BAB DUA PULUH LIMA HAZEL

BAB DUA PULUH LIMA HAZEL

MUANYA BERBAU SEPERTI RACUN. DUA hari setelah Icainggalkan Venesia, Hazel masih belum berhasil menghilangkan bau beracun Eau de Monster Sapi dari hidungnya. Mabuk laut yang dialaminya juga tidak membantu. Argo tl melayari Adriatik, hamparan laut biru yang berkilau-kilau indah, tetapi Hazel tidak bisa menikmati keindahannya berkat guncangan kapal yang tiada henti. Di atas geladak, dia berusaha memancangkan mata pada cakrawala —karang-karang putih yang selalu terlihat hanya berjarak sekitar satu mil di sebelah timur. Negara apa itu? Kroasia? Dia tidak yakin. Dia hanya berharap segera berada di atas tanah padat lagi. Hal yang paling membuatnya mual adalah si musang. Tadi malam, hewan peliharaan Hecate, Gale muncul di dalam kabinnya. Hazel terbangun dari mimpi buruk sambil bertanya- tanya, "Bau apa ini?". Dia menemukan hewan pengerat berbulu itu berada di atas dadanya, menatapnya dengan mata hitam yang bundar berkilat-kilat. Tidak ada yang bisa menyamai terbangun sambil berteriak-teriak, menendang-nendang selimut hingga lepas, dan menari-nari di sekeliling kabin sementara seekor musang terbirit-birit di antara kaki kita, mencicit dan mengeluarkan kentut. Teman-temannya bergegas ke kamarnya untuk melihat apakah dia baik-baik saja. Musang itu sulit dijelaskan. Hazel tahu bahwa Leo berusaha keras untuk tidak membuat lelucon. Pada pagi hari, begitu kehebohan sudah mereda, Hazel memutuskan untuk mengunjungi Pak Pelatih Hedge karena dia bisa bicara dengan binatang. Hazel menemukan pintu kabin Pak Pelatih dalam

keadaan terbuka dan mendengar Pak Pelatih berada di dalam sedang berbicara seolah-olah sedang menelepon seseorang —hanya saja tidak ada telepon di atas kapal ini. Mungkin dia sedang mengirim pesan sihir Iris? Hazel pernah mendengar bahwa orang Yunani sangat sering menggunakan cara itu. "Baiklah, Say," Hedge berkata. "Yeah, aku tahu, Sayang. Tidak, itu kabar bagus, tapi —" Suaranya berubah akibat tergayuti emosi. Hazel mendadak merasa tak enak telah mencuri dengar. Dia sudah berniat pergi, tetapi Gale mencicit di dekat tumit kakinya. Hazel mengetuk pintu Pak Pelatih. Hedge menyembulkan kepalanya, cemberut seperti biasa, tetapi matanya merah. "Apa?" geramnya. "Ehm maaf," kata Hazel. "Apakah Anda baik-baik saja?" Pak Pelatih mendengus dan membuka pintunya lebar- lebar. "Pertanyaan macam apa itu?" Tidak ada orang lain di ruangan itu. "Saya —" Hazel berusaha mengingat mengapa dia di sana. "Saya ingin tahu apakah Anda bisa berbicara dengan musang saya." Mata Pak Pelatih menyipit. Dia memelankan suaranya. "Apakah kita sedang bicara dengan bahasa sandi? Apakah ada nyusup di kapal ini?" "Yah, bisa dibilang begitu." Gale mengintip dari balik kaki Hazel dan mulai mengoceh. Pak Pelatih tampak tersinggung. Dia balas mengoceh pada si musang. Mereka melangsungkan percakapan yang terdengar ngat menyerupai perdebatan sengit. "Apa yang dia katakan?" tanya Hazel. "Banyak hal yang tidak sopan," gerutu si satir. "Intinya: dia di sini untuk melihat bagaimana kelangsungannya." "Kelangsungan apa?" Pak Pelatih Hedge mengentakkan kaki. "Bagaimana aku tahu? Dia ini sigung! Dia tak pernah memberi jawaban yang jelas. Nah, sekarang permisi, aku ada, ehm, urusan ...." Dia menutup pintu di depan muka Hazel. Usai sarapan, Hazel berdiri di langkan sisi kiri, mencoba menenangkan perutnya. Di sebelahnya, Gale berlari naik-turun langkan, seraya mengeluarkan gas, tetapi angin kencang laut Adriatik membantu mengusir baunya. Hazel penasaran ada masalah apa dengan Pak Pelatih Hedge. Dia pasti menggunakan pesan-Iris untuk berbicara dengan seseorang, tetapi jika dia mendapat kabar baik, mengapa dia terlihat begitu sedih? Hazel tak pernah melihatnya begitu terguncang. Sayangnya, dia ragu Pak Pelatih akan minta bantuan jika dia memerlukannya. Pak Pelatih Hedge tidak bisa dibilang pribadi yang hangat dan terbuka. Hazel menatap tebing putih di kejauhan dan berpikir mengapa Hecate mengirim Gale si sigung. Dia di sini untuk melihat bagaimana kelangsungannya.

