paradima sekularistik ini dipandang bukan sebagai sebagai konstituen politik Islam.
22
Masih menurut Din Syamsuddin, terdapat tiga aliran pemikiran politik Islam di Indonesia, yaitu aliran formalistik dan fundamentalistik yang
merupakan penganut paradigma integralistik. Dan aliran substantivistik yang merupakan penganut paradigma simbiotik.
23
Walaupun demikian, pada masa berkuasanya Orde Baru, wacana agama- negara dengan corak integralistik melalui parpol-
parpol Islam “dibonsai” dengan konsep depolitisasi agama dengan melalui penerapan asas tunggal.
24
Sebagai penggantinya, aliran substantivistik dengan paradigma simbiotiknya menjadi dominan. Pada saat kekuasaan Orde Baru runtuh, dengan segera
bermunculan banyak partai politik beridentitas Islam. Fenomena ini disinyalir oleh MAS Hikam 1988 sebagai indikasi munculnya semangat untuk
mengembangkan kembali
paradigma integralistik.
Meskipun dalam
manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi dari satu parpol Islam dengan yang lainnya.
25
Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19PUU-VI2008, penulis menilai bahwa terungkap satu hal yang fundamental tentang tafsir resmi UUD
NRI 1945 yaitu relasi agama dan negara dalam kerangka Negara Kesatuan
22
M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul Mun’im D.Z, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000,
h. 9
23
Aliran formalistik lebih menekankan ekspresi simbolik-legalistik, dan aliran fundamentalistik lebih mementingkan revivalisme kebudayaan Islam klasik. Sedangkan aliran
substantivistik menawarkan pemahaman keagamaan terhadap substansi ajaran ketimbang bentuk legal-formal ajaran.
24
M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara..”, h. 10.
25
Ibid, h. 11.
Republik Indonesia. Di dalam salah satu pertimbangan para hakim Konstitusi
26
adalah kalimat “Indonesia bukanlah negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang
sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.
” Dan “Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar mayoritas dan
kecil minoritas pemeluk agama, suku ataupun ras. ” Dari kalimat ini penulis
menyimpulkan bahwa relasi agama dan negara di Indonesia bukanlah mengacu pada paradigma integralistik ataupun sekularistik, melainkan paradigma
simbiotik. Dalam a rtian peluang “keterpaduan agama” dengan negara Pancasila
hanya dapat terjadi melalui proses-proses politik. Melalui jalan politik, umat Islam dapat menentukan kebijakan dan
hukum-hukum negara. Paradigma simbiotik relasi agama-negara inilah yang harus dipahami oleh Suryani selaku pemohon. Sebagai contoh, salah satu
upaya pemberlakukan hukum pidana Islam ke dalam hukum nasional yakni draf RUU KUHP
27
yang sudah bertahun-tahun dibahas oleh para ahli dan praktisi hukum namun hingga sekarang belum mencapai kata sepakat. Ini
menunjukan bahwa materi hukum pidana Islam dalam RUU KUHP sedemikian
26
Ke-9 hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perkara ini adalah Jimly Asshidiqie, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar
Siahaan, H.A.S Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukhties Fadjar.
27
Dalam rancangan tersebut dimasukan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik Agama, kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang
melanggar ketentuan agama dsb.
rupa tidak bisa menjadi secara otomatis dapat diberlakukan karena paradigma relasi agama-negara di Indonesia adalah paradigma simbiotik. Sehingga, dalam
usaha untuk memasukan unsur Islam dalam kebijakan-kebijakan hukum negara termasuk pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam salah satu kewenangan
Peradilan Agama, haruslah melalui proses-proses politik. Atas landasan paradigma simbiotik ini juga, Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa ketentuan pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama ini tidak akan mengurangi hak dan kebebasan pemohon untuk memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI 1945.
28
Dari pendapat Mahkamah Konstitusi ini, penulis berpandangan bahwasanya ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI
1945 tersebut bertentangan dengan sekularisme. Karena UUD NRI 1945 menetapkan negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan
Ketuhanan adalah sendi pokok dari agama. Dalam hal itu, secara konstitusional, beragama dan beriman dijamin oleh negara.
29
Sehingga dalil pemohon yang menyatakan bahwa UU Peradilan Agama dapat merugikan hak
konstitusionalnya sebagai warga negara dalam beragama sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI 1945 tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut oleh
Mahkamah Konstitusi.
28
Lihat Pasal 28E, Pasal 25 ayat 1, Pasal 28I ayat 1 dan 2, Pasal 29 ayat 2 UUD NRI 1945.
29
Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan
dan Konteks Politik Hukum Indonesia”, dalam Arskal Salim dan Jaenal Aripin, ed., Hukum Pidana Islam di Indonesia:Peluang, Prospek dan Tantangan, Jakarta:Penerbit Pustaka Firdaus,
2001, h. 214.
E. Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia
Sebagaimana yang diketahui bahwa masyarakat Muslim di Indonesia sudah memiliki dasar yang kuat untuk memberlakukan hukum perdata Islam.
Hal ini termaktub dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Meskipun dalam proses pembentukannya mengalami reaksi yang beragam dari
berbagai kalangan diantaranya ada yang berpendapat bahwa RUU PA dinilai tidak senafas dengan Pancasila dan bahkan disinyalir sebagai upaya
terselubung menghidupkan kembali Piagam Jakarta, Presiden Soeharto sebagai figur yang paling bertanggung jawab mengenai RUU PA ini memberikan
garansi bahwa UU ini merupakan Pelaksana Pancasila dan UUD NRI 1945 serta tidak ada hubungannya dengan Piagam Jakarta.
