diundangkan dalam Staatsblad 1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.
31
Selanjutnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan gagasan pemindahan wewenang tentang waris dari pengadilan
Agama. Dengan Staatsblad 1937 No. 116 wewenang pengadilan Agama itu dicabut dengan alasan hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh
hukum adat. Perkara waris ini kemudian dilimpahkan wewenangnya kepada landraad atau Pengadilan Negeri. Tampak adanya upaya pemerintah Belanda
untuk mempersempit ruang lingkup berlakunya hukum Islam. Bahkan untuk hukum waris berusaha “dihabisi” dengan menyerahkan wewenang
pemeriksaannya kepada landraad.
32
Sebagaimana yang diungkap oleh Aqib Suminto, sikap ini diambil Belanda karena khawatir terhadap gerakan Pan Islamisme yang bisa berujung
pada kesadaran tentang gerakan kemerdekaan di Indonesia.
33
Itu sebabnya, bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi pemberlakuannya, tetapi juga
hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya. Pada masa kolonial tidak ada dilaporkan satu pun praktik pelaksanaan hukum pidana Islam di
wilayah-wilayah jajahannya. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara telah menjadi kekuatan utama dalam menjalankan ajaran syariat termasuk di
dalamnya bidang pidana Islam. Namun, sejak masuknya politik hukum Belanda di Indonesia, Belanda melakukan penyempitan ruang gerak dan
31
Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam .”, h. 132.
32
A. Qodri Azizy, Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002, h. 155.
33
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta:LP3S, 1985, h. 64-99.
perkembangan hukum Islam dalam arti bahwa keberadaannya tidak menguntungkan bagi kepentingan politik kolonial Belanda.
34
C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan
Dalam catatan sejarah bangsa ini, perjuangan sebagian umat Islam untuk memasukkan syariat sebelum dan setelah Indonesia merdeka mengalami
dinamika yang fluktuatif. Di Indonesia, periode penting dalam perjuangan pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam hukum negara dilalui dalam
empat periode, yaitu periode menjelang kemerdekaan dalam sidang BPUPKI, periode awal kemerdekaan dalam Majelis Konstituante 1957-1959, periode
awal pemerintahan Orde Baru dalam Sidang MPR 1966-1968 dan periode pasca Orde Baru dalam Sidang MPR 2000-2002.
35
Pada setiap periode tersebut, seluruh usaha untuk memasukkan syariat yang
pada perkembangan
selanjutnya dikenal
dengan perjuangan
memasukkan Piagam Jakarta termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia ternyata gagal. Perdebatan terakhir terjadi setelah
Indonesia mengalami reformasi politik dan hukum pasca rezim Orde Baru, terutama dalam Sidang MPR 2000, 2001 dan 2002. Pada saat itu beberapa
partai Islam seperti PPP, PBB dan PK mengajukan proposal pencantuman kembali tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945.
36
Sama seperti masa sebelumnya, terdapat polarisasi kelompok Islam yang
34
Ibid
35
Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, Honolulu: University of Hawai Press, 2008, h. 85.
36
M. Zainal Anwar, “Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia:Pendekatan Pluralisme
Politik dalam Kebijakan Publik ”, Millah Vol. X, No. 2, Februari 2011, h. 198.
memperjuangkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 maupun rumusan yang inklusif yaitu “Kewajiban menjalankan Agama bagi pemeluk-
pemeluknya”.
37
Dan kelompok nasionalis
38
yang tetap konsisten menolak Piagam Jakarta. Akhirnya, disepakati rumusan alternatif pertama dalam Sidang
Pleno MPR Agustus 2002, yaitu “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
”.
39
Meskipun Piagam Jakarta sebagai pintu masuk dalam pemberlakuan hukum pidana Islam tidak berhasil diperjuangkan, tetapi Pancasila dan pasal 29
UUD NRI 1945 mengakomodir hukum Islam dijamin dalam negara Indonesia. Justru Pancasila sebagai norma hukum tertinggi yang berarti Indonesia tidak
menghilangkan peran agama dalam kehidupan bernegara.
