D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
1. UU Peradilan Agama Telah Sesuai dengan Amanat UUD NRI 1945
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, salah satu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Konstitusionalitas UU.
13
Terkait permohonan ini, pemohon mendalilkan bahwa pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama telah bertentangan dengan Pasal 28e ayat 1, Pasal 28I ayat
1 dan 2 serta Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 UUD NRI 1945. Perlu diketahui bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar
kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat 2 dan Pasal 24A ayat 5 UUD NRI 1945.
14
Dari kedua pasal ini nampak bahwa UU Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan
yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pancasila. Oleh sebab itu, pengaturan pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Namun, penulis ingin memberi catatan bahwasanya Mahkamah Konstitusi seolah hanya menilai UU Peradilan Agama telah sesuai
sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Mahkamah Konstitusi seharusnya juga perlu memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU
13
Lihat pasal 24C ayat 1 UUD NRI 1945, pasal 10 ayat 1 UU No.8 tahun 2011 tentang MK, pasal 29 ayat 1a UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
14
Pasal 24 ayat 2 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat 5 berbunyi, “Susunan,
kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-
undang”.
Peradilan Agama menafikan hal-hal lain yang terkait dengan hak konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI 1945.
Tentu dalam konteks permasalahan ini, siapapun bisa menafsirkan bentuk kebebasan beragama yang juga dapat ditafsirkan sebagai hak warga negara
Muslim untuk melaksanakan semua aspek kehidupan beragama termasuk bidang pidana Islam menurut pemohon, yang mana hal ini tidak diakomodir
dalam UU Peradilan Agama. Sehingga, dalam hemat penulis, Mahkamah Konstitusi seharusnya perlu menelaah hak konstitusional sebagaimana alasan
dan bukti-bukti yang diajukan pemohon sebagai batu uji untuk menilai materi yang tercantum dalam UU Peradilan Agama menyangkut kewenangannya.
Terlebih lagi pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 menyatakan kata “perdata tertentu” telah diubah menjadi kata “perkara tertentu” yang
berarti menurut penulis, hukum pidana Islam bisa berpeluang untuk masuk ke dalam wewenang Lembaga Peradilan Agama.
2. Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai Negative Legislator, Bukan
Positive Legislator
Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat 1 UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama karena telah
bertentangan dengan UUD NRI 1945, Sedangkan di dalam positanya, pemohon meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensi
Peradilan Agama diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum pidana Islam jinayah. Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang
sebagai positive legislator dalam arti menambah rumusan undang-undang yang
dibuat oleh lembaga legislatif. Sehingga, permohonan Suryani agar Peradilan Agama ditambah wewenangnya untuk mengadili kasus yang terkait pidana
jinayah tidak bisa dikabulkan.
15
Perlu diingat bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang sebagai negative legislator yaitu menghapus ayat atau pasal-pasal dalam undang-
undang yang dinilai tidak sejalan dengan pasal atau ayat yang tertuang konstitusi. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa antara posita dan petitum
pemohon terdapat ketidaksesuaian. Dari uraian di atas, menurut penulis, Mahkamah Konstitusi seolah menyarankan agar usulan si pemohon diajukan
kepada lembaga legislatif yang berwenang untuk menambah rumusan Undang- Undang.
3. Paradigma Relasi Agama-Negara di Indonesia adalah Paradigma
Simbiotik
Berdasarkan kerangka teori analisis yang sudah dipaparkan di bab pendahuluan, bagian sub bab ini akan mencoba menguraikan bagaimana
putusan Mahkamah Konstitusi jika dilihat dari teori yang diajukan oleh Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Menurut Din
Syamsuddin, terdapat paling tidak tiga paradigma tentang relasi agama dan negara.
16
Paradigma pertama mengajukan konsep bersatunya agama dan negara atau yang biasa disebut dengan paradigma Integralistik. Paradigma ini
dianut oleh kelompok Syi’ah dan kelompok fundamentalis Jamaat Islami di Pakistan. Menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan
15
Putusan MK No. 19PUU-VI2008, h. 23
16
Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Ciputat:PT Logos Wacana Ilmu, 2002, h. 58.
keagamaan sekaligus. Artinya, pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar “kedaulatan Ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di
“tangan” Tuhan. Dalam sejarah politik Islam di Indonesia, wacana agama-negara yang
bercorak integralistik di atas pernah dominan, khususnya pada masa pemerintahan Orde Lama. Yakni dalam konsep yang tertuang dalam dasar
negara Pancasila, 22 Juni 1945, yang dikenal dengan tujuh kata.
17
Melalui kompromi yang alot, akhirnya rumusan koersif itu dihilangkan sebagaimana
tertera pada pancasila yang sekarang meskipun wacana ini kemudian diperdebatkan kembali selama perdebatan dalam konstituante tentang dasar
negara seperti yang telah penulis uraikan di bab sebelumnya. Kedua, paradigma yang memandang relasi agama dan negara berhubungan
secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya, negara memelukan agama, karena dengan agama negara dapat melangkah dengan bimbingan etika dan moral. Paradigma
semacam ini antara lain dikemukakan oleh Al-Mawardi dan Al-Ghazali. Konsepsi “Nasionalisme Islam” Soekarno mungkin bisa dijadikan salah
satu contoh di Indonesia. Soekarno menghendaki pemisahan agama Islam dan negara dengan alasan bahwa penyatuan itu bertentangan dengan prinsip
demokrasi. Melalui jalan politik, umat Islam dapat berjuang di parlemen dan jika menguasai kursi di parlemen, dapat menentukan kebijakan dan hukum-
17
Yakni “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluknya”