BAB ENAM PULUH LIMA FRANK

BAB ENAM PULUH LIMA FRANK

FRANK MENGHARAPKAN KEMBANG API. Atau setidaknya, plang besar berbunyi: SELAMAT DATANG KEMBALI! Lebih dari tiga ribu tahun silam, leluhurnya dari Yunani —Periclymenus sang peubah wujud— berlayar beserta para Argonaut. Berabad-abad kemudian, keturunan Periclymenus mengabdi di legiun Romawi Timur. Lalu, karena serentetan musibah, keluarga Frank terdampar di China dan akhirnya beremigrasi ke Kanada pada abad kedua puluh. Sekarang, Frank kembali ke Yunani. Dengan kata lain, keluarga Zhang telah rampung mengelilingi dunia. Peristiwa tersebut sepertinya patut dirayakan, tetapi saw-satunya panitia penyambutan yang tampak hanyalah sekawanan harpy liar lapar yang menyerang kapal. Frank merasa tidak enak hati saat menembaki mereka dengan panah. Dia terus teringat Ella, kawan mereka si harpy teramat pintar dari Portland. Tapi, para harpy ini bukanlah Ella. Mereka akan dengan senang hati menggigiti wajah Frank. Jadi, dia pun menembaki mereka hingga menyisakan kepulan debu dan bulu belaka. Bentang alam Yunani di bawah juga tidak ramah. Bebatuan dan cemara kerdil berserakan di bukit, semua tampak berdenyar di tengah udara panas. Matahari bersinar tanpa ampun, seolah bermaksud melelehkan pedesaan menjadi perisai perunggu langit. Bahkan dari jarak tiga puluh meter di atas, Frank bisa mendengar dengungan tonggeret di pepohonan —bunyi pembawa kantuk yang seakan berasal dari alam lain, menyebabkan mata Frank terasa berat, bahkan suara pertengkaran dewa perang dalam kepalanya juga pupus, seolah telah jatuh tertidur. Suara-suara tersebut nyaris tidak mengganggu Frank lagi sejak awak kapal melintas ke teritori Yunani. Keringat mengucur di lehernya. Setelah dibekukan di geladak bawah oleh sang dewi salju sinting, Frank mengira dirinya takkan pernah lagi merasa hangar; tetapi sekarang bagian belakang bajunya sudah basah kuyup. "Panas dan lembap!" Leo FRANK MENGHARAPKAN KEMBANG API. Atau setidaknya, plang besar berbunyi: SELAMAT DATANG KEMBALI! Lebih dari tiga ribu tahun silam, leluhurnya dari Yunani —Periclymenus sang peubah wujud— berlayar beserta para Argonaut. Berabad-abad kemudian, keturunan Periclymenus mengabdi di legiun Romawi Timur. Lalu, karena serentetan musibah, keluarga Frank terdampar di China dan akhirnya beremigrasi ke Kanada pada abad kedua puluh. Sekarang, Frank kembali ke Yunani. Dengan kata lain, keluarga Zhang telah rampung mengelilingi dunia. Peristiwa tersebut sepertinya patut dirayakan, tetapi saw-satunya panitia penyambutan yang tampak hanyalah sekawanan harpy liar lapar yang menyerang kapal. Frank merasa tidak enak hati saat menembaki mereka dengan panah. Dia terus teringat Ella, kawan mereka si harpy teramat pintar dari Portland. Tapi, para harpy ini bukanlah Ella. Mereka akan dengan senang hati menggigiti wajah Frank. Jadi, dia pun menembaki mereka hingga menyisakan kepulan debu dan bulu belaka. Bentang alam Yunani di bawah juga tidak ramah. Bebatuan dan cemara kerdil berserakan di bukit, semua tampak berdenyar di tengah udara panas. Matahari bersinar tanpa ampun, seolah bermaksud melelehkan pedesaan menjadi perisai perunggu langit. Bahkan dari jarak tiga puluh meter di atas, Frank bisa mendengar dengungan tonggeret di pepohonan —bunyi pembawa kantuk yang seakan berasal dari alam lain, menyebabkan mata Frank terasa berat, bahkan suara pertengkaran dewa perang dalam kepalanya juga pupus, seolah telah jatuh tertidur. Suara-suara tersebut nyaris tidak mengganggu Frank lagi sejak awak kapal melintas ke teritori Yunani. Keringat mengucur di lehernya. Setelah dibekukan di geladak bawah oleh sang dewi salju sinting, Frank mengira dirinya takkan pernah lagi merasa hangar; tetapi sekarang bagian belakang bajunya sudah basah kuyup. "Panas dan lembap!" Leo

