BAB TIGA PULUH ENAM JASON

BAB TIGA PULUH ENAM JASON

JASON SUDAH SANGAT SERING MENGENDARAI angin. Tetapi, menjadi angin tidaklah sama. Dia merasa kehilangan kendali, pikirannya tercerai-berai, tidak ada batas antara tubuhnya dan seisi dunia yang lain. Dia bertanya-tanya apakah seperti ini perasaan para monster ketika dikalahkan —meledak menjadi debu, tak berdaya dan tak berbentuk. Jason bisa merasakan kehadiran Nico di dekatnya. Angin Barat membawa mereka ke langit di atas Split. Bersama-sama mereka menderu di atas perbukitan, melewati saluran air Romawi, jalan raya, dan perkebunan anggur. Saat mereka mendekati pegunungan, Jason melihat reruntuhan sebuah Kota Romawi terbentang di lembah di bawah sana —tembok-tembok yang hancur, fondasi persegi, dan jalan-jalan retak, semuanya penuh ditumbuhi rerumputan —sehingga terlihat seperti papan permainan raksasa yang berlumut. Favonius meletakkan mereka di tengah-tengah reruntuhan, di sebelah sebuah kolom rusak seukuran pohon redwood. Tubuh Jason terbentuk kembali. Sesaat, rasanya bahkan lebih buruk ketimbang menjadi angin, seolah- olah mendadak dia terbungkus mantel timah. "Ya, tubuh manusia itu memang amat menyita ruang," ujar Favonius, seolah-olah membaca pikiran Jason. Dewa angin itu duduk di atas sebuah tembok di dekat situ dengan keranjang buahnya dan mengembangkan sayap cokelat kekuningannya di tengah cahaya matahari. "Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana kalian tahan dengan itu, dari hari ke hari." Jason memeriksa sekeliling. Dahulu, kota itu pastilah berukuran besar. Dia bisa melihat rangka-rangka kuil dan tempat pemandian, amfiteater, serta tumpuan-tumpuan kosong yang dulunya tentu pernah menopang patung. Deretan tiang berjajar entah ke mana. Dinding-dinding kota lama menghiasi lereng bukit seperti benang batu yang teranyam pada kain berwarna hijau. Beberapa area tampak seperti telah digali, tetapi sebagian besar kota itu hanya terlihat telantar, seolah-olah tempat itu ditinggalkan terpapar cuaca selama dua ribu tahun belakangan. "Selamat datang di Salona," ujar Favonius. "Ibu kota Dalmatia! Tempat kelahiran Diocletian! Tapi, sebelum itu, jauh sebelum itu, ini adalah rumah Cupid!" Nama itu menggema, seolah-olah ada suara-suara yang membisikkannya di reruntuhan itu. Ada sesuatu tentang tempat ini yang sepertinya bahkan lebih seram daripada ruang bawah tanah istana di Split. Jason tak pernah terlalu memikirkan Cupid. Dia jelas tak pernah menganggap Cupid menakutkan. Bahkan, untuk para demigod Romawi, nama itu memunculkan gambaran seorang bayi bersayap lucu yang membawa busur dan panah mainan, yang melayang ke sana-kemari dengan popoknya pada hari kasih sayang. "Oh, dia tidak seperti itu," ujar Favonius.

