36
kecambah jenis-jenis yang tidak tahan cahaya dan sebaliknya akan memicu pertumbuhan jenis tumbuhan pionir yang toleran terhadap cahaya. Oleh karena
itu tidaklah heran jenis tumbuhan yang mendominasi pada hutan sekunder muda umumnya adalah jenis pionir.
3.3 Keragaman Hayati dan Fragmentasi Habitat: Suatu Tinjauan Aspek Lanskap
Penebangaan dan pengkonversian hutan tropika merupakan akar permasalahan krisis biodiversitas global seperti yang terjadi sekarang. Namun
demikian pemahaman ilmu pengetahuan tentang hubungan antara deforestasi dengan kepunahan jenis masih sangat sedikit sekali Turner, 1996. Dari
beberapa studi yang telah dilakukan terbukti bahwa keberadaan jenis lebih dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dibandingkan dengan proses-proses dalam
populasi itu sendiri Hooftman et a.l, 1999. Dalam ekologi lanskap fragmentasi habitat tidak hanya berpengaruh terhadap biodiversitas dalam skala habitat yang
terfragmen saja akan tetapi juga terhadap biodiversitas pada lanskap tersebut secara keseluruhan. Banyak literatur yang menyatakan bahwa hampir semua
kasus fragmentasi hutan hujan tropika mengakibatkan terjadinya kepunahan lokal, dan fragmen kecil hutan selalu memiliki lebih sedikit jenis dibandingkan dengan
fragmen hutan yang lebih besar atau pada hutan yang masih utuh dengan intensitas observasi yang sama.
Menurut Turner 1996 beberapa faktor dalam mekanisme hubungan fragmentasi dengan kepunahan antara lain adalah adanya berbagai macam
pengaruh dari gangguan manusia baik selama deforestasi berlangsung ataupun setelahnya, berkurangnya ukuran populasi, berkurangnya laju imigrasi, efek tepi
hutan, perubahan struktur komunitas efek orde kedua dan seterusnya ke atas dan masuknya jenis-jenis eksotik. Jenis yang paling rentan terhadap terjadinya
kepunahan lokal akibat fragmentasi habitat adalah hewan yang berukuran besar dan yang jumlahnya sedikit atau terdistribusi hanya pada tempat tertentu atau
sangat terspesialisasi serta tidak toleran terhadap vegetasi yang terdapat di sekeliling fragmen. Karena kebanyakan jenis asli hutan tropika memiliki
penyebaran yang jarang serta tidak toleran terhadap kondisi di luar hutan, maka hutan tropika diperkirakan sangat rentan terhadap kehilangan jenis yang
diakibatkan oleh fragmentasi Turner, 1996.
37
Terbatasnya ukuran populasi yang dapat didukung oleh sebuah kawasan yang kecil yang sudah terfragmen akan mempengaruhi gen pool populasi.
Perkawinan in breeding di dalam fragmen akan menyebabkan terjadinya tekanan ke dalam yaitu dengan berkurangnya variasi genetik dan meningkatkan kejadian
homozigot sehingga dalam jangka panjang akan mengurangi ketahanan jenis untuk tetap eksis. Migrasi gen melalui penyerbuk dan penyebar biji pada daerah
yang terfragmen sangat penting supaya aliran gen dari luar tetap ada sehingga tingkat variasi gen dalam populasi tetap tinggi. Imigrasi juga diketahui mempunyai
peranan penting dalam menjaga tingginya tingkat keragaman pada hutan tropika. Migrasi dapat saja terhambat karena fragmentasi pada kawasan hutan, baik
karena jarak isolasi yang cukup lebar ataupun karena jenis tidak toleran terhadap perubahan habitat Turner, 1996. Beberapa hasil penelitian pada populasi
tumbuhan yang dikaitkan dengan fragmentasi menunjukkan bahwa isolasi geografi dan ukuran populasi yang kecil dapat menyebabkan kepunahan.
