Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. ”.
Menurut penulis, Istilah “perkara tertentu” dalam pengertian di atas membuka
peluang bagi hukum pidana Islam untuk masuk ke dalam salah satu kewenangan Peradilan Agama.
Terkait hal ini, pasal 29 UUD NRI 1945 ayat 1 yang menegaskan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan ayat 2 “Negara
menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu
”, Menurut penulis
hakekatnya mengandung
kebijakan-kebijakan prinsipil
yang memposisikan negara sebagai pihak yang berkewajiban memfasilitasi dan
menjamin dapat dijalankannya ajaran agama termasuk hukum hukumnya bagi para umat pemeluknya sebagai manifestasi rasa keimanan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Artinya, hukum pidana Islam sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam yang diakui keberadaannya oleh umat Islam Indonesia, adalah
sangat logis dan konstitusional apabila ia diberi jaminan berbentuk kebijakan hukum negara yang tidak saja mengakui keberadaannya namun juga
memfasilitasi terlaksanakannya hukum pidana Islam tersebut. Namun, yang perlu diingat bahwa, jika Indonesia adalah negara yang
menganut paradigma simbiotik sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas, tentu prospek pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam kompetensi
absolut Peradilan Agama adalah sangat bergantung pada elit-elit partai Islam yang menguasai kursi parlemen di DPR, karena elit-elit politik Islam lah yang
sangat berperan besar dalam menentukan hukum-hukum negara yang
berasaskan Islam. Inilah yang penulis maksud dengan pendekatan politik hukum sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam kerangka analisis pada
bab pendahuluan. Karena hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, dalam artian politik sering kali melakukan intervensi atas pembuatan
dan pelaksanaan hukum. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai hal-hal yang bersifat das sollen keinginanseharusnya, melainkan harus
dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan das sein bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan pasal-pasalnya
maupun dalam implementasinya.
36
Jika kewenangan sebelumnya yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 , pengadilan agama hanya berwenang mengadili perkara-perkara perdata
Tertentu,
37
pada masa Reformasi terdapat perubahan signifikan yaitu perluasan kewenangan di bidang zakat, infak dan ekonomi syariah. Perluasan
kewenangan ini tentu hasil dari proses-proses politik sehingga dikatakan sebagai “hukum adalah produk politik” sebab ia merupakan kristalisasi,
formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh
kekuatan politik yang terbesar,
38
di samping dikarenakan berkembangnya kebutuhan hukum masyarakat khususnya masyarakat muslim.
Namun, Ada juga pihak yang menyatakan bahwa politik Islam baik Partai yang berasaskan Islam maupun yang mendeklarasikan diri sebagai partai
36
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi Cet. 4, Jakarta:Rajawali Pers, 2011, h. 10.
37
Bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah.
38
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 4.
Islam belum tentu akan memberi keuntungan yang seluas-luasnya kepada umat Islam, dikarenakan kategori umat Islam tidaklah monolitik dan singular.
Akar historis dan kulturnya, aspirasi dan kepentingannya tidak begitu saja bisa dirumuskan oleh satu pihak sebagai yang mewakili umat Islam.
39
Terkait hal ini, agaknya penulis memiliki pendapat lain, bahwa seperti yang diketahui pada
saat kekuasaan Orde Baru runtuh, muncul partai-partai politik beridentitaskan Islam meskipun dalam manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi
yang bervariasi dari satu parpol dengan parpol lainnya, namun MAS Hikam memastikan adanya benang merah yang mempertemukan mereka, yaitu adanya
kehendak agar Islam yang klaimnya adalah sebuah ajaran sistem yang serba mencakup, menjadi alternatif dan dominan dalam wacana praksis politik.