Ada sesuatu yang akan terjadi. Hazel akan diuji. Hazel tidak mengerti bagaimana dia hams belajar sihir tanpa pelatihan. Hecate berharap dia mengalahkan seorang penyihii superkuat —wanita bergaun emas yang digambarkan Leo berdasat mimpinya. Tapi, bagaimana? Hazel menghabiskan seluruh waktu luangnya untuk mencoba memecahkan persoalan itu. Dia memandangi spatha-nya, berusaha membuatnya terlihat seperti tongkat berjalan. Dia berusaha memanggil awan untuk menutupi bulan purnama. Dia berkonsentrasi hingga matanya juling dan telinganya berdenging, tetapi tak terjadi apa- apa. Dia tidak bisa mengendalikan Kabut. Beberapa malam belakangan ini, mimpi-mimpinya menjadi sernakin buruk. Dia mendapati diri kembali berada di Padang Asphodel, mengeluyur tanpa arah di antara hantu-hantu. Kemudian, dia berada di Gua Gaea di Alaska, tem.pat Hazel dan ibunya tewas saat langit-langit runtuh dan suara sang dewi Burni meraung marah. Hazel berada di lantai atas bangunan aparternen ibunya di New Orleans, berhadap-hadapan dengan ayahnya, Pluto. Jemari Pluto yang dingin menggenggam tangannya. Jiwa-jiwa yang terpenjara menggeliat-geliat pada kain kemeja wol hitam Pluto. Dia menatap Hazel dengan mata hitamnya yang marah dan berkata: Yang mati melihat apa yang mereka yakini sedang rnereka lihat. Begitu Pula yang hidup. Itulah rahasianya. Pluto tak pernah berkata begitu dalam kehidupan nyata. Hazel tak mengerti apa artinya. Mimpi buruk yang paling parch tampak

seperti kilasan masa depan. Hazel tengah tersaruk-saruk melewati sebuah terowongan gelap sementara suara tawa seorang perempuan menggema di sekitarnya. Kendalikan ini jika kau bisa, Anak Pluto, ejek perempuan itu. Hazel juga selalu bermimpi tentang gambar-gambar yang dia lihat di persimpangan Hecate: Leo jatuh dari langit; Percy dan Habeth tergeletak tak sadarkan diri, mungkin mati, di depan logam hitam, dan satu sosok berselubung menjulang di atas mereka —raksasa Clytius yang terbungkus kegelapan. Pada langkan di sebelah Hazel, Gale si musang mencicit tak sabar. Hazel tergoda untuk mendorong hewan pengerat bodoh itu ke dalam laut. Aku bahkan tak sanggup mengendalikan mimpi-mimpiku sendiri, begitu dia ingin menjerit. Bagaimana aku harus mengendalikan Aabut? Dia begitu sedih sampai-sampai tidak menyadari kedatangan frank hingga cowok itu berdiri di sebelahnya. "Sudah merasa baikan?" tanyanya. Dia meraih tangan Hazel, jari-jemarinya membungkus jemari lazel. Hazel tak percaya betapa tinggi tubuh Frank sekarang, Frank pernah berubah menjadi begitu banyak hewan hingga Hazel tidak yakin mengapa satu lagi perubahan harus membuatnya takjub etapi mendadak tinggi Frank melampaui berat badannya. Tak ada lagi yang bisa menyebutnya tembam atau gendut. Dia terlihat ,,cperti pemain futbol, kekar dan kuat, dengan pusat berat badan yang baru. Kedua bahunya melebar. Dia berjalan dengan lebih percaya diri. Apa yang dilakukan Frank di atas jembatan di Venesia itu Hazel masih terkagum-kagum. Tak seorang pun di antara mereka menyaksikan pertempuran itu, tetapi tak seorang pun meragukannya. Seluruh pembawaan Frank telah berubah. Bahkan, Leo berhenti membuat lelucon yang