BAB DUA PULUH ENAM HAZEL

BAB DUA PULUH ENAM HAZEL

HAZEL DAN FRANK JATUH TERGULING MENIMPA SATU SAMA LAIN. Hazel tak sengaja memberi manuver Heimlich kepada dirinya sendiri dengan ujung pedangnya dan meringkuk di atas geladak, mengerang dan terbatuk-batuk mengeluarkan rasa racun katobleps. Melalui kabut rasa nyeri, dia mendengar dekorasi yang terletak di haluan kapal, Festus si naga perunggu, memekik-mekik ketakutan dan menembakkan api. Samar-samar, Hazel berpikir apakah mereka menabrak gun ung es —tetapi di Adriatik, di tengah musim panas? Kapal berguncang-guncang ke kiri dengan sangat ribut, seperti tiang telepon yang patah menjadi dua. "Gahh!" Leo berteriak dari suatu tempat di belakang Hazel. "Dayungnya dimakan!" Dimakan? Hazel bertanya-tanya. Dia berusaha berdiri, tetapi sesuatu yang besar dan berat menjepit kedua kakinya. Dia menyadari itu adalah Frank, yang tengah menggerutu sambil berusaha melepaskan diri dari tumpukan tali yang lepas. Semua orang bergegas. Jason melompati mereka dengan pedang terhunus dan berlari menuju buritan. Piper sudah berada di geladak belakang, melemparkan makanan dari kornukopianya dan berteriak, "Hei! HEI! Makan ini, kura-kura bodoh!" Kura-kura? Frank membantu Hazel berdiri. "Kau tidak apa-apa?" "Yeah." Hazel berbohong, sambil mencengkeram perutnya. "Pergilah!" Frank berlari cepat menaiki anak tangga, melepas ranselnya, yang seketika itu juga berubah menjadi sebuah busur dan tempat anak panah. Pada saat mencapai kemudi, dia sudah menembakkan satu anak panah dan tengah memasang anak panah kedua. Leo dengan panik mengutak-atik alas kendali kapal. "Dayung tidak bisa ditarik kembali. Jauhkan makhluk itu! Jauhkan!" Di atas tali layar, wajah Nico melongo kaget. "Demi Styx — besar sekali!" teriaknya. "Kiri! Belok kiri!" Pak Pelatih Hedge adalah yang terakhir sampai di geladak. Dia menebus keterlambatannya dengan semangatnya. Dia melompati anak tangga, mengayunkan tongkat bisbolnya, tanpa ragu menderap dengan kaki kambingnya ke buritan, dan melompati langkan seraya berseru riang "Ha-HA!" Hazel berjalan sempoyongan menuju geladak belakang dan tidak bisa memercayai apa yang dia lihat. Ketika dia mendengar kata kura-kura, dia membayangkan makhluk

mungil lucu seukuran kotak perhiasan, bertengger di atas batu di tengah sebuah kolam ikan. Ketika dia mendengar sangat besar, benaknya berusaha menyesuaikan —baiklah, barangkali kura-kura itu seperti penyu Galapagos yang pernah dia lihat di kebun binatang satu kali, dengan tempurung yang cukup besar untuk dinaiki orang. Hazel tidak membayangkan makhluk seukuran sebuah pulau Ketika dia melihat kubah raksasa berpola kotak-kotak cokelat. hitam yang kasar, kata kura-kura benar-benar tidak masuk akal Tempurungnya lebih menyerupai daratan —bukit-bukit tulang lembah-lembah mutiara berkilau, hutan lumut dan tumbuhar laut, sungai-sungai berair laut mengaliri galur-galur pada kulii punggungnya. Di sisi kanan kapal, bagian tubuh lain monster itu muncul dari air seperti kapal selam. Demi Lares Roma ... apakah itu