40
Karena jika tidak ada hal demikian, lantas apa yang membedakan partai Islam dengan partai Nasionalis? Maka dari itu, menurut penulis, peluang dapat
terlaksananya hukum pidana Islam ke dalam salah satu wewenang Peradilan Agama adalah bergantung pada bagaimana politik hukum pidana Islam dari
elit-elit partai politik Islam akan sejauh mana mereka dapat merepresentasikan apa yang menjadi aspirasi umat Islam. Termasuk salah satunya pemberlakuan
hukum pidana Islam ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama. Sebenarnya, kasus judicial review UU Peradilan agama ini juga dikaji
oleh seorang sarjana hukum asal Australia, Simon Butt. Simon berpendapat bahwa kurangnya keinginan mayoritas masyarakat Indonesia untuk memilih
partai-partai Islam sebagai wakil rakyat yang berada di kursi parlemen. Hal ini
39
Muh. Hanif Dhakiri, “Partai Islam dan Islam Berpartai”, dalam Abdul Mun’im D.Z, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000, h. 136.
40
Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama..”, h. 10.
terlihat dalam pemilihan umum tahun 1999 dan 2004, partai-partai Islam hanya menerima masing-masing 14 dan 17 suara. Sedangkan pada hasil
Pemilu 2009 suara untuk partai-partai Islam menurun secara signifikan.
41
Disamping itu, kurangnya kesadaran dan kemauan umat muslim akan pemberlakuan hukum Islam terlebih lagi hukum pidana Islam juga terlihat dari
hasil survei yang dilakukan LSI versi Denny JA di 33 provinsi pada 28 Juli - 3 Agustus 2006 dengan responden sebanyak 700 orang tentang Respon Publik
atas Perda Bernuansa Syariat Islam”. Berdasarkan survei itu lebih dari 80 masyarakat setuju diterapkannya peraturan daerah anti kemaksiatan, berupa
larangan peredaran minuman keras, larangan perjudian dan anti pelacuran. Denny JA menambahkan mayoritas masyarakat setuju adanya penegakan
terhadap moral dan kesusilaan, tetapi disisi lain ada yang menganggap cukup diwakilkan dengan KUHP, tidak perlu lagi dibuatkan dalam peraturan daerah
yang bernuansa syariat Islam.
42
Masih dalam survey yang sama, mayoritas masyarakat yang beragama Islam 61.7 lebih memilih hukum nasional yang
menjamin keberagaman dibandingkan hukum Islam. Mayoritas masyarakat yang beragama Kristen 78.5 maupun agama lainnya 90.9 juga
mendukung penerapan hukum nasional. Survei LSI itu juga menunjukkan mayoritas masyarakat tidak setuju atas penerapan hukum pidana Islam, seperti
77.3 masyarakat tidak setuju atas hukuman bagi yang tidak mengenakan busana Muslim, 77.3 masyarakat tidak setuju hukuman potong tangan untuk
41
Simon Butt, “Islam the State and the Constitutional Court in Indonesia”, Pacific Rim Law and Policy , Vol. 19 No. 2, h. 300.
42
http:www.eramuslim.comberitanasionalsurvei-lsi-80-persen-masyarakat-setuju- penerapan-perda-anti-maksiat.htm
, diakses pada 3 Juli 2014, pukul 11:22.
pencuri, 56.4 masyarakat tidak setuju atas hukuman cambuk untuk pemabuk, 63.3 masyarakat tidak setuju hukuman rajam untuk orang berzina
dan 71.2 masyarakat tidak setuju hukuman mati untuk murtad.
43
Dari hasil survey tersebut, penulis berpendapat bahwa pemahaman masyarakat terhadap hukum pidana Islam banyak menitikbertakan kepada
aspek jawabir penebus dalam artian mereka banyak terpaku pada apa yang dikatakan nash, sehingga begitu menyebut sanksi berdasarkan hukum pidana
Islam terkesan kejam dan tidak berkeprimanusiaan bila dilihat dari sisi pelaku. Padahal Islam sangat memperhatikan perlindungan untuk tiap individu. Allah
tidaklah membuat perundang-undangan atau syariat dengan main-main dan tidak pula menciptakannya dengan sembarangan. Namun Allah mensyariatkan
perundang-undangan Islam untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
44
Kemaslahatan intipokok yang disepakati dalam semua syariat termasuk hukum pidana Islam tercakup dalam lima hal, seperti yang disebut oleh para
ulama dengan nama al-kulliyyat al-khams lima halinti pokok yang mereka anggap sebagai dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus dijaga
sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syathibi, yaitu: 1.