menertawakan Frank. "Aku —aku baik-baik raja." Hazel berhasil menjawab. "Kau?" Frank tersenyum, sudut-sudut matanya berkerut. "Aku, ehm, lebih tinggi. Selain itu, yeah. Aku baik-baik saja. Kau tabu, di dalam diriku aku belum benar-benar berubah ...." Suara Frank mengandung sedikit keraguan dan kecanggungail - nya yang lama —suara Frank-nya, yang selalu khawatir bersikai) ceroboh dan mengacau. Hazel merasa lega. Dia suka bagian diri Frank yang itu. Awalnya, penampilan Frank yang baru membuatnya terkejut. Dia khawatir kepribadian Frank juga berubah. Kini, Hazel sudah mulai bisa bersikap santai tentang itu. Di luar segala kekuatannya, Frank masih pria manis yang sama seperti dulu. Frank masih rapuh. Dia masih memercayakan kelemahan terbesarnya kepada Hazel —potongan kayu bakar sihir yang dibawa Hazel dalam saku mantelnya, di dekat jantungnya. "Aku tahu, dan aku senang." Hazel meremas tangan Frank. "Sebenarnya sebenarnya bukan kau yang tengah kukhawatirkan." Frank menggerutu. "Bagaimana keadaan Nico?" Hazel tengah berpikir tentang dirinya sendiri, bukan Nico, tetapi dia mengikuti pandangan Frank ke puncak tiang depan, tempat Nico bertengger di atas tiang layar. Nico mengatakan bahwa dia suka berjaga karena penglihatannya bagus. Hazel tahu bukan itu alasannya. Bagian puncak layar adalah salah satu di antara sedikit tempat Nico bisa sendiri di atas kapal. Anak-anak lain telah menawarinya untuk menggunakan kabin Percy, mengingat Percy ... yah, sedang tidak ada. Nico menolak mentah-mentah. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di dekat tali-temali kapal, tempat dia tidak harus bicara dengan awak kapal yang lain. Sejak dia berubah menjadi tanaman jagung di Venesia, Nico menjadi lebih penyendiri dan murung. "Aku tidak tahu." Hazel mengakui. "Dia sudah mengalami banyak hal. Ditawan di Tartarus, menjadi tahanan dalam guci perunggu, menyaksikan Percy dan Annabeth jatuh ...." "Dan, berjanji memandu kita ke Epirus." Frank mengangguk. Attu punya perasaan, Nico tidak bisa bergaul baik dengan yang Frank berdiri tegak. Dia mengenakan kaus berwarna abu-abu kecokelatan bergambar seekor kuda serta bertulisan PALIO DI SIENA. Dia baru membelinya beberapa hari berselang, tetapi karang kaus itu kekecilan. Ketika dia meregangkan badan, perutnya tersingkap. Hazel menyadari seperti kilasan masa depan. Hazel tengah tersaruk-saruk melewati sebuah terowongan gelap sementara suara tawa seorang perempuan menggema di sekitarnya. Kendalikan ini jika kau bisa, Anak Pluto, ejek perempuan itu. Hazel juga selalu bermimpi tentang gambar-gambar yang dia lihat di persimpangan Hecate: Leo jatuh dari langit; Percy dan Habeth tergeletak tak sadarkan diri, mungkin mati, di depan logam hitam, dan satu sosok berselubung menjulang di atas mereka —raksasa Clytius yang terbungkus kegelapan. Pada langkan di sebelah Hazel, Gale si musang mencicit tak sabar. Hazel tergoda untuk mendorong hewan pengerat bodoh itu ke dalam laut. Aku bahkan tak sanggup mengendalikan mimpi-mimpiku sendiri, begitu dia ingin menjerit. Bagaimana aku harus mengendalikan Aabut? Dia begitu sedih sampai-sampai tidak menyadari kedatangan frank hingga