-tiga adalah basis kekuatan dan kekuasaan pejabat, sipil
dan militer serta seluruh jaringan birokrasi dari pusat sampai ke daerah adalah merupakan hasil binaan Orde Baru selama 32 tahun berkuasa. Semua berhutang
budi padanya. Banyak rahasia yang menyangkut mereka ada ditangan Soeharto terkait keterlibatan mereka dalam oligarki Orde Baru. Meskipun ada yang
10
Lihat Aditjondro 2006, halaman : 297-386
berusaha menjauhi agar tidak dicap sebagai kroni Soeharto, tetapi secara mental tak ada yang berani terang-terangan melabrak Soeharto kalau berhadap-hadapan
langsung. Lebih dari itu seluruh sistem birokrasi dari pusat sampai ke daerah sudah terjangkiti praktek-praktek kotor Orde Baru yakni korupsi, kolusi dan
nepostisme KKN. Budaya birokrasi yang bersifat patrimonial dan feodalisme ikut
memperparah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme
11
. Lamanya Orde Baru memerintah membuat kanker KKN tersebut selalu mewarnai kehidupan
masyarakat. Ibarat kanker, intinya sudah diangkat, tetapi jaringan lainnya yang sudah terjangkiti, tetap ada dan masih dapat menjadi bibit kanker ganas
lanjutannya. Itulah analogi bagaimana “kanker ganas” korupsi pada era Orde Baru yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi dan politik di era reformasi.
Alasan ke-empat mengapa pengaruh dan pola-pola Soeharto belum mati hingga saat ini adalah karena kekuatan reformasi tidak cukup siap mengambil
alih kekuasaan dan menawarkan alternatif yang lebih baik
12
. Adaptasi demokrasi liberal yang secara efektif sejak tahun 1999 melalui empat kali
amandemen konstitusi memang membawa Indonesia pada kualitas demokrasi formal prosedural yang lebih baik. Selain itu terdapat peningkatan yang cukup
berarti dalam kebebasan berorganisasi dan berpendapat serta kebebasan pers. Partai-partai politik bermunculan. Lihat saja ada 48 Parpol yang ikut pemilu
tahun 1999. Mereka semua mengaku sebagai kekuatan reformasi. Bahkan karena keberhasilannya dalam penyelenggaraan pemilu tahun 1999 yang
berlangsung aman dan demokratis itu, Indonesia disebut sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.
Namun, kekuasaan birokratik otoritarian yang telah digantikan dengan kekuasaan partai-partai politik faktanya sampai hari ini tidak mampu mengubah
11
Lihat Dwiyanto, et al 2006.
12
Wardaya dalam Kompas, 6 Juni 2007 melihat bahwa gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa memang mampu menumbangkan sebuah rezim, tetapi gagal membangun alternatif
yang lebih sesuai dengan aspirasi rakyat. Dibandingkan dengan gerakan mahasiswa zaman pergerakan melawan pemerintah kolonial, mahasiswa dan kaum terpelajar relatif berhasil.
Mereka sukses dalam menumbangkan rezim kolonial represif, tetapi juga berhasil dalam menciptakan sistem alternatif. Hal ini disebabkan era gerakan reformasi mahasiswa enggan
menekuni berbagai bacaan di luar studi formal, khususnya bacaan-bacaan sosial politik atau dasar-dasar pemikiran filsafat. Hal ini juga disebabkan oleh tidak adanya pendidikan politik
yang sehat. Akibatnya reformasi gegap gempita di jalan raya, namun sepi dalam teori, sehingga ketika rezim yang mereka lawan runtuh, para mahasiswa tidak mampu menyodorkan alternatif.
pola-pola akumulasi kekuasaan politik dan kekayaan ekonomi berbasis jejaring rente yang merupakan warisan melekat dari rezim Orde Baru
13
. Fakta lainnya adalah hampir semua partai-partai politik yang ada, masih
berorientasi pada kepentingan sesaat, myopic, dan oportunis. Mereka lebih mementingkan kepentingan kelompok masing-masing. Bahkan di antara mereka
terkesan membagi-bagi kekuasaan yang diperolehnya dari Soeharto. Imbal beli serta politik dagang sapi yang berbasis pada pola patron klien dan jejaring rente
yang menghidupinya, dengan memanfaatkan irasionalitas politik massa-massa akar rumput menjadi faktor utama kalkulasi politik dari parpol-parpol hingga
saat ini
14
. Parpol-parpol sama sekali tidak punya platform untuk membangun
kesejahteraan masyarakat secara serius. Tidak juga punya platform progresif dalam arti bertujuan untuk melakukan perubahan-perubahan subtansial terhadap
struktur-struktur ekonomi politik Indonesia dan tidak ada juga yang berniat mengubah kestabilan pola patron-klien dan jejaring rente yang menjadi basis
keberadaan politik formal Indonesia. Rasionalitas politik yang bertumpu pada partisipasi elemen-elemen masyarakat sipil dalam panggung politik nasional
serta pertarungan kepentingan yang berdasarkan cita-cita dan platform kesejahteraan rakyat belum menjadi parameter penentu dalam konfigurasi politik
nasional Indonesia pasca Pemilu 1999 dan pasca Pemilu 2004. Dengan kata lain, bangsa Indonesia saat reformasi ini surplus politisi, tetapi defisit negarawan
baik di level pemerintahan pusat maupun di daerah-daerah. Lihat saja hasil pemilu 1999 Tabel 2 dan apa yang dilakukan oleh
parpol-parpol pemenang “bersama” pemilu tersebut. Pemenang “bersama” pemilu tersebut bukan partai-partai modern yang mempunyai platform kuat dan
jelas. Partai-partai besar pemenang bersama pemilu 1999 tersebut seperti PDIP, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKB serta Partai Demokrat dan PKS pada pemilu
13
Itulah mengapa kemudian timbul paradox : disamping disebut sebagai negara demokratis karena keberhasilan Pemilu 1999, secara bersamaan Indonesia menurut laporan Transparancy
Internasional tahun 1999 masuk sebagai negara paling korup ke-tiga.