Kegandrungan Leo menggoda Frank sepertinya sudah bet., kurang. Dia mengobrol lebih santai dengan Hazel —tidak lag mencuri-curi pandang naksir dan penuh damba yang selama menyebabkan Frank merasa tidak nyaman. Hazel telah menyampaikan diagnosisnya secara pribadi kepa Frank: "Dia bertemu seseorang yang disukainya." Frank tidak percaya. "Bagaimana? Di mana? Dari mana kaul tahu?" Hazel tersenyum. "Aku tahu saja." Seakan Hazel adalah anak Venus alih-alih Pluto. Frank tidak mengerti. Tentu saja dia lega karena Leo tidak lagi merayu pacarnya, tapi Frank juga agak mengkhawatirkan Leo. Memang, mereka kerap bersilang pendapat, tapi setelah sekian banyak peristiwa yang mereka lewati bersama, Frank tidak ingin melihat Leo patah hati. "Di sana!" Suara Nico menyadarkan Frank dari permenung-annya. Seperti biasa, di Angelo nangkring di puncak tiang layar utama. Dia menunjuk ke sungai hijau berkilauan yang mengular di perbukitan, satu kilometer dari sana. "Arahkan kapal kita ke sana. Kita sudah dekat dengan kuil. Sangat dekat." Seolah untuk membuktikan ucapannya, petir hitam merobek langit, menyisakan bintik-bintik hitam di hadapan mata Frank dan membuat rambut-rambut halus di lengannya berdiri. Jason memasang sabuk pedangnya. "Teman-Teman, per-senjatai diri kalian. Leo, bawa kita mendekat, tapi jangan men-darat —jangan bersentuhan dengan tanah kalau tidak perlu.' Piper, Hazel, ambil tali tambat." "Siap!" kata Piper. Hazel mengecup pipi Frank dan lari untuk membantu. "Frank," panggil Jason, "turun dan susul Pak Pelatih Hedge." "Oke!" Frank turun ke geladak bawah dan menuju kabin Hedge. Saat mendekati pintu, dia melambatkan langkah. Dia tidak menimbulkan kegaduhan karena bisa-bisa sang satir terkejut. Pak Pelatih Hedge punya kebiasaan melompat ke lorong sambil mengayunkan tongkat bisbol jika dia mengira bahwa penyerang telah menyusup ke atas kapal. Gara-gara keagresifan sang satir, kepala Frank hampir terpenggal beberapa kali sewaktu hendak ke kamar mandi. Frank mengangkat tangan untuk mengetuk, kemudian dia menyadari bahwa pintu terbuka secelah. Dia mendengar Pak Pelatih Hedge berbicara di dalam. "Jangan begitu, Sayang!" kata sang satir. "Kau tahu maksudku bukan seperti itu!" Frank mematung. Dia tidak berniat menguping, tapi dia tidak tahu harus berbuat apa. Hazel pernah menyebut- nyebut bahwa dia mencemaskan sang satir, tapi Frank tidak pernah memikirkan kondisi Pak Pelatih Hedge secara mendalam sampai saat itu. Dia juga tidak pernah mendengar sang pelatih berbicara selembut itu. Suara yang Frank dengar dari dalam kabin sang pelatih biasanya cuma siaran olahraga di TV atau teriakan, "Bagus! Hajar!" saat sang satir menonton film laga bela diri favoritnya. Frank lurnayan yakin sang pelatih tidak memanggil Chuck Norris dengan julukan sayang. Suara lain berbicara — perempuan, tapi nyaris tidak kedengaran, seperti berasal dari jauh. "Pasti," Pak Pelatih Hedge berjanji. "Tapi, ehm, kami sedang menyongsong pertempuran yang" —dia berdeham—"mungkin akan berlangsung sengit. Amankan saja dirimu. Aku akan kembali. Sungguh." Frank tidak tahan lagi. Dia mengetuk keras-keras. "Permisi, Pak Pelatih?"