Jason tersentak. "Kau bisa membaca pikiranku?" "Aku tidak perlu membaca pikiranmu." Favonius melempar lemparkan simpai perunggunya di udara. "Semua orang puny kesan yang salah tentang Cupid ... sampai mereka menemuinya. Nico menyandarkan diri pada sebuah tiang, kedua kakiny terlihat gemetaran. "Hei, Bung ...." Jason melangkah ke arahnya, tetapi Nic( melambaikan tangan mengusirnya. Di dekat kaki Nico, rumput berubah menjadi berwarn, cokelat dan layu. Bidang rumput mati itu menyebar, seolah-olal ada racun yang merembes dari sol sepatu Nico. "Ah ...." Favonius mengangguk penuh simpati. "Aku tidal menyalahkanmu bila kau merasa gugup, Nico di Angelo. Apakal kau tahu bagaimana aku akhirnya melayani Cupid?" "Aku tidak melayani siapa pun," desis Nico dengan jengkel "Terutama Cupid." Favonius meneruskan perkataannya seolah-olah tidal mendengar ucapan Nico. "Aku jatuh cinta kepada seorang manusi; bernama Hyacinthus. Lelaki itu sangat luar biasa." "Lelaki ...?" Otak Jason masih linglung gara-gara perjalanat anginnya sehingga dia perlu waktu sedetik untuk memproses

ha itu. "Oh ...." "Yeah, Jason Grace." Favonius mengangkat salah satu alisnya "Aku jatuh cinta kepada seorang prig. Apakah hal itu membuatmt terkej ut?" Sejujurnya, Jason tidak yakin. Dia berusaha tidak memikirkat tentang detail-detail kehidupan cinta dewa, siapa pun pujaat hati mereka. Bagaimanapun, ayahnya, Jupiter, tidak bisa merupakan teladan yang baik. Dibandingkan dengan beberap; skandal cinta Olympia yang pernah dia dengar, si Angin Bara yang jatuh cinta kepada seorang manusia lelaki tidak terlalu mengejutkan. "Kurasa tidak. Jadi ... Cupid menembakmu dengan panahnya, dan kau jatuh cinta." Favonius mendengus. "Kau membuatnya terdengar begitu sederhana. Sayangnya, cinta tak pernah sederhana. Begini, dewa Apollo juga menyukai Hyacinthus. Dia mengatakan mereka hanya berteman. Entahlah. Tapi, suatu hari aku melihat mereka berdua, melakukan permainan quoits —" Kata aneh itu lagi. "Quoits?" "Permainan dengan simpai-simpai itu." Nico menjelaskan walau suaranya terdengar ketus. "Seperti lempar ladam." "Sejenis itulah," sahut Favonius. "Bagaimanapun, aku cemburu. Bukannya menghadapi mereka dan mencari tahu kebenarannya, aku mengubah angin dan mengirim sebuah gelang logam yang berat ke kepala Hyacinthus dan yah." Dewa angin mendesah. "Saat Hyacinthus mati, Apollo mengubahnya menjadi sekuntum bunga, hyacinth. Aku yakin Apollo pasti akan melakukan pembalasan dendam yang dahsyat terhadapku, tapi Cupid memberiku perlindungan. Aku telah melakukan perbuatan yang sangat buruk, tapi aku dibuat gila oleh cinta, maka dia mengampuniku, dengan syarat aku bekerja untuknya selamanya." CUPID. Nama itu bergema lagi di sepanjang reruntuhan itu. "Itu adalah isyarat untukku." Favonius berdiri. "Berpikirlah dengan keras dan lama tentang bagaimana langkah yang akan kau ambil, Nico di Angelo. Kau tidak bisa berbohong kepada Cupid. Jika kau membiarkan amarah menguasaimu yah, nasibmu akan lebih menyedihkan ketimbang nasibku." Jason merasa otaknya kembali berubah menjadi angin. Dia tidak paham apa yang dibicarakan oleh Favonius, atau mengapa Nico tampak sedemikian terguncang, tetapi dia tidak p unya waktu

untuk berpikir tentang itu. Dewa angin menghilang dalam pusaran warna merah dan emas. Udara musim panas mendadak terasa menyesakkan. Tanah bergetar, Jason dan Nico menghunus pedang mereka. Jadi begitu. Suara itu mendesing melewati telinga Jason seperti sebutir peluru. Ketika dia berbalik, tidak ada siapa-siapa di sana. Kau datang untuk mengambil tongkat kerajaan itu. Nico berdiri menempel punggung Jason, dan sekali ini Jason senang Nico menemaninya. "Cupid," panggil Jason, "di mana kau?"

