BAB DUA PULUH FRANK

BAB DUA PULUH FRANK

FRANK SEMPOYONGAN KELUAR DARI RUMAH hitam. Pintu menutup di belakangnya, dan dia mengempaskan badan ke dinding, rasa bersalah menguasainya. Untungnya katoblepones telah pergi. Kalau tidak, dia mungkin saja duduk di sana dan membiarkan mereka menginjak-injaknya. Dia layak menerima itu. Dia telah meninggalkan Hazel di dalam sana, dalam keadaan sekarat dan tak berdaya, di tangan sesosok dewa petani yang sinting. Bunuh Para petani! Ares berteriak di dalam kepalanya. Kembali ke legiun dan lawan orang Yunani! kata Mars. Sedang apa kau di sini? Membunuh Para petani! Ares membalas dengan teriakan. "Diam!" Frank berteriak keras-keras. "Kahan berdua!" Beberapa wanita tua yang membawa kantong belanjaan lewat dengan langkah terseret-seret. Mereka melemparkan tatapan aneh ke arah Frank, seraya menggumamkan sesuatu dalam bahasa Italia, dan terns berjalan.

Frank menatap sedih pada pedang kavaleri Hazel, yang tergeletak di dekat kakinya, di sebelah ranselnya. Dia bisa berlari kembali ke Argo II dan menjemput Leo. Mungkin Leo bisa memperbaiki kereta itu. Namun, Frank tahu ini bukan masalah Leo. Ini adalah tugas Frank. Dia harus membuktikan diri. Lagi pula, kereta itu tidak benar-benar rusak. Tidak ada masalah dengan mesin. Kereta itu kekurangan seekor ular. Frank bisa mengubah diri menjadi ular piton. Ketika dia bangun tidur pagi itu sebagai seekor ular raksasa, barangkali itu merupakan pertanda dari dewa-dewa. Dia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya menjadi roda kereta seorang petani, tetapi jika itu berarti menyelamatkan Hazel .... Tidak. Pasti ada cara lain. Ular, pikir Frank. Mars. Apakah ayahnya punya suatu pertalian dengan ular? Hewan suci Mars

adalah babi liar, bukan ular. Meski demikian, Frank yakin dia pernah mendengar sesuatu Dia hanya terpikir satu orang yang bisa ditanyai. Dengan enggan, dia membuka pikirannya terhadap suara-suara sang dewa perang. Aku perlu ular, katanya pada mereka. Bagaimana caranya? Ha, ha! Ares berseru. Ya, ular! Seperti Cadmus yang jahat, timpal Mars. Kami menghukumnya karena membunuh naga kami. Mereka berdua mulai berteriak-teriak, sampai Frank berpikir otaknya akan pecah. "Baiklah! Stop!" Suara-suara itu terdiam. "Cadmus," gumam Frank. "Cadmus ...." Cerita itu pun kembali ke benaknya. Demigod Cadmus membunuh seekor naga yang kebetulan adalah anak Ares. Bagaimana Ares bisa punya naga sebagai anaknya, Frank tidak mau tahu, tetapi sebagai hukuman atas kematian naga itu, Ares mengubah Cadmus menjadi seekor ular. "Jadi, kalian bisa mengubah musuh menjadi ular," kata Frank. "Itu yang kuperlukan. Aku perlu mencari musuh. Kemudian, aku perlu kalian mengubahnya menjadi seekor ular." Kau kira aku akan melakukan hal itu untukmu? raung Ares. Kau belum membuktikan kelayakanmu! Hanya pahlawan paling hebat yang bisa meminta anugerah semacam itu, kata Mars. Pahlawan seperti Romulus! Terlalu Romawi! teriak Ares. Diomedes! Tak akan pernah! Mars balas berteriak. Pengecut itu tumbang di tangan Heracles! Horatius, kalau begitu. Mars mengusulkan. Ares diam. Frank rnerasakan persetujuan yang enggan. "Horatius," kata Frank. "Baiklah. Jika itu yang diperlukan, akan kubuktikan aku sebagus Horatius. Ehm apa yang dia lakukan?" Rentetan gambar membanjiri benak Frank. Dia melihat seorang kesatria berdiri seorang din di atas sebuah jembatan batu, menghadapi satu pasukan yang bergerombol di ujung seberang Sungai Tiber. Frank teringat sang legenda, Horatius, sang jenderal Romawi, telah menahan seorang diri sekawanan penyerbu, mengorbankan diri di atas jembatan itu untuk mencegah kaum barbar menyeberangi Sungai Tiber. Dengan memberi waktu bagi rekan-rekan Romawinya untuk merampungkan pertahanan mereka, dia menyelamatkan republiknya.