Terdapat korelasi yang positif antara hilangnya variabilitas genetik dengan hilangnya kemampuan bereproduksi fitness suatu populasi tumbuhan. Populasi
yang kehilangan fitnessnya biasanya menjadi tidak fleksibel terhadap perubahan lingkungan dan efek stokastik, sehingga populasi tersebut menjadi lebih riskan
terhadap kepunahan Hooftman, 1999. Fragmentasi juga menyebabkan meningkatnya efek tepi. Semakin kecil
fragmen, efek tepi akan semakin berpengaruh. Secara fisik efek tepi akan mengakibatkan perubahan iklim mikro dengan naiknya temperatur di sekitar
tempat tersebut. Nichol 1994 menyatakan bahwa rata-rata temperatur kanopi pada daerah tepi lebih tinggi 2 derajat dibandingkan dengan kanopi yang terdapat
di bagian tengah fragmen. Kapos 1989 melaporkan efek perubahan temperatur ini mempengaruhi hingga 40 meter ke arah bagian tengah fragmen di Manaus,
sedangkan Mac Dougall dan Kellman 1992 dan William-Linera 1990 melaporkan berturut-turut pada tempat yang terpisah perubahan temperatur
mempengaruhi hingga 7-15 meter dan 15-25 meter. Sizer Tanner 1999 melaporkan bahwa efek tepi mempengaruhi kecambah anakan jenis pohon
hingga 10 meter ke arah hutan. Selain temperatur, efek tepi yang terjadi berupa meningkatnya nilai radiasi fotosintesis aktif PAR-Photosyinthesis Active
Radiation dan berkurangnya kelembaban akibat meningkatnya temperatur. Perubahan fisik lingkungan yang terjadi akan mempengaruhi komunitas hutan
secara langsung, terutama jenis-jenis tertentu yang tidak toleran terhadap
38
perubahan tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya dengan terjadinya peningkatan mortalitas dan berkurangnya laju penambahan anakan pohon pada bagian tepi
walaupun beberapa jenis hewan seperti jenis-jenis mamalia kecil jumlahnya justru meningkat Turner, 1996.
Dalam biologi konservasi terdapat istilah “jenis kunci” yang berarti suatu jenis yang terdapat dalam sebuah komunitas dapat menyebabkan terjadinya
kepunahan berantai jenis lain jika jenis tersebut punah Primack et al, 1998. Jika jenis-jenis kunci tersebut termasuk ke dalam golongan jenis yang tidak toleran
terhadap perubahan habitat akibat fragmentasi, maka kepunahan lokal jenis pada komunitas tersebut tidak dapat dihindari. Dibandingkan dengan tumbuhan,
golongan hewan biasanya paling cepat terpengaruh oleh perubahan yang terjadi. Perubahan-perubahan tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi komposisi
floristik hutan di tempat itu karena adanya saling ketergantungan antar penghuni komunitas dalam menjaga stabilitas komunitasnya.
Kebanyakan model yang dikembangkan dari konsep metapopulasi yang menerangkan hubungan antara dinamika populasi dengan fragmentasi agak
sukar diterapkan pada populasi tumbuhan. Konsep ini lebih sesuai dipakai untuk populasi hewan. Hal ini karena tumbuhan berbeda dengan hewan dalam
kemampuannya untuk bertahan terhadap kepunahan karena memiliki masa hidup yang lebih panjang, adanya kemampuan untuk tumbuh dari tunas dan adanya
bank biji yang persisten dalam tanah. Selain itu tumbuhan sangat terbatas kemampuannnya untuk berpindah sehingga pemikiran tentang populasi yang
saling berhubungan menjadi kurang relevan Hooftman, 1999. Walaupun demikian telah ada beberapa model metapopulasi yang dikembangkan untuk
populasi tumbuhan, dua di antaranya adalah model “source-sink” dan model “mainland-island”. Pada model pertama populasi yang tinggal tidak akan mampu
untuk mengimbangi kematian lokal dengan kemampuan reproduksinya; populasi yang masih ada dalam habitat tersebut semata-mata hanya dimungkinkan karena
adanya imigrasi yang terus menerus dari populasi yang lebih produktif yang letaknya berdekatan. Sebaliknya dengan model yang kedua yang beranggapan
bahwa populasi yang berada pada pulau yang jauh dan kecil tetap mampu untuk menjaga reproduksi yang sesuai, akan tetapi masih ada kemungkinan untuk
dipengaruhi oleh in breeding dan hanyutan genetik. Dalam hal ini imigrasi dapat membantu dengan mengurangi frekuensi gen dan mengurangi koefisien in
breeding Harrison dan Hasting, 1996.