Pembicaraan terhenti. Frank menghitung sampai enam. Pintu meinbuka dengan keras. Pak Pelatih Hedge berdiri sambil merengut, matanya semera itu darah, seperti kebanyakan nonton TV. Dia mengenakan pakaian yang biasa berupa topi bisbol dan celana olahraga pendek, dilengkapi baju zirah kulit di atas kausnya. Di lehernya berkalungkan peluit, mungkin untuk jaga-jaga andai dia ingin memperingatkan pasukaii monster bahwa mereka melakukan pelanggaran. "Zhang. Apa maumu?" "Ehm, kita siap untuk bertempur. Kami membutuhkan Bap di geladak atas." Janggut kambing sang pelatih bergetar. "Iya. Tentu saja.' Anehnya, sang satir tidak terdengar antusias untuk menyambut pertarungan. "Saya tidak bermaksud —maksud saya, saya dengar Bapak sedang mengobrol." Frank terbata. "Apa Bapak baru mengirim pesan-Iris?" Hedge kelihatan seperti ingin menghajar muka Frank atau setidaknya meniup peluit keras-keras. Kemudian bahunya merosot. Dia mendesah dan kembali ke dalam, meninggalkan Frank yang berdiri kikuk di ambang pintu. Sang pelatih menjatuhkan diri ke tempat tidurnya. Dia menopangkan dagu ke tangan dan memandangi sepenjuru kabinnya dengan murung. Tempat itu mirip asrama mahasiswa yang baru dilanda topan —di lantai, bertebaranlah pakaian (mungkin untuk dikenakan, mungkin untuk dikudap; satir susah ditebak) dan DVD, sedangkan perangkat makan kotor berserakan di seputar TV di bufet. Tiap kali kapal itu oleng, bermacam-macam alat olahraga menggelinding di lantai, mulai dari bola futbol, bola basket, dan bola bisbol, serta —entah kenapa— sebuah bola biliar. Gumpalan bulu kambing melayang-layang di udara clan mengumpul di bawah furnitur. Di meja samping tempat tidur, terdapat semangkuk air, ,ctumpuk drachma emas, sebuah senter, dan prisma kaca untuk membuat pelangi. Sang pelatih kentara sekali siap untuk mengirimkan pesan-Iris banyak-banyak. Frank teringat perkataan Piper tentang pacar sang pelatih, si peri awan yang bekerja untuk ayah Piper. Siapa nama pacar-nya ... Melinda? Millicent? Bukan, Mellie. "Eh, apa pacar Bapak, Mellie, baik-baik saja?" Frank memberanikan diri. "Bukan urusanmu," bentak sang pelatih. "Oke." Hedge memutar-mutar bola matanya. "Ya sudah! Kalau kau i ngin tahu —ya, aku barusan berbicara kepada Mellie. Tapi, dia bukan pacarku lagi." "Oh ...." Hati Frank mencelos. "Bapak sudah putus dengan dia?" "Bukan, Dungu! Kami sudah menikah! Dia sekarang istrikur Andai sang pelatih menggetoknya, Frank takkan sekaget itu. "Pak Pelatih, itu lan —hebat! Kapan—bagaimana—?" "Bukan urusanmu?" teriaknya lagi. "Eh ... baiklah." "Akhir Mei," kata sang pelatih. "Tepat sebelum Argo Hberlayar. Kami tidak mau rnembesar-besarkannya." Frank merasa seolah kapal oleng lagi, tapi mungkin itu cuma perasaannya. Macam-macam alat olahraga bergeming di sisi jauh di nding. Selama ini, sang pelatih ternyata sudah menikah? Meskipun dirinya adalah pengantin baru, sang satir malah setuju untuk ikut

dalam misi ini. Pantas saja Hedge sering sekali menghubungl rumah. Pantas saja dia cepat gusar dan marah-marah terus. Namun demikian ... Frank merasakan bahwa ada yang lain. Nada suara sang pelatih saat mengirim pesan-Iris mengesankan seolah mereka sedang membahas suatu masalah. "Saya tidak bermaksud menguping," kata Frank. "Tapi apa istri Bapak baik-baik saja?" "Yang barusan itu percakapan pribadi!" "Iya. Bapak benar." "Ya sudah! Akan kuberi tahu kau." Hedge mencabut bulu di paha dan melemparkannya ke udara. "Dia sempat cuti dari pekerjaan di L.A, kemudian berkunjung ke Perkemahan Blasteran saat musim papas, sebab kami mengira —" Suara sang satin pecah. "Kami mengira di sana lebih aman. Sekarang dia terjebak di sana, sedangkan pasukan Romawi hendak menyerang. Dia ... dia takut." Frank mendadak sangat sadar pada pin centurion di bajunya, tato SPQR di lengan bawahnya.

