BAB EMPAT PULUH ENAM PERCY

BAB EMPAT PULUH ENAM PERCY

JIKA GHOUL YANG TERISAK ADALAH bantuan yang dimaksud Bob, Percy cukup yakin dia tidak menginginkannya. Meski begitu, Bob melangkah pelan ke depan. Percy merasa berkewajiban mengikuti. Setidaknya, area ini sedikit lebih terang tidak sepenuhnya terang, tapi dengan lebih banyak kabut putih. "Akhlys!" panggil Bob. Makhluk itu mengangkat kepalanya, dan perut Percy menjerit, Tolong aku! Tubuh sosok itu sudah cukup mengerikan. Dia terlihat seperti korban bencana kelaparan —dengan tangan dan kaki setipis ranting, lutut dan siku bertonjolan, kain compang-camping sebagai pakaian, kuku tangan dan kaki patah-patah. Debu tanah menyelimuti kulitnya dan menumpuk di pundaknya seakan-akan dia baru mandi pancuran di dasar sebuah jam pasir. Wajahnya adalah cermin kesedihan. Ma tanya cekung dan berair, menumpahkan air mata. Ingus menetes dari hidungnya seperti air terjun. Rambut abu-abu tipisnya mengumpul kusut ditengkoraknya dalam berkas-berkas berminyak, dan kedua pipinya ter-gores dan berdarah seolah habis dicakarinya sendiri. Percy tidak sanggup menatap matanya, jadi dia merendahkan pandangannya. Di depan lutut wanita itu terpampang perisai kuno —sebuah lingkaran dari kayu dan perunggu yang sudah usang, dengan lukisan serupa Akhlys sendiri sedang memegang tameng itu, hingga kesan gambaran seakan tak ada habisnya, semakin kecil dan kecil saja. "Perisai itu," gumam Annabeth. "Itu rniliknya. Kukira itu hanya dongeng belaka." "Oh, tidak." Wanita tua itu menatap. "Perisai mill Hercules. Dia melukisku di permukaannya agar musuh-musuhnya melihat diriku di saat-saat terakhir mereka —dewi derita." Dia terbatuk sangat keras hingga membuat dada Percy sakit. "Seolah Hercules tahu saja arti derita yang sebenarnya. Gambarnya saja tidak mirip!” Percy menelan ludah gugup. Saat dia dan teman-temannya bertemu dengan Hercules di Selat Gibraltar, peristiwa itu tidak berlangsung dengan baik. Pertukaran itu melibatkan banyak teriakan, ancaman kematian, dan nanas-nanas berkecepatan-tinggi. "Kenapa perisainya ada di sini?" tanya Percy. Sang dewi memandangnya dengan mata putih susunya ang basah. Darah menetes dari kedua pipinya, menciptakan totol-totol merah di gaunnya yang rombeng. "Dia sudah tidak memerlukannya lagi, bukan? Perisai ini datang kemari scat tubuh fananya terbakar. Kurasa ini menjadi sebuah pengingat bahwa tak ada satu pun perisai yang cukup. Pada akhirnya, derita akan menguasai kalian semua. Bahkan Hercules sekalipun." Percy merayap makin dekat ke Annabeth. Dia mencoba mengingat alasan mereka berada di sini, tetapi rasa keputusasaan membuatnya sulit untuk berpikir. Mendengar Akhlys bicara, Percy

tak lagi merasa heran mengetahui dia mencakari wajahnya sendiri. Dewi itu memancarkan kepedihan murni. "Bob," ujar Percy, "kita tidak seharusnya ke sini." Dari suatu tempat di dalam seragam Bob, kucing kerangka itu mengeong setuju. Sang Titan beringsut dan mengernyit seakan Bob Kecil mencakari ketiaknya. "Akhlys mengendalikan Kabut Ajal," desak-nya. "Dia bisa menyembunyikan kalian." " Menyembunyikan mereka?" Akhlys menciptakan suara mendeguk. Entah dia sedang tertawa atau tercekik setengah-mati. "Kenapa aku mau melakukan itu?" "Mereka harus mencapai Pintu Ajal," kata Bob. "Untuk kembali ke dunia fana." "Mustahil!" seru Akhlys. "Pasukan Tartarus akan menemukan kalian. Mereka akan membunuh kalian." Annabeth membalikkan bilah pedang tulang-drakonnya, yang harus diakui Percy membuatnya tampak mengintimidasi dan seksi dengan gaya seorang "Putri Barbar". "Jadi rupanya Kabut Ajal-mu itu tak ada gunanya," ucap Annabeth. Sang dewi memamerkan gigi kuning patahnya. " lak ada gunanya? Siapa kau?" "Putri Athena." Suara Annabeth terdengar berani —walau bagaimana dia bisa melakukannya, Percy tidak tahu. "Aku tidak menempuh setengah perjalanan

