28
BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM
DI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan menguraikan aspek-aspek hukum pidana Islam yang pernah berlaku di Indonesia. Penulis membaginya kepada tiga periode besar
yaitu; pada masa kerajaan, kolonial Belanda dan pasca kemerdekaan. Meskipun terdapat sejumlah kerajaan yang memberlakukan hukum pidana Islam di
Indonesia, pada bab ini penulis akan fokus hanya kepada kerajaan Aceh. Hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat mengetahui bahwasanya hukum pidana Islam
pernah dipraktekkan di kerajaan Nusantara walaupun hingga perkembangannya saat ini, Indonesia masih menggunakan hukum Pidana peninggalan Belanda.
Meskipun demikian, wacana hukum pidana Islam masih terus bergulir yang nantinya akan penulis uraikan pada bab selanjutnya.
A. Pada Masa Kerajaan Aceh
Jika dilihat dari sejarah Kerajaan Aceh Darussalam 1514-1903, Sultan Ali Mughayat Syah 1516-1530 M tercatat dalam sejarah sebagai pembangun
Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan Sultan Alauddin Riayat Syah II Abdul Qahhar 1537-1571 M sebagai pembina organisasi kerajaan dengan menyusun
undang-undang dasar negara yang diberi nama Qanun Al-Asyi. Qanun ini kemudian disempurnakan oleh Sultan Iskandar Muda 1607-1636 M . Dalam
perjalanan sejarahnya, Qanun Al-Asyi ini disebut juga sebagai Adat Meukuta Alam atau Qanun Meukuta Alam. Dalam Qanun Meukuta Alam ditetapkan
bahwa dasar Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan yang sumber hukumnya berdasarkan pada Al-
Qur‟an, Hadits, Ijma‟ Ulama dan Qiyas
1
Berikut yang dapat penulis paparkan terkait aspek pemberlakuan hukum pidana Islam di Kerajaan Aceh.
1. Perzinaan
Pelaksanaan hukuman perzinaan pertama kali yang diketahui di kesultanan Aceh terjadi pada masa Sultan pertama, Ali Mughayat Syah 1516-
1530 M.
2
Hal ini berdasarkan kesaksian dua orang pelancong Prancis, Jean dan Raoul yang mengatakan bahwa terdapat dua macam hukuman perzinaan,
yaitu; pertama, hukuman mati bagi lelaki. Kedua, hukuman menjadi budak bagi perempuan.
3
Selanjutnya pada masa Sultan ke-3, Alaudin Riayat Syah al-Qahhar 1537-1571 M, hukuman zina di Aceh dapat diketahui dengan jelas, yaitu
dihukum dengan hukuman rajam. Hal ini berdasarkan kesaksian seorang pelancong India, Rawdla al-Thahirin yang menceritakan bahwa dua orang
dijumpai telah berzina pada tahun 1550 dengan status masing-masing telah menikah. Kedua orang tersebut dihadapkan ke Sultan yang kemudian
menghukum mereka dengan hukuman mati. Kedua orang itu dibawa ke alun- alun lalu dirajam hingga mati.
4
1
A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta:Bulan Bintang, 1975, h. 70-72.
2
Namun kejadian ini bukan di Aceh, akan tetapi di tiku, dekat Padang yang pada saat itu belum termasuk bagian dari wilayah Kesultanan Aceh kecuali setelah tahun 1560 M.
3
Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? Tinjauan Sejarah
Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M ”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 24 Tahun 2008, h.
124.
4
Ibid, h. 125.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa Sultan ke-10, Alaudin Riayat Syah al-Mukammil 1588-1604 M. Berdasarkan kesaksian Francois
Martin de Vitre, seorang pelancong Prancis yang mengatakan bahwa hukuman zina di Aceh pada masa itu ada dua; Pertama, lelaki atau perempuan yang
berzina dibunuh oleh gajah dengan cara diinjak-injak atau badannya ditarik hingga hancur berkeping-keping. Kedua, bagi lelaki yang berzina dipotong
kemaluannya dan bagi wanita dipotong hidungnya dan dicongkel kedua matanya.
5
Pada masa Sultan ke-12 yaitu Iskandar Muda 1607-1636 M juga pernah memberlakukan hukuman mati terhadap anak laki-lakinya sendiri atas tuduhan
mengganggu rumah tangga orang lain, bahkan berzina. Dia adalah Meurah Pupok yang dijatuhi hukuman hudud atas kesalahan berzina dengan istri salah
seorang pengawal istana. Pelbagai cara dilakukan agar Sultan Iskandar Muda meringankan hukuman kepada Meurah Pupok karena ia adalah anak seorang
Sultan. Namun Iskandar Muda menolak demi memastikan pemberlakuan Syari‟at Islam pada siapapun.
6
Namun menurut versi lain, William M. Marsden menyebutkan bahwa pada masa Iskandar Muda tidak diberlakukan hukum pidana Islam dalam kasus
zina. Ada tiga macam hukuman zina, Pertama, seorang lelaki yang berzina akan diletakkan di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh orang tua suami dari
perempuan yang dizinai dan teman-temannya. Si pelaku biasanya mati oleh senjata orang-orang yang mengelilinginya. Setelah meninggal, orang tua lelaki
5
Ibid, h. 126.
6
A l Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam:
Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, Banda Ac eh: Dinas Syari‟at Islam, 2006, h. 114.
pezina menguburkannya seperti menguburkan seekor banteng. Kedua, si pezina di hukum denda. Dia harus membayar sejumlah uang kepada keluarga korban,
tetapi hukuman ini sangat jarang. Ketiga, jika istri ketahuan berzina, maka suaminya akan membunuh sendiri si lelaki yang menzinai istrinya, atau ia diam
menutup rapat aib tersebut.
7
2. Pencurian
Untuk kasus pencurian pada masa Sultan al-Qahhar 1537-1571 M menurut sumber India Rawdl ath-Thahirin, adalah potong tangan. Menurut
sumber tersebut hukuman potong tangan tidak hanya untuk kasus pencurian tetapi juga berlaku bagi semua bentuk kejahatan. Namun sumber ini tidak
menjelaskan mengenai batasan dalam penghukuman potong tangan tersebut.
8
Untuk bentuk hukuman pencurian nampak semakin jelas pada masa Sultan Al-Mukammil 1588-1604 M. Francois Martin de Vitre menjelaskan
bahwa hukuman bagi pencuri kecil dipotong tangannya. Jika dia mengulangi lagi perbuatannya, maka dipotong kaki dan tangannya yang lain. Berbeda
dengan kesaksian Francois yang menyatakan bahwa hukuman potong kaki dan tangan ini untuk kasus pencurian, menurut Van Waarwyk seorang pemimpin
kapal dari Belanda yang pernah singgah di Aceh mengatakan bahwa hukuman tersebut berlaku bagi semua bentuk kejahatan.
9
Pada masa Sultan Iskandar Muda Muda 1607-1636 M, hukuman potong tangan bagi pencuri dilegalkan di dalam Undang-Undang Aceh. Pasal
33 UU Aceh menyebutkan bahwa Kepala Kampung harus menghukum pencuri
7
Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 127.
8
Ibid
9
Ibid