"Saya ikut prihatin," gumam Frank. "Tapi, kalau dia itu roh awan, bukankah dia bisa Bapak tahu melayang pergi saja?" Sang pelatih mencengkeramkan jemari ke gagang tongkat bisbolnya. "Pada kondisi normal, memang. Tapi masalahnya dia sedang rentan. Kalau dia terbang, bisa berisiko." "Rental' ...." Mata Frank membelalak. "Dia sedang hamil? Bapak bakal menjadi ayah?" "Teriakkan lebih keras lagi," gerutu Hedge. "Belum kedengaran sampai ke Kroasia." Mau tak mau, Frank menyeringai. "Tapi, Pak Pelatih, itu keren! Bayi satin? Atau mungkin peri awan? Bapak pasti menjadi ayah yang baik." Frank tidak tahu apa sebabnya dia berpendapat begitu, padahal sang pelatih menggemari tongkat bisbol dan tendangan inemutar, tapi dia yakin. Pak Pelatih Hedge merengut kian galak. "Perang hendak pecah, Zhang. Tidak ada tempat yang aman. Aku seharusnya mendampingi Mellie. Andai aku harus mati —" "Jangan begitu! Takkan ada yang mati," tukas Frank. Hedge menatap matanya. Frank tahu sang pelatih tidak percaya. "Aku sutra anak-anak Ares sedari dulu," gerutu Hedge. "Atau Mars —yang mana sajalah. Mungkin itulah sebabnya aku tidak meremukkanmu menjadi bubur walaupun kau bertanya-tanya terus." "Tapi saya tidak —" "Ya sudah, akan kuberi tahu kau!" Hedge mendesah lagi. "Dalam misi pertamaku sebagai pencari, aku mendatangi Arizona. Dari sana, aku membawa pulang seorang anak bernama Clarisse." "Clarisse?" "Saudaramu," ujar Hedge. "Anak Ares. Brutal. Kasar. Punya banyak potensi. Singkat kata, selagi menjelajah, aku memimpikan ibuku. peri awan seperti Mellie. Aku bermimpi ibuku sedang kesulitan dan membutuhkan pertolonganku tepat saat itu. Tapi, kubilang kepada diriku sendiri, Abaikan saja, itu cuma mimpi. Siapa yang bakal menyakiti rob awan tua yang lembut hati? Lagi pula, aku harus membawa si blasteran ke tempat aman. Jadi, kuselesaikan misiku, kubawa Clarisse ke Perkemahan Blasteran. Sesudah itu, aku pergi mencari ibuku. Aku terlambat." Frank memperhatikan gumpalan bulu kambing yang melayang-layang hinggap di atas tongkat bisbol. "Beliau kenapa?"