Venesia diserbu, kata Mars, seperti yang dulu akan terjadi pada Roma. Bersihkan! Musnahkan mereka semua! timpal Ares. Bantai mereka! Frank mendorong kembali suara-suara itu ke sudut benaknya. Dia menatap kedua tangannya dan takjub melihat kedua tangan itu gemetaran. Untuk kali pertama dalam waktu berhari-hari, pikirannya jernih. Dia tahu persis apa yang harus dia lakukan. Dia tidak tahu berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk melakukan itu. Kemungkinan mati sangat tinggi, tetapi dia harus mencoba. Nyawa Hazel bergantung kepadanya. Dia mengikat pedang Hazel ke sabuknya, mengubah ranselnya menjadi tempat anak panah dan busur, lalu bergegas menuju alun-alun tempat dia tadi melawan para monster sapi. Ada tiga tahap dalam rencana itu: berbahaya, sangat berbahaya, dan luar biasa berbahaya. Frank berhenti di sumur batu ma. Tidak ada katobleps yang terlihat. Dia menghunus pedang Hazel dan menggunakan benda itu untuk mencongkel beberapa batu bulat, menggali jalinan besar akar berduri. Sulur-sulur akar itu membuka, mengeluarkan asap hijau berbau busuk saat menjalar menuju kaki Frank. Di kejauhan, raungan peluit kabut seekor katobleps memenuhi udara. Katoblepones yang lain menimpali dari segala arah. Frank tidak yakin bagaimana para monster itu tahu dia tengah memanen makanan kegemaran mereka —mungkin mereka sekadar memiliki indra penciuman yang sangat bagus. Dia harus bergerak cepat sekarang. Dia mengiris segumpal panjang sulur dan mengikatkannya ke salah satu lubang ikat pinggang di celananya, berusaha mengabaikan rasa terbakar dan gatal di tangannya. Sebentar kemudian dia memiliki laso rumput beracun yang berbau busuk dan bersinar-sinar. Hore. Beberapa katoblepones pertama berjalan dengan langkah berat memasuki Venesia diserbu, kata Mars, seperti yang dulu akan terjadi pada Roma. Bersihkan! Musnahkan mereka semua! timpal Ares. Bantai mereka! Frank mendorong kembali suara-suara itu ke sudut benaknya. Dia menatap kedua tangannya dan takjub melihat kedua tangan itu gemetaran. Untuk kali pertama dalam waktu berhari-hari, pikirannya jernih. Dia tahu persis apa yang harus dia lakukan. Dia tidak tahu berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk melakukan itu. Kemungkinan mati sangat tinggi, tetapi dia harus mencoba. Nyawa Hazel bergantung kepadanya. Dia mengikat pedang Hazel ke sabuknya, mengubah ranselnya menjadi tempat anak panah dan busur, lalu bergegas menuju alun-alun tempat dia tadi melawan para monster sapi. Ada tiga tahap dalam rencana itu: berbahaya, sangat berbahaya, dan luar biasa berbahaya. Frank berhenti di sumur batu ma. Tidak ada katobleps yang terlihat. Dia menghunus pedang Hazel dan menggunakan benda itu untuk mencongkel beberapa batu bulat, menggali jalinan besar akar berduri. Sulur-sulur akar itu membuka, mengeluarkan asap hijau berbau busuk saat menjalar menuju kaki Frank. Di kejauhan, raungan peluit kabut seekor katobleps memenuhi udara. Katoblepones yang lain menimpali dari segala arah. Frank tidak yakin bagaimana para monster itu tahu dia tengah memanen makanan kegemaran mereka —mungkin mereka sekadar memiliki indra penciuman yang sangat bagus. Dia harus bergerak cepat sekarang. Dia mengiris segumpal panjang sulur dan mengikatkannya ke salah satu lubang ikat pinggang di celananya, berusaha mengabaikan rasa terbakar dan gatal di tangannya. Sebentar kemudian dia memiliki laso rumput beracun yang berbau busuk dan bersinar-sinar. Hore. Beberapa katoblepones pertama berjalan dengan langkah berat memasuki

