UU Peradilan Agama Telah Sesuai dengan Amanat UUD NRI 1945
keagamaan sekaligus. Artinya, pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar “kedaulatan Ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di
“tangan” Tuhan. Dalam sejarah politik Islam di Indonesia, wacana agama-negara yang
bercorak integralistik di atas pernah dominan, khususnya pada masa pemerintahan Orde Lama. Yakni dalam konsep yang tertuang dalam dasar
negara Pancasila, 22 Juni 1945, yang dikenal dengan tujuh kata.
17
Melalui kompromi yang alot, akhirnya rumusan koersif itu dihilangkan sebagaimana
tertera pada pancasila yang sekarang meskipun wacana ini kemudian diperdebatkan kembali selama perdebatan dalam konstituante tentang dasar
negara seperti yang telah penulis uraikan di bab sebelumnya. Kedua, paradigma yang memandang relasi agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya, negara memelukan agama, karena dengan agama negara dapat melangkah dengan bimbingan etika dan moral. Paradigma
semacam ini antara lain dikemukakan oleh Al-Mawardi dan Al-Ghazali. Konsepsi “Nasionalisme Islam” Soekarno mungkin bisa dijadikan salah
satu contoh di Indonesia. Soekarno menghendaki pemisahan agama Islam dan negara dengan alasan bahwa penyatuan itu bertentangan dengan prinsip
demokrasi. Melalui jalan politik, umat Islam dapat berjuang di parlemen dan jika menguasai kursi di parlemen, dapat menentukan kebijakan dan hukum-
17
Yakni “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluknya”
hukum negara. Jika proses konstitusional ini dapat dilalui umat Islam, persatuan agama dan negara adalah absah.
18
Selain itu, Pradoyo melihat bahwa “kemenangan politik Islam secara konstitusional” inilah yang dimaksud dengan
pertautan agama dan negara dalam pengertian yang sebenarnya.
19
Konsepsi Soekarno di atas agaknya lebih terbuka karena
tetap ada peluang “keterpaduan Islam” dengan negara Pancasila melalui proses-proses alami dalam politik.
Ketiga, yaitu paradigma yang menolak kedua paradigma di atas atau yang biasa disebut dengan paradigma sekularistik. Paradigma ini mengajukan
pemisahan agama dan negara dalam artian menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu daripada negara. Paradigma seperti ini dimotori oleh pemikiran
politik Ali Abdur Raziq dari Mesir.
20
Dalam bahasa Walter Bonang Sidjabat, ditolaknya hubungan agama dan negara didasarkan atas fakta bahwa
pandangan dunia Islam berbeda dengan pandangan dunia Pancasila dan Konsep Ketuhanan pada Pancasila berwatak netral sedangkan pada Islam
sangat ekslusif.
21
Meskipun dari ketiga paradigma di atas tampaknya masing-masing memperoleh penganut, namun dalam realitas politik Islam di Indonesia,
penganut dari paradigma integralistik dan simbiotik di atas lebih menonjol performanya sehingga diidentifikasi sebagai gerakan Islam Struktural dan
gerakan Islam Kultural ketimbang paradigma sekularistik. Bahkan penganut
18
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 92
19
Pradoyo, Sekulerisasi dalam Polemik, Jakarta:Grafitipers, 1993, h. 182
20
Din Syamsuddin, Etika Agama dalam.., h. 63
21
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta:Wakaf Paramadina, 1992, h. 91.