BAB TUJUH PULUH ANNABETH

BAB TUJUH PULUH ANNABETH

HABISI MEREKA SAKING SERINGNYA mendengar kata-kata itu, Annabeth sontak tersadar dari kelumpuhan. Dia mengangkat pedangnya dan berteriak, "Percy!" Percy menyambar Riptide dari tanah. Annabeth menukik ke rantai yang menahan Pintu Ajal. Bilah tulang drakon memotong belenggu kiri dalam satu sabetan. Sementara itu, Percy memukul mundur rombongan monster pertama yang datang menyerbu. Dia menikam seorang arai dan memekik, "Bah! Kutukan tolol!" Kemudian dia menumbangkan setengah lusin telkhine. Annabeth melesat ke belakang Percy dan mengiris belenggu di sisi satu lagi. Pintu Ajal berguncang, lalu terbuka disertai bunyi Ting! memuaskan. Bob dan asistennya si harimau bergigi pedang terus meliuk-liuk di seputar kaki Tartarus sambil menyerang dan menghindar dari cengkeramannya. Mereka sepertinya tidak mampu berbuat banyak untuk mencederai sang dewa, tetapi Tartarus limbung ke

sana-kemari, jelas-jelas tidak terbiasa bertarung dengan tubuIi humanoid. Tepisan tangannya berkali-kali meleset. Monster yang menyerbu ke arah Pintu Ajal semakin banyak. Tombak mendesing di samping kepala Annabeth. Dia membalikkan badan dan menikam perut seorang empousa, kemudian menukik ke arah Pintu saat kedua panelnya mulai tertutup. Dia menahan Pintu dengan kakinya sambil bertarung. Setidaknya karena dia memunggungi kompartemen lift, Annabeth tidak perlu mengkhawatirkan serangan dari belakang. "Percy, ke sini!" teriaknya. Percy bergabung dengan Annabeth di ambang pintu, wajahnya bersimbah peluh dan darah di sejumlah luka sayatan. "Kau baik-baik saja?" tanya Annabeth. Percy mengangguk. "Kena kutukan nyeri dari arai itu." Ditebasnya seekor gryphon hingga jatuh dari udara. "Sakit sih, tapi takkan membunuhku. Ayo masuk lift. Akan kupencet tombolnya." "Enak saja!" Annabeth menghajar moncong seekor kuda karnivora dengan gagang pedang dan mengempaskan si monster hingga jatuh terinjak-injak kerumunan rekannya. "Kau sudah janji, Otak Ganggang. Kita takkan terpisahkan! Tidak akan lagi!" "Kau ini merepotkan!" "Aku cinta padamu juga!" Se-phalanx Cyclops menerjang ke depan, menabrak monster-monster kecil yang menghalangi jalan. Annabeth memperkirakan dirinya bakal mati tidak lama lagi. "Kenapa harus Cyclops lagi sih?!" gerutunya. Percy meneriakkan pekik tempur. Di kaki para Cyclops, pecahlah pembuluh darah merah di tanah, menyemprotkan air api dari Sungai Phlegethon ke sekujur tubuh para monster. Air api itu barangkali mujarab untuk menyembuhkan manusia fana, tetapi efeknya bagi Cyclops tidak bagus. Mereka seketika terbakar oleh gelombang panas. Pembuluh darah yang pecah menutup sendiri, tetapi tamatlah riwayat para monster, yang tersisa tinggal deretan bekas gosong di tanah. "Annabeth, kau harus pergi!" kata Percy. "Kita tidak sana-kemari, jelas-jelas tidak terbiasa bertarung dengan tubuIi humanoid. Tepisan tangannya berkali-kali meleset. Monster yang menyerbu ke arah Pintu Ajal semakin banyak. Tombak mendesing di samping kepala Annabeth. Dia membalikkan badan dan menikam perut seorang empousa, kemudian menukik ke arah Pintu saat kedua panelnya mulai tertutup. Dia menahan Pintu dengan kakinya sambil bertarung. Setidaknya karena dia memunggungi kompartemen lift, Annabeth tidak perlu mengkhawatirkan serangan dari belakang. "Percy, ke sini!" teriaknya. Percy bergabung dengan Annabeth di ambang pintu, wajahnya bersimbah peluh dan darah di sejumlah luka sayatan. "Kau baik-baik saja?" tanya Annabeth. Percy mengangguk. "Kena kutukan nyeri dari arai itu." Ditebasnya seekor gryphon hingga jatuh dari udara. "Sakit sih, tapi takkan membunuhku. Ayo masuk lift. Akan kupencet tombolnya." "Enak saja!" Annabeth menghajar moncong seekor kuda karnivora dengan gagang pedang dan mengempaskan si monster hingga jatuh terinjak-injak kerumunan rekannya. "Kau sudah janji, Otak Ganggang. Kita takkan terpisahkan! Tidak akan lagi!" "Kau ini merepotkan!" "Aku cinta padamu juga!" Se-phalanx Cyclops menerjang ke depan, menabrak monster-monster kecil yang menghalangi jalan. Annabeth memperkirakan dirinya bakal mati tidak lama lagi. "Kenapa harus Cyclops lagi sih?!" gerutunya. Percy meneriakkan pekik tempur. Di kaki para Cyclops, pecahlah pembuluh darah merah di tanah, menyemprotkan air api dari Sungai Phlegethon ke sekujur tubuh para monster. Air api itu barangkali mujarab untuk menyembuhkan manusia fana, tetapi efeknya bagi Cyclops tidak bagus. Mereka seketika terbakar oleh gelombang panas. Pembuluh darah yang pecah menutup sendiri, tetapi tamatlah riwayat para monster, yang tersisa tinggal deretan bekas gosong di tanah. "Annabeth, kau harus pergi!" kata Percy. "Kita tidak

