22
ke tempat yang dekat dengan lingkungan hidupnya. Mereka mendapatkan pendapatan langsung cash income dari penjualan getah karet sebagai hasil
utama, dan juga berbagai kebutuhan rumah tangga yang lain seperti kayu bakar, buah-buahan, kayu bangunan, tanaman obat, dan sayuran. Hasil sampingan
kebun tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sendiri, sebagiannya juga dijual. Selain itu seiring dengan tingkat keragaman yang terdapat pada
sistem agroforest karet, jasa lingkungan yang diberikan oleh agroforest karet juga hampir sama dengan hutan sekunder.
Menurut Ong et al. 2004, dibandingkan dengan sistem pertanian satu jenis monospecies , ada tiga potensi keuntungaan agroekosistem multi-jenis
multispecies seperti pada sistem wanatani yang didapatkan oleh petani, yaitu dari segi produktifitas, stabilitas dan keberlanjutan. Total produktifitas sistem
multi-jenis lebih tinggi karena produk bernilai ekonomi yang dihasilkan per unit lahan dan tenaga kerja meningkat dengan turunnya gangguan dari hama dan
penyakit. Selain itu cara penggunaan sumberdaya juga ebih baik dan efisien. Penggunaan sumberdaya cahaya menjadi lebih optimal, gulma menjadi
berkurang, evaporasi yang terjadi langsung dari tanah menjadi berkurang, meningkatnya pengambilan air dan unsur hara karena sistem perakaran yang
lebih dalam dan rapat, memperbaiki karakteristik sifat fisik tanah, mengurangi terjadinya erosi lahan serta memperbaiki aktifitas biologi tanah dan siklus unsur
hara. Potensi keuntungan kedua adalah meningkatnya stabilitas dengan berkurangnya sensifitas terhadap fluktuasi jangka pendek akibat berkurangnya
resiko yang berasal dari hama dan penyakit, dengan membagi-bagi resiko tersebut pada keragaman jenis yang ada. Selain itu jika satu komponen tumbuhan
gagal berproduksi, akan digantikan oleh produksi dari jenis lain. Potensi keuntungan ketiga adalah keberlanjutan, yaitu produktifitas dalam jangka waktu
panjang. Hal ini dilakukan dengan cara melindungi sumberdaya dasar, antara lain dengan mengurangi erosi, meningkatkan fiksasi nitrogen secara biologi,
mengangkat unsur hara ke lapisan tanah yang lebih dangkal, dan mengurangi hilangnya unsur hara dengan mengurangi terjadinya pencucian leaching.
3.1.1 Perlindungan Keragaman Hayati: Potensi Sistem Agroforest Karet
Pengertian biodiversitas atau keragaman hayati menurut WWF 1989 adalah seluruh kekayaan hidup yang terdapat di bumi, tumbuhan, hewan dan
23
mikroorganisme serta gen yang terkandung di dalamnya berikut ekosistem yang menjadi lingkungan hidupnya. Jika diurutkan berdasarkan urutan biologi,
keragaman hayati terdiri atas tiga tingkatan yaitu keragaman pada tingkat genetis yang tergambarkan pada variabilitas di dalam jenis, keragaman jenis dan
keragaman ekosistem sebagai habitat jenis. Keragaman hayati Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia setelah Brazil dan merupakan salah satu dari
7 negara megadiversitas di dunia. Sejauh ini sekitar 1,75 juta jenis keragaman hayati telah diidentifikasi. Para ilmuwan menduga bahwa paling tidak terdapat 13
juta jenis makhluk hidup yang menghuni bumi. Di daerah tropik sendiri diperkirakan terdapat sekitar 200 ribu jenis tumbuhan berbunga Duivenvoorden
et al, 2002 dan sekitar 11 dari jumlah tersebut terdapat di kepulauan Indonesia KONPHALINDO, 1995. Di Sumatera sendiri diperkirakan terdapat 10 ribu jenis
tumbuhan dan 17 marga di antaranya adalah endemik PHKA, 2003. Keragaman hayati adalah salah satu aset penting dalam pembangunan
nasional baik sebagai sumberdaya hayati maupun sebagai sistem penyangga kehidupan. Potensi yang dapat dikembangkan dari keragaman hayati antara lain
dibidang pengobatan, pertanian, estetika dan ekoturisme. Dengan semakin meningkatnya perhatian dunia terhadap degradasi kualitas lingkungan,