kepalanya? Mata emasnya sebesar kolam renang anak-anak dengan celah miring hitam sebagai biji mata. Kulitnya berkilau-kilau seperti baju kamuflase militer yang basah —cokelat berbintik-bintik hijau dan kuning. Mulutnya yang merah tak bergigi bisa menelan Athena Parthenos dalam sekali lahap. Hazel menyaksikan saat kura-kura itu mematahkan selusin dayung. "Hentikan!" Leo meraung. Pak Pelatih Hedge merayapi tempurung si kura-kura, memukul-mukulnya tanpa guna dengan pemukul bisbol sambil berteriak, "Terima itu! Dan, itu!" Jason terbang dari buritan dan mendarat di atas kepala makhluk itu. Dia menusukkan pedang emasnya persis di antara mata si kura-kura, tetapi pedang itu tergelincir ke samping, seolah-olah kulit kura-kura itu adalah baja berminyak. Frank menembakkan anak panah pada mata si monster tanpa hasil. Kelopak mata bagian dalam si kura-kura yang tipis berkedip dengan ketepatan luar biasa, menangkis tiap tembakan. Piper melemparkan blewah-blewah ke dalam air sambil berteriak, "Ambillah itu, kura-kura bodoh!" Tetapi, si kura-kura sepertinya terobsesi memakan Argo II. "Bagaimana makhluk itu bisa sedekat ini?" Hazel bertanya. Leo mengangkat kedua tangan dengan gusar. "Pasti gara-gara tempurung itu. Kuduga tempurung itu tak terdeteksi sonar. Ini kura-kura yang sangat pintar bergerak diam-diam!" "Bisakah kapal kita terbang?" tanya Piper. "Dengan separuh dayung rusak?" Leo menekan-nekan beberapa tombol dan memutar bola mekanis Archimedes. "Aku harus mencoba cara lain." "Di sana!" Nico berteriak dari atas. "Bisakah kau membawa kita ke tangga itu?" Hazel melihat arah yang ditunjukkan Nico. Sekitar setengah mil di arah timur, sebidang panjang daratan membentang sejajar dengan tebing-tebing pesisir. Sulit memastikan dari kejauhan, tetapi hamparan air di antara keduanya sepertinya hanya sepanjang dua puluh atau tiga puluh meter —mungkin cukup lebar untuk dilewati Argo II, tetapi jelas tidak cukup lebar untuk dilewati tempurung kura-kura raksasa. "Yeah. Yeah." Leo tampaknya mengerti. Dia memutar bola mekanis Archimedesnya. "Jason, menyingkirlah dari kepala makhluk itu! Aku punya icier Jason masih memukul- mukul wajah kura-kura itu, tetapi ketika dia mendengar Leo berkata aku punya ide, dia mengambil satu- satunya pilihan yang cerdas. Dia terbang menjauh secepat mungkin. "Pak Pelatih, ayo!" ajak Jason. "Tidak, aku bisa membereskan ini!" kata Hedge, tetapi Jason mencengkeram pinggangnya dan pergi menjauh. Nahasnya, Pak Pelatih meronta-ronta demikian hebat sehingga pedang Jason jatuh dari tangannya dan tercebur ke laut. "Pak Pelatih!" keluh Jason. "Apo?" tanya Hedge. "Aku sedang melemahkannya!"

Si kura-kura menyeruduk lambung kapal, nyaris melemparkan seluruh awak kapal ke sebelah kiri. Hazel mendengar bunyi retakan, seakan-akan tunas kapal patah. "Satu menit lagi," kata Leo, kedua tangannya bergerak-gerak cepat di atas konsol. "Kim mungkin tidak akan ada di sini satu menit lagi!" Frank menembakkan anak panah terakhir. Piper berteriak pada kura-kura itu, "Pergi sana!" Sesaat, itu berhasil.