14
Lihat Laporan majalah Tempo, Edisi 1-7 November 1999 yang memaparkan bagaimana politik “dagang sapi” dipraktekkan dalam menyusun kabinet pada masa Presiden Abudurrahman
Wahid. Lewat laporannya yang berjudul “Tangan-tangan dibalik Kabinet Kompromi” tergambar dengan jelas bagaimana Abudurrahman Wahid, Amin Rais, Megawati, Wiranto dan Akbar
Tanjung melakukan politik dagang sapi. Oleh karena itu kabinetnya disebut juga sebagai kabinet pelangi.
2004 tidak punya visi yang jelas dalam membangun bangsa dan hanya berkepentingan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan politiknya dan
kekayaan ekonominya. Hal ini terlihat dengan apa yang dilakukan oleh tokoh- tokoh dan pimpinan partai pasca pemilu 1999. Politik “dagang sapi” dalam
menyusun kabinet dan juga pimpinan lembaga-lembaga negara. Jika ditelisik lebih dalam lagi politik dagang sapi ini menghasilkan kabinet yang
“superkompromi”
15
Konon orang-orang yang duduk dalam kabinet tersebut digaransi kualitas dan integritasnya oleh elite ketua umum parpol-parpol yang
memperoleh suara cukup banyak pada pemilu
16
. Jika kabar ini benar, maka Pemilu tahun 1999 yang menghabiskan dana dengan jumlah yang sangat besar
dan melibatkan seluruh rakyat Indonesia, secara prosedural memang demokratis, tetapi secara subtansial belum demokratis, karena orang-orang yang
duduk dalam kabinet dan jabatan publik lainnya mengindikasikan adanya oligarki politik oleh 5 orang yang dianggap sebagai elite politik waktu itu
17
. Di sini terlihat bagaimana dominannya elite politik dalam mengambil keputusan
strategi jabatan menteri. Dalam konteks budaya, pola pengambilan keputusan yang didominasi oleh elite parpol ini mencerminkan budaya paternalistik yang
masih menghinggapi kehidupan ekonomi dan politik pada Era Reformasi ini. Babak berikut dari drama politik hasil pemilu tahun 1999 selain berhasil
memproduksi UU sebagai penegasan pengadopsian demokrasi liberal dan ekonomi pasar dalam tata kehidupan bernegara kita, pasca Pemilu 1999 parpol-
parpol yang duduk dalam kursi DPR dan di kabinet serta jabatan publik lain berhasil memperluas jejaring cengkeraman partainya terhadap sumber-sumeber
keuangan negara. Pembagian kekuasaan melalui bagi-bagi kursi di kabinet dan pejabat negara antar parpol-parpol tersebut berujung pada penguasaan sumber-
sumber keuangan parpol dari pundi-pundi negara. Kasus-kasus seperti Bulogate seri 1-3, Skandal Bank Mandiri, Skandal Tanker Pertamina, BLBI Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia serta berbagai kasus lainnya memberikan indikasi kuat bahwa partai-partai politik benar-benar berusaha mengontrol pundi-pundi
15
http:www.mail-archive.comitbitb.ac.idmsg09449.html
16
Lihat Tempo, Edisi 1-7 November 1999
17
Simak apa yang dilaporkan oleh Majalah Tempo edisi 1-7 November 1999 lewat laporan utamanya yang berjudul “Tangan-tangan di Balik Kabinet Kompromi”.
negara sebagai sapi perahnya. Pola-pola ini tidak jauh beda dengan yang terjadi pada masa Orde Baru, dimana penguasa mencoba memanfaatkan perusahaan
negara BUMN untuk kepentingan politik dan ekonomi kelompoknya. Lewat berbagai kekuasan dan keputusan yang menjadi wewenangnya mencoba
mengeruk rente. Jadi masih persis sama dengan korupsi yang dilakukan oleh Orde Baru, yakni menggunakan kekuasaan dan regulasikebijakan yang menjadi
wewenangnya untuk mengeruk rente .
