Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk

19 4. Jujuhan Tahun 1973 agroforest karet di Jujuhan hanya di kelilingi oleh hutan dan pemukiman. Pada tahun 1988 hutan sudah tidak ada di sekeliling agroforest karet, agroforest karet hanya di kelilingi oleh kebun karet monokultur, pemukiman dan lahan terbuka yang baru dibersihkan. Pada tahun 1993 hingga 2002 tipe penggunaan lahan di sekeliling agroforest karet adalah pemukiman dan kebun karet monokultur. Dari keempat lokasi, agroforest karet yang paling lama sudah tidak berbatasan dengan hutan adalah agroforest karet yang berlokasi di Jujuhan.

2.7 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk

Umumnya penduduk terkonsentrasi pada ibukota-ibukota kabupaten dan kecamatan. Disamping penduduk asli, suku pendatang paling dominan di kedua Kabupaten Bungo dan Tebo adalah suku Jawa. Mereka didatangkan dari Pulau Jawa sebagai peserta program transmigrasi yang difasilitasi oleh pemerintah ataupun datang sendiri secara spontan dengan biaya sendiri. Mata pencaharian utama penduduk secara umum adalah di bidang pertanian. Jumlah penduduk di Kabupaten Bungo pada tahun 2002 adalah 227 415 jiwa BPS Bungo, 2002. Sedangkan penduduk Kabupaten Tebo pada tahun 2003 berjumlah 230 418 jiwa yang terdiri atas 115 878 jiwa laki-laki dan 114 540 jiwa perempuan. Kepadatan yang paling tinggi berada di Kecamatan Rimbo Bujang yaitu 98 jiwakm 2 dan terendah ada di kecamatan Sumay yaitu hanya 13 jiwakm 2 . Mata pencaharian utama masyarakat Tebo terutama di bidang usaha pertanian, perternakan, kehutanan, dan perikanan. Suku yang dominan di Kabupaten Tebo adalah Suku Melayu. Berdasarkan data dari BPS BAPPENAS dan UNDP 2004 Kabupaten Bungo memiliki 32.9 ribu penduduk yang tergolong miskin dengan angka kemiskinan sekitar 14.8. sedangkan Kabupaten Tebo memiliki sekitar 31.4 ribu penduduk miskin dengan angka kemiskinan sekitar 13.6. Jika dilihat berdasarkan kecamatan, lokasi penelitian terdapat di tujuh kecamatan, yaitu dua kecamatan di Kabupaten Tebo dan lima kecamatan di 20 Kabupaten Bungo. Tabel 2.7 menyajikan luas kecamatan, jumlah desa, jumlah penduduk dan rumah tangga pada Kecamatan lokasi penelitian. Tabel 2. 7 Luas wilayah, jumlah desa, jumlah penduduk dan rumah tangga di kecamatan lokasi penelitian Kabupaten Kecamatan Luas wilayah ha Jumlah desa Jumlah penduduk Jumlah rumah tanga Bungo Muara Bungo 66 787 19 60 070 13 256 Bungo Pelepat Ilir 49 567 16 32 072 7 356 Bungo Rantau Pandan 112 426 21 23 064 5 702 Bungo Tanah Tumbuh 43 943 26 28 933 6 988 Bungo Jujuhan 113 824 13 20 809 4 690 Tebo VII Koto 112 700 11 23 828 5 509 Tebo Sumay 126 800 12 14 446 3 815 Sumber: BPS Pusat 2003; BAPENAS 2003

3. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tinjauan Singkat Sistem Agroforest Karet di Jambi

Wanatani atau agroforestri merupakan nama kolektif bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana tumbuhan berkayu tahunan pohon, semak, palem, bambu dan lain-lain dan tanaman pangan semusim danatau hewan ternak diusahakan pada unit lahan yang sama dalam beberapa bentuk pengaturan ruang dan waktu Nair, 1993. Ciri khas wanatani adalah di dalamnya terdapat interaksi antara komponen-komponen ekologi dan ekonomi. Oleh Michon dan de Foresta 1995, wanatani dibagi lagi berdasarkan kerumitan unsur penyusunnya, yaitu wanatani sederhana dan wanatani kompleks. Wanatani sederhana adalah sistem pertanian yang di dalamnya terdiri atas sejumlah kecil unsur yang memadukan antara satu unsur pohon yang memiliki peran ekonomi penting seperti kelapa, karet, cengkeh, jati atau yang memiliki peran ekologi dadap, gamal, petai cina dengan sebuah unsur tanaman musiman padi, jagung, sayuran atau tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat yang juga memiliki nilai ekonomi. Sedangkan wanatani kompleks adalah sistem-sistem yang terdiri atas sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman semusim dan atau rumput baik sengaja ditanam ataupun tumbuh sendiri secara alami. Penampakan fisik dan dinamika di dalam wanatani kompleks hampir mirip dengan ekosistem hutan. Agroforest karet merupakan salah satu bentuk sistem wanatani kompleks berbasis pohon karet Hevea brasiliensis Muell. Arg. yang tumbuh bersama- sama dengan berbagai jenis tumbuhan lain yang berfungsi baik sebagai penghasil kayu bangunan, penghasil buah, obat tradisional maupun berbagai hasil hutan bukan kayu lainnya. Secara keseluruhan sistem agroforest karet memiliki kemiripan dengan hutan sekunder Gouyon et al., 1993. Selain penampakan fisiognomi, agroforest karet juga memiliki struktur vegetasi yang berlapis dan siklus unsur hara yang hampir tertutup seperti di hutan alam. Struktur vegetasi berlapis pada agroforest karet, selain disebabkan oleh keragaman jenis tumbuhan penyusunnya, juga dikarenakan umur tanaman karet yang tidak seragam karena petani biasanya akan memelihara anakan karet yang tumbuh sendiri pada tempat yang masih terbuka ataupun pada tempat bekas pohon karet yang telah mati. Petani menerapkan sistem manajemen yang tidak intensif pada kebunnya. Para petani agroforest telah membuat sistem hutan alam yang kompleks, ‘pindah’