Perampokan Pada Masa Kerajaan Aceh

lain, hukum mengikuti agama yang dianut penduduk. Jika orang memeluk agama Islam maka hukum Islamlah yang berlaku. 28 Meskipun demikian, hukum pidana Islam belum menjadi hukum yang berlaku bagi pribumi Muslim. Belanda hanya baru mengakui hukum perdata Islam Pernikahan, perceraian, waris dan wakaf. Politik hukum Belanda masih meminggirkan hukum jinayah sebagai bagian dari totalitas pemberlakuan syari‟at Islam. Seiring adanya perubahan orientasi politik, Belanda mulai melakukan penyempitan ruang gerak serta perkembangan hukum Islam. Di sisi lain, Belanda memberikan keleluasaan kepada adat kebiasaan dan membenturkannya dengan hukum Islam. Pemerintah Belanda berusaha meminggirkan peranan hukum Islam dari kehidupan masyarakat dan mendukung adat setiap kali terjadi pertentangan tersebut. 29 Inilah yang disebut sebagai periode penerimaan hukum Islam oleh adat yang disebut Theorie Receptie yang dikemukakan oleh Van Volennhoven dan Snouck Hurgronje 30 . Teori ini menegaskan bahwa hukum Islam baru dapat belaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Pendapat ini diberi dasar hukumnya dalam Undang-Undang dasar Hindia Belanda yang menjadi pengganti Regeerningsreglement R.R, yang disebut Wet de Staatsinricting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatregeling IS. Berdasarkan IS yang 28 Ibid, h. 37-38. 29 Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam:Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, Jakarta:Prenada Media Group, 2010, h. 252. 30 Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2006, h. 75. diundangkan dalam Staatsblad 1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. 31 Selanjutnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan gagasan pemindahan wewenang tentang waris dari pengadilan Agama. Dengan Staatsblad 1937 No. 116 wewenang pengadilan Agama itu dicabut dengan alasan hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Perkara waris ini kemudian dilimpahkan wewenangnya kepada landraad atau Pengadilan Negeri. Tampak adanya upaya pemerintah Belanda untuk mempersempit ruang lingkup berlakunya hukum Islam. Bahkan untuk hukum waris berusaha “dihabisi” dengan menyerahkan wewenang pemeriksaannya kepada landraad. 32 Sebagaimana yang diungkap oleh Aqib Suminto, sikap ini diambil Belanda karena khawatir terhadap gerakan Pan Islamisme yang bisa berujung pada kesadaran tentang gerakan kemerdekaan di Indonesia. 33 Itu sebabnya, bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi pemberlakuannya, tetapi juga hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya. Pada masa kolonial tidak ada dilaporkan satu pun praktik pelaksanaan hukum pidana Islam di wilayah-wilayah jajahannya. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara telah menjadi kekuatan utama dalam menjalankan ajaran syariat termasuk di dalamnya bidang pidana Islam. Namun, sejak masuknya politik hukum Belanda di Indonesia, Belanda melakukan penyempitan ruang gerak dan 31 Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam .”, h. 132. 32 A. Qodri Azizy, Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002, h. 155. 33 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta:LP3S, 1985, h. 64-99.