menyusuri Tartarus hanya untuk diberi tahu apa yang mustahil oleh seorang dewi minor." Debu bergetar di kaki mereka. Kabut berputar di sekitar mereka dengan suara menyerupai rintih kesakitan. "Dewi minor?" Kuku-kuku jari Akhlys yang bengkok terbenam di perisai Hercules, menggores logamnya. "Aku sudah tua sebelum bangsa Titan dilahirkan, dasar kau gadis bodoh. Aku sudah tua scat Gaea bangkit untuk kali pertama. Derita adalah keabadian. Eksistensi adalah derita. Aku terlahir dari yang tertua —dari Kekacauan dan Malam. Aku adalah —" "Ya, ya," sahut Annabeth. "Sedih dan derita, bla bla bia. Tapi kau tetap talc punya cukup kekuatan untuk menyembunyikan dua blasteran dengan Kabut Ajal-mu itu. Persis seperti kataku: tak ada gunanya." Percy berdeham. "Ehm, Annabeth —" Annabeth melemparinya tatapan peringatan: Bekerjasamalah denganku. Percy menyadari betapa takutnya Annabeth sebenarnya, api dia tak punya pilihan. Ini adalah kesempatan terbaik mereka untuk memancing sang dewi agar bertindak. "Maksudku Annabeth benar!" Percy mencoba. "Bob membawa kami sampai sejauh ini karena dia mengira kau bisa membantu. Tapi kurasa kau terlalu sibuk memandangi perisai itu dan menangis. Aku talc bisa menyalahkanmu. Itu memang persis seperti tabiatmu." Akhlys merintih dan memelototi sang Titan. "Kenapa kau mernbawa anak-anak mengesalkan ini kepadaku?" Bob mengeluarkan suara menyerupai antara geraman dan rengekan. "Tadinya kukira —kukira—" "Kabut Ajal bukan untuk menolong!" jerit Akhlys. "Kabut itu rnenyelubungi manusia fana dalam penderitaan begitu jiwa-iiwa mereka berpindah ke Dunia Bawah. Ia adalah napas Tartarus, kematian, keputusasaan!" "Keren," ujar Percy. "Apa kami bisa pesan dua itu untuk dibawa pulang?" Akhlys mendesis. "Minta kepadaku hadiah yang lebih masuk akal. Aku juga dewi racun. Aku bisa memberikan kalian kematian —ribuan cara untuk mati yang lebih tidak menyakitkan seperti yang telah kalian pilih dengan

Di sekeliling sang dewi, bunga-bunga bermekaran di tanah kering —bunga ungu gelap, jingga, dan merah yang wanginya memabukkan. Kepala Percy melayang. "Nightshade." Akhlys menawarkan. "Hemlock. Belladonna, henbane, atau strychnine. Aku bisa menghancurkan isi perutrr iu, mendidihkan darahmu." "Terima kasih atas tawaranmu," ucap Percy. "Tapi aku sudah cukup menenggak racun di perjalanan ini. Jadi, kau bisa menyembunyikan kami dalam Kabut Ajal-mu, atau tidak?" "Yeah, ini akan menyenangkan," timpal Annabeth. Mata sang dewi menyipit. 'Menyenangkan?" "Tentu," janji Annabeth. "Kalau kita gagal, pikirkan betapa bagusnya itu bagimu, bisa mengejek puas arwah kami saat kami mati kesakitan. Kau bisa mengatakan sudah-kubilang untuk selamanya." "Atau, kalau kami berhasil," tambah Percy, "pikirkan seen yang akan kau berikan kepada monster-monster bawah sana. Kami berencana untuk menyegel Pintu Ajal. Itu ak menciptakan banyak ratapan dan erangan." Akhlys mempertimbangkan. "Aku menikmati penderitao Ratapan juga asyik." "Kalau begitu kita sepakat," ucap Percy. "Jadikan kami t kasat mata." Akhlys berusaha berdiri. Perisai Hercules itu berguli menjauh dan bergoyang hingga terjatuh di sepetak bunga-bu beracun. "Tidak sesederhana itu," ucap sang dewi. "Kabut muncul pada saat kalian sudah berada di titik terdekat deng akhir kehidupan kalian. Penglihatan kalian akan mengabur itu. Dunia akan memudar perlahan." Mulut Percy terasa kering. "Oke. Tapi kami ak terselubungi dari penglihatan para monster?"

"Oh, ya," ujar Akhlys. "Kalau kalian selamat dari proses itu, kalian akan bisa melewati pasukan Tartarus tanpa ketahuan. Tentu saja, itu sia-sia, tapi kalau kalian tetap ngotot, ikutlah bersamaku. Akan kutunjukkan jalannya." "Jalan ke mana, tepatnya?" tanya Annabeth. Sang dewi sudah berjalan tertatih "Oh, ya," ujar Akhlys. "Kalau kalian selamat dari proses itu, kalian akan bisa melewati pasukan Tartarus tanpa ketahuan. Tentu saja, itu sia-sia, tapi kalau kalian tetap ngotot, ikutlah bersamaku. Akan kutunjukkan jalannya." "Jalan ke mana, tepatnya?" tanya Annabeth. Sang dewi sudah berjalan tertatih