Kura-kura itu berbelok dari kapal dan membenamkan kepalanya ke dalam air. Namun, monster itu kemudian kembali lagi dan membentur mereka lebih keras lagi. Jason dan Pak Pelatih Hedge mendarat di atas geladak. "Kau tidak apa-apa?" tanya Piper. "Tidak apa-apa," gumam Jason. "Kehilangan senjata, tapi tidak apa-apa." "Tembak tempurung!" Leo berseru, memutar-mutar alat pengendali Wii-nya. Hazel mengira buritan meledak. Semburan api meledak di belakang mereka, menyelubungi kepala si kura-kura. Kapal itu melesat ke depan dan melemparkan Hazel ke geladak lagi. Hazel mengangkat tubuhnya dan melihat kapal itu melompat-lompat di atas ombak dengan kecepatan luar biasa, meninggalkan jejak api seperti roket. Kura-kura itu sudah seratus meter di belakang mereka, kepalanya gosong dan mengepulkan asap. Monster itu melenguh frustrasi dan mulai mengejar mereka, kaki dayungnya mengayuh air dengan kekuatan sedemikian rupa hingga kura-kura itu benar-benar mulai menyusul mereka. Jalan masuk ke selat itu masih setengah mil lagi. "Pengalih perhatian," gumam Leo. "Kita tak akan pernah mencapainya kecuali kita punya pengalih perhatian." "Pengalih perhatian," ulang Hazel. Dia berkonsentrasi dan berpikir: Anion! Hazel sama sekali tidak tahu apakah itu akan berhasil. Namun, seketika itu juga, dia melihat sesuatu di kaki langit —sekilas cahaya dan asap. Benda itu melintasi permukaan Laut Adriatik. Dalam sekejap, Anion berdiri di atas geladak belakang. Dewa-dewi Olympus, pikir Hazel. Aku suka sekali kuda ini. Anion mendengus seolah-olah berkata, Tentu saja. Kau tidak bodoh. Hazel menaiki punggung Anion. "Piper, charmspeak-mu bisa hermanfaat." "Pada zaman dahulu kala, aku suka kura-kura," gumam Piper, sambil menerima bantuan untuk naik. "Sekarang tidak lagi!" Hazel memacu Anion. Kuda itu melompat ke sisi kapal, menghantam air dengan lompatan penuh. Kura-kura itu berenang dengan cepat, tetapi is tidak bisa menyamai kecepatan Anion. Hazel dan Piper melesat ke sana-kemari di sekitar kepala sang monster, Hazel menebas dengan pedang, Piper meneriakkan perintah-perintah acak seperti, " Menyelam! Belok kiri! Lihat di belakangmu!" Pedang tidak bisa melukai. Setiap perintah hanya bekerja Sesaat, tetapi mereka membuat kura-kura itu sangat jengkel. Anion meringkik mengejek saat si kura-kura menerkamnya, hanya untuk mendapatkan mulut penuh asap kuda. Segera saja si monster melupakan Argo II sepenuhnya. Hazel terus menusuk-nusuk kepalanya. Piper terus menjerit-jeritkan perintah dan menggunakan kornukopianya untuk melemparkan kelapa dan ayam panggang ke bola mata si kura-kura. Begitu Argo II melewati selat, Anion menghentikan gangguannya. Mereka melesat mengejar kapal, dan sejenak kemudian mereka sudah kembali berada di atas geladak.

Api roket telah padam walaupun lubang-lubang angin perunggu yang mengepulkan asap masih menyembul dari geladak. Argo II bergerak maju dengan susah payah menggunakan kekuatan layar, tetapi rencana mereka membuahkan hasil. Mereka tertambat dengan aman di perairan yang dangkal, sebuah pulau panjang berbatu di sebelah kanan dan tebing-tebing putih curam sebuah daratan besar di sebelah kiri. Si kura-kura berhenti di jalan masuk ke dalam selat dan memelototi mereka dengan tatapan mengancam, tetapi is tidak berusaha mengikuti. Tempurungnya jelas terlalu lebar. Hazel turun dari kuda dan mendapat pelukan eras dari Frank. "Tadi itu bagus sekali!" Wajah Hazel merona. "Terima kasih." Piper meluncur turun ke sebelah Hazel. "Leo, sejak kapan kita punya propulsi jet?" "Ah, kau tahulah ...." Leo berusaha terlihat rendah hati.tetapi gagal. "Hanya hal kecil yang kubuat pada waktu luangku. Aku berharap bisa memberi kalian lebih dari sekadar pembakaran beberapa detik, tetapi setidaknya itu membuat kita keluar dari sana. "Dan, memanggang kepala si kura-kura," kata Jason penuh penghargaan. "Jadi, bagaimana sekarang?" "Bunuh kura-kura itu!" kata Pak Pelatih. "Masa kalian harus bertanya? Kita sudah cukup jauh.

