pasti akan dianggap menegakkan „hukum di atas hukum.’ Sesuai aturan hukum yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini, hal tersebut akan dianggap
sebagai „pelanggaran hukum.’ Jadi, jelaslah bahwa menurut pemohon, ketentuan pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama di atas, sangat nyata telah
merugikan dan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon dan seluruh umat Islam di Indonesia.
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
Sebelum diuraikan apa yang menjadi isi putusan MK terkait hal ini, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa bukti-bukti tertulis yang menguatkan
alasan si pemohon. Diantaranya:
11
1. Kartu Tanda Penduduk KTP atas nama Suryani.
2. Fotokopi UUD NRI 1945 yang sudah diamandemen dalam satu naskah.
3. Fotokopi tentang UU No. 7 tahun 1989 dan UU No. 3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama. 4.
Fotokopi artikel “Membumikan Syariat Islam di Pesantren”, dimuat Radar Banten, 8 Juli 2006.
5. Fotokopi buku Penerapan Syari’at Islam:Bercermin pada Sistem Aplikasi
Syariah Zaman Nabi, h. 26-29, oleh Drs. Husnul Khatimah, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
11
Putusan MK No. 19PUU-VI2008, h. 15.
6. Fotokopi Juz „Amma dan Terjemahannya, h. 18. Surat Al-Kafirun ayat 4-6.
Diterbitkan oleh CV Wicaksana, Semarang. Fotokopi Al- Qur’an surat Al-
Maidah dan surat Al-Hajj. 7.
Fotokopi UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 8.
Surat Keterangan dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia MUI Kabupaten Serang, terkait penjelasan inti dari ajaran agama Islam yaitu
Iman dan Takwa yang berarti patuh menjalankan segala perintah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan segala laranganNya tanpa terkecuali.
Yang mana hal ini sejalan dengan amanat UUD NRI 1945 dan Pancasila. 9.
Fotokopi Ketetapan MPR RI No. VIMPR2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, pada poin Maksud dan Tujuan serta fotokopi Ketetapan MPR RI
No. VIIMPR2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan yang pada intinya ketetapan ini menjelaskan bahwasanya beriman dan bertakwa juga
merupakan amanat konstitusional yang diperintahkan UUD NRI 1945 dan Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia.
Berdasarkan alasan dan seluruh bukti-bukti yang diajukan oleh pihak pemohon di atas, Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa
pertimbangan terkait hal ini, antara lain: 1.
UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24
ayat 2 dan Pasal 24A ayat 5 UUD NRI 1945.
12
2. Bahwa antara posita dan petitum Pemohon menunjukkan ketidaksesuaian.
Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama, sedangkan
di dalam positanya meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensinya diperluas mencakup hukum pidana Islam jinayah.
3. bahwa dalil Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan
Indonesia mengenai hubungan antara agama dan negara. Karena Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu,
namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada
individu dan masyarakat.Dan bahwa ketentuan Pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan
Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam UUD NRI 1945, sehingga dalil Pemohon
tersebut tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Maka, dari semua alasan dan bukti-bukti yang diajukan pemohon, dan
atas dasar pertimbangan-pertimbangan Hakim Mahkamah tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwasanya permohonan tersebut Ditolak.
12
Pasal 24 ayat 2 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat 5 berbunyi, “Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-
undang”.
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
1. UU Peradilan Agama Telah Sesuai dengan Amanat UUD NRI 1945
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, salah satu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Konstitusionalitas UU.
13
Terkait permohonan ini, pemohon mendalilkan bahwa pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama telah bertentangan dengan Pasal 28e ayat 1, Pasal 28I ayat
1 dan 2 serta Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 UUD NRI 1945. Perlu diketahui bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar
kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat 2 dan Pasal 24A ayat 5 UUD NRI 1945.
14
Dari kedua pasal ini nampak bahwa UU Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan
yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pancasila. Oleh sebab itu, pengaturan pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Namun, penulis ingin memberi catatan bahwasanya Mahkamah Konstitusi seolah hanya menilai UU Peradilan Agama telah sesuai
sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Mahkamah Konstitusi seharusnya juga perlu memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU
13
Lihat pasal 24C ayat 1 UUD NRI 1945, pasal 10 ayat 1 UU No.8 tahun 2011 tentang MK, pasal 29 ayat 1a UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
14
Pasal 24 ayat 2 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat 5 berbunyi, “Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-
undang”.