Tabel 2. Distribusi Kursi DPR Hasil Pemilu 1999
No Partai Kursi
Persentase 1 PDIP
153 30.60
2 Golkar 120
24.00 3 PPP
58 11.60
4 PKB 51
10.20 5 PAN
34 6.80
6 PBB 13
2.60 7 PK
7 1.40
8 PDKB 5
1.00 9 PNU
5 1.00
10 PKP 4
0.80 11 PDI
2 0.40
12 PBI 1
0.20 13 PKD
1 0.20
14 PDR 1
0.20 15 IPKI
1 0.20
16 PP 1
0.20 17 PSII
1 0.20
18 PNI-MM 1
0.20 19 PNI-FM
1 0.20
20 PPI Masyumi
1 0.20
21 PKU 1
0.20 TNI
POLRI 38
7.60 Total
500 100
Sumber : Tempo, 12 September 1999
Presiden Abdurrahman Wahid akhirnya tumbang dan harus turun dari kursi kepresidenan, karena diduga tersangkut kasus Bulogate dan Bruneigate.
Lewat Sidang Istimewa MPR tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid di- impeach
dan Megawati, Sang Wakil Presiden naik menjadi Presiden. Lewat Sidang Istimewa tersebut, MPR juga mengangkat Hamzah Haz sebagai wakil
Persiden. Pergantian pemerintahan ini pun tidak mampu memberikan perubahan berarti dalam pola jejaring rente dalam lingkaran Presiden Megawati. Rebutan
jabatan dalam posisi-posisi strategis dalam BUMN, marak dilakukan oleh parpol-parpol yang memperoleh kekuasaan waktu itu. Praktek budaya
patrimonial marak di mana-mana. Tujuannya tentu satu, memperbesar pundi- pundi parpol dan kantong kelompoknya dengan memanfaatkan dana publik. Di
sini batas publik dan batas wilayah pribadi atau kelompok menjadi kabur. Untuk memperkuat kekuasaan dan struktur jejaring rentenya lewat
birokrasi, pejabat di berbagai daerah juga ditentukan oleh Sang Presiden yang juga ketua umum PDI-P. Perebutan kursi Gubernur, Bupatiwali Kota di
berbagai daerah pada era desentralisasi merupakan usaha elite kekuasaan nasional untuk memperluas struktur jejaring rentenya ke daerah
18
. UU No 221999 memberi peluang bagi Megawati untuk memainkan peran dalam
penentuan BupatiWalikota dan Gubernur, karena setelah dipilih oleh DPRD, BupatiWalikota atau Gubernur baru bisa dilantik jika Presiden menyetujuinya.
Demikianlah UU 221999 mengaturnya. Sebagai bukti bagaimana Presiden dan beberapa parpol lainnya terlibat dalam penetrasi birokrasi di daerah adalah kasus
pemilihan Gubernur di Kalimantan Timur, di Jakarta, dan di Jawa Tengah. Kemudian juga Pemilihan wali kota Malang. Kasus ini melibatkan kepentingan
salah satu partai ke daerah dan juga kepentingan orang lokal sendiri. TS orang dekat Megawati dan juga pengurus PDI-P diduga terlibat penyuapan uang
miliaran rupiah dalam menggolkan salah satu kandidat dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Timur
19
. Dalam kasus pemilihan Gubernur maupun Bupati ini pengaruh elite
parpol di pusat dan kebetulan duduk dalam pemerintahan sangat kuat. Kasus Pemilihan Gubernur Lampung dapat digunakan sebagai contohnya. ADT yang
berduet dengan ASY yang dicalonkan oleh DPD PDI-P Lampung, tetapi tidak mendapat “restu“dari DPP PDI-P di Jakarta. Walaupun kemudian ADT dan
ASY menang, tetapi Hari Sabarno yang menjabat sebagai Mendagri Menteri Dalam Negeri waktu itu yang merupakan kepanjangan tangan dari Megawati
18
Zaman Orde Baru Soeharto juga melakukan penetrasi kekuasaan lewat BupatiWali Kota. Hanya saja sekarang posisi itu harus diperoleh melalui pertarungan di daerah dengan berbagai
kelompok kepentingan lainnya dan sering kali politik dagang sapi digunakan sebagai cara untuk berkompromi antar kelompok kepentingan tersebut.
19
Tempo, edisi 13 Juli 2003
tidak bersedia melantik. Contoh ini menunjukkan besarnya pengaruh pusat dalam menetapkan pejabat di daerah. Dengan model pemilihan Kepala Daerah
demikian, maka bisa dikatakan bahwa Kepala Daerah terpilih adalah kepanjangan tangan elite pusat untuk memperkuat struktur jejaring kekuasaan
dan jejaring rentenya. Inilah yang kemudian banyak mewarnai proses desentralisasi dan pembangunan wilayah di Indonesia.