memaki Frank dalam kira-kira dua betas bahasa yang berbeda. Contong gelato, es krim ala Italia, beterbangan. Seorang perempuan menumpahkan setumpuk topeng karnaval. Seorang lelaki terjatuh ke dalam kanal. Ketika Frank melirik ke belakang, setidaknya ada dua lusin monster mengikutinya, tetapi dia butuh lebih banyak. Dia butuh semua monster di Venesia, dan dia harus menjaga agar monster- monster di belakangnya tetap marah. Dia menemukan saw ruang terbuka di tengah kerumunan dan berubah wujud kembali menjadi manusia. Frank mencabut spatha Hazel —senjata ini tidak pernah menjadi pilihannya, tetapi Frank cukup besar dan cukup kuat sehingga pedang kavaleri yang berat itu tidak mengganggunya. Dia justru senang dengan tambahan jangkauan. Dia mengiriskan mata pedang keemasan itu, menghancurkan katobleps pertama dan membiarkan katobleps lain berkumpul di depannya. Dia berusaha menghindari mata mereka, tetapi dia bisa merasakan tatapan mereka membakarnya. Dia menduga jika semua monster ini mengembuskan napas kepadanya secara bersamaan, awan beracun gabungan akan cukup untuk melelehkannya menjadi genangan air. Monster- monster itu berdesak-desakan maju dan saling bertabrakan. Frank berteriak, "Kau ingin akar beracunku? Sini ambillahr Dia berubah menjadi seekor lumba-lumba dan melompat ke dalam kanal. Dia berharap katobleps tidak bisa berenang. Setidaknya, mereka tampak enggan mengikutinya masuk, dan dia tidak bisa menyalahkan mereka. Kanal itu menjijikkan —berbau, asin, dan sehangat sup—tetapi Frank terus maju pelan-pelan, menghindari gondola dan perahu motor, berhenti sesekali untuk mendecitkan makian lumba-lumba pada para monster yang mengikutinya di trotoar. Ketika dia mencapai galangan gondola terdekat, Frank berubah wujud kern bali menjadi manusia, menusuk beberapa katobleps lagi untuk membuat mereka tetap marah, dan melanjutkan lari. Begitulah. Setelah beberapa saat, Frank memasuki kondisi semacam trans. Dia menarik semakin banyak monster, memecah lebih banyak kerumunan wisatawan, dan memimpin kerumunan katobleps yang kini sangat banyak melewati jalan- jalan kota tua yang berlika-liku. Setiap kali butuh melepaskan diri sebentar, Frank terjun ke dalam kanal sebagai lumba-lumba, atau berubah menjadi seekor elang dan membubung tinggi di angkasa, tetapi dia tak pernah berada terlalu jauh di depan para pengejarnya. Setiap kali dia merasa para monster mungkin memaki Frank dalam kira-kira dua betas bahasa yang berbeda. Contong gelato, es krim ala Italia, beterbangan. Seorang perempuan menumpahkan setumpuk topeng karnaval. Seorang lelaki terjatuh ke dalam kanal. Ketika Frank melirik ke belakang, setidaknya ada dua lusin monster mengikutinya, tetapi dia butuh lebih banyak. Dia butuh semua monster di Venesia, dan dia harus menjaga agar monster- monster di belakangnya tetap marah. Dia menemukan saw ruang terbuka di tengah kerumunan dan berubah wujud kembali menjadi manusia. Frank mencabut spatha Hazel —senjata ini tidak pernah menjadi pilihannya, tetapi Frank cukup besar dan cukup kuat sehingga pedang kavaleri yang berat itu tidak mengganggunya. Dia justru senang dengan tambahan jangkauan. Dia mengiriskan mata pedang keemasan itu, menghancurkan katobleps pertama dan membiarkan katobleps lain berkumpul di depannya. Dia berusaha menghindari mata mereka, tetapi dia bisa merasakan tatapan mereka membakarnya. Dia menduga jika semua monster ini mengembuskan napas kepadanya secara bersamaan, awan beracun gabungan akan cukup untuk