Suara itu tertawa. Jelas tidak terdengar seperti suara bayi malaikat yang lucu. Suara itu terdengar dalam dan berat, tetapi juga menganeam —seperti getaran sebelum terjadinya gempa besar. Di tempat yang paling tak kau duga, jawab Cupid. Seperti cinta. Ada sesuatu yang menghantam Jason dan melemparnya ke jalan. Jason jatuh menuruni serangkaian anak tangga dan terkapar di lantai ruang bawah tanah Romawi yang telah digali. Kupikir kau lebih bijak, Jason Grace. Suara Cupid berputar-putar di sekitarnya. Bagaimanapun, kau telah menemukan cinta sejati. Atau, kau masih meragukan dirimu? Nico melesat menuruni tangga. "Kau tidak apa-apa?" Jason meraih tangan Nico dan berdiri. "Yeah. Hanya pukulan tanpa peringatan." Oh, kau mengharapkanmu bermain adil? Cupid tertawa. Aku adalah dewa cinta. Aku tidak pernah bermain adil. Kali ini, pancaindra Jason bersiaga tinggi. Dia merasakan udara beriak persis saat sebatang anak panah muncul, melesat menuju dada Nico. Jason menahannya dengan pedang dan menangkisnya ke ramping. Anak panah itu meledak di dinding terdekat, menghujani dengan pecahan batu kapur. Mereka berlari menaiki tangga. Jason menarik Nico ke satu nisi saat embusan angin menumbangkan sebatang tiang yang pasti Akan menim panya. "Dia ini Cinta atau Kematian?" geram Jason. Tanyakan kepada teman-temanmu, kata Cupid. Frank, Hazel, Ilan Percy pernah bertemu dengan rekanku, Thanatos. Kami tidak ilrigat berbeda. Hanya saja kematian kadang lebih ramah. "Kami hanya menginginkan tongkat itu!" Nico berteriak. Kami berusaha menghentikan Gaea. Kau berpihak kepada Para dcwa atau tidak?" Anak panah kedua mengenai tanah di sela kedua kaki Nico dan berpijar-pijar putih panas. Nico terhuyung mundur saat anak panah itu meledakkan air mancur api. Cinta berpihak kepada semuanya, kata Cupid. Sekaligus tidak berpihak kepada siapa pun. Jangan bertanya apa yang bisa dilakukan cinta untukmu. "Hebat," kata Jason. "Sekarang dia menyemburkan kata-kata mutiara." Ada gerakan di belakangnya: Jason berputar, menyabetkan pedangnya membelah udara. Mata pedangnya mengenai sesuatu yang padat. Dia mendengar gerutuan dan kembali mengayunkan pedang, tetapi Sang dewa tak kasat mata itu sudah lenyap. Di atas bebatuan jalan, sejalur ichor keemasan berpendar —darah dewa. Bagus sekali, Jason, kata Cupid. Setidaknya kau bisa merasakan kehadiranku. Bahkan, sekilas Pandang pada cinta sejati pun merupakan beban yang tak mampu ditanggung oleh kebanyakan orang.

"Jadi, sekarang aku bisa mendapatkan tongkatnya?" tany Jason. Cupid tertawa. Sayangnya, kau tidak bisa menggunakannya Hanya anak Dunia Bawah yang bisa memanggil pasukan orang mati Dan, hanya seorang perwira Romawi yang bisa memimpin mereka "Tapi ...." Jason ragu-ragu. Dia adalah perwira Romawi Dia seorang praetor. Kemudian, dia teringat segala pikirannya tentang tempat semestinya dia berada. Di Roma Baru, dia telah menawarkan untuk menyerahkan posisinya kepada Percy Jackson. Apakah itu membuatnya tak layak memimpin pasukan hantu Romawi? Dia memutuskan untuk menghadapi masalah itu bila saatnya tiba. "Serahkan itu kepada kami," katanya. "Nico bisa memanggil —' Anak panah ketiga melesat di dekat bahu Jason. Dia tak sempat menghentikannya tepat waktu. Nico tersengal saat anak panah itu membenam ke dalam lengannya yang memegang pedang. "Nicol" Putra