39
Jika sistem agroforest karet diasumsikan sebagai wilayah satelit dari mainland hutan seperti dalam kedua model metapopulasi tersebut di atas, maka
keberadaan berbagai jenis tumbuhan hutan dalam sistem agroforest tersebut sangat bergantung pada keberadaan ekosistem hutan yang ada di sekitarnya.
Dan sebaliknya fragmen hutan akan terjaga kepunahan jenisnya karena agroforest karet akan berfungsi sebagai buffer bagi jenis hutan yang
membutuhkan ruang yang lebih luas. Mekanisme migrasi melalui penyebaran biji oleh agen penyebar dan laju pertukaran gen antar populasi di hutan alam dengan
populasi pada sistem agroforest karet melalui migrasi agen penyerbuk menjadi faktor yang sangat penting yang berperan dalam proses regenerasi alami pada
sistem agroforest karet. Oleh karena itu agroforest karet yang biasanya berlokasi berdekatan dengan hutan atau masih berhubungan dengan hutan Ekadinata,
2003 dapat berfungsi sebagai kawasan penyangga dan juga sebagai penghubung corridor antar ekosistem hutan yang terpisah akibat fragmentasi.
Michon dan de Foresta 2000 mengatakan bahwa untuk daerah yang mengalami pemusnahan hutan alam dengan cepat, agroforest diperkirakan mampu
mengurangi efek pemusnahan jenis akibat perusakan habitat serta dapat berperan sebagai wilayah penyangga antara hutan dan pemukiman.
4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Krisis keragaman hayati global yang terjadi sekarang ini baik secara langsung ataupun tidak langsung disebabkan oleh deforestasi hutan tropika
Turner, 1996. Selain menghilangkan habitat asli bagi keragaman hayati, deforestasi juga menyebabkan hutan yang tersisa menjadi terpisah-pisah
fragmented dalam luas yang bervariasi. Semakin kecil fragmen hutan, kemampuannya untuk mendukung keragaman hayati juga semakin sedikit. Isolasi
yang menghalangi terjadinya imigrasi akan membuat vitalitas populasi dalam wilayah yang terfragmen menjadi semakin lemah karena frekuensi kemunculan
gen homozigot menjadi lebih tinggi akibat tidak adanya kawin silang. Bagi tumbuhan dioecious, fragmentasi akan menjadi faktor yang menghalangi
terjadinya polinasi jika tumbuhan jantan dan betinanya terdapat pada fragmen yang terpisah sehingga fertilisasi akan gagal. Di Indonesia laju deforestasi per
tahunnya sudah mencapai 2.84 juta ha Departemen Kehutanan, 2005. Sistem agroferest karet adalah salah satu sistem pertanian yang dilakukan
oleh masyarakat lokal dan dikelola secara ekstensif sehingga memungkinkan jenis-jenis liar dapat hidup dan berkembang biak di dalamnya. Berdasarkan pada
hasil penelitian yang telah dilakukan, sistem agroforest memiliki kemiripan dengan hutan alam, baik dalam karakteristik habitat maupun keragaman hayati di
dalamnya Michon de Foresta, 1995; Michon de Foresta, 1993; Thiollay, 1995; Werner, 1999; Beukema dan van Noordwijk, 2004. Kemiripan tersebut
antara lain dapat dilihat pada struktur kanopi yang berlapis, komposisi penyusun vegetasi yang beragam, iklim mikro dan sistem siklus unsur hara yang hampir
tertutup. Pada agroforest damar kemiripan jenis rata-rata pada tingkat plot dengan hutan alam untuk jenis tumbuhan mendekati 50, untuk jenis burung 60 dan
untuk jenis mesofauna tanah 100 Michon de Foresta, 1995. Jika dibandingkan antara hutan alam, agroforest karet dan agroekosistem yang
manajemennya intensif, keragaman vegetasi penyusun pada agroforest karet secara rata-rata berada di tengah-tengahnya intermediate. Namun sampai
sejauh ini belum ada informasi mengenai sejauh mana sistem agroforest karet