Kita punya katapel. Siapkan senjata, Para Demigod!" Jason mengerutkan dahi. "Pak Pelatih, pertarna- tama, Anda membuatku kehilangan pedang." "Hei! Aku tidak minta dievakuasi!" "Kedua, kurasa katapel tidak akan ada gunanya. Tempurung itu seperti kulit Singa Nemea. Kepalanya juga tidak lebih lunak." "Kalau begitu, kita masukkan amunisi ke tenggorokannya," kata Pak Pelatih, "seperti yang kalian lakukan dengan monster ,udang itu di Atlantik. Ledakkan dari dalam." Frank menggaruk-garuk kepalanya. "Mungkin bisa. Tapi,berarti kita akan punya bangkai kura-kura seberat lima juta kilogram menghalangi jalan masuk ke teluk. Jika kita tidak bisa terbang karena dayung rusak, bagaimana kita mengeluarkan kapal ini?" "Kita tunggu dan kita perbaiki dayungnya!" kata Pak Pelatih. "Atau, berlayar saja ke arah lain, dasar bahlul!" Frank tampak bingung. "Bahlul itu apa?" "Teman-Teman!" Nico memanggil dari tiang. "Tentang herlayar ke arah lain? Kukira itu tidak akan bisa dilakukan." Dia menunjuk ke seberang haluan. Sekitar setengah kilometer di depan mereka, hamparan tanah berbatu yang panjang itu melengkung dan bertemu dengan tebing. Terusan itu berakhir dalam bentuk V sempit. "Kita tidak berada di sebuah selat," kata Jason. "Kita berada di jalan buntu." Rasa dingin merayapi jari kaki dan tangan Hazel. Pada langkan di sebelah kiri kapal, Gale si sigung berjongkok, menatap penuh harap kepada Hazel. "Ini jebakan," kata Hazel. Yang lain menatapnya. "Ah, tidak apa-apa," kata Leo. "Seburuk-buruknya yang terjadi, kita bisa perbaiki. Mungkin makan waktu semalaman, tetapi aku bisa membuat kapal ini terbang lagi." Di mulut teluk kecil, si kura-kura meraung. Ia sepertinya tidak tertarik meninggalkan tempat itu. "Yah ...." Piper mengangkat bahu. "Setidaknya kura-kura itu tidak bisa mencapai kita. Kita aman di sini."

Itu sesuatu yang seharusnya tak dikatakan oleh demigod. Kata-kata itu nyaris belum sempat meninggalkan mulut Piper ketika sebatang anak panah menancap ke layar utama, lima belas sentimeter dari wajahnya. Awak kapal berhamburan untuk beilindung, kecuali Piper, yang berdiri membeku di tempat, mulut ternganga memandang anak panah yang nyaris menusuk hidungnya dengan keras. "Piper, merunduk!" Jason berbisik parau. Tetapi, tidak ada anak panah lain yang menghujani mereka. Frank mengamati sudut anak panah itu di dalam layar dan menunjuk ke arah puncak tebing. "Di atas sana," katanya. "Satu pemanah. Kalian lihat?" Matahari menyinari matanya, tetapi Hazel melihat sebuah sosok kecil berdiri di atas tebing. Baju baja perunggunya berkilat-kilat. "Siapa dia?" tanya Leo. "Mengapa dia menembaki kita?" "Teman-Teman?" Suara Piper lemah dan sayup-sayup. "Ada pesan." Hazel tidak melihatnya tadi, tetapi sebuah gulungan perkameti terikat pada batang panah. Hazel tidak yakin mengapa, tetapi hal itu membuatnya marah. Dia bergegas menghampirinya dan melepas ikatannya. "Eh, Hazel?" kata Leo. "Kau yakin itu aman?" Hazel membaca pesan itu keras-keras. "Kalimat pertama: Bersiaga Mengantar." "Apa maksudnya?" Pak Pelatih Hedge mengeluh. "Kira memang siaga. Yah, walau dalam keadaan merunduk. Dan, kalau pria itu mengharapkan antaran piza, lupakan saja!" "Ada lagi," kata Hazel. "Ini perampokan. Kirim dua anggota kalian ke atas tebing beserta seluruh barang berharga kalian. Tidak lebih dari dua. Jangan gunakan kuda sihir. Jangan terbang. Jangan ada muslihat. Panjat saja." "Panjat apa?" tanya Piper. Nico menunjuk. "Di sana." Serangkaian anak tangga sempit terpahat di tebing, mengarah atas. Kura-kura, terusan buntu, tebing .... Hazel punya perasaan ni bukan kali pertama si penulis surat menyerang sebuah kapal di sini. Dia berdeham dan meneruskan membaca keras-keras: " Maksudku benar-benar semua barang berharga. Kalau tidak, kura-kuraku dan aku akan membinasakan kalian. Kalian punya waktu lima menit." "Gunakan katapel!" teriak Pak Pelatih. "NB.," baca Hazel, "Jangan pernah berpikir menggunakan katapel kalian." "Sialan!" kata Pak Pelatih.