Hades itu terhuyung. Anak panah tadi menghilang tanpa meninggalkan darah atau luka yang tampak, tetapi wajah Nico menjadi kaku karena amarah dan rasa sakit. "Cukup bermain-main!" teriak Nico. "Tunjukkan dirimu!" Mahal harganya, kata Cupid, memandang wajah sejati Cinta, Satu tiang lagi roboh. Jason buru-buru menjauh dari dekatnya Istriku Psyche mendapat pelajaran tentang itu, kata Cupid. Dia dibawa ke sini ribuan tahun silam, ketika tempat ini masih menjadi lokasi istanaku. Kami hanya bertemu saat gelap. Dia diperingatkan agar jangan

pernah melihatku, tapi dia tidak tahan menanggung misteri itu. Dia takut aku adalah monster. Suatu malam, dia menyalakan sebatang lilin, lalu memandang wajahku saat aku terlelap. "Apakah kau sejelek itu?" Jason merasa dia telah menangkap suara Cupid —di pinggir amfiteater sekitar dua puluh meter dari situ —tetapi dia ingin memastikan. Dewa itu tertawa. Aku khawatir aku terialu tampan. Seorang ,nanusia biasa tidak bisa memandang penampakan sejati seorang dewa tanpa menerima akibatnya. Ibuku, Aphrodite, mengutuk Psyche atas ketidakpercayaannya. Kekasihku yang malang itu disiksa, dipaksa mengasingkan diri, diberi tugas-tugas mengerikan untuk membuktikan kepantasannya. Dia bahkan dikirim ke Dunia Bawah dalam misi untuk membuktikan pengabdiannya. Dia berhasil kembali ke sisiku, tapi dia mengalami penderitaan yang sangat berat. Sekarang aku bisa mengenaimu, pikir Jason. Dia menusukkan pedangnya ke angkasa dan gemuruh inengguncang lembah itu. Kilat menyambar, meninggalkan sebuah Iubang di tempat suara tadi berbicara. Hening. Jason baru saja berpikir, wah, ternyata benar-benar berhasil, ketika sebuah kekuatan tak terlihat merobohkannya ke tanah. Pedangnya terlempar ke jalan. Usaha yang bagus, kata Cupid, suaranya sudah jauh. Tapi, Cinta tak bisa ditaklukkan semudah itu. Di sebelahnya, sebuah tembok roboh. Jason nyaris tak berhasil berguling ke samping. "Hentikan!" Nico berteriak. "Akulah yang kau inginkan. Jangan ganggu dia!" Telinga Jason berdenging. Dia pusing karena dipukul sana-sini. Mulutnya terasa seperti debu kapur. Dia tidak mengerti mengapa Nico menganggap dirinya adalah sasaran utama, tetapi Cupid tampaknya setuju. Nico diAngelo yang malang. Suara dewa itu diwarnai kekecewaan. Tahukah kau apa yang kau inginkan, terlebih yang kuinginkan? Psyche-ku tercinta mempertaruhkan segalanya atas nama Cinta. Hanya itu satu-satunya cara untuk menebus ketidakpercayaannya Sedangkan kau —apa yang telah kau pertaruhkan atas namaku? "Aku sudah pergi ke Tartarus dan kembali lagi," geram Nico., "Kau tidak membuatku takut." Aku membuatmu sangat sangat takut. Hadapi aku. Jujurlah. Jason berdiri. Di sekitar Nico, tanah bergerak. Rumput menjadi layu, dan batu-batu bergemeretak seolah-olah ada sesuatu yang tengah bergerak dalam tanah di bawahnya, berusaha untuk menerobos keluar. "Berikan tongkat Diocletian," kata Nico. "Kami tidak punya waktu untuk bermain-main." Bermain-main? Cupid menyerang, menampar Nico ke samping hingga menghantam sebuah tumpuan yang terbuat dari granit. Cinta bukan permainan! Cinta bukan kelembutan penuh bunga! Cinta adalah kerja keras —pencarian tanpa akhir. Cinta menuntut segala hal darimu —terutama kebenaran. Hanya setelah itu cinta membuahkan ganjaran. Jason mengambil kembali pedangnya. Jika pria tak