Perzinaan Pada Masa Kerajaan Aceh

dengan mengembalikan barang curiannya atau menggantinya. Jika pencuri itu kabur dari wilayah kesultanan Aceh, maka ia tidak dapat kembali ke tempat tinggalnya pasal 34, dan jika ia kembali maka akan ditangkap dan dipotong tangannya pasal 35. 10

3. Minuman Keras

Sultan Alaudin Perak 1579-1586 M, tercatat sebagai Sultan yang pertama kali melarang minuman yang memabukkan di kesultanan Aceh. Namun tidak ada sumber yang menginformasikan mengenai hukuman apa yang diterapkan dalam meminum khamr ini. Peraturan yang diterapkan Sultan Alaudin Perak itu hilang seiring dengan wafatnya. 11 Larangan minuman yang memabukkan dan berjudi berlaku lagi pada masa Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M dan pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin 1641-1675 M. Menurut kesaksian P.Soury seorang utusan Belanda pada tahun 1642 bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah dipotong tangannya. Sedangkan sumber Eropa yang lain, Jacob Compostel mengatakan bahwa hukuman yang diberlakukan bagi peminum khamr adalah dengan cara menelan timah panas. 12

4. Pembunuhan

Untuk kasus pembunuhan, Sultan Al-Qahhar 1537-1571 M pernah melaksanakan kisas yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau atas Raja Lingga ke-16 yang terbukti membunuh saudara tiri Beuner Maria. 13 10 Ibid, h. 129. 11 Ibid, h. 135. 12 Ibid, h. 136. 13 Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi.., h. 114. Sedangkan pada masa Sultan Al-Mukammil 1588-1604 M, dari sumber yang sama yaitu Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa ada tiga jenis hukuman pembunuhan yaitu; Pertama, pembunuh dihukum mati dengan cara yang sama ketika ia membunuh; Kedua, pembunuh dihukum mati dengan cara diinjak-injak gajah setelah terlebih dahulu dilempar ke udara dengan belalai gajah; Ketiga, pembunuh dilempar ke tengah harimau yang sangat ganas dan tentu menjadi santapan mereka. 14 Selanjutnya sanksi pembunuhan diatur dengan baik pada masa Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M yang diatur dalam Undang-Undang Meukuta Alam pada pasal 25, 26, 27, 32 dan 38. Inti dari pasal-pasal ini telah sesuai dan mengikuti apa yang digariskan oleh hukum Islam terkait pembunuhan. 15 Selanjutnya pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin 1641-1675 M benar-benar menerapkan hukuman yang diatur pada Undang-Undang Meukuta Alam tersebut. 16

5. Murtad

Fatwa mati pertama kali atas kasus murtad terjadi di kesultanan Aceh pada paruh pertama abad ke-17 atau tahun 1636 M. Fatwa ini dikeluarkan oleh Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh al-Islam Kesultanan Aceh pada masa Iskandar Thani 1636-1641 M. Fatwa Ar-Raniry berkaitan dengan ajaran tasawuf wujudiyyah Ibn‟Arabi oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang 14 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..”, h. 137. 15 Pasal 25 berisi sangsi bagi pelaku pembunuhan sengaja yaitu dengan diyat dan apabila keluarga korban mau memaafkan dan mau menerima tebusan uang darah tersebut. Pasal 26 berisi jumlah diyat yang harus dibayar oleh si pelaku yaitu 100 ekor unta. Sementara diyat budak sesuai dengan tingkatan budak tersebut pasal 32. Pasal 27 berisi ketentuan apabila si pembunuh sudah membayar diyat, maka si pelaku tidak dibunuh. Sebaliknya apabila keluarga korban tidak mau menerima diyat maka dia harus dikisas. Lihat Ibn Rusyid, Bidayat al-Mujtahid, vol.II, h.307, Sabiq, Fiqh Sunnah, vol II h. 466. 16 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..” h. 138. dianggap sebagai orang zindiq dan kafir. Akibat fatwa ini, banyak kaum muslim yang dibantai yaitu mereka yang teguh dengan keyakinan sufistiknya. Karena cap sesat, zindiq dan mulhid sama dengan murtad. 17 Dalam Islam Murtad harus dihukum mati. 18

6. Perampokan

Kasus perampokan ini tercatat pada masa Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin 1675-1678 M. Berdasarkan kesaksian Laksamana Inggris Thomas Bowrey, bahwa setelah kematian Sultanah Safiyatuddin terjadi pemberontakan kepada ratu baru yang terpilih, Nakiyatuddin. Akhirnya, Syekh al-Islam yang juga menjabat kepala hakim, menghukum mati semua pemberontak, kecuali seorang ulama yang yang dihukum potong kaki dan tangan serta harta bendanya dirampas menjadi milik umum. 19 Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pidana yang diberlakukan di Aceh mencakup aspek fundamental kaidah larangan dari hukum pidana Islam yaitu pembunuhan, pencurian, perzinaan, minum khamr, murtad dan perampokan. Namun jika dilihat dari aspek instrumental jenis ancaman hukuman, dalam batas tertentu sering kali tidak seluruhnya sama seperti ketentuan syari‟ah. Ini memperlihatkan bahwasanya dalam pemberlakuan hukum pidana Islam di Aceh, terjadi dinamika sosial yakni masuknya unsur adat ke dalam pemberlakuan syariah. 20 17 Ibid, h. 140. 18 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta:Sinar Grafika, 2005, h. 127. 19 Ayang Utriza NWAY , “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 142. 20 Khamami Zada, “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari‟at Islam di Aceh 1514- 1903 M ”, Karsa Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197.