Menjaga Agama Hifdz Ad-Din; Illat alasan diwajibkannya berperang dan berjihad, jika ditujukan untuk para musuh atau tujuan senada.
2. Menjaga Jiwa Hifdz An-Nafs; Illat alasan diwajibkannya hukum qishas,
diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya.
43
http:www.antaranews.comberita40685lsi--mayoritas-penduduk-tetap-idealkan- pancasila
, diakses pada 3 Juli 2014, pukul 11:45.
44
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Jakarta:AMZAH, 2009, h. xiv.
3. Menjaga Akal Hifdz Al-„Aql; Illat alasan diharamkannya semua benda
yang memabukkan atau narkotika dan sejenisnya. 4.
Menjaga Harta Hifdz Al-Mal; Illat alasan pemotongan tangan untuk para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta
orang lain dengan cara batil lainnya. 5.
Menjaga Keturunan Hifdz An-Nasl; Illat alasan diharamkannya zina dan qadzaf menuduh orang lain berzina.
45
Dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia, khususnya di bidang hukum pidana, penerapan hukum pidana Islam bisa saja dilakukan
dengan menggunakan pendekatan teori zawajir. Menurut teori ini, hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tidak harus persis seperti
tersebut di dalam nash. Dalam artian, pelaku boleh dihukum dengan hukuman apa saja, asal dengan hukuman itu tujuan penghukuman dapat dicapai, yaitu
membuat jera si pelaku dan menimbulkan rasa takut melakukan tindak pidana bagi yang lain. Prof. Masykuri Abdillah menyebut hal ini sejalan dengan
kaidah fikih ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh Sesuatu yang tidak dapat dicapai sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya. Melalui pendekatan
teori ini, akan menimbulkan pemahaman hukum yang kontekstual dan hukum Islam akan dinamis serta antisipatif terhadap perkembangan zaman.
46
Dari semua uraian di atas, apabila politik hukum Islam hukum pidana Islam dari elit-elit partai Islam bisa mendominasi parlemen, bukan hal yang
mustahil kebijakan-kebijakan negara di bidang hukum Islam yang lainnya,
45
Ibid, h. xv.
46
Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam..”, h. 222-223.
termasuk hukum pidana Islam dapat menjadi salah satu kewenangan Peradilan Agama. Karena ketentuan yang ada pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3
tahun 2006 telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru, yang dapat ditafsirkan bahwa tidak hanya perkara perdata Islam yang menjadi
kewenangannya, tetapi juga perkara pidana Islam. Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, seperti apakah konfigurasi
politik Islam di Indonesia masa mendatang? Mampukah partai-partai Islam berpacu dengan partai-partai nasionalis lainnya yang selama ini mendominasi?
Karena dalam praktiknya, hukum kerap kali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang
bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Sehingga dalam pandangan penulis, sejatinya hukum sangat dipengaruhi oleh politik. Betapapun Indonesia sebagai
Negara Pancasila yang plural, dalam realitanya sekarang adalah kebijakan- kebijakan hukum negara berada pada elit-elit politik yang berada di parlemen.
Sehingga bukan hal yang mustahil, suatu waktu nanti aspek-aspek hukum pidana Islam dapat diterapkan di Indonesia. Selain dari bagaimana politik
hukum Islam dari elit partai Islam, ini tentu juga harus didorong oleh kesadaran dan keinginan masyarakat Indonesia akan pentingnya pemberlakuan aspek-
aspek hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum Nasional.
72