kasat mata ini adalah Cinta, Jason mulai berpikir bahwa Cinta dinilai terlalu tinggi. Dia lebih suka versi Piper —penuh perhatian, ramah, dan cantik. Jason bisa memahami Aphrodite. Cupid lebih terlihat seperti penjahat, pemaksa. "Nico," panggil Jason, "apa yang diinginkan pria ini darimu?" Beni tahu dia, Nico di Angelo, timpal Cupid. Beri tahu dia bahwa kau adalah pengecut, yang takut kepada dirimu sendiri dan perasaan-perasaanmu. Beni tahu dia alasan sebenarnya mengapa kau lari dari Perkemahan Blasteran, dan mengapa kau selalu sendirian. Nico mengeluarkan teriakan parau. Tanah di kakinya merekah dan kerangka-kerangka manusia merayap keluar —mayat-mayat Romawi yang tangannya hilang dan tengkoraknya berlubang, tulang iganya patah, atau rahangnya lepas. Sebagian mayat itu mengenakan sisa-sisa toga Romawi. Yang lain mengenakan sisa-sisa baju baja mengilat yang menggantung di dada mereka. Apakah kau hendak bersembunyi di antara mayat-mayat, sebagaimana biasa? ejek Cupid. Gelombang kegelapan bergulung dari putra Hades. Ketika terkena gelombang itu, Jason nyaris hilang kesadaran —terbanjiri oleh kebencian, rasa takut, dan malu Gambar-gambar berkelebatan di benaknya. Dia melihat Nico dan saudara perempuannya di atas sebuah tebing bersalju di Maine, Percy Jackson melindungi mereka dari pernah melihatku, tapi dia tidak tahan menanggung misteri itu. Dia takut aku adalah monster. Suatu malam, dia menyalakan sebatang lilin, lalu memandang wajahku saat aku terlelap. "Apakah kau sejelek itu?" Jason merasa dia telah menangkap suara Cupid —di pinggir amfiteater sekitar dua puluh meter dari situ —tetapi dia ingin memastikan. Dewa itu tertawa. Aku khawatir aku terialu tampan. Seorang ,nanusia biasa tidak bisa memandang penampakan sejati seorang dewa tanpa menerima akibatnya. Ibuku, Aphrodite, mengutuk Psyche atas ketidakpercayaannya. Kekasihku yang malang itu disiksa, dipaksa mengasingkan diri, diberi tugas-tugas mengerikan untuk membuktikan kepantasannya. Dia bahkan dikirim ke Dunia Bawah dalam misi untuk membuktikan pengabdiannya. Dia berhasil kembali ke sisiku, tapi dia mengalami penderitaan yang sangat berat. Sekarang aku bisa mengenaimu, pikir Jason. Dia menusukkan pedangnya ke angkasa dan gemuruh inengguncang lembah itu. Kilat menyambar, meninggalkan sebuah Iubang di tempat suara tadi berbicara. Hening. Jason baru saja berpikir, wah, ternyata benar-benar berhasil, ketika sebuah kekuatan tak terlihat merobohkannya ke tanah. Pedangnya terlempar ke jalan. Usaha yang bagus, kata Cupid, suaranya sudah jauh. Tapi, Cinta tak bisa ditaklukkan semudah itu. Di sebelahnya, sebuah tembok roboh. Jason nyaris tak berhasil berguling ke samping. "Hentikan!" Nico berteriak. "Akulah yang kau inginkan. Jangan ganggu dia!" Telinga Jason berdenging. Dia pusing karena dipukul sana-sini. Mulutnya terasa seperti debu kapur. Dia tidak mengerti mengapa Nico menganggap dirinya adalah sasaran utama, tetapi Cupid tampaknya setuju. Nico diAngelo yang malang. Suara dewa itu diwarnai kekecewaan. Tahukah kau apa yang kau inginkan, terlebih yang kuinginkan? Psyche-ku tercinta mempertaruhkan segalanya atas nama Cinta. Hanya itu satu-satunya cara untuk menebus ketidakpercayaannya Sedangkan kau —apa yang telah kau pertaruhkan atas namaku? "Aku sudah pergi ke Tartarus dan kembali lagi," geram