Hedge mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Mungkin kalau aku mendampingi ibukti, kalau aku kembali lebih awal ...." Frank ingin mengucapkan sesuatu yang menghibur, tapi dia tidak tahu harus mengatakan apa. Dia sendiri kehilangan ibunya dalam perang di Afghanistan sehingga dia tahu betapa kata-kata Aku turut berduka terkesan hampa. "Bapak sedang mengerjakan tugas," tukas Frank. "Bapak menyelamatkan nyawa seorang demigod." Hedge menggeram. "Sekarang istri dan anakku yang belum lahir sedang terancam bahaya, di belahan dunia lain, sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu." "Bapak sedang melakukan sesuatu," kata Frank. "Kita ke sini untuk mencegah para raksasa membangunkan Gaea. Itulah cara terbaik untuk memastikan agar teman-teman kita tetap aman." "Iya. Beta!, kurasa begitu." Frank berharap bisa berbuat lebih untuk membangkitkan semangat Hedge, tapi pembicaraan ini malah membuat Frank mencemaskan semua orang yang dia tinggalkan. Dia bertanya-tanya siapa yang melindungi Perkemahan Jupiter saat ini, selagi legiun berderap ke timur, padahal situasi sedang genting karena banyaknya monster yang dikeluarkan Gaea dari Pintu Ajal. Dia mengkhawatirkan teman-temannya di Kohort V, juga membayangkan bagaimana kiranya perasaan mereka saat diperintahkan Octavian untuk berderap menuju Perkemahan Blasteran. Frank ingin kembali ke sana, sekurang-kurangnya untuk menjejalkan boneka beruang ke tenggorokan si augur licik itu. Kapal condong ke depan. Kumpulan alat olahraga menggelinding ke bawah tempat tidur sang pelatih. "Kita turun," kata Hedge. "Sebaiknya kita ke atas." "Iya," ujar Frank, suaranya serak. "Kau ini orang Romawi yang suka ikut campur, Zhang." "Tapi —" "Ayo," kata Hedge. "Dan jangan bilang siapa-siapa, Mulut Hedge mengangkat bahu. "Entahlah. Aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Mungkin kalau aku mendampingi ibukti, kalau aku kembali lebih awal ...." Frank ingin mengucapkan sesuatu yang menghibur, tapi dia tidak tahu harus mengatakan apa. Dia sendiri kehilangan ibunya dalam perang di Afghanistan sehingga dia tahu betapa kata-kata Aku turut berduka terkesan hampa. "Bapak sedang mengerjakan tugas," tukas Frank. "Bapak menyelamatkan nyawa seorang demigod." Hedge menggeram. "Sekarang istri dan anakku yang belum lahir sedang terancam bahaya, di belahan dunia lain, sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu." "Bapak sedang melakukan sesuatu," kata Frank. "Kita ke sini untuk mencegah para raksasa membangunkan Gaea. Itulah cara terbaik untuk memastikan agar teman-teman kita tetap aman." "Iya. Beta!, kurasa begitu." Frank berharap bisa berbuat lebih untuk membangkitkan semangat Hedge, tapi pembicaraan ini malah membuat Frank mencemaskan semua orang yang dia tinggalkan. Dia bertanya-tanya siapa yang melindungi Perkemahan Jupiter saat ini, selagi legiun berderap ke timur, padahal situasi sedang genting karena banyaknya monster yang dikeluarkan Gaea dari Pintu Ajal. Dia mengkhawatirkan teman-temannya di Kohort V, juga membayangkan bagaimana kiranya perasaan mereka saat diperintahkan Octavian untuk berderap menuju Perkemahan Blasteran. Frank ingin kembali ke sana, sekurang-kurangnya untuk menjejalkan boneka beruang ke tenggorokan si augur licik itu. Kapal condong ke depan. Kumpulan alat olahraga menggelinding ke bawah tempat tidur sang pelatih. "Kita turun," kata Hedge. "Sebaiknya kita ke atas." "Iya," ujar Frank, suaranya serak. "Kau ini orang Romawi yang suka ikut campur, Zhang." "Tapi —" "Ayo," kata Hedge. "Dan jangan bilang siapa-siapa, Mulut