Sementara itu pengaruh parpol di pusat terhadap daerah terutama persoalan desentralisasi juga dilakukan melalui DPR. Pada pemerintahan
Megawati dan saat-saat awal penerapan otonomi daerah, bahkan mungkin sampai sekarang, Dana Alokasi Umum DAU yang setiap tahun diberikan ke
daerah digunakan sebagai instrumen DPR untuk arena penyuapan. Pada awalnya daerah meminta kepada oknum di Depdagri dan Depkeu agar DAU
daerahnya sebesar yang diminta. Tetapi, jika ini ditolak pihak Depdagri maupun Depkeu, maka daerah lewat pejabat yang diutus meminta anggota DPR untuk
“memperjuangkan” DAU buat daerah tersebut di Panitia Anggaran DPR. Imbalannya adalah persentase dari besarnya DAU. Hal ini sudah menjadi
tradisi setiap tahunnya. Indikasi ini dapat dilihat dari anggaran di beberapa daerah yang mencantumkan item pengurusan DAU yang besarnya ratusan juta
rupiah setiap tahunnya
20
. Hal yang sama juga dilakukan oleh elite daerah untuk menggolkan rancangan UU Pemekaran Wilayah di daerahnya.
Menjelang Pemilu 2004, partai-partai politik sudah semakin gencar melakukan konsolidasi. Mereka semakin intensif meraup dana sebesar-besarnya,
secepat-cepatnya, terutama untuk dana kampanye. Tokoh-tokoh partai yang berada di dalam pusaran kekuasaan paling berpeluang secara langsung maupun
tak langsung memeras sumber-sumber dana publik dan badan usaha milik negara BUMN. Konsesi-konsesi ditawarkan kepada para pengusaha besar, terutama
yang masih dibelit masalah. Tender-tender proyek dan pengadaan barang dan jasa pemerintah juga cenderung akan semakin kotor Basri, 2003.
Sekedar untuk memberikan ilustrasi adalah terungkapnya korupsi di Bulog pada masa kepemimpinan WP dan korupsi di Departemen Kelautan dan
Perikanan DKP yang melibatkan RD pada masa pemerintahan Presiden
20
Lihat http:antikorupsi.orgmod.php?mod=publisherop=viewarticleartid=7896
Megawati. Aliran dananya ke berbagai Tim Sukses Pasangan Calon Presiden dan Wapres serta ke beberapa anggota DPR periode 1999-2004 sampai DPR
periode 2004-2009 menunjukkan bagaimana rente dikeruk dari dana publik. Seperti diketahui bahwa dana nonbudgeter di DKP yang dikorupsi tersebut
berasal dari pungutan 1 terhadap proyek DKP dari tahun 1999-2005. Lewat Dirjen dan Kepala Kanwil propinsi DKP 1999-2005 berhasil terkumpul dana
sebesar Rp 24 Miliar. Kasus Dana DKP tersebut dan pasti banyak kasus-kasus dana
nonbudgeter lain di departemen-departemen lain, menunjukkan bagaimana orang-orang parpol berusaha memperbesar pundi-pundi keuangan partai untuk
dana kampanye dan kepentingan pribadinya. Kasus Korupsi di DKP hanyalah puncak gunung es dari berbagai kasus korupsi yang terjadi hingga saat ini.
Diperkirakan di departemen-departemen dan di berbagai BUMN telah menjadi ajang parpol untuk memperbesar pundi-pundi keuangan parpol menjelang
pemilu. Memang sulit untuk mengungkap dan membuktikan secara hukum korupsi pada masa itu, tetapi hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat LKPP menemukan banyaknya ”rekening liar” di setiap departemen yang nilainya mencapai trilyunan rupiah. Audit BPK terhadap
LKPP tahun 2004-2005 menemukan rekening liar sebanyak 1892 dengan nilai Rp 9.08 Trilyun. Sementara audit LKPP tahun 2006 menemukan adanya 2 114
rekening senilai Rp 2.6 trilyun. Sangat mungkin rekening-rekening liar tersebut asal muasal dananya dan penyalurannya sama dengan pola skandal korupsi di
DKP. Hal krusial lainnya yang kemudian sangat menentukan perjalanan
demokrasi di Indonesia berikutnya adalah ditetapkannya UU Pemilu Presiden tahun 2003 untuk penyelenggaraan pemilu tahun 2004. UU Pemilu Presiden
yang ditetapkan pemerintahan Megawati bersama anggoata DPR periode 1999- 2004 menetapkan bahwa Presiden dan Wapres dipilih langsung oleh rakyat dan
pencalonannya harus dilakukan melalui parpol atau gabungan parpol. Adopsi demokrasi demikian memang tidak salah. Di beberapa negara maju yang partai
politiknya modern dan mapan, proses pemilihan langsung dan pencalonan lewat parpol dan gabungan parpol mampu menghasilkan pemimpin yang mempunyai
integritas dan berjiwa kenegarawanan. Tetapi ditengah lemahnya parpol dan sistem kepartaian yang dimiliki Indonesia saat ini, ”monopoli” pengusulan