melelehkannya menjadi genangan air. Monster- monster itu berdesak-desakan maju dan saling bertabrakan. Frank berteriak, "Kau ingin akar beracunku? Sini ambillahr Dia berubah menjadi seekor lumba-lumba dan melompat ke dalam kanal. Dia berharap katobleps tidak bisa berenang. Setidaknya, mereka tampak enggan mengikutinya masuk, dan dia tidak bisa menyalahkan mereka. Kanal itu menjijikkan —berbau, asin, dan sehangat sup—tetapi Frank terus maju pelan-pelan, menghindari gondola dan perahu motor, berhenti sesekali untuk mendecitkan makian lumba-lumba pada para monster yang mengikutinya di trotoar. Ketika dia mencapai galangan gondola terdekat, Frank berubah wujud kern bali menjadi manusia, menusuk beberapa katobleps lagi untuk membuat mereka tetap marah, dan melanjutkan lari. Begitulah. Setelah beberapa saat, Frank memasuki kondisi semacam trans. Dia menarik semakin banyak monster, memecah lebih banyak kerumunan wisatawan, dan memimpin kerumunan katobleps yang kini sangat banyak melewati jalan- jalan kota tua yang berlika-liku. Setiap kali butuh melepaskan diri sebentar, Frank terjun ke dalam kanal sebagai lumba-lumba, atau berubah menjadi seekor elang dan membubung tinggi di angkasa, tetapi dia tak pernah berada terlalu jauh di depan para pengejarnya. Setiap kali dia merasa para monster mungkin

Akhirnya Frank melihat sesuatu yang mungkin bisa digunakan. Persis di depannya, di seberang sebuah piazza besar, ada jembatan kayu yang merentangi salah satu kanal terlebar. Jembatan itu sendiri berupa lengkungan kayu yang berkisi-kisi, seperti roller-coaster kuno, sepanjang lima puluh meter. Dari atas, dalam bentuk burung elang, Frank melihat tidak ada monster di sisi seberang. Semua katobleps di Venesia tampaknya telah bergabung dengan kawanan monster dan tengah menderapi jalanan di belakangnya, sementara para wisawatan menjerit-jerit dan berhamburan, mungkin mengira mereka terperangkap di tengah-tengah serbuan anjing liar. Tidak ada yang berjalan di jembatan itu. Sempurna. Frank menjatuhkan diri seperti sebongkah batu dan kembali menjadi manusia. Dia berlari ke tengah jembatan —titik sumbat alamiah—dan melemparkan umpannya berupa akar beracun ke lantai jembatan di belakangnya. Saat bagian depan kawanan katobleps mencapai kaki jembatan, Frank menghunus spatha emas Hazel. "Ayo!" teriaknya. "Kahan ingin tabu berapa nilai Frank Zhang? Ayo!" Frank menyadari bahwa dia bukan hanya berteriak pada para monster. Dia tengah meluapkan berminggu- minggu ketakutan, kemarahan, dan kegeraman. Suara-suara Mars dan Ares ikut berteriak bersamanya. Para monster menyerbu. Penglihatan Frank berubah menjadi rnerah. Nantinya, dia tak ingat detailnya dengan jelas. Dia mengiris monster-monster sampai dia terbenam dalam debu kuning sedalam lutut. Setiap kali dia kewalahan dan gumpalan gas mulai mencekiknya, dia berganti bentuk —menjadi gajah, naga, singa —dan setiap perubahan wujud sepertinya memperlebar paru-parunya, memberinya suntikan energi baru. Perubahan wujudnya menjadi begitu luwes, hingga dia bisa mulai menyerang dalam bentuk manusia dengan pedang dan mengakhiri serangan dalam wujud singa, menyabetkan cakarnya pada moncong seekor katobleps. Monster-monster itu menendang dengan kaki mereka. Mereka mengembuskan napas beracun dan melotot persis kepada Frank dengan mata berbisa mereka. Dia seharusnya sudah mati. Dia seharusnya sudah terinjak-injak. Namun, entah bagaimana, dia tetap berdiri di atas kakinya, tak terluka, dan melancarkan badai kekerasan. Frank