"Tapi ...." Hazel menarik napas dalam-dalam. "Oke." Gad is itu mengeluarkan potongan kayu bakar dan menyerahkanny;i kepada Leo. Di tangan Leo, kayu bakar tersebut tidak lebih besar daripada obeng semata. Satu sisi kayu bakar itu masih gosong, d i tempat Frank menggunakannya untuk membakar rantai es yang membelenggu Dewa. Thanatos di Alaska. Dari saku sabuk perkakasnya, Leo mengeluarkan secarik kain putih. "Saksikanlah!" Frank mengerurkan kening. "Saputangan?" "Bendera tanda menyerah?" tebak Hazel. "Bukan, dasar skeptis!" kata Leo. "Ini kantong serut milikku, terbuat dari kain superkeren —hadiah dari seorang temanku.' Leo memasukkan kayu bakar ke kantong serut dan menarik tali perunggu yang mengikatnya hingga tertutup. "Tali serut ini adalah ideku," kata Leo bangga. "Membuatnya lumayan susah, harus dianyam ke kain, tapi kantong ini takkan terbuka kecuali kita menginginkannya. Udara bisa bersirkulasi dengan bebas keluar-masuk bahan ini, sama seperti kain biasa, jadi kondisinya sama saja seperti saat kayu bakar ini tersimpan dalam saku mantel Hazel." "Ehm ...," kata Hazel. "Kalau memang begitu, keunggulannya di mana?" "Pegang ini supaya aku tidak membuatmu kena serangan jantung." Leo melemparkan kantong serut kepada Frank, yang hampir menjatuhkan wadah itu. Leo mendatangkan bola api panas rnembara ke tang an kanannya. Dia mengulurkan lengan kiri ke atas kobaran api sambil menyeringai sementara lidah api tersebut menjilat lengan jaketnya. "Lihat?" kata Leo. "Bajuku tidak terbakar!" Frank tidak ingin bertengkar dengan cowok yang memegang bola api, tetapi dia berkata, "Ehm kau `kan kebal api." Leo memutar--mutar bola matanya. "Iya, tapi aku harus berkonsentrasi kalau tidak mau pakaianku terbakar. Padahal barusan aku tidak berkonsentrasi, Ian? Kain ini kedap api. Artinya, kayumu takkan terbakar dalam kantong serut itu." Hazel kelihatan sangsi. "Bagaimana kau bisa yakin?" "Ya ampun, penonton yang susah dibuat terkesan." Leo memadarnkan api. "Kurasa hanya ada satu cara untuk meyakinkan kalian." Dia mengulurkan tangan kepada Frank. "Eh, tidak, tidak." Frank melangkah mundur. Mendadak pernikiran berani mengenai keikhlasan dalam menerima takdirnya serasa jauh sekali. "Tidak apa-apa, Leo. Makasih, tapi aku —aku tidak bisa—', "Sobat, kau harus percaya padaku." jantung Frank berdebar-debar kencang. Apakah dia percaya kepada Leo? Tentu saja dia percaya pada kebisaan. Leo mengutak-atik mesin. Pada keahliannya berkelakar. Tapi, maukah Frank memercayakan nyawanya "Tapi ...." Hazel menarik napas dalam-dalam. "Oke." Gad is itu mengeluarkan potongan kayu bakar dan menyerahkanny;i kepada Leo. Di tangan Leo, kayu bakar tersebut tidak lebih besar daripada obeng semata. Satu sisi kayu bakar itu masih gosong, d i tempat Frank menggunakannya untuk membakar rantai es yang membelenggu Dewa. Thanatos di Alaska. Dari saku sabuk perkakasnya, Leo mengeluarkan secarik kain putih. "Saksikanlah!" Frank mengerurkan kening. "Saputangan?" "Bendera tanda menyerah?" tebak Hazel. "Bukan, dasar skeptis!" kata Leo. "Ini kantong serut milikku, terbuat dari kain superkeren —hadiah dari seorang temanku.' Leo memasukkan kayu bakar ke kantong serut dan menarik tali perunggu yang mengikatnya hingga tertutup. "Tali serut ini adalah ideku," kata Leo bangga. "Membuatnya lumayan susah, harus dianyam ke kain, tapi kantong ini takkan terbuka kecuali kita menginginkannya. Udara bisa bersirkulasi dengan bebas keluar-masuk bahan ini, sama seperti kain biasa, jadi kondisinya sama saja seperti saat kayu bakar ini tersimpan dalam saku mantel