kelestarian hutan telah menjadi isu penting dalam bidang politik, ekonomi dan konservasi di tingkat lokal maupun global. Masyarakat Internasional mulai
menyadari bahwa pembangunan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika tercapainya keseimbangan antara pembangunan ekonomi, pembangunan sosial
dan pelestarian lingkungan hidup. KTT Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tahun 1992 dan Protokol Kyoto telah melahirkan berbagai kesepakatan international
yang terkait dengan kelestarian lingkungan hidup seperti Deklarasi Rio, Agenda 21, Prinsip-Prinsip Kehutanan dan Konvensi Perubahan Iklim serta Keragaman
Hayati Widodo, 2001; Sclamadinger dan Marland, 2000. Indonesia adalah salah satu negara yang ikut menandatangani dan diharapkan untuk segera
mengimplementasikan semua kesepakatan tersebut di tingkat nasional. Degradasi hutan dan berubahnya hutan menjadi lahan dengan berbagai
peruntukan adalah ancaman utama terhadap kelestarian jenis keragaman hayati. Sekarang ini diperkirakan sekitar 2.84 juta ha hutan alam di Indonesia setiap
tahun telah berubah fungsinya menjadi berbagai bentuk penggunaan lahan lain Departemen kehutanan, 2005. Hal ini ditambah lagi dengan eksploitasi sumber
daya hutan yang dilakukan secara berlebihan oleh berbagai pihak baik resmi
24
secara hukum maupun yang tidak resmi. Walaupun sebenarnya penetapan kawasan konservasi sebagai wilayah perlindungan keragaman hayati yang telah
dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama ini sudah cukup memadai jika dilihat dari luas kawasan dan keterwakilan tipe vegetasi Manulllang et al., 2000, akan
tetapi perlindungan dan pengamanan serta pengawasan dan penegakan hukum terhadap kawasan konservasi tersebut dirasa masih lemah sehingga rentan
terhadap berbagai kegiatan yang berdampak terhadap kerusakan kekayaan hayati yang terdapat di dalamnya.
Perlindungan jenis keragaman hayati dapat dilakukan secara in situ maupun ex situ. Selain dalam kawasan konservasi, perlindungan jenis secara in
situ juga dapat dilakukan di luar kawasan konservasi melalui hukum adat, hutan adat, hutan kemasyarakatan dan lain-lain. Agroforest karet sebagai salah satu
bentuk manajemen lahan pertanian ekstensif yang umum dilakukan oleh petani tradisional, memiliki potensi sebagai kawasan yang dapat menampung
keragaman hayati dari hutan sekelilingnya. Vegetasinya yang disusun oleh berbagai jenis tumbuhan selain karet sering dimanfaatkan oleh berbagai jenis liar
sebagai habitat ataupun tempat mencari makan. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari agroekosistem ini dalam menjaga keragaman hayati secara in situ
terutama di tingkat lokal. Selain itu, umumnya agroforest karet terutama yang umurnya telah tua terletak di sepanjang sungai ataupun berdampingan dengan
hutan yang masih tersisa. Khususnya untuk lanskap di Kabupaten Bungo dan Kabupaten
Tebo Provinsi Jambi, formasi vegetasi agroforest karet
menghubungkan antara dua Taman Nasional, yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS dan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh TNBT. Dengan berbagai
potensinya yang terkait dengan keragaman hayati yang dapat hidup dan berkembang di dalamnya, sistem agroforest karet diduga ikut berperan sebagai
koridor dalam menghubungkan kedua wilayah konservasi tersebut bagi jenis liar terutama jenis yang membutuhkan wilayah jelajah yang luas.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan tingkat keragaman hayati yang terdapat di agroforest karet cukup tinggi dan hampir mendekati
komposisi seperti hutan sekunder. Hendirman 2005 yang meneliti keragaman primata di agroforest karet di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat Jambi
menemukan sedikitnya terdapat 5 jenis primata yaitu Simpai Presbytis melalophos nobilis, Lutung Trachypithecus cristatus , Beruk Macaca
nemestrina, Macaca Macaca fascicularis dan Ungko Hylobates agilis.