tidak merasakan kesenangan apa pun dalam melakukan hal ini, tetapi dia juga tidak bimbang. Dia menusuk seekor monster dan memenggal monster yang lain. Dia berubah menjadi naga dan menggigit seekor katobleps menjadi dua, kemudian berubah menjadi seekor gajah dan menginjak tiga monster sekaligus dengan kakinya. Penglihatannya tersaput warna merah, dan dia menyadari matanya tidak sedang mempermainkannya. Dia benar-benar tengah bersinar-sinar —dikelilingi oleh aura kemerahan. Frank tidak paham sebabnya, tetapi dia terus bertarung hingga hanya tertinggal satu monster. Frank menghadapinya dengan pedang terhunus. Dia tersengal-sengal kehabisan napas, bercucuran keringat, Akhirnya Frank melihat sesuatu yang mungkin bisa digunakan. Persis di depannya, di seberang sebuah piazza besar, ada jembatan kayu yang merentangi salah satu kanal terlebar. Jembatan itu sendiri berupa lengkungan kayu yang berkisi-kisi, seperti roller-coaster kuno, sepanjang lima puluh meter. Dari atas, dalam bentuk burung elang, Frank melihat tidak ada monster di sisi seberang. Semua katobleps di Venesia tampaknya telah bergabung dengan kawanan monster dan tengah menderapi jalanan di belakangnya, sementara para wisawatan menjerit-jerit dan berhamburan, mungkin mengira mereka terperangkap di tengah-tengah serbuan anjing liar. Tidak ada yang berjalan di jembatan itu. Sempurna. Frank menjatuhkan diri seperti sebongkah batu dan kembali menjadi manusia. Dia berlari ke tengah jembatan —titik sumbat alamiah—dan melemparkan umpannya berupa akar beracun ke lantai jembatan di belakangnya. Saat bagian depan kawanan katobleps mencapai kaki jembatan, Frank menghunus spatha emas Hazel. "Ayo!" teriaknya. "Kahan ingin tabu berapa nilai Frank Zhang? Ayo!" Frank menyadari bahwa dia bukan hanya berteriak pada para monster. Dia tengah meluapkan berminggu- minggu ketakutan, kemarahan, dan kegeraman. Suara-suara Mars dan Ares ikut berteriak bersamanya. Para monster menyerbu. Penglihatan Frank berubah menjadi rnerah. Nantinya, dia tak ingat detailnya dengan jelas. Dia mengiris monster-monster sampai dia terbenam dalam debu kuning sedalam lutut. Setiap kali dia kewalahan dan gumpalan gas mulai mencekiknya, dia berganti bentuk —menjadi gajah, naga, singa —dan setiap perubahan wujud sepertinya memperlebar paru-parunya, memberinya suntikan energi baru. Perubahan wujudnya menjadi begitu luwes, hingga dia bisa mulai menyerang dalam bentuk manusia dengan pedang dan mengakhiri serangan dalam wujud singa, menyabetkan cakarnya pada moncong seekor katobleps. Monster-monster itu menendang dengan kaki mereka. Mereka mengembuskan napas beracun dan melotot persis kepada Frank dengan mata berbisa mereka. Dia seharusnya sudah mati. Dia seharusnya sudah terinjak-injak. Namun, entah bagaimana, dia tetap berdiri di atas kakinya, tak terluka, dan melancarkan badai kekerasan. Frank tidak merasakan kesenangan apa pun dalam melakukan hal ini, tetapi dia juga tidak bimbang. Dia menusuk seekor monster dan memenggal monster yang lain. Dia berubah menjadi naga dan menggigit seekor katobleps menjadi dua, kemudian berubah menjadi seekor gajah dan menginjak tiga monster sekaligus dengan kakinya. Penglihatannya tersaput warna merah, dan dia menyadari matanya tidak sedang mempermainkannya. Dia benar-benar tengah bersinar-sinar —dikelilingi oleh aura kemerahan. Frank tidak paham sebabnya, tetapi dia terus bertarung hingga hanya tertinggal satu monster. Frank menghadapinya dengan pedang terhunus. Dia tersengal-sengal kehabisan napas, bercucuran keringat,