Hazel." "Ehm ...," kata Hazel. "Kalau memang begitu, keunggulannya di mana?" "Pegang ini supaya aku tidak membuatmu kena serangan jantung." Leo melemparkan kantong serut kepada Frank, yang hampir menjatuhkan wadah itu. Leo mendatangkan bola api panas rnembara ke tang an kanannya. Dia mengulurkan lengan kiri ke atas kobaran api sambil menyeringai sementara lidah api tersebut menjilat lengan jaketnya. "Lihat?" kata Leo. "Bajuku tidak terbakar!" Frank tidak ingin bertengkar dengan cowok yang memegang bola api, tetapi dia berkata, "Ehm kau `kan kebal api." Leo memutar--mutar bola matanya. "Iya, tapi aku harus berkonsentrasi kalau tidak mau pakaianku terbakar. Padahal barusan aku tidak berkonsentrasi, Ian? Kain ini kedap api. Artinya, kayumu takkan terbakar dalam kantong serut itu." Hazel kelihatan sangsi. "Bagaimana kau bisa yakin?" "Ya ampun, penonton yang susah dibuat terkesan." Leo memadarnkan api. "Kurasa hanya ada satu cara untuk meyakinkan kalian." Dia mengulurkan tangan kepada Frank. "Eh, tidak, tidak." Frank melangkah mundur. Mendadak pernikiran berani mengenai keikhlasan dalam menerima takdirnya serasa jauh sekali. "Tidak apa-apa, Leo. Makasih, tapi aku —aku tidak bisa—', "Sobat, kau harus percaya padaku." jantung Frank berdebar-debar kencang. Apakah dia percaya kepada Leo? Tentu saja dia percaya pada kebisaan. Leo mengutak-atik mesin. Pada keahliannya berkelakar. Tapi, maukah Frank memercayakan nyawanya

seolah-olah sebalok es tengah meleleh di balik tulang dadanya-segumpal rasa ngeri nan beku yang telah biasa dia bawa ke mana mana sehingga dia bahkan tidak pernah memikirkan perasaan sampai sekarang, sampai perasaan itu lenyap. Leo memadamkan api. Dia menaik-turunkan alis kepada Frank. "Siapa teman baikmu?" "Jangan jawab itu," kata Hazel. "Tapi, Leo, yang barusan memang mengagumkan." "Betul." Leo mengiakan. "Jadi, siapa yang ingin membawa kayu bakar yang sekarang ekstraaman ini?" "Biar aku saja," kata Frank. Hazel merapatkan bibir. Dia menengok ke bawah, barangkal supaya Frank tidak melihat kekecewaan di matanya. Gadis itu sudah melindungi kayu bakar untuk Frank sepanjang banyak pertempuran berat. Kayu bakar tersebut merupakan lambang kepercayaan antara mereka, simbol hubungan mereka. "Hazel, jangan marah." Frank berkata selembut mungkin. "Aku tidak bisa menjelaskan, tapi aku —aku punya firasat bahwa aku harus unjuk kebolehan ketika kita berada di Gerha Hades. Aku harus memikul sendiri bebanku." Mata Hazel yang keemasan dipenuhi kekhawatiran. "Aku mengerti. Aku cuma aku cemas." Leo melemparkan kantong serut kepada Frank. Frank mengikatkan kantong itu ke sabuknya. Frank merasa aneh karena membawa-bawa kelemahan fatalnya secara buka- bukaan setelah berbulan-bulan menyembunyikannya. "Leo," ujar Frank, "terima kasih." Ucapan terima kasih belaka serasa tidak sebanding dengan hadiah yang telah Leo berikan kepadanya, tapi Leo menyeringai. "Apa gunanya teman genius?" "Hei, Teman-Teman!" panggil Piper dan haluan. "Sebaiknya kalian ke sini. Kalian harus melihat ini." Mereka telah menemukan sumber petir gelap. Argo II melayang-layang tepat di atas sungai. Beberapa ratus meter dari sana, di puncak bukit terdekat, berdirilah sekumpulan reruntuhan. Puing-puing tersebut tidak megah —cuma dinding-dinding roboh yang mengelilingi kerangka segelintir bangunan dari batu paras —tetapi di dalam reruntuhan tersebut, tampaklah sulur-sulur kegelapan pekat yang menggapai ke langit, laksana gurita sehalus asap yang menyembul dari gua persembunyiannya. Sementara Frank memperhatikan, kilatan energi