BAB TIGA PULUH LIMA JASON

BAB TIGA PULUH LIMA JASON

KALI PERTAMA JASON MELIHAT MALAIKAT itu di gerobak es krim. Argo II membuang sauh di teluk bersama enam atau tujuh kapal pesiar. Seperti biasa, para manusia tidak mengacuhkan kapal Yunani kuno itu, tetapi sekadar untuk berjaga-jaga, Jason dan Nico melompat ke sampan kecil dari salah satu kapal wisatawan agar mereka terlihat seperti bagian dari orang banyak ketika tiba di pantai. Pada pandangan pertama, Split sepertinya ternpat yang keren. Meliuk di sekitar pelabuhan, terbentanglah tanah terbuka yang panjang dihiasi pohon-pohon palem. Di kafe-kafe pinggir jalan, remaja-remaja Eropa tengah duduk-duduk, berbicara dengan selusin bahasa yang berbeda dan menikmati sore yang cerah. Udara beraroma harum daging panggang dan wangi bunga yang baru dipotong. Di luar jalan utama, kota itu merupakan campur aduk menara kastil zaman pertengahan, dinding-dinding Romawi, rumah-rumah batu kapur beratap genteng merah, dan gedung-gedung perkantoran modern yang sating berdesakan. Di kejauhan, perbukitan hijau-kelabu berbaris menuju sebuah punggung gunung, yang membuat Jason agak gelisah. Dia terus melirik ke arah tebing gunung curam berbatu itu, menanti wajah Gaea m uncul dalam bayang-bayangnya. Nico dan Jason tengah berjalan santai di sepanjang tanah lapang ketika Jason melihat pria bersayap membeli sebatang es krim dari gerobak di jalan. Wanita penjual es krim tampak bosan saat dia menghitung kembalian si lelaki. Para wisatawan mengitari sayap besar si malaikat tanpa melirik kembali. Jason menyikut Nico. "Kau melihat itu?" "Yeah." Nico mengiakan. "Mungkin kita harus membeli es krim." Saat mereka berjalan menuju gerobak kaki lima, Jason khawatir pria bersayap ini mungkin adalah anak lelaki Boreas si Angin Utara. Di pinggangnya, si malaikat membawa pedang perunggu bergerigi yang sama jenisnya dengan yang dimiliki Boreads, anak-inak Boreas, dan pertemuan terakhir Jason dengan mereka tidak berlangsung terlalu baik. Namun, lelaki ini tampaknya lebih dingin ketimbang es. Dia mengenakan kaus tanpa lengan berwarna merah, celana pendek Bermuda, dan sandal kulit bertali ala Indian. Sayapnya merupakan kombinasi warna-warna cokelat kekuningan, seperti ayam katai atau senja yang malas. Kulitnya cokelat gelap, sementara rambut hitamnya nyaris seikal rambut Leo. "Dia bukan arwah yang kembali," gumam Nico. "Atau, makhluk Dunia Bawah." "Bukan." Jason sependapat. "Aku ragu mereka akan makan hatangan es krim berlapis cokelat." "Jadi, dia itu apa?" Nico penasaran.

jarak mereka tinggal sembilan meter, dan pria bersayap itu menatap langsung ke arah mereka. Dia

