ta‟zir adalah jarimah yang tidak tergolong ke dalam jarimah hudud dan qisash diyat serta jarimah hudud dan qishas diyat yang terdapat syubhat.
18
2. Sumber Hukum Pidana Islam
Mengenai sumber hukum pidana Islam itu sendiri pada dasarnya kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih yang ditulis
ulama klasik. Kata- kata “sumber hukum Pidana Islam” merupakan terjemahan
dari lafaz-lafaz ر د اص
ا ح أ ا Mashaadir al-ahkam. Untuk menjelaskan arti
sumber hukum Islam, mereka menggunakan istilah dalil- dalil syari‟ah
ا أ
ا د يع ش al-Adillah al-Syariyyah penggunaan kata
ر د اص ا ح أ ا
Mashaadir al-ahkam oleh ulama sekarang ini tentu dimaksudkan adalah seperti dengan istilah
ا أ
يع ش ا د al-Adillah al-Syariyyah.
19
Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa sumber-sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu Al-
Qur‟an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas. Urutan-urutan penyebutan menunjukkan urutan-urutan dan kepentingannya.
Yakni apabila tidak terdapat dalam hukum sesuatu peristiwa dalam Al- Qur‟an
baru dicari dalam Sunnah, kalau tidak terdapat dalam Sunnah dicari dalam Ijma, dan kalau tidak terdapat dalam Ijma, baru dicari dalam Qiyas.
20
Masih ada sumber-sumber hukum yang lain, tetapi masih banyak diperselisihkan tentang mengikat atau tidaknya. Sumber-sumber tersebut ialah
Istishan, istishab, Maslahah Mursalah, „Urf, madzhab sahabat dan syari‟at sebelum Islam sya
r‟u man qablana. Bagi hukum-hukum pidana Islam formil
18
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 143.
19
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 81.
20
Mardani, Kejahatan pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: CV INDHILL CO, tt, h. 27.
Ijraat Jinaiyyahacara pidana maka semua yang disebutkan diatas bisa dipakai. Akan tetapi untuk hukum-hukum pidana Islam materiil, yaitu yang
berisi ketentuan macam-macam jarimah dan hukumannya, hanya ada empat sumber. Tiga diantaranya sudah disepakati, yaitu Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟,
sedang satu sumber lainnya yaitu Qiyas masih diperselisihkan.
21
3. Tujuan Hukum Pidana Islam
Tujuan pokok adanya penghukuman dalam syar i‟at Islam adalah untuk:
a. Pencegahan al radd wa al jazr
b. Perbaikan al „ishlah
c. Pendidikan al ta‟dib
22
Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, bahwa tujuan penghukuman dalam syari‟at Islam adalah untuk memperbaiki kondisi manusia, menjaga
mereka dari kerusakan, mengeluarkan mereka dari kebodohan, menunjukan mereka dari kesesatan, menghindarkan mereka dari berbuat maksiat dan
mengarahkan mereka agar menjadi manusia yang ta‟at. Syariat Islam sama pendiriannya dengan hukum positif dalam menetapkan jarimah atau tindak
pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif keduanya sama-sama bertujuan memelihara
kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya,
yaitu :
23
21
A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967, h.25.
22
Ibid, h. 255.
23
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas, H. 15-16.
1 Hukum Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, sangat
memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Oleh karenanya setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela
dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikan. Menurut hukum pidana positif ada beberapa perbuatan yang meskipun
bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana. Kecuali apabila perbuatan tersebut membawa
kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat. 2
Hukum pidana positif adalah produk manusia, sedangkan hukum pidana Islam bersumber dari Allah wahyu. Dengan demikian dalam hukum
pidana Islam terdapat beberapa macam tindak pidana yang hukumannya telah ditetapkan dalam Al-
Qur‟an dan As-Sunnah, yaitu jarimah hudud dan qishas. Disamping itu ada pula tindak pidana yang hukumannya diserahkan
kepada penguasa ulil „amri yaitu jarimah ta‟zir.
Perbandingan lain dari keduanya ialah; Pertama, dari sisi pelaku kejahatan. Hukum pidana Islam memberikan ketentuan yang jelas dan syarat
yang begitu ketat sehingga tidak akan memungkinkan permainan peradilan.
24
Kedua, dari sisi korban atau keluarga korban. Pada kasus pembunuhan dan penganiayaan disengaja, korban bisa memilih antara qisas, meminta diyat atau
memaafkan. Sebagai contoh, seandainya seorang wanita yang memiliki banyak anak kehilangan suaminya karena dibunuh, maka wanita itu bisa meminta diyat
24
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana, h. 99-100
dengan asumsi diyat itu dapat menghidupi dirinya dan anak-anaknya setelah kematian suaminya. Dalam hal ini kepentingan korban keluarga korban untuk
diperlakukan adil sangat diperhatikan. Sedangkan hukum pidana positif hanya fokus dalam menangani pelaku dan tidak ada upaya untuk meringankan
penderitaan korban atau keluarga korban.
25
Ketiga, dari sisi penegak hukum. Hukum pidana Islam telah memiliki landasan yang kuat dan tidak dapat diubah oleh siapapun yaitu Al-Q
ur‟an dan As-sunnah. Dengan demikian tidak ada upaya untuk mengubah aturan,
menyimpanginya dan mengesampingkannya. Jika ada seorang penegak hukum yang berpaling dari ketentuan hukum pidana Islam maka akan dapat diketahui
dengan mudah. Dengan kata lain, aturan yang jelas dan tegas menutup ruang bagi penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang
26
Dari perbedaan di atas tergambarlah dengan jelas sifat kedua hukum tersebut. Hukum positif merupakan produk manusia yang tentu saja tidak
lengkap dan tidak sempurna. Karena penciptanya juga serba tidak sempurna dan terbatas kemampuannya. Itulah sebabnya undang-undang selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaliknya, hukum Islam adalah ciptaan Allah yang sempurna dan tidak dapat diubah-ubah atau
diganti.
25
Ibid
26
Ibid