"Orang ini hebat." "Apakah pesan itu ditandatangani?" tanya Nico. Hazel menggelengkan kepala. Dia pernah mendengar sebuah cerita di Perkemahan Jupiter, yang ada hubungannya dengan seorang perampok yang bekerja dengan seekor kura-kura raksasa, tetapi seperti biasa, begitu dia memerlukan informasinya, cerita Itu secara menjengkelkan menyelip ke bagian belakang ingatannya, sulit untuk muncul. Si musang Gale memandanginya, menunggu untuk melihat apa yang akan dilakukan Hazel. Ujian belum terlewati, pikir Hazel. Mengalihkan perhatian kura-kura itu tidaklah cukup. Hazel belum membuktikan apa-apa tentang bagaimana dia bisa mengendalikan Kabut terutama karena dia tidak bisa mengendalikan Kabut.

Leo mengamati bagian puncak tebing dan bergumam sangat lirih. "Bukan lintasan yang bagus. Bahkan, jika aku bisa mempersiapkan katapel sebelum orang itu menusuk kita dengan anak panah, kurasa aku tak bisa melontarkan tembakan. Jaraknya puluhan meter, nyaris tegak lures ke atas." "Yeah." Frank menggerutu. "Busurku juga tidak berguna. Dia punya keuntungan yang sangat besar karena berada di atas kita seperti itu. Aku tak bisa. menjangkaunya." "Dan, ehm ...." Piper menyentuh anak panah yang tertancap di tiang kapal. "Aku punya perasaan dia penembak yang baik. Kurasa dia tadi tidak berniat menyasarku. Tapi, jika dia berniat begitu Piper tidak perlu menjelaskan. Siapa pun perampok itu, dia bisa mengenai sasaran dari jarak puluhan meter. Dia bisa memanah mereka semua sebelum mereka bisa bereaksi. "Aku akan ke sana," kata Hazel. Dia membenci gagasan itu, tetapi dia yakin Hecate telah merancang semua ini sebagai semacam tantangan yang keji. Ini adalah ujian Hazel —giliran Hazel untuk menyelamatkan kapal. Seolah-olah dia butuh penegasan, Gale berlari menyusuri langkan dan melompat ke atas bahunya, siap untuk menumpang. Awak kapal lain menatapnya. Frank mencengkeram busurnya. "Hazel —" "Tidak, dengarkan aku," tukas Hazel, "penyamun ini menginginkan benda berharga. Aku bisa pergi ke atas sana, memanggil emas, permata, apa pun yang dia inginkan." Leo mengangkat satu alisnya. "Jika kita memenuhi tuntutannya, apa menurutmu dia benar-benar akan melepaskan kita?" "Kita tidak punya banyak pilihan," kata Nico. "Antara orang ini dan si kura-kura ...." Jason mengangkat tangan. Yang lain terdiam. "Aku juga akan pergi," katanya. "Surat itu mengatakan dua orang. Aku akan mengantar Hazel naik ke sana dan menjaga-nya. Lagi pula, aku tidak suka penampilan tangga itu. Jika Hazel la tuh yah, aku bisa menggunakan angin untuk memastikan ipaya kami berdua tidak jatuh dengan keras." Anion meringkik memprotes, seolah-olah mengatakan, Kau tanpa aku? Kau bercanda, `kan? "Aku harus melakukannya, Arion," kata Hazel. "Jason ya. Kurasa kau benar. Ini adalah rencana terbaik." "Aku hanya berharap pedangku masih ada." Jason memelototi pak Pelatih. "Pedangku ada di dasar lautan sana, dan tidak ada percy yang bisa mengambilnya." Nama Percy melintasi mereka seperti mendung. Suasana di geladak menjadi semakin suram. Hazel mengulurkan tangan. Dia tidak memikirkannya. Dia nya berkonsentrasi pada air dan memanggil emas Imperial. Gagasan bodoh. Pedang itu terlalu jauh, barangkali puluhan eter di bawah air. Tetapi, Hazel merasakan sentakan cepat di iri- jemarinya, seperti tali kail yang tergigit, dan pedang Jason Hit layang keluar dari air menuju tangannya. "Ini," kata Hazel sambil menyerahkan pedang itu. Mata Jason melebar. "Bagaimana