tersenyum, memberi isyarat ke balik bah unya dengan batangan es krim, lalu menghilang ditelan udara. Jason tak benar-benar bisa melihatnya, tetapi dia sudah cukup punya pengalaman mengendalikan angin sehingga dia bisa melacak jejak malaikat itu —asap hangat berwarna merah dan emas melesat di jalanan, berpilin menuruni trotoar, dan meniup kartu pos-kartu pos dari komidi putar di depan kios-kios untuk wisatawan. Angin itu menuju ke arah bagian akhir tanah lapang, tempat sebuah bangunan seperti benteng berukuran besar menjulang. "Aku bertaruh itu ista.nanya," kata Jason. "Ayo." Bahkan, setelah dua ribu tahun, Istana Diocletian masih menakjubkan. Dinding luarnya hanya berupa rangka granit merah jambu dengan tiang-tiang yang remuk dan jendela-jendela lengkung membuka ke angkasa, tetapi sebagian besar bangunan masih utuh. Panjangnya setengah kilometer sementara tingginya dua puluh atau dua puluh lima meter, membuat toko-toko dan perumahan modern yang berkerumun di sekitarnya tampak mungil. Jason membayangkan seperti apa rupa istana itu ketika baru dibangun, dengan pengawal-pengawal kerajaan menyusuri tepian benteng dan elang-elang emas Romawi berkilat-kilat di atas dindingnya. Si malaikat angin —atau entah apa pun ia—melesat keluar-masuk jendela-jendela granit merah jambu, kemudian menghilang di sisi yang lain. Jason memeriksa bagian depan istana, mencari pintu masuk. Satu-satunya pintu masuk yang dia lihat berada pada jarak beberapa blok dari situ, dipenuhi antrean wisatawan yang hendak membeli tiket. Tidak ada waktu untuk "Kita harus menangkapnya," kata Jason. "Tunggu sebentar." "Tapi —" Jason memegang Nico dan mengangkat mereka berdua ke udara. Nico mengeluarkan suara protes tak jelas saat mereka melayang di atas dinding-dinding dan memasuki sebuah halaman dalam tempat lebih banyak wisatawan berkeliaran, mengambil gambar. Seorang anak kecil menatap dua kali saat mereka mendarat, kemudian terbengong-bengong dan menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah tengah membuyarkan halusinasi yang ditimbulkan oleh jus kemasan. Tak ada orang lain yang memperhatikan mereka. Di sisi kin halaman dalam itu berdirilah sederet tiang yang menopang lengkung-lengkung kelabu yang sudah lapuk termakan cuaca. Di sebelah kanan terdapat bangunan pualam putih yang dihiasi berderet-deret jendela tinggi. "Peristyle —Deretan tiang bulat," kata Nico. "Ini adalah pintu masuk ke kediaman pribadi Diocletian." Dia menatap marah ke arah Jason. "Dan tolong, aku tidak suka disentuh. Jangan pernah memegangku lagi." Tulang belikat Jason menegang. Dia merasa mendengar ancaman tersembunyi, seperti: kecuali kau ingin hidungmu ditusuk pedang Stygian. "Uh, baiklah. Maaf. Bagaimana kau tahu apa sebutan tempat ini?" Nico mengamati atrium. Dia memusatkan perhatian pada beberapa anak tangga di ujung yang jauh, yang mengarah ke bawah. "Aku pernah ke sini sebelumnya." Mata Nico segelap mata pedangnya. "Dengan ibuku dan Bianca. Tamasya akhir pekan dari Venesia. Usiaku mungkin enam tahun?" "Saat itu tahun berapa ...? 1930-an?" "Sekitar tiga puluh delapan," sahut Nico sambil lalu. "Mengapa kau ingin tahu? Apakah kau melih at pria bersayap itu?" "Tidak ...." Jason masih berusaha memahami .masa lalu Nico.

Jason selalu berusaha membangun hubungan yang baik dengan orang-orang yang ada dalam timnya. Dengan cara yang keras, dia belajar bahwa jika harus ada seseorang yang melindungi kita dalam sebuah pertempuran, lebih baik jika kita menemukan persamaan dan saling memercayai. Namun, Nico tidak mudah dipahami. "Aku hanya aku tidak bisa membayangkan betapa aneh tentu rasanya, berasal dari masa yang berbeda." "Memang, kau tidak bisa membayangkannya." Nico menatap lantai batu. Dia menarik napas dalam. "Begini aku tidak suka bicara tentang ini. Sejujurnya, kurasa Hazel malah lebih parah. Dia lebih ingat tentang masa ketika dia masih kecil. Dia harus kembali dari kematian dan