calon Presiden oleh parpol lewat UU tersebut menimbulkan banyak persoalan. Melihat karakter parpol beserta elite-elite parpol yang ada di dalamnya,
maka mekanisme yang terdapat dalam dua UU tersebut dapat digunakan sebagai arena untuk mengeruk rente oleh anggota parpol. Aturan inilah yang membuat
kandidat yang terpilih akan melakukan politik balas budi terhadap parpol yang mendukungnya, apalagi kalau si calon berasal dari luar parpol. Pola demikian
akan makin berbahaya manakala orang yang duduk dan menetukan dalam parpol adalah pengusaha. Dan fenomena yang menarik pada Pemerintahan Megawati,
terutama menjelang Pemilu 2004 yakni masuknya beberapa mantan pejabat dan pengusaha besar yang pada zaman Soeharto ikut menopang oligarkinya ke
dalam partai politik yang bertarung pada pemilu 2004. Masuk dan duduknya berbagai pengusaha besar di partai-partai politik ini menegaskan bahwa kontrol
korporasi terhadap parpol dan kemudian terhadap pemerintahan makin besar. Melalui keterlibatan pengusaha yang duduk dalam kepengurusan parpol,
pengusaha tersebut secara intens dalam membiayai kampanye Pemilu Presiden. Hal ini akan membuat semacam hutang budi bagi mereka yang didanai oleh
pengusaha tersebut. Akhirnya ketika, kandidat berhasil terpilih, politik balas budi kepada penyandang dana saat kampanye pun harus dilakukan. Jabatan-
jabatan publik banyak yang akhirnya jatuh ke tangan pengusaha. Lahirlah pengusaha-birokrat dalam satu nyawa. Akhirnya, lisensi-lisensi dan proyek-
proyek pembangunan dengan berbagai cara akhirnya jatuh ke tangan-tangan pengusaha yang menyandang dana kampanye tersebut. Sebagai ilustrasi Tabel 3
di bawah memberikan gambaran beberapa proyek-proyek yang tendernya dimenangkan oleh beberapa kelompok pengusaha.
Hal itulah yang merupakan bahaya demokrasi, dimana pengusaha yang dalam teori Representative Government adalah peminta demander
terhadap regulasi, berperan sekaligus sebagai penentu regulasi dalam pemerintahan atau sebagai pemasok supplier regulasi. Jadi bisa diperkirakan
apa yang akan terjadi jika pengatur regulator sekaligus pemain bisnis. Jangankan birokrat yang sekaligus pengusaha, politisi-politisi yang duduk di
DPR pun juga pengusaha atau berperan sebagai broker-broker pengusaha untuk memperoleh proyek pemerintah, menggolkan proyek pemerintah untuk
kelompok usahanya bahkan menjadi broker bagi pemerintah daerah untuk memperjuangkan DAU daerah-daerah dalam rangka desentralisasi.
Tabel 3. Kelompok Usaha , Perusahaan dan Proyek yang Dimenangkan dalam Tender tahun 2005
Pemilik Usaha Nama Perusahaan
Proyek yang Dimenangkan dalam Tender PT Bukaka Teknik
Utama, Tbk Bersama PT INKA, PT LEN Industri dan
Siemens Technology Inc., Bukaka memenangi tender proyek monorel di Jakarta,
dengan nilai proyek S 498 juta Group Kalla Yusuf
Kalla
PT Buaka Marga Utama
Membangun tiga ruas jalan tol. Pertama ruas Ciawi- Sukabumi 54 kilometer dengan nilai
US 420 juta Kedua, Pasuruan Purbalinggo 40 km, US 192 juta, Ketiga Cikampek-
Palimanan 114 km, Bukaka Menggarap 37 km
Konsursi M
um Bosawa arga Nusantara
Pembangunan Jalan Tol Makasar Seksi IV 11 km, US 49 juta
PT Bosawa Trading Membangun jalan Tol Depok – Antasari 18,2
km, US 237 juta bersama konsursium dengan anggota PT CMNP Tbk, PT Waskita
Karya, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Hutama Karya
Grup Bosawa Akhsa Mahmud,
Wakil Ketua MPR dan Adik Ipar Yusuf
Kalla
PT Bosowa
Energi Membangun PLTU , Jeneponto Sulawesi
Selatan PT South East Asia
Pipe Industries Pipa Gas Bawah laut PT PGN Tbk
PT Energi Mega Persada
Pemasok Gas Ke PT PLN di Jawa Timur dan juga untuk PT PGN, PT Pertamina, dan PT
Petrokimia Gresik PT Bakri Power
Melanjutkan Proyek PLTU Tanjung Jati A di Cilacap
PT Bakrie Investindi Jalan Tol Kanci -Pejagan
PT Bakri Telecom Memperluas wilayah layanan telekomunikasi
ke seluruh Indonesia melalui kerjasama dengan Indosat StarOne
Keluarga Bakri
Sumber : Elfri Ritonga ICW dalam Tempo, 4 Desember 2005, Halaman 122-123
Dan akhirnya, apa yang dikhawatirkan tersebut terjadi pasca pemilu 2004. Hal ini terlihat dari bagaimana komposisi jabatan menteri di kabinet
Indonesia Bersatu yang diumumkan oleh Presiden SBY, di mana dihuni banyak pengusaha yang berkontribusi besar terhadap dana kampanye. Hal tersebut
