Tantangan yang Dihadapi Sistem Agroforest Karet

29

3.1.4 Tantangan yang Dihadapi Sistem Agroforest Karet

Sekarang ini sistem agroforest karet tradisional menghadapi persaingan ketat dengan sistem pertanian lain yang lebih intensif. Seiring dengan semakin membaiknya perekonomian sehingga modal bukan merupakan suatu kendala bagi petani, mereka lebih tertarik untuk mengganti agroforest karet menjadi kebun karet monokultur ataupun kebun kelapa sawit yang menurut mereka lebih menguntungkan. Bahkan lebih jauh lagi menjual kebun agroforest karet untuk dijadikan sebagai lahan tambang emas dan batubara misalnya yang terjadi di Kecamatan Rantau Pandan dan Kecamatan Pelepat – berdasarkan pengamatan pribadi penulis. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan persepsi petani dan masyarakat terhadap keberadaan agroforest karet. Pertama, berdasarkan kenyataan bahwa produktivitas getah agroforest karet per hektar rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kebun karet monokultur. Dari hasil penelitian yang dilakukan ICRAF, agroforest karet menghasilkan 500-650 kghatahun sedangkan kebun karet monokultur klon sekitar 1000-1800 kghatahun, dalam 100 berat kering. Padahal kalau dilihat nilai pendapatan per tenaga kerja per hari sadap, kedua tipe perkebunan tersebut menghasilkan nilai yang relatif sama Wibawa et al., 2000. Faktor kedua adalah hadirnya pilihan-pilihan baru penggunaan lahan yang lebih menguntungkan dari sisi ekonomi jangka pendek. Bentuk perkebunan kelapa sawit adalah kompetitor yang paling kuat terhadap sistem agroforest karet yang diikuti oleh bentuk perkebunan karet monokultur. Sarana transportasi yang semakin baik dan lancar membuat pemasaran buah kelapa sawit menjadi hampir sama mudahnya dengan pemasaran getah karet. Ditambah lagi dengan harga yang kompetitif menjadikan sawit sebagai primadona baru bagi petani yang punya modal besar. Faktor yang ketiga berasal dari petani sendiri. Umumnya petani yang mempraktekkan sistem agroforest karet adalah petani-petani miskin yang kekurangan modal. Akses mereka terhadap informasi juga sangat kurang sehingga transfer teknik dan ilmu pertanian dari luar menjadi sangat lambat dan berlangsung dalam rentang waktu yang lama. Posisi tawar bargaining position yang rendah petani agroforest karet terhadap pengambil kebijakan di tingkat desa ataupun pada tingkat yang lebih tinggi, juga salah satu faktor yang menyeebabkan turunnya popularitas sistem multikultur karet di masyarakat. 30 Faktor keempat adalah belum adanya pengakuan dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan untuk mengakui bahwa agroforest karet atau perkebunan karet multikultur adalah salah satu pilihan bentuk penggunaan lahan sama halnya dengan perkebunan karet monokultur ataupun perkebunan kelapa sawit. Hal ini terlihat dengan jelas dalam laporan-laporan statistika daerah yang tidak pernah mencantumkan data mengenai agroforest karet di daerahnya. Biasanya agroforest karet muda dimasukkan ke dalam kelompok semak belukar, agroforest karet yang baru disadap biasanya dimasukkan ke dalam kelompok perkebunan karet, sedangkan agroforest karet tua dimasukkan ke dalam kelompok hutan sekunder atau semak belukar Ekadinata and Vincent, 2003. Dengan tidak adanya pengakuan dari pemerintah terhadap jenis penggunaan lahan ini, petani agroforest karet tidak pernah diberikan perhatian yang sepatutnya dalam mengembangkan agroforest karet mereka. Anggapan yang berkembang adalah, agroforest karet merupakan lahan yang kurang produktif dan harus segera diganti dengan perkebunan monokultur yang lebih “modern” dan produktif M. van Noordwijk, 2005. komunikasi pribadi. Implikasinya, sistem penggunaan lahan ini semakin tidak mendapat tempat di dalam kultur pertanian masyarakat.

3.1.5 Upaya Pengembangan Agroforest Karet