Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai Negative Legislator, Bukan

hukum negara. Jika proses konstitusional ini dapat dilalui umat Islam, persatuan agama dan negara adalah absah. 18 Selain itu, Pradoyo melihat bahwa “kemenangan politik Islam secara konstitusional” inilah yang dimaksud dengan pertautan agama dan negara dalam pengertian yang sebenarnya. 19 Konsepsi Soekarno di atas agaknya lebih terbuka karena tetap ada peluang “keterpaduan Islam” dengan negara Pancasila melalui proses-proses alami dalam politik. Ketiga, yaitu paradigma yang menolak kedua paradigma di atas atau yang biasa disebut dengan paradigma sekularistik. Paradigma ini mengajukan pemisahan agama dan negara dalam artian menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu daripada negara. Paradigma seperti ini dimotori oleh pemikiran politik Ali Abdur Raziq dari Mesir. 20 Dalam bahasa Walter Bonang Sidjabat, ditolaknya hubungan agama dan negara didasarkan atas fakta bahwa pandangan dunia Islam berbeda dengan pandangan dunia Pancasila dan Konsep Ketuhanan pada Pancasila berwatak netral sedangkan pada Islam sangat ekslusif. 21 Meskipun dari ketiga paradigma di atas tampaknya masing-masing memperoleh penganut, namun dalam realitas politik Islam di Indonesia, penganut dari paradigma integralistik dan simbiotik di atas lebih menonjol performanya sehingga diidentifikasi sebagai gerakan Islam Struktural dan gerakan Islam Kultural ketimbang paradigma sekularistik. Bahkan penganut 18 Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004, h. 92 19 Pradoyo, Sekulerisasi dalam Polemik, Jakarta:Grafitipers, 1993, h. 182 20 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam.., h. 63 21 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta:Wakaf Paramadina, 1992, h. 91. paradima sekularistik ini dipandang bukan sebagai sebagai konstituen politik Islam. 22 Masih menurut Din Syamsuddin, terdapat tiga aliran pemikiran politik Islam di Indonesia, yaitu aliran formalistik dan fundamentalistik yang merupakan penganut paradigma integralistik. Dan aliran substantivistik yang merupakan penganut paradigma simbiotik. 23 Walaupun demikian, pada masa berkuasanya Orde Baru, wacana agama- negara dengan corak integralistik melalui parpol- parpol Islam “dibonsai” dengan konsep depolitisasi agama dengan melalui penerapan asas tunggal. 24 Sebagai penggantinya, aliran substantivistik dengan paradigma simbiotiknya menjadi dominan. Pada saat kekuasaan Orde Baru runtuh, dengan segera bermunculan banyak partai politik beridentitas Islam. Fenomena ini disinyalir oleh MAS Hikam 1988 sebagai indikasi munculnya semangat untuk mengembangkan kembali paradigma integralistik. Meskipun dalam manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi dari satu parpol Islam dengan yang lainnya. 25 Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19PUU-VI2008, penulis menilai bahwa terungkap satu hal yang fundamental tentang tafsir resmi UUD NRI 1945 yaitu relasi agama dan negara dalam kerangka Negara Kesatuan 22 M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul Mun’im D.Z, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000, h. 9 23 Aliran formalistik lebih menekankan ekspresi simbolik-legalistik, dan aliran fundamentalistik lebih mementingkan revivalisme kebudayaan Islam klasik. Sedangkan aliran substantivistik menawarkan pemahaman keagamaan terhadap substansi ajaran ketimbang bentuk legal-formal ajaran. 24 M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara..”, h. 10. 25 Ibid, h. 11.