Sementara itu, serangan Bob makin melambat. Tartarus mulai belajar mengendalikan tubuh barunya. Bob Kecil bergigi pedang menerkam dewa itu, tetapi Tartarus menghajar kucing tersebut hingga terenyak ke samping. Bob menyerang sambil mengaum murka, tetapi Tartarus menyambar tombaknya dan menarik senjata tersebut dari tangan sang Titan. Dia lantas menendang Bob ke turunan, menjatuhkan sebaris telkhine seperti pin boling mamalia laut. MENYERAHLAH! gelegar Tartarus. "Aku tidak sudi," kata Bob. "Kau bukan majikanku." Kalau begitu, matilah sambil melawan, kata dewa lubang. Kahan bangsa Titan bukan apa-apa bagiku. Anak-anakku kaum raksasa senantiasa lebih mumpuni, lebih kuat, dan lebih kejam. Mereka akan menjadikan dunia atas segelap kerajaanku! Tartarus mematahkan tombak menjadi dua. Bob meraung nelangsa. Bob Kecil bergigi pedang melompat untuk membantu Titan itu sambil menggeram kepada Tartarus dan memamerkan taringnya. Sang Titan berjuang untuk berdiri, tapi Annabeth tahu pertarungan sudah usai. Para monster sekalipun menoleh untuk menonton, seolah-olah merasakan bahwa majikan mereka Tartarus hendak unjuk kebolehan. Kematian seorang Titan pantas disaksikan. Percy memegangi tangan Annabeth. "Diam di sini. Aku harus menolongnya." "Percy, kau tak bisa," kata Annabeth parau. "Tartarus tidak bisa dilawan. Tidak oleh kita." Annabeth tahu dia benar. Tartarus tidak tertandingi. Dia lebih perkasa daripada dewa-dewi atau bangsa Titan. Demigod bukan apa-apa baginya. Jika Percy menyerang untuk membantu Bob, dia bakalan diinjak seperti semut. Tapi, Annabeth juga tahu bahwa Percy takkan menghiraukan kata-katanya. Percy tidak tega membiarkan Bob meninggal sendirian. Bukan begitu watak Percy —dan itulah satu dari sekian banyak alasan yang menyebabkan Annabeth mencintainya, sekalipun Percy menyebalkannya setengah mati. "Kira ke sana sama-sama." Annabeth memutuskan, tahu bahwa ini akan menjadi pertempuran mereka yang paripurna. Jika mereka menjauh dari Pintu Ajal, mereka takkan pernah meninggalkan Tartarus. Setidaknya mereka bakal mati selagi bertarung berdampingan. Annabeth hendak berkata: Sekarang. Sensasi waswas menyebar di antara pasukan monster. Dari kejauhan, Annabeth mendengar pekikan, jeritan, dan bunyi bum bum bum berkelanjutan yang terlalu cepat sehingga mustahil merupakan getaran detak jantung dari tanah —lebih menyerupai sesuatu yang besar dan berat, sedang berlari dengan kecepatan penuh. Seorang Anak Bumi berpuntir ke udara seperti baru dilempar. Kepulan gas hijau cerah membubung ke atas kawanan monster seperti semprotan racun dari selang anti-huru-hara. Semua yang terkena