Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal

menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita demokrasi. Hal ini masih merupakan mata rantai reformasi 1998 yang menghendaki perlunya reformasi konstitusi yang dapat menjamin secara konsisten penegakan hak-hak asasi manusia dan demokrasi melalui sistem pemerintahan konstitusional. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Agustus 2003 diterbitkanlah UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Seperti dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan MK bagi suatu negara umumnya merupakan negara-negara yang pernah mengalami krisis konstitusional dan baru keluar dari sistem pemerintahan otoriter. 2 Yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD NRI 1945, memutus sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diatur di dalam UUD NRI 1945, memutus sengketa hasil pemilu dan memutus pembubaran parpol. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus pendapat atau dakwaan impeachment DPR bahwa presidenwakil presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD NRI 1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden. 3 Sejak keluarnya UU No. 12 tahun 2008 yang merupakan perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan MK ditambah satu lagi yakni memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah pilkada yang sebelumnya menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengalihan 2 H. Achmad Sukarti, “Kedudukan dan Wewenang MK Ditinjau dari Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara Indonesia, Jerman dan Thailand ”, Equality Vol. 11 No. 1, Februari 2006, h. 42. 3 Lihat pasal 10 ayat 1-ayat 3 UU No. 24 tahun 2003 jo. UU No. 8 tahun 2011 tantang Mahkamah Konstitusi. wewenang ini merupakan konsekuensi dari ketentuan UU No. 22 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang menempatkan pilkada ke dalam rezim pemilihan umum. 4

2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan keuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan secara bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya. 5 Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 sembilan orang anggota hakim konstitusi diantaranya diajukan masing-masing 3 tiga orang oleh Mahkamah Agung, 3 tiga orang oleh DPR, 3 tiga orang oleh Presiden, dan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Keputusan Presiden. 6 Adapun susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 tujuh orang anggota hakim konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 dua tahun 6 enam bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Sebelum ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, rapat pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya. 7 Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan 4 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta:Rajawali Pers, 2009, h. 273. 5 Lihat UUD NRI 1945 pasal 24 ayat 1 dan ayat 2. 6 Terkait hakim yang menangani kasus judicial review oleh Suryani ini yaitu Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap anggota, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukthie Fadjar. 7 Lihat pasal 4 UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan. Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas dan wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Sedangkan anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN. 8

B. Duduk Perkara

Sebelum penulis menganalisa amar putusan dari Mahkamah Konstitusi, terlebih dahulu akan diuraikan duduk perkara yang melatarbelakangi lahirnya putusan ini. Putusan ini bermula ketika pada tanggal 24 Juni 2008 seorang buruh bernama Suryani yang berasal dari Serang, Banten, mengajukan judicial review atas Undang-Undang Peradilan Agama kepada Mahkamah Konstitusi terkait dengan kompetensi Peradilan Agama di Indonesia. Suryani mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 49 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di Bidang; a. Perkawinan, b. Waris, c. Wasiat, d. Hibah, e. Wakaf, f. Zakat, g. Infak, h. Shadaqah, i. Ekonomi Syari’ah.” beserta Penjelasan pasal tersebut terhadap Pasal 28e ayat 8 Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;Upaya Membangun Kesadaran dan pemahaman Kepada Publik akan Hak-hak Konstitusionalnya yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2006, h. 13.