25
Sedangkan Prasetyo 2005 menemukan ada 12 jenis kelelawar yang ditemukan pada agroforest karet tua dan muda. Di antara jenis kelelawar yang ditemukan
terdapat jenis yang merupakan indikator bahwa kualitas habitat agroforest karet mirip dengan hutan alam. Maryanto et al. 1998 berdasarkan survey mamalia
yang dilakukan pada berbagai tipe penggunaan lahan di Jambi menemukan keragaman jenis mamalia paling tinggi selain kelelawar dan tikus terdapat di
hutan yang telah pernah dibalak dan agroforest karet dibandingkan dengan hutan primer, alang-alang, kebun ubi kayu dan kebun karet monokultur. Gouyon et al.
1993 telah melakukan penelitian struktur dan keragaman jenis tumbuhan selain karet pada luasan 1000 m
2
di Jambi dan Sumatera Selatan. Hasilnya menunjukkan bahwa strukturnya mirip dengan hutan sekunder dimana pohon
karet menggantikan tempat ekologi pohon pionir seperti mahang. Kanopi paling atas didominasi pohon karet dan ditemukan sebanyak 260 hingga 300 pohon
bukan karet per ha dengan dbh = 10 cm. Jumlah jenis yang ditemukan seluruhnya adalah 268 jenis terdiri atas 91 pohon, 27 semak, 97 liana, 23 herba, 28 epifit dan
2 parasit. Michon dan de Foresta 1995 yang melakukan penelitian pada agroforest damar di Krui Lampung pada skala plot, menemukan rata-rata tingkat
keragaman jenis tumbuhan mendekati 50 kesamaannya dengan jenis yang terdapat di hutan alam, 60 untuk jenis burung dan 100 untuk mesofauna
tanah. Gambar 3.1 membandingkan tingkat kekayaan jenis antara agroforest karet dengan hutan sekunder dan hutan bekas tebangan.
Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh sistem ini seperti yang telah dijelaskan di atas sekaligus menjadi tantangan karena dari segi produktivitas
lahan berupa hasil getah karet per hektar dari sistem ini masih lebih rendah dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur. Rendahnya produksi karet ini
menyebabkan petani agroforest karet sekarang ini cenderung untuk mengganti manajemen kebunnya menjadi kebun karet monokultur atau bahkan
menggantikannya dengan tanaman kelapa sawit yang saat ini sedang booming. Hal ini akan berdampak buruk terhadap jasa lingkungan yang seharusnya dapat
diperoleh dari sistem agroforest karet. Jika sistem ini tidak diupayakan untuk dilestarikan, dapat dipastikan suatu saat, salah satu wujud kearifan tradisional
dalam bidang pengelolaan lahan dan sumberdaya alam tersebut akan hilang.
26
Gambar 3.1 Hubungan antara kekayaan jenis ukuran plot 40 x 5 m
2
dengan total basal area pohon di Jambi dan Lampung pada hutan sekunder
dengan agroforest karet dan agroforest buah Murdiyarso et al., 2002
Hingga saat ini, agroforest karet masih belum diakui keberadaannya baik dalam aturan perundang-undangan nasional, kebijakan pemerintah ataupun
proyek-proyek pembangunan sehingga sistem ini belum dimasukkan dalam strategi-strategi nasional pelestarian dan pengelolaan sumberdaya alam de
Foresta dan Michon, 1992. Pemerintah dan lembaga-lembaga penelitian lebih mengenal bentuk-bentuk sistem wanatani sederhana seperti sistem tanam
tumpang sari daripada sistem agrofrestri kompleks seperti agroforest.
3.1.2 Sejarah Terbentuknya Sistem Agroforest Karet di Sumatera