menyesuaikan diri dengan dunia modern. Aku aku dan Bianca, kami terperangkap di Hotel Lotus. Waktu berlalu begitu cepat. Dengan cara yang ganjil, itu membuat transisi lebih mudah." "Percy bercerita tentang tempat itu kepadaku," kata Jason. "Tujuh puluh tahun, tapi terasa seperti satu bulan?" Nico mengepalkan tangan sampai jari-jemarinya memutih. "Yeah. Aku yakin Percy menceritakan segalanya tentangku." Suara Nico disarati kegetiran —lebih dari yang bisa dipahami Jason. Jason tahu Nico pernah menyalahkan Percy karena menyebabkan saudarinya, Bianca, tewas, tetapi mereka seharusnya sudah melewati hal itu, setidaknya menurut Percy. Piper juga pernah menyinggung tentang desas-desus bahwa Nico menaruh hati kepada Annabeth. Mungkin itu juga memengaruhi. Tetap saja ... Jason tidak paham mengapa Nico mendorong orang menjauh darinya, mengapa dia tak pernah menghabiskan banyak waktu di kedua perkemahan, mengapa dia lebih menyukai yang mati ketimbang yang hidup. Jason benar-benar tidak paham mengapa Nico berjanji memandu Argo2 ke Epirus jika dia begitu membenci Percy Jackson. Mata Nico menyapu jendela-jendela di atas mereka. "Arwah orang Romawi ada di mana-mana di tempat ini Lares. Lemures. Mereka mengawasi. Mereka marah." "Pada kita?" Tangan Jason bergerak ke arah pedangnya. "Pada semuanya." Nico menunjuk ke arah sebuah bangunan batu kecil di ujung barat halaman dalam. "Tempat itu dulunya adalah kuil untuk Jupiter. Orang-orang Kristen mengubahnya menjadi tempat pembaptisan. Hantu-hantu Romawi tidak suka itu. Jason memandangi pintu yang gelap itu. Dia tidak pernah bertemu Jupiter, tetapi dia memikirkan ayahnya sebagai orang yang hidup —orang yang jatuh cinta kepada ibunya. Tentu saja dia tahu ayahnya adalah makhluk yang kekal, tetapi entah bagaimana makna lengkap dari itu tidak pernah benar-benar meresap sampai sekarang, saat dia memandangi pintu yang pernah dilewati orang-orang Romawi, ribuan tahun silam, untuk menyembah ayahnya. Pikiran itu membuat kepala Jason dilanda sakit kepala yang hebat. "Dan, sebelah sana ...." Nico menunjuk ke timur, ke arah bangunan segi enam yang dikelilingi tiang-tiang yang berdiri sendiri. "Itu adalah ruang makam Sang Kaisar." "Tapi, makamnya sudah tidak ada di sana lagi," tebak Jason. "Sudah berabad-abad," sahut Nico. "Ketika kerajaan itu ambruk, bangunan itu diubah menjadi katedral Kristen." Jason menelan Judah. "Jadi, jika hantu Diocletian masih ada di sekitar sini--" "Dia mungkin tidak bahagia." Angin berdesir, mendorong dedaunan dan bungkus makanan di sepanjang peristyle. Di sudut matanya, Jason menangkap sekilas gerakan —kelebatan warna merah dan emas.