Frank ragu apakah ada yang pernah meneriakkan kata-kata itu sebelumnya. Permintaan itu agak aneh. Dia tidak mendapat jawaban dari langit. Sekali itu, suara-suara di kepalanya hening. Kesabaran katobleps itu habis. Ia menyerbu Frank dan membuat Frank tak punya pilihan. Frank menyabet ke atas. Begitu mata pedangnya mengenai si monster, katobleps menghilang dalam kilasan cahaya semerah darah. Ketika penglihatan Frank kembali jelas, seekor piton Burma berwarna cokelat berbintik-bintik bergelung di dekat kakinya. "Bagus sekali," kata sebuah suara yang tak asing di telinga. Berdiri beberapa meter dari Frank adalah ayahnya, Mars, mengenakan topi baret merah dan seragam militer berwarna zaitun dengan lencana Pasukan Khusus Italia, sebuah senapan serbu tersampir di pundaknya. Wajahnya keras dan persegi, matanya tertutup kacamata hitam. "Ayah." Demikian Frank berhasil berujar. Frank tidak bisa memercayai apa yang telah dia lakukan. Rasa ngeri mulai menyerbunya. Dia merasa ingin menangis, tetapi dia menebak itu bukan gagasan yang bagus di hadapan Mars. "Merasa takut itu wajar." Tak disangka, suara dewa perang itu hangar, penuh kebanggaan. "Semua kesatria hebat merasa takut. Hanya yang bodoh dan gila saja yang tidak merasa takut. Tapi, kau menghadapi rasa takutmu, Putraku. Kau lakukan apa yang harus kau lakukan, seperti Horatius. Ini adalah jembatanmu, dan kau mempertahankannya." "Saya —" Frank tidak yakin harus berkata apa. "Saya ... saya hanya perlu seekor ular." Seulas senyum kecil menarik mulut Mars. "Ya. Sekarang kau mendapatkannya. Keberanianmu telah menyatukan kedua wujudku, Yunani dan Romawi, walau hanya untuk sesaat. Pergilah. Selamatkan teman-temanmu. Tapi, dengarkan aku, Frank. Ujian terbesarmu belum lagi tiba. Ketika kau menghadapi pasukan Gaea di Epirus, kepemimpinanmu —" Mendadak dewa itu membungkuk, sambil memegangi kepalanya. Sosoknya berkedip-kedip. Baju militernya berubah menjadi toga, kemudian jin dan jaket pengendara motor. Senapannya berubah menjadi pedang dan kemudian peluncur roket. "Sakit sekali!" raung Mars. "Pergilah! Cepat!" Frank tidak bertanya-tanya lagi. Meskipun kelelahan, dia berubah menjadi seekor elang raksasa, menyambar piton dengan cakar raksasanya, lalu melayang ke udara. Ketika dia melirik ke belakang, sebuah awan mini berbentuk jamur meledak dari bagian tengah jembatan, cincin-cincin api bergulung keluar, dan sepasang suara —Mars dan Ares—memekik "Tidaaaaaak!" Frank tidak yakin apa yang telah terjadi, tetapi dia tidak punya waktu untuk memikirkannya. Dia terbang di atas kota itu —yang kini sepenuhnya bebas monster —dan menuju rumah Triptolemus. "Kau menemukan seekor ular!" Dewa pertanian itu berseru. Frank mengabaikannya. Dia menyerbu masuk ke dalam La Casa Nera, menyeret ular itu dari ekornya seperti sebuah kantong Sinterklas yang sangat aneh, dan menjatuhkannya ke tempat tidur. Frank berlutut di samping Hazel. Hazel masih hidup —hijau dan gemetaran, nyaris tidak bernapas, tetapi masih hidup. Sementara Nico, dia masih berwujud tanaman jagung. "Pulihkan mereka," kata Frank. "Sekarang." Triptolemus melipat tangannya. "Bagaimana aku tahu ular itu bisa digunakan?"

Frank mengertakkan gigi. Sejak ledakan di jembatan, suara-suara dewa perang di kepalanya tak lagi terdengar, tetapi dia masih merasakan amarah gabungan mereka berdua bergolak di dalam dirinya. Dia juga merasa berbeda secara fisik. Apakah Triptolemus memendek? "Ular ini adalah hadiah dari Mars."