gelap membelah udara, mengguncangkan kapal itu dan mengirimkan gelombang kejut dingin yang merambati sepenjuru bentang alam. "Necromanteion," ujar Nico. "Gerha Hades." Frank memegangi pagar untuk menjaga keseimbangan. Dia menduga sudah terlambat untuk berputar balik. Dia mulai merindukan monster-monster yang dia lawan di Roma. Kejar-kejaran dengan sapi beracun di Venezia bahkan terkesan lebih memikat ketimbang tempat ini. Piper memeluk diri sendiri. "Aku merasa terekspos, melayang-layang di atas seperti ini. Tidak bisakah kita mendarat saja di sungai?" "Kurasa tidak," kata Hazel. "Itu Sungai Acher Jason memicingkan mata untuk menghalau matahari. "Kukira Acheron terletak di Dunia Baw "Memang," kata Hazel. "Tapi, mulct sungai dunia Tana. Sungai di bawah kita akhirnya mengalir k langsung ke Kerajaan Pluto —maksudku Hades. kapal demigod di perairan itu--"

"Iya, lebih baik kita tetap di atas." Leo memutuskan. " tidak mau lambung kapalku bersentuhan dengan air zombi." Setengah kilometer di hilir, sejumlah perahu nelayan mengarungi sungai. Frank memperkirakan bahwa mereka tid' tahu atau tidak peduli pada riwayat sungai tersebut. Enaknya, menjadi manusia biasa. Di sebelah Frank, Nico di Angelo mengangkat tongka Diocletian. Bola di puncak tongkat memendarkan cahaya ungu, 4111* seolah-olah bersimpati pada badai gelap. Relik Romawi atau bukan, tongkat tersebut membuat Frank risau. Jika benda tersebut benar-benar menyimpan kesaktian untuk memanggil legiun orang mati ... Frank tidak yakin yang demikian adalah ide bagus. Jason pernah memberitahunya bahwa anak-anak Mars memiliki kemampuan serupa. Frank seharusnya bisa juga memanggil hantu prajurit dari kubu pecundang dalam perang mana pun sebagai abdinya. Frank belum mampu mengendalikan kemampuan tersebut sejauh ini, barangkali karena dia kelewa takut. Dia khawatir kalau-kalau dirinya menjadi bagian dark kawanan hantu tersebut andai mereka kalah dalam perang ini —dikutuk membayar kekeliruannya untuk selama-lamanya, dengan asumsi bahwa di dunia fana masih tersisa demigod yang bisa memanggilnya. "Jadi, ehmm, Nico ...." Frank menunjuk tongkat Diocletian. "Apa kau sudah tahu cara menggunakan benda itu?" "Nanti kita cari tahu." Nico menatap sulur-sulur kegelapan yang menjulur keluar dari reruntuhan. "Akan kugunakan ini jika terdesak, tapi tidak sebelumnya. Pintu Ajal sudah bekerja lembur demi mengeluarkan sekian banyak monster anak buah Gaea. Kalau kita paksakan memanggil orang-orang mati, bisa-bisa pintu itu bobol permanen, meninggalkan robekan di dunia fana yang tidak bisa ditutup." Pak Pelatih Hedge menggeram. "Aku bend robekan di dunia Iana..Ayo kita getok kepala monster- monster." Frank melihat ekspresi muram sang satir. Tiba-tiba dia titendapat ide. "Pak Pelatih, sebaiknya Bapak diam di kapal sambil inenembakkan peluncur misil saja, untuk melindungi kami." Hedge mengerutkan kening. "Ditinggal di sini? Aku? Aku ini adekar terbaik di antara kita semuar "Kita mungkin bakal membutuhkan sokongan dari udara," ta Frank. "Seperti saat di Roma. Bapak sudah menyelamatkan katni saat itu." Dia tidak menambahkan: Apalagi aku ingin supaya Anda kembali hidup- hidup ke hadapan istri dan bayi Anda. Hedge rupanya mafh um maksud Frank. Mimiknya yang cemberut kini melembut. Rasa lega tampak di matanya. "Mau bagaimana lagi ...," gerutu sang satir. "Aku rasa, memang harus ada yang melindungi kalian." Jason menepuk bahu sang satir. Kemudian dia mengangguk apresiatif ke arah Frank. "Beres kalau begitu. Yang lain —ayo kita ke reruntuhan. Waktunya membubarkan pesta Gaea."[]