menyebabkan makin kuatnya lobi pengusaha untuk menempatkan wakilnya di jabatan menteri. Bahkan ditengarai jabatan setingkat eselon I yakni Dirjen dan
direktur-direktur di BUMN dan lembaga non departemen seperti Bulog pun menjadi rebutan parpol besar di mana pengusaha mempunyai akses untuk
mempengaruhi keputusan di departemen ini
21
. Acara reshuffle kabinet yang setiap tahun digulirkan merupakan usaha parpol untuk memperoleh jabatan
menteri. Itulah mengapa kendati SBY-JK terpilih lewat Pemilu Langsung tahun 2004 yang diadakan pertama kali di bumi Indonesia, secara ekonomi politik,
SBY tidak bebas dalam menentukan susunan kabinetnya. Bahkan pengaruh parpol dan pengusaha sangat besar untuk menentukan siapa yang akan duduk di
jabatan-jabatan publik tersebut. Karakter kepemimpinannya yang lemah dan peragu serta kurangnya dukungan dari partai politik pendukungnya yakni Partai
Demokrat di parlemen membuat posisi kepemimpinan SBY menjadi sangat lemah dalam mengambil setiap keputusan. Akhirnya Yusuf Kalla, sang Wakil
Presiden yang juga saudagar menjadi lebih dominan, baik dalam menyusun kabinet atau berbagai keputusan strategis penting yang lain. Orang-orang Yusuf
Kalla, seperti Aburizal Bakrie, Fahmi Idris dan Hamid Awalludin, melalui lobi Kalla ke SBY akhirnya masuk ke kabinet. Terbentuklah kabinet pedagang atau
“kabinet saudagar” karena banyak pengusaha yang menjadi anggota kabinet. Dominasi Golkar di DPR dan di eksekutif makin kuat ketika Yusuf
Kalla yang juga wakil Presiden terpilih sebagai ketua Umum Golkar periode 2004-2009 lewat Musyawarah Nasional ke-7 di Nusa Dua Bali. Akhirnya Sang
Wakil Presiden, adalah Ketua Umum Parpol dan juga pengusaha. Memang perangkapan jabatan wakil Presiden dan Ketua Umum Partai bukan hal yang
baru di Indonesia. Tetapi perangkapan jabatan ini akan menjadi persoalan ditengah harapan masyarakat terhadap janji-janji kampanye SBY-JK dalam
Pemilu Presiden. Seperti diketahui, sejak era reformasi masyarakat berharap banyak dapat menyalurkan aspirasinya melalui lembaga DPR dan DPRD.
Harapan ini ternyata masih jauh panggang dari api. Apalagi setelah menyaksikan Sang Wakil Presiden, yang juga sekaligus sebagai Ketua Umum
Partai Golkar. Bagaimana kontrol legislatif atau parpol bisa dilakukan terhadap eksekutif, jika parpol yang punya wakil di DPR dikendalikan oleh Sang Wakil
Presiden. Akhirnya, fungsi checks and balances tidak berjalan.
21
Tempo , edisi 11-17 April 2005
Tabel 4. Proporsi Anggota DPR 2004-2009 yang Juga Pengusaha No
Komisi di DPR Persentase Pengusaha
1 Pertahanan 30.4
2 Pemerintahan Dalam Negeri
24.5 3 Hukum
26.7 4 Pertanian
54.0 5 Perhubungan
54.7 6 Perdagangan
52.8 7 Energi
51.0 8 Agama
27.9 9 Kependudukan
37.8 10 Pendidikan
17.4 11 Keuangan
51.8 Total 550 orang
39.8 219 orang
Sumber : Elfri Ritonga ICW dalam Tempo, Edisi 4 Desember 2005 Halaman 122-123
Dan perubahan ke arah yang lebih baik sebagaimana dijanjikan pasangan SBY-JK ini makin sulit diwujudkan mana kala kita menyaksikan masuknya
pengusaha-pengusaha besar dalam parpol dan kemudian ke dalam kabinet dan DPR. Kontrol pengusaha terhadap parpol dan kemudian terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah akan semakin besar. Dalam perumusan kebijakan publik misalnya, maka yang dominan adalah kepentingan pengusaha melalui
pengaruhnya terhadap parpol dan lewat jabatannya di pemerintahan. Lebih dari itu, melalui lembaga DPR pun penguasa ini bisa mengontrol berbagai aturan
dan anggaran. Maka lahirlah yang namanya mafia calo anggaran di DPR yang bersidang setiap tahun dan sudah menjadi semacam tradisi. Fenomena ini
menunjukkan bahwa jejaring rente pengusaha besar –yang pada masa Orde Baru lebih berperan sebagai penyandang dana politik political financiers
bermetamorfosa menjadi aktor-aktor penentu kebijakan publik. Dengan pola- pola demikian terbentuklah jejaring rente pengusaha besar yang makin solid dan
kuat karena dapat mengontrol partai politik, pemerintahan dan birokrasi. Melihat fakta yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa model
jejaring rente di tingkat nasional pasca Pemilu 2004 merupakan duplikasi dan sofistikasi model korupsi Orde Baru yakni berbentuk politico – business