Frank menggeram marah. "Pasti bisa digunakan." Seolah-olah mendapatkan tanda, si ular piton Burma merayap menuju kereta dan membelitkan diri di sekitar roda sebelah kanan. Ular satunya terbangun. Kedua ular itu saling memeriksa, menyentuhkan hidung, kemudian memutar roda mereka secara serempak. Kereta itu bergerak maju, sayap-sayapnya mengepak. "Lihat, Ian?" kata Frank. "Sekarang, pulihkan teman-teman saya. Triptolemus mengetuk-ngetuk dagunya. "Yah, terima kasih atas ularnya, tetapi aku tidak yakin aku suka nada bicaramu, Demigod. Barangkali aku akan mengubahmu menjadi —" Frank lebih cepat. Dia menerjang Trip dan mengempaskannya ke dinding, jari-jemarinya mengunci rapat leher dewa tersebut. "Pikirkan baik-baik kata-kata Anda selanjutnya." Frank memperingatkan, dengan luar biasa tenang. "Kalau tidak, alih-alih mengubah pedang menjadi mata bajak, saya akan menghantamkannya ke kepala Anda." Triptolemus menelan ludah. "Kau tahu kurasa aku akan menyembuhkan teman-temanmu saja." "Bersumpahlah demi Sungai Styx." "Aku bersumpah demi Sungai Styx." Frank melepaskannya. Triptolemus menyentuh lehernya, seolah-olah memastikan lehernya masih ada. Dia melemparkan senyum gugup ke arah Frank, bergerak hati-hati mengitarinya, dan terbirit-birit pergi ke ruang depan. "Cuma —cuma mengumpulkan rc mbuhan obat." Frank mengawasi sementara dewa itu memetik dedaunan %crta akar-akaran dan kemudian menumbuknya di dalam sebuah It trnpang. Dia menggulung sebutir ramuan seukuran pil dan berlari keen ke samping Hazel. Dia meletakkan kotoran itu di bawah I idah Hazel. Tiba-tiba saja, tubuh Hazel bergetar dan dia terduduk, sambil crbatuk-batuk. Kedua matanya tersentak membuka. Warna kehijauan di kulitnya memudar. Hazel menatap ke sekeliling, kebingungan, sampai dia melihat :rank. "Apa —?" Frank menangkap Hazel dalam pelukan. "Kau akan baik-baik raja," katanya dengan tegas. "Segalanya baik-baik saja." "Tapi Hazel memegang pundak Frank dan memandangi I:rank dengan takjub. "Frank, apa yang terjadi kepadamu?" "Kepadaku?" Frank berdiri, tiba-tiba merasa agak malu. Triptolemus tidak bertambah pendek. Frank-lah yang menjadi lebih tinggi. Perutnya mengecil. Dadanya tampak lebih besar. Frank pernah mengalami lonjakan pertumbuhan sebelum i ni. Pernah dia bangun dengan tubuh lebih tinggi dua sentimeter dibandingkan ketika dia tidur. Tetapi, ini gila. Seolah-olah heberapa bagian dari naga dan singa tetap melekat kepadanya ketika dia berubah kembali menjadi manusia. "Eh aku tidak Mungkin aku bisa memperbaikinya." Hazel tertawa riang. "Kenapa? Kau tampak luar biasa!" "Be-benarkah?" "Maksudku, sebelumnya kau sudah ganteng! Tapi, kini kau terlihat lebih tua, lebih tinggi, dan sangat karismatik —"

Triptolemus mendesah panjang dengan dramatis. "Ya, sudah jelas ini semacam anugerah dari Mars. Selamat, bla bla bla. Sekarang, jika kita sudah selesai di sini ?" Frank melotot kepadanya. "Kira belum selesai. Kembalikan Nico." Dewa pertanian itu memutar bola matanya. Dia menunjuk ke arah tanaman jagung dan BAMI Nico di Angelo muncul dalam ledakan rambut jagung. Nico menolah-noleh dengan panik. "Aku —aku mengalami mimpi buruk yang sangat aneh tentang berondong jagung." Dia mengerutkan kening ke arah Frank. "Mengapa kau jadi lebih tinggi?" "Semuanya baik-baik saja." Frank menjamin. "Triptolemus sudah akan memberi tahu kita cara untuk bertahan di Gerha Hades. Bukankah begitu, Trip?" Dewa pertanian itu mengangkat pandangan matanya ke langit-langit, seolah berkata, Mengapa harus aku, Demeter? "Baiklah," kata Trip. "Setiba kalian di Epirus, kalian akan ditawari piala untuk diminum." "Ditawari siapa?" tanya Nico. "Tidak penting," sergah Trip. "Ketahui saja bahwa piala itu berisi racun mematikan." Hazel menggigil. "Jadi, maksud Anda kami tidak boleh meminumnya?" "Bukan!" jawab Trip. "Kalian harus meminumnya. Kalau tidak, kalian tak akan berhasil melewati kuil itu.