Nico., "Kau tidak membuatku takut." Aku membuatmu sangat sangat takut. Hadapi aku. Jujurlah. Jason berdiri. Di sekitar Nico, tanah bergerak. Rumput menjadi layu, dan batu-batu bergemeretak seolah-olah ada sesuatu yang tengah bergerak dalam tanah di bawahnya, berusaha untuk menerobos keluar. "Berikan tongkat Diocletian," kata Nico. "Kami tidak punya waktu untuk bermain-main." Bermain-main? Cupid menyerang, menampar Nico ke samping hingga menghantam sebuah tumpuan yang terbuat dari granit. Cinta bukan permainan! Cinta bukan kelembutan penuh bunga! Cinta adalah kerja keras —pencarian tanpa akhir. Cinta menuntut segala hal darimu —terutama kebenaran. Hanya setelah itu cinta membuahkan ganjaran. Jason mengambil kembali pedangnya. Jika pria tak kasat mata ini adalah Cinta, Jason mulai berpikir bahwa Cinta dinilai terlalu tinggi. Dia lebih suka versi Piper —penuh perhatian, ramah, dan cantik. Jason bisa memahami Aphrodite. Cupid lebih terlihat seperti penjahat, pemaksa. "Nico," panggil Jason, "apa yang diinginkan pria ini darimu?" Beni tahu dia, Nico di Angelo, timpal Cupid. Beri tahu dia bahwa kau adalah pengecut, yang takut kepada dirimu sendiri dan perasaan-perasaanmu. Beni tahu dia alasan sebenarnya mengapa kau lari dari Perkemahan Blasteran, dan mengapa kau selalu sendirian. Nico mengeluarkan teriakan parau. Tanah di kakinya merekah dan kerangka-kerangka manusia merayap keluar —mayat-mayat Romawi yang tangannya hilang dan tengkoraknya berlubang, tulang iganya patah, atau rahangnya lepas. Sebagian mayat itu mengenakan sisa-sisa toga Romawi. Yang lain mengenakan sisa-sisa baju baja mengilat yang menggantung di dada mereka. Apakah kau hendak bersembunyi di antara mayat-mayat, sebagaimana biasa? ejek Cupid. Gelombang kegelapan bergulung dari putra Hades. Ketika terkena gelombang itu, Jason nyaris hilang kesadaran —terbanjiri oleh kebencian, rasa takut, dan malu Gambar-gambar berkelebatan di benaknya. Dia melihat Nico dan saudara perempuannya di atas sebuah tebing bersalju di Maine, Percy Jackson melindungi mereka dari

Sementara itu, kerangka-kerangka Romawi Nico menyerbu maju dan bergulat dengan sesuatu yang tak tampak. Dewa itu melawan, mengempaskan kerangka-kerangka, mematahkan tulang iga dan tengkorak, tetapi kerangka-kerangka terus berdatangan , memiting kedua lengan sang dewa. Menarik! kata Cupid. Apakah kau memang sekuat itu? "Aku meninggalkan Perkemahan Blasteran karena ...," ujar Nico. "Annabeth dia —" Masih bersembunyi, kata Cupid, seraya menghancurleburkan satu lagi kerangka. Kau tidak kuat. "Nico." Jason berhasil berkata, "tidak apa-apa. Aku mengerti." Nico melirik ke arahnya, rasa sakit dan kesengsaraan mendera wajahnya. "Tidak, kau tidak mengerti," sahut Nico. "Mustahil kau bisa mengerti." Dan, kau melarikan diri lagi, ejek Cupid. Dari teman-temanmu, dari dirimu sendiri. "Aku tidak punya teman!" teriak Nico. "Aku meninggalkan Perkemahan Blasteran karena aku bukan bagian dari mereka! Aku tidak pernah menjadi bagian dari mereka!" Kerangka-kerangka itu memojokkan Cupid, tetapi si dewa tak kasat mata tertawa dengan begitu kejam sehingga Jason ingin memanggil kilat lagi. Sayangnya, dia ragu apakah dia punya kekuatan untuk itu. "Jangan ganggu dia, Cupid," seru Jason parau. "Ini bukan ...." Suaranya menghilang. Jason ingin mengatakan