Sementara itu, serangan Bob makin melambat. Tartarus mulai belajar mengendalikan tubuh barunya. Bob Kecil bergigi pedang menerkam dewa itu, tetapi Tartarus menghajar kucing tersebut hingga terenyak ke samping. Bob menyerang sambil mengaum murka, tetapi Tartarus menyambar tombaknya dan menarik senjata tersebut dari tangan sang Titan. Dia lantas menendang Bob ke turunan, menjatuhkan sebaris telkhine seperti pin boling mamalia laut. MENYERAHLAH! gelegar Tartarus. "Aku tidak sudi," kata Bob. "Kau bukan majikanku." Kalau begitu, matilah sambil melawan, kata dewa lubang. Kahan bangsa Titan bukan apa-apa bagiku. Anak-anakku kaum raksasa senantiasa lebih mumpuni, lebih kuat, dan lebih kejam. Mereka akan menjadikan dunia atas segelap kerajaanku! Tartarus mematahkan tombak menjadi dua. Bob meraung nelangsa. Bob Kecil bergigi pedang melompat untuk membantu Titan itu sambil menggeram kepada Tartarus dan memamerkan taringnya. Sang Titan berjuang untuk berdiri, tapi Annabeth tahu pertarungan sudah usai. Para monster sekalipun menoleh untuk menonton, seolah-olah merasakan bahwa majikan mereka Tartarus hendak unjuk kebolehan. Kematian seorang Titan pantas disaksikan. Percy memegangi tangan Annabeth. "Diam di sini. Aku harus menolongnya." "Percy, kau tak bisa," kata Annabeth parau. "Tartarus tidak bisa dilawan. Tidak oleh kita." Annabeth tahu dia benar. Tartarus tidak tertandingi. Dia lebih perkasa daripada dewa-dewi atau bangsa Titan. Demigod bukan apa-apa baginya. Jika Percy menyerang untuk membantu Bob, dia bakalan diinjak seperti semut. Tapi, Annabeth juga tahu bahwa Percy takkan menghiraukan kata-katanya. Percy tidak tega membiarkan Bob meninggal sendirian. Bukan begitu watak Percy —dan itulah satu dari sekian banyak alasan yang menyebabkan Annabeth mencintainya, sekalipun Percy menyebalkannya setengah mati. "Kira ke sana sama-sama." Annabeth memutuskan, tahu bahwa ini akan menjadi pertempuran mereka yang paripurna. Jika mereka menjauh dari Pintu Ajal, mereka takkan pernah meninggalkan Tartarus. Setidaknya mereka bakal mati selagi bertarung berdampingan. Annabeth hendak berkata: Sekarang. Sensasi waswas menyebar di antara pasukan monster. Dari kejauhan, Annabeth mendengar pekikan, jeritan, dan bunyi bum bum bum berkelanjutan yang terlalu cepat sehingga mustahil merupakan getaran detak jantung dari tanah —lebih menyerupai sesuatu yang besar dan berat, sedang berlari dengan kecepatan penuh. Seorang Anak Bumi berpuntir ke udara seperti baru dilempar. Kepulan gas hijau cerah membubung ke atas kawanan monster seperti semprotan racun dari selang anti-huru-hara. Semua yang terkena

diriku.[]