cowok itu berdiri di sebelahnya. "Sudah merasa baikan?" tanyanya. Dia meraih tangan Hazel, jari-jemarinya membungkus jemari lazel. Hazel tak percaya betapa tinggi tubuh Frank sekarang, Frank pernah berubah menjadi begitu banyak hewan hingga Hazel tidak yakin mengapa satu lagi perubahan harus membuatnya takjub etapi mendadak tinggi Frank melampaui berat badannya. Tak ada lagi yang bisa menyebutnya tembam atau gendut. Dia terlihat ,,cperti pemain futbol, kekar dan kuat, dengan pusat berat badan yang baru. Kedua bahunya melebar. Dia berjalan dengan lebih percaya diri. Apa yang dilakukan Frank di atas jembatan di Venesia itu Hazel masih terkagum-kagum. Tak seorang pun di antara mereka menyaksikan pertempuran itu, tetapi tak seorang pun meragukannya. Seluruh pembawaan Frank telah berubah. Bahkan, Leo berhenti membuat lelucon yang menertawakan Frank. "Aku —aku baik-baik raja." Hazel berhasil menjawab. "Kau?" Frank tersenyum, sudut-sudut matanya berkerut. "Aku, ehm, lebih tinggi. Selain itu, yeah. Aku baik-baik saja. Kau tabu, di dalam diriku aku belum benar-benar berubah ...." Suara Frank mengandung sedikit keraguan dan kecanggungail - nya yang lama —suara Frank-nya, yang selalu khawatir bersikai) ceroboh dan mengacau. Hazel merasa lega. Dia suka bagian diri Frank yang itu. Awalnya, penampilan Frank yang baru membuatnya terkejut. Dia khawatir kepribadian Frank juga berubah. Kini, Hazel sudah mulai bisa bersikap santai tentang itu. Di luar segala kekuatannya, Frank masih pria manis yang sama seperti dulu. Frank masih rapuh. Dia masih memercayakan kelemahan terbesarnya kepada Hazel —potongan kayu bakar sihir yang dibawa Hazel dalam saku mantelnya, di dekat jantungnya. "Aku tahu, dan aku senang." Hazel meremas tangan Frank. "Sebenarnya sebenarnya bukan kau yang tengah kukhawatirkan." Frank menggerutu. "Bagaimana keadaan Nico?" Hazel tengah berpikir tentang dirinya sendiri, bukan Nico, tetapi dia mengikuti pandangan Frank ke puncak tiang depan, tempat Nico bertengger di atas tiang layar. Nico mengatakan bahwa dia suka berjaga karena penglihatannya bagus. Hazel tahu bukan itu alasannya. Bagian puncak layar adalah salah satu di antara sedikit tempat Nico bisa sendiri di atas kapal. Anak-anak lain telah menawarinya untuk menggunakan kabin Percy, mengingat Percy ... yah, sedang tidak ada. Nico menolak mentah-mentah. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di dekat tali-temali kapal, tempat dia tidak harus bicara dengan awak kapal yang lain. Sejak dia berubah menjadi tanaman jagung di Venesia, Nico menjadi lebih penyendiri dan murung. "Aku tidak tahu." Hazel mengakui. "Dia sudah mengalami banyak hal. Ditawan di Tartarus, menjadi tahanan dalam guci perunggu, menyaksikan Percy dan Annabeth jatuh ...." "Dan, berjanji memandu kita ke Epirus." Frank mengangguk. Attu punya perasaan, Nico tidak bisa bergaul baik dengan yang Frank berdiri tegak. Dia mengenakan kaus berwarna abu-abu kecokelatan bergambar seekor kuda serta bertulisan PALIO DI SIENA. Dia baru membelinya beberapa hari berselang, tetapi karang kaus itu kekecilan. Ketika dia meregangkan badan, perutnya tersingkap. Hazel menyadari