ini bukan urusan Cupid, tetapi dia menyadari bahwa ini memang urusan Cupid. Sesuatu yang dikatakan Favonius terus berdengung di kepalanya: Apakah kau terkejut? Cerita tentang Psyche akhirnya masuk akal bagi Jason —mengapa seorang gadis manusia biasa merasa sangat ketakutan. Mengapa dia mengambil risiko melanggar peraturan untuk natap wajah dewa cinta itu karena dia takut Cupid mungkin adalah monster. Psyche benar. Cupid memang monster. Cinta adalah monster yang paling ganas. Suara Nico seperti kaca yang pecah. "Aku aku tidak jatuh cinta kepada Annabeth." "Kau cemburu kepadanya," timpal Jason. "Itulah alasan mengapa kau tidak ingin berada di dekat Annabeth. Terutama alasan mengapa kau tidak ingin berada di dekat ... Percy. Itu sangat masuk akal." Segala perlawanan dan penyangkalan sepertinya menguap dari diri Nico seketika itu juga. Kegelapan menghilang. Mayat-mayat romawi ambruk menjadi tulang-belulang dan hancur menjadi debu. "Aku benci kepada diriku sendiri," ujar Nico. "Aku benci Percy Jackson." Cupid menampakkan diri —seorang pria muda yang ramping clan berotot dengan sayap seputih salju, rambut hitam lurus, baju Ionggar putih sederhana dan celana jin. Busur dan tempat anak panah yang tersampir di bahunya bukanlah mainan — melainkan senjata perang. Matanya semerah darah, seolah-olah setiap perayaan Valentine di dunia telah diperas hingga kering, disuling menjadi satu campuran beracun. Wajahnya tampan, tetapi juga keras —sulit dilihat seperti lampu sorot. Dia memandangi Nico dengan penuh kepuasan, seolah-olah dia telah menemukan tempat yang tepat untuk membidikkan anak panah berikutnya agar bisa membunuh Sementara itu, kerangka-kerangka Romawi Nico menyerbu maju dan bergulat dengan sesuatu yang tak tampak. Dewa itu melawan, mengempaskan kerangka-kerangka, mematahkan tulang iga dan tengkorak, tetapi kerangka-kerangka terus berdatangan , memiting kedua lengan sang dewa. Menarik! kata Cupid. Apakah kau memang sekuat itu? "Aku meninggalkan Perkemahan Blasteran karena ...," ujar Nico. "Annabeth dia —" Masih bersembunyi, kata Cupid, seraya menghancurleburkan satu lagi kerangka. Kau tidak kuat. "Nico." Jason berhasil berkata, "tidak apa-apa. Aku mengerti." Nico melirik ke arahnya, rasa sakit dan kesengsaraan mendera wajahnya. "Tidak, kau tidak mengerti," sahut Nico. "Mustahil kau bisa mengerti." Dan, kau melarikan diri lagi, ejek Cupid. Dari teman-temanmu, dari dirimu sendiri. "Aku tidak punya teman!" teriak Nico. "Aku meninggalkan Perkemahan Blasteran karena aku bukan bagian dari mereka! Aku tidak pernah menjadi bagian dari mereka!" Kerangka-kerangka itu memojokkan Cupid, tetapi si dewa tak kasat mata tertawa dengan begitu kejam sehingga Jason ingin memanggil kilat lagi. Sayangnya, dia ragu apakah dia punya kekuatan untuk itu. "Jangan ganggu dia, Cupid," seru Jason parau. "Ini bukan ...." Suaranya menghilang. Jason ingin mengatakan ini bukan urusan Cupid, tetapi dia menyadari bahwa ini memang urusan Cupid. Sesuatu yang dikatakan Favonius terus berdengung di kepalanya: Apakah kau terkejut? Cerita tentang Psyche akhirnya masuk akal bagi Jason —mengapa seorang gadis manusia biasa merasa sangat ketakutan. Mengapa dia mengambil risiko melanggar peraturan untuk natap wajah dewa cinta itu karena dia takut Cupid mungkin adalah monster. Psyche benar. Cupid