Racun itu menghubungkan kalian dengan dunia orang mati, dan memungkinkan kalian memasuki level yang lebih rendah. Rahasia untuk bertahan adalah" —kedua matanya berkilat-kilat—"jelai (barley). Frank terbelalak memandangnya. "Jelai." "Di ruang depan, ambillah beberapa jelai istimewaku. Buatlah menjadi kue-kue kecil. Makan kue itu sebelum kalian masuk Icy dalam Gerha Hades. Jelai akan menyerap dampak terburuk racun itu sehingga racun akan memengaruhi kalian, tetapi tidak menewaskan kalian." "Cuma itu?" desak Nico. "Hecate mengirim kami menyeberangi separuh Italia hanya agar Anda bisa menyuruh kami memakan jelai?" "Semoga berhasil!" Triptolemus berlari cepat menyeberangi ruangan dan melompat ke dalam keretanya. "Frank Zhang, aku memaafkanmu. Kau punya nyali. Jika kau berubah pikiran, tawaranku masih terbuka. Aku akan sangat senang melihatmu memperoleh gelar di bidang pertanian!" "Yeah." Frank menggerutu. "Terima kasih." Dewa itu menarik sebuah tuas pada keretanya. Roda-roda ular berputar. Sayap-sayap mengepak. Di bagian belakang ruangan, pintu garasi bergulung membuka. "Oh, bisa bepergian lagi!" seru Trip. "Begitu banyak wilayah bodoh yang memerlukan pengetahuanku. Aku akan mengajari mereka kemuliaan membajak, mengairi, memberi pupuk!" Kereta itu terangkat ke udara dan melesat ke luar rumah, sementara Triptolemus berteriak ke angkasa. "Pergilah jauh, ular-ularku! Pergilah jauh!" "Itu," kata Hazel, "sangat aneh." "Kemuliaan memberi pupuk." Nico menyeka beberapa helai rambut jagung dari bahunya. "Bisakah kita keluar dari sini sekarang?'' Hazel meletakkan tangannya di pundak Frank. "Sungguh kau tidak apa-apa? Kau telah melakukan barter untuk nyawa kami. Triptolemus memaksamu melakukan apa?"

Frank berusaha tetap tenang. Dia memarahi diri sendiri karena begitu lemah. Dia mampu menghadapi sepasukan monster, tetapi begitu Hazel bersikap baik kepadanya, dia ingin menyerah dan menangis. "Monster-monster sapi itu katoblepones yang meracunimu aku harus membinasakan mereka." "Tindakan yang berani," kata Nico. "Tentu hanya tinggal entah berapa, enam atau tujuh monster, dari kawanan itu." "Tidak." Frank berdeham. "Semuanya. Aku membunuh semua monster sapi di kota ini." Nico dan Hazel menatap Frank dalam ketercengangan yang hening. Frank takut mereka mungkin meragukannya, atau mulai tertawa. Berapa banyak monster yang telah dia bunuh di jembatan itu —dua ratus ekor? Tiga ratus? Tetapi, dalam mata mereka, dia melihat bahwa mereka memercayainya. Mereka adalah anak-anak Dunia Bawah. Mungkin mereka bisa merasakan kematian dan pembantaian yang telah dia arungi. Hazel mencium pipi Frank. Untuk melakukan itu, Hazel harus berjinjit sekarang. Mata Hazel luar biasa sedih, seolah-olah dia menyadari sesuatu telah berubah dalam diri Frank —sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang lonjakan pertumbuhan fisik. Frank juga mengetahui hal itu. Dia tak akan pernah sama lagi. Dia hanya tidak yakin apakah itu hal yang baik. "Nah," kata Nico, memecah ketegangan, "apakah ada yang tahu seperti apa jelai itu?" []