oligarchy. Peta bumi korupsi di Indonesia dari Orde Baru ke Orde Reformasi
disebut sebagai dari oligarki satu ke oligarki lainnya. Struktur jejaring rente saat ini merupakan pemantapan dan penyempurnaan jejaring rente warisan Orde
Baru. Dalam oligarki tersebut model jejaring rente Ali Baba yang pada masa Orde Baru ditopang oleh dua entitas yang berbeda yaitu Ali yang pejabat
birokrat dan Baba yang pengusaha, saat ini model pengusaha-birokrat-politisi melekat pada satu entitas. Fenomena Jusuf Kalla sebagai wakil presiden yang
memiliki kelompok usaha Grup Kalla dan sekaligus sebagai Ketua Umum Golkar, kemudian Abu Rizal Bakrie dengan kelompoknya Bakrie Group yang
juga pengurus Golkar sebagai Menko Perekonomian dan kemudian di-reshuffle menjadi Menko Kesra, serta Fahmi Idris yang sekarang menjabat sebagai
Menteri Perindustrian dan sekaligus sebagai kapitalis birokrat Partai Golkar yang merupakan salah seorang tokoh inti Kodel Kelompok Delapan
merupakan gambaran nyata metamorfosa jejaring rente Orde Baru. Posisi mereka dengan jabatan rangkap sebagai pengusaha, anggota
parpol dan juga duduk dalam jabatan publik dalam “kabinet saudagar” sangat rentan dengan konflik kepentingan antara penguasa politik dan penguasa
ekonomi. Hal inilah yang kemudian memicu korupsi, karena sebagaimana dikatakan oleh Lord Acton 1887 bahwa kekuasaan cenderung korup dan
kekuasaan yang mutlak akan korup secara mutlak power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely
. Fenomena pejabat yang berbisnis ini memang pernah dikhawatirkan oleh
Presiden SBY. Presiden mengkhawatirkan akan munculnya oligarki ekonomi- yakni konsentrasi kekayaan di tangan beberapa orang tertentu. Oleh sebab itu
Presiden SBY melontarkan gagasan untuk membatasi pejabat dalam berbisnis. Regulasi untuk membatasi hal tersebut akan berbentuk Kepres. Tetapi anehnya
sampai sekarang tidak pernah diimplementasikan, karena hampir seluruh jajaran pejabat bawahan Presiden SBY sama sekali tidak mendukung untuk
implementasi Kepres tersebut. Kalau mau sebenarnya SBY tidak usah membuat Kepres, karena mengenai larangan pejabat negara yang merangkap pengusaha
swasta ini sudah ada dalam Peraturan Pemerintah sejak 33 tahun lalu, yakni PP 6 Tahun 1974
22
. Sekian lama keharusan itu tak pernah ditunaikan sepenuhnya.
22
PP No 6 tahun 1974 berisi 1 larangan dan pembatasan bagi PNS, Anggota ABRI, dan Isteri PNSanggota ABRI berada dalam perusahaan swasta serta usaha dagang resmisambilan;
2Pembatasan bagi PNS, Anggota ABRI, dan Isteri PNSanggota ABRI dalam Badan Sosial; 3 Kewajiban Pimpinan mengenakan sanksi atas pelanggaran ketentuan dimaksud.
Undang-undang hukum pidana dan antikorupsi juga tak kurang banyaknya yang melarang penyalahgunaan jabatan. Aturan tinggal aturan. Nyatanya sampai detik
ini pejabat yang berbisnis tidak tersentuh oleh kebijakan SBY tersebut. Seharusnya aturan-aturan tersebut secara tegas dan konkrit dijalankan seperti di
Amerika Serikat yakni setiap pengusaha yang menduduki jabatan publik harus melepas keterlibatannya dalam bisnis.
Uraian di atas menunjukkan bagaimana lemahnya kepemimpinan SBY ketika harus mengambil keputusan dan kebijakan manakala berhadapan dengan
bawahannya baik itu Wakil Presiden dan menteri-menterinya yang berasal dari pengusaha. Dominannya pengusaha dalam kabinet SBY membuat implementasi
berbagai regulasi yang mengusik kepentingan pengusaha menjadi tidak efektif.
C
ontoh lain yang menunjukkan lemahnya kepemimpinan tersebut adalah bagaimana SBY tidak berdaya menghadapi persoalan lumpur Lapindo di
Sidoarjo, dimana anggota kabinetnya yakni Aburizal Bakrie yang didukung oleh Yusuf Kalla punya kepentingan bisnis di PT Lapindo Brantas. Alih-alih
Pemerintahan SBY membela rakyat khususnya rakyat korban lumpur Lapindo, dengan Peraturan Presiden No 14 tahun 2007 pemerintah malah melegitimasi
ketidakadilan dengan memaksa korban lumpur Lapindo hanya menerima 20 pembayaran transaksi jual beli harta. Sisanya dibayarkan dua tahun kemudian
tanpa bunga. Dengan alasan bencana, Aburizal Bakrie yang juga Menko Kesra mencoba agar dana penanganan lumpur lapindo ini dialokasikan dalam APBN.