40
Sedangkan hingga saat ini, yang menjadi produk hukum pidana nasional adalah KUHP yang
tidak mengakomodir syari‟at Islam. Meskipun diatur pembunuhan, pencurian, perampokan, persetubuhan dan minuman keras dalam
KUHP, tetapi hukuman yang dik enakan berbeda dengan syari‟at Islam. Posisi
hukum pidana Islam pasca kemerdekaan jelas sekali tidak pernah diberlakukan di Indonesia. Meskipun secara nasional, hukum Pidana Islam tidak
diberlakukan di Indonesia, namun hukum pidana Islam diberlakukan di Aceh. Tonggak pelaksanaan hukum pidana Islam di Aceh adalah disahkannya UU
37
Partai-partai yang berjuang memasukan 7 kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 yaitu: PPP,PBB,PNU Partai Nahdlatul Ulama,PSII Partai Syarikat Islam Indonesia. sedangkan partai
dengan rumusan inklusifnya yaitu: PAN,PKB dan PK sekarang PKS
38
Partai Nasionalis seperti PDIP,GOLKAR,PDKB Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan
39
Arskal Salim, Challenging The Secular State.., h. 107.
40
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta:Kanisius, ttp, h. 39.
No. 44 Tahun 1999 yang pada intinya UU ini memberikan keistimewaan untuk melaksanakan syari‟at Islam di Aceh.
41
Tidak cukup dengan Keistimewaan Aceh, negara juga memberikan otonomi khusus yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001
42
tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Dengan UU itu pula masyarakat Aceh diberi kesempatan dalam menjalankan syari‟at Islam dalam
bentuk peraturan perundang-undangan.
43
Dalam UU No.18 Tahun 2001 disebutkan bahwa Mahkamah Syar‟iyyah akan melaksanakan syari‟at Islam
yang dituangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Untuk itu telah disahkan pertama-tama sebuah Qanun yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
No. 10 T ahun 2002 tentang peradilan Syari‟at Islam.
44
Berikutnya lahir sejumlah peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bidang pidana Islam,
diantaranya:
1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di
Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam
Jenis dari ketiga bidang ini telah diatur ke dalam UU No. 11 tahun 2002 secara lebih rinci.
45
Sedangkan ketentuan pidana yang diatur terhadap pelanggaran UU ini yaitu berupa hukuman Ta‟zir.
46
41
Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam, Banda Aceh:Dinas
Syari‟at Islam Povinsi NAD, 2005 ,h. 60.
42
Sebagaimana disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang OTSUSNAD
43
Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam.., h. 225
44
Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at.. , h. 61.
45
Pasal 4-13 Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
46
BAB VIII Ketentuan Pidana Pasal 20-23 Qanun no. 11 Tahun 2002.
2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya
Qanun ini menetapkan ketentuan fiqih mengenai minuman khamar yang
haram hukumnya.
Hukum haram
ini berkaitan
dengan pengkonsumsian, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusiannya.
47
Sanksi bagi pelaku yang mengkonsumsi khamar dan sejenisnya akan dijatuhi hukuman hudud berupa cambuk sebanyak 40 kali.
48
Sedang bagi orang yang memproduksi dan mengedarkannya, baik dengan cara
menyimpan, menjual dan sebagainya dijatuhi hukuman ta‟zir.
49
3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir Perjudian dan Sejenisnya
Dalam qanun ini dijelaskan, yang dimaksud dengan maisir perjudian adalah kegiatan danatau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak
atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran.
50
Mengenai hukuman atas para pelanggar, Setiap orang yang melakukan judi diancam
dengan „uqubat cambuk paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali
51
. Sedangkan setiap orang yang berkegiatan atau usaha yang secara sengaja
dibuat agar dapat digunakan orang lain untuk melakukan judi, serta pemberian fasilitas dan perlindungan untuk perbuatan judi, baik oleh orang
pribadi ataupun badan hukum termasuk pemerintah diancam dengan hukuman Ta‟zir.
52
47
Pasal 5 dan 6 Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya
48
Pasal 26 ayat 1 Qanun No. 12 Tahun 2003
49
Pasal 26 ayat 2 Qanun No. 12 Tahun 2003
50
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir Perjudian dan sejenisnya.
51
Pasal 23 ayat 1 Qanun No. 13 Tahun 2003
52
Pasal 23 ayat 2 Qanun No. 13 Tahun 2003