jarak pedang ini nyaris sctengah kilometer!" "Aku berlatih," jawab Hazel walau itu tidak benar. Hazel berharap dia tidak mengutuk pedang Jason secara tak sengaja dengan memanggilnya, seperti dia mengutuk batu-batu permata dan logam mulia. Namun, entah bagaimana dia merasa kasusnya berbeda pada ijata. Bagaimanapun, dia pernah mengangkat sekumpulan Leo mengamati bagian puncak tebing dan bergumam sangat lirih. "Bukan lintasan yang bagus. Bahkan, jika aku bisa mempersiapkan katapel sebelum orang itu menusuk kita dengan anak panah, kurasa aku tak bisa melontarkan tembakan. Jaraknya puluhan meter, nyaris tegak lures ke atas." "Yeah." Frank menggerutu. "Busurku juga tidak berguna. Dia punya keuntungan yang sangat besar karena berada di atas kita seperti itu. Aku tak bisa. menjangkaunya." "Dan, ehm ...." Piper menyentuh anak panah yang tertancap di tiang kapal. "Aku punya perasaan dia penembak yang baik. Kurasa dia tadi tidak berniat menyasarku. Tapi, jika dia berniat begitu Piper tidak perlu menjelaskan. Siapa pun perampok itu, dia bisa mengenai sasaran dari jarak puluhan meter. Dia bisa memanah mereka semua sebelum mereka bisa bereaksi. "Aku akan ke sana," kata Hazel. Dia membenci gagasan itu, tetapi dia yakin Hecate telah merancang semua ini sebagai semacam tantangan yang keji. Ini adalah ujian Hazel —giliran Hazel untuk menyelamatkan kapal. Seolah-olah dia butuh penegasan, Gale berlari menyusuri langkan dan melompat ke atas bahunya, siap untuk menumpang. Awak kapal lain menatapnya. Frank mencengkeram busurnya. "Hazel —" "Tidak, dengarkan aku," tukas Hazel, "penyamun ini menginginkan benda berharga. Aku bisa pergi ke atas sana, memanggil emas, permata, apa pun yang dia inginkan." Leo mengangkat satu alisnya. "Jika kita memenuhi tuntutannya, apa menurutmu dia benar-benar akan melepaskan kita?" "Kita tidak punya banyak pilihan," kata Nico. "Antara orang ini dan si kura-kura ...." Jason mengangkat tangan. Yang lain terdiam. "Aku juga akan pergi," katanya. "Surat itu mengatakan dua orang. Aku akan mengantar Hazel naik ke sana dan menjaga-nya. Lagi pula, aku tidak suka penampilan tangga itu. Jika Hazel la tuh yah, aku bisa menggunakan angin untuk memastikan ipaya kami berdua tidak jatuh dengan keras." Anion meringkik memprotes, seolah-olah mengatakan, Kau tanpa aku? Kau bercanda, `kan? "Aku harus melakukannya, Arion," kata Hazel. "Jason ya. Kurasa kau benar. Ini adalah rencana terbaik." "Aku hanya berharap pedangku masih ada." Jason memelototi pak Pelatih. "Pedangku ada di dasar lautan sana, dan tidak ada percy yang bisa mengambilnya." Nama Percy melintasi mereka seperti mendung. Suasana di geladak menjadi semakin suram. Hazel mengulurkan tangan. Dia tidak memikirkannya. Dia nya berkonsentrasi pada air dan memanggil emas Imperial. Gagasan bodoh. Pedang itu terlalu jauh, barangkali puluhan eter di bawah air. Tetapi, Hazel merasakan sentakan cepat di iri- jemarinya, seperti tali kail yang tergigit, dan pedang Jason Hit layang keluar dari air menuju tangannya. "Ini," kata Hazel sambil menyerahkan pedang itu. Mata Jason melebar. "Bagaimana jarak pedang ini nyaris sctengah kilometer!" "Aku berlatih," jawab Hazel walau itu tidak benar. Hazel berharap dia tidak mengutuk pedang Jason secara tak sengaja dengan memanggilnya, seperti dia mengutuk batu-batu permata dan logam mulia. Namun, entah bagaimana dia merasa kasusnya berbeda pada ijata. Bagaimanapun, dia pernah mengangkat sekumpulan