Dan seperti yang kita lihat, isi Perpres No 142007 tersebut juga membebankan sebagian besar biaya penanggulangan lumpur kepada negara yang mencakup
membiayai pengalihan infrastruktur, kanalisasi lumpur, dari Sungai Porong sampai ke laut, dan biaya sosial kemasyarakatan di luar daerah dalam peta yang
disetujui tanggal 22 Maret 2007. Bahkan dengan menggunakan trik bisnis
23
, PT Lapindo Brantas mencoba untuk berkelit dan lari dari berbagai tanggung jawab
berkaitan dengan lumpur di Sidoarjo. Kelemahan kepemimpinan SBY bukan hanya saat menghadapi
bawahannya di kabinet. Kebijakan lain yang menunjukkan lemahnya pengambilan kebijakan publik adalah munculnya PP 37 tahun 2006. Atas
23
Majalah Tempo, edisi 27 November- 3 Desember 2006
desakan anggota-anggota DPRD dan DPR serta asosiasi DPRD, PP 37 tahun 2006 ini diteken oleh presiden. Sebenarnya PP 372006 terkait dengan PP
1102000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD yang akhirnya menjebloskan anggota DPRD dan Kepala Daerah dari berbagai daerah ke penjara karena
melakukan korupsi. PP 1102000 memungkinkan DPRD mengatur atau menentukan anggarannya sendiri. Kemudian, PP 1102000 tersebut diubah
menjadi PP 242004 yang diubah lagi menjadi PP 372006. Dikarenakan kran kesejahteraan mengucur deras pada era PP 1102000,
rupanya DPRD tidak siap dengan adanya ‘pemangkasan’ dalam PP 242004 tersebut. Asosiasi DPRD pun akhirnya menyampaikan rancangan perubahan PP
242004. Munculah PP 372006 Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 242004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota
yang memiliki penambahan fasilitas kesejahteraan dan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi keluarga pimpinan dan anggota DPRD dalam bentuk pembayaran
premi asuransi kesehatan. Masih merasa tidak puas, lahirlah PP 372006 yang memanjakan DPRD dengan pemberlakuan surut pembayaran tunjangan
komunikasi intensif dan dana operasional. PP 372006 tersebut mengatur tentang Kedudukan Protokoler dan
Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Isi kontroversi dalam PP yang memancing reaksi keras adalah adanya dana Tunjangan Komunikasi Intensif
TKI dan Dana Operasional DO bagi anggota DPRD yang disamping naik sampai dua tiga kali lipat, juga diberlakukan surut. Seperti diketahui bahwa PP
ini diteken pada bulan November 2006 tetapi TKI dan DO dihitung mulai Januari 2006. Dengan demikian anggota DPRD mendapat dana rapelan yang
jumlahnya sangat besar. Tunjangan rapelan ini sangat membebani APBD di daerah. Bahkan ada daerah yang 60 APBD nya hanya untuk membayar dana
rapelan ini. Inilah pokok soal PP 372006 yang mengiris rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu banyak yang menyebut cara ini sebagai legalized
corruption . Walaupun kemudian PP 372006 tersebut direvisi, tetapi beberapa
daerah telah membayarkan dana rapelan ini. Dikhawatirkan juga bahwa revisi dari PP ini dikemudian hari menimbulkan masalah yakni apakah benar dana
yang sudah terlanjur diterima anggota DPRD dikembalikan ke kas daerah. Tidak ada yang bisa menjamin hal tersbut.
Kasus penanganan lumpur Lapindo menunjukkan betapa lemahnya presiden dalam memutuskan sesuatu yang terkait dengan kepentingan bisnis
pengusaha yang duduk dalam kabinetnya. Sementara skandal PP 37 menunjukkan lemahnya kepemimpinan SBY dalam menghadapi lobi DPR dan
DPRD. Dalam konteks otonomi daerah PP 372006 ini mencerminkan lemahnya administrasi-politik dari pusat yang menyangkut rumusan regulasi pelaksanaan
otonomi daerah. Diperkirakan masih banyak PP atau Keputusan menteri yang terkait regulasi otonomi daerah yang kemudian menimbulkan masalah
24
. Dua kasus di atas hanyalah sekedar contoh yang kemudian mendapat perhatian luas
dari masyarakat. Diperkirakan masih banyak contoh-contoh lain, di mana para pengusaha tersebut mampu mendikte SBY dalam perumusan kebijakan publik
baik lewat jabatan menteri maupun melalui tekanan dari DPR atau DPRD.
5.3. Dari Orde Baru ke Era Reformasi : Pola Korupsi dan Kinerja