30
Sampai masa Orde Baru, kewenangan Peradilan Agama baru menyangkut sebagian kecil dari persoalan kehidupan umat Islam, yakni dalam bidang
hukum keluarga;nikah, ceraitalak, waris, wasiat dan wakaf.
31
Sedangkan persoalan keperdataan Islam lainnya secara lebih luas termasuk bidang
ekonomi, belum menjadi kewenangan Peradilan Agama, apalagi menyangkut hukum pidana Islam. Ada beberapa faktor penting yang menyebabkan tidak
terakomodirnya hukum pidana Islam pada masa pemerintahan Orde Baru, yaitu; pertama, faktor politik hukum yang tidak memberikan kesempatan
masuknya nilai-nilai hukum Islam dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Sistem politik ini terkait dengan arah kebijakan partai politik di parlemen yang
phobia terhadap hukum pidana Islam yang dianggap tidak manusiawi. Selain
30
Zuffran Sabri, Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila:Dialog tentang RUU PA, Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu, 2001, h. ix.
31
Lihat Pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
itu negara tidak berani mengakomodir hukum pidana Islam karena terkait dengan penolakan kelompok non muslim dan sebagian umat Islam yang tidak
pro terhadap hukum Islam. Dimensi hukum pidana Islam merupakan hal yang sangat sensitif terutama kaitannya dengan isu-isu menuju Negara Islam dan
Piagam Jakarta serta formalisasi hukum Islam. Di samping itu, pemerintah lebih memilih untuk tidak mengakomodir hukum pidana Islam karena terkait
dengan stabilitas politik penguasa.
32
Kedua, faktor kesalahpahaman dalam memahami hukum pidana Islam disebabkan ketakutan yang berlebihan terutama bagi masyarakat non muslim
dan juga umat Islam sendiri. Selama ini pemahaman masyarakat terhadap hukum pidana Islam banyak menitikbertakan kepada aspek jawabir penebus
dalam artian mereka banyak terpaku pada apa yang dikatakan nash, sehingga begitu menyebut pidana Islam terkesan kejam dan tidak berkeprimanusiaan
bila dilihat dari sisi pelaku. Ketiga, faktor rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap perlunya
membentuk hukum pidana Indonesia yang benar-benar bersumber dari hukum yang hidup dari tengah-tengah masyarakat serta yang sejalan dengan Negara
Indonesia yang merdeka dan berdaulat secara politik dan hukum. Dalam artian maka diperlukan pembaruan hukum pidana Indonesia dengan menjadikan
hukum pidana Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional.
33
Jadi menurut penulis, nilai-nilai hukum Islam di bidang hukum pidana masih belum berhasil
32
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia:Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintah Orde Baru dan Era Reformasi, Jakarta:Badan Litbang dan Diklat
DEPAG RI, 2008, h. 321.
33
Ibid, h. 322.
mewarnai UU Peradilan Agama dan masih kuatnya pengaruh sistem hukum pidana Belanda di Indonesia.
Memasuki Era Reformasi, Peradilan Agama mendapatkan kewenangan baru yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang;zakat, infaq,
sedekah serta ekonomi syariah namun tidak untuk hukum pidana Islam. Hal ini juga tidak lepas dari ke tiga faktor yang telah disebutkan di atas. Namun,
lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 atas perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989 telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru sekaligus menjadi
landasan yang kuat atas terbentuknya lembaga Peradilan Agama Mahkamah Syari’ah di Aceh yang kewenangannya juga mencakup hukum pidana Islam
Jinayah.
34
Jaenal Aripin menguraikan bahwa salah satu yang menjadi kelemahan Peradilan Agama adalah masih belum memungkinkannya hukum pidana Islam
untuk diterapkan di seluruh Peradilan Agama di Indonesia.
35
Meskipun begitu, penulis berpendapat, peluang atau prospek pemberlakuan hukum pidana Islam
ke dalam wewenang lembaga Peradilan Agama di Indonesia bukanlah hal yang mustahil. Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 atas perubahan UU Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 3 tahun 2006
menyatakan “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
34
Lihat Pasal 3A beserta penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan pasal 49 UU No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.
35
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta:Kencana, 2008, h. 512.
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. ”.
Menurut penulis, Istilah “perkara tertentu” dalam pengertian di atas membuka
peluang bagi hukum pidana Islam untuk masuk ke dalam salah satu kewenangan Peradilan Agama.
Terkait hal ini, pasal 29 UUD NRI 1945 ayat 1 yang menegaskan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan ayat 2 “Negara
menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu
”, Menurut penulis
hakekatnya mengandung
kebijakan-kebijakan prinsipil
yang memposisikan negara sebagai pihak yang berkewajiban memfasilitasi dan
menjamin dapat dijalankannya ajaran agama termasuk hukum hukumnya bagi para umat pemeluknya sebagai manifestasi rasa keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Artinya, hukum pidana Islam sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam yang diakui keberadaannya oleh umat Islam Indonesia, adalah
sangat logis dan konstitusional apabila ia diberi jaminan berbentuk kebijakan hukum negara yang tidak saja mengakui keberadaannya namun juga
memfasilitasi terlaksanakannya hukum pidana Islam tersebut. Namun, yang perlu diingat bahwa, jika Indonesia adalah negara yang
menganut paradigma simbiotik sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas, tentu prospek pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam kompetensi
absolut Peradilan Agama adalah sangat bergantung pada elit-elit partai Islam yang menguasai kursi parlemen di DPR, karena elit-elit politik Islam lah yang
sangat berperan besar dalam menentukan hukum-hukum negara yang