memang monster. Cinta adalah monster yang paling ganas. Suara Nico seperti kaca yang pecah. "Aku aku tidak jatuh cinta kepada Annabeth." "Kau cemburu kepadanya," timpal Jason. "Itulah alasan mengapa kau tidak ingin berada di dekat Annabeth. Terutama alasan mengapa kau tidak ingin berada di dekat ... Percy. Itu sangat masuk akal." Segala perlawanan dan penyangkalan sepertinya menguap dari diri Nico seketika itu juga. Kegelapan menghilang. Mayat-mayat romawi ambruk menjadi tulang-belulang dan hancur menjadi debu. "Aku benci kepada diriku sendiri," ujar Nico. "Aku benci Percy Jackson." Cupid menampakkan diri —seorang pria muda yang ramping clan berotot dengan sayap seputih salju, rambut hitam lurus, baju Ionggar putih sederhana dan celana jin. Busur dan tempat anak panah yang tersampir di bahunya bukanlah mainan — melainkan senjata perang. Matanya semerah darah, seolah-olah setiap perayaan Valentine di dunia telah diperas hingga kering, disuling menjadi satu campuran beracun. Wajahnya tampan, tetapi juga keras —sulit dilihat seperti lampu sorot. Dia memandangi Nico dengan penuh kepuasan, seolah-olah dia telah menemukan tempat yang tepat untuk membidikkan anak panah berikutnya agar bisa membunuh

Untuk kali pertama, pandangan Cupid tampak mengandung simpati. "Oh, aku tak akan mengatakan bahwa perasaan itu selalu membuatmu senang." Suaranya terdengar lebih kecil, lebih manusiawi. "Kadang-kadang rasa suka membuatmu luar biasa sedih. Tapi, setidaknya kau kini menghadapinya. Hanya itu saw-satunya cara untuk menaklukkanku." Cupid lenyap ditelan angin. Di tanah tempat Cupid tadi berdiri tergeletaklah sebuah tongkat gading sepanjang satu meter. Pada bagian atas tongkat itu terdapat sebuah bola hitam yang terbuat dari pualam mengilat kira-kira seukuran bola bisbol yang terletak di punggung tiga elang Romawi emas. Tongkat Diocletian. Nico berlutut dan memungutnya. Dia memandangi Jason, seolah-olah ingin menyerang. "Jika yang lain mengetahuinya —" "Jika yang lain mengetahuinya," ujar Jason, "kau akan punya jauh lebih banyak kawan yang bisa membantumu dan melampiaskan amarah dewa-dewi kepada siapa saja yang menyulitkanmu." Nico menatapnya dengan marah. Jason masih merasakan kebencian dan kemarahan menguar dari diri Nico. "Tapi, terserah kepadamu." Jason menambahkan. "Memutus-kan untuk bercerita atau tidak. Aku hanya bisa mengatakan kepadamu —" "Aku sudah tidak merasa seperti itu lagi," gumam Nico. "Maksudku aku sudah menyerah soal Percy. Dulu aku masih muda dan mudah terpengaruh, dan a —aku tidak ...." Suaranya pecah, dan Jason tahu pemuda ini sudah hendak menangis. Entah Nico benar-benar sudah menyerah tentang Percy atau tidak, Jason tak bisa membayangkan seperti apa situasi Nico selama bertahun-tahun ini, memendam rahasia yang pasti tak terpikirkan untuk diceritakan pada era 1940-an, menyangkal jati di rinya, merasa benar-benar sendirian —bahkan jauh lebih terasing daripada para demigod lain. "Nico," ujar Jason dengan lembut, "aku sudah pernah melihat banyak tindakan berani. Tapi, yang baru saja kau lakukan? Mungkin itu tindakan yang paling berani." Nico mendongak tak yakin. "Kira harus kembali ke kapal." "Yeah. Aku bisa menerbangkan kita —"Tidak," tubs Nico. "Kali ini kita bepergian dengan bayangan. thituk sementara aku sudah muak dengan angin."[]