Ketika dia berbalik, sehelai bulu berwarna karat tengah men-darat di atas anak tangga yang mengarah ke bawah. "Ke arah sana." Jason menunjuk. "Pria bersayap. Ke mana menurutmu tangga itu mengarah?" Nico menghunus pedangnya. Senyumnya bahkan lebih menggelisahkan ketimbang tatapan marahnya. "Ruang bawah tanah," jawabnya. "Tempat favoritku." Ruang bawah tanah bukan tempat favorit Jason. Sejak perjalanannya di bawah Roma bersama Piper dan Percy, bertempur melawan raksasa kembar di ruang bawah tanah di bawah Koloseum, sebagian besar mimpi buruknya adalah tentang ruang bawah tanah, pintu ruang bawah tanah, dan roda mainan hamster berukuran besar. Ditemani Nico tidaklah menenangkan. Pedang besi Stygian Nico sepertinya membuat bayang-bayang lebih kelam, seolah-olah logam neraka itu menyerap cahaya dan hawa panas dari udara. Mereka bergerak pelan melalui sebuah gudang bawah tanah dengan tiang-tiang penyokong tebal menopang langit-langit lengkung. Balok-balok batu kapurnya begitu tua sehingga sudah soling melebur akibat berabad-abad kelembapan, membuat tempat itu terlihat nyaris seperti gua alami. Tak

seorang pun wisatawan berani turun ke tempat ini. Jelas, mereka lebih pintar daripada demigod. Jason menghunus gladius-nya. Mereka berjalan di bawah lengkungan rendah, langkah mereka menggema di lantai batu. Jendela-jendela berpalang berjajar di bagian atas salah satu dinding, menghadap permukaan jalan, tetapi itu justru membuat ruang bawah tanah itu terasa lebih mengekang. Berkas-berkas cahaya matahari terlihat seperti jeruji penjara, yang dikitari debu dari zaman kuno. Jason melewati sebuah balok penyangga, memandang ke kiri, dan nyaris mengalami serangan jantung. Menatap persis ke arahnya, sebuah patung dada pualam Diocletian, wajah batu kapurnya memberengut tak suka. Jason menstabilkan napas. Ini kelihatannya tempat yang bagus untuk meninggalkan pesan yang dia tulis buat Reyna, memberitahukan rute mereka ke Epirus. Tempat itu jauh dari keramaian, tetapi Jason percaya Reyna akan menemukannya. Gadis itu punya naluri pemburu. Jason menyelipkan surat itu di antara patung dan dudukannya, lalu melangkah mundur. Mata pualam Diocletian membuatnya gelisah. Mau tak mau Jason teringat Terminus, dewa patung yang bisa bicara di Roma Baru. Dia berharap Diocletian tidak membentaknya atau tiba-tiba bernyanyi. "Halo!" Sebelum Jason bisa memahami bahwa suara itu berasal dari tempat lain, dia mengiris kepala Sang Kaisar. Patung dada itu terguling dan pecah terkena lantai. "Itu tidak terlalu sopan," kata sebuah suara di belakang mereka. Jason berbalik. Pria bersayap dari gerobak es krim tadi tengah bersandar pada sebuah tiang di dekat situ, dengan santai melempar-lempar sebuah simpai perunggu di udara. Di kakinya terdapat sebuah keranjang piknik rotan yang berisi buah- buahan. "Maksudku," kata pria itu, "apa yang pernah dilakukan Diocletian kepadamu?" Udara berpusar di sekitar kaki Jason. Pecahan pualam berkumpul menjadi tornado mini, meliuk-liuk kembali ke tumpuannya, dan menyatu kembali menjadi patung dada yang utuh, surat tadi masih terselip di bawahnya.

"Uh —" Jason menurunkan pedangnya. "Itu tadi kecelakaan. Anda mengejutkan saya." Si pria bersayap terkekeh. "Jason Grace, Angin Barat pernah disebut dengan berbagai julukan hangat, lembut, pemberi kehidupan, dan luar biasa tampan. Tapi, aku belum pernah disebut mengejutkan. Kutinggalkan perilaku bodoh itu untuk saudaraku yang sembrono di utara." Nico melangkah mundur. "Angin Barat? Maksud Anda, Anda adalah —"Favonius." Jason tersadar. "Dewy angin barat." Favonius tersenyum dan membungkukkan badan, jelas-jelas merasa senang dikenali. "Kalian bisa memanggilku dengan nama Romawiku, tentu saja, atau Zephyros, jika kalian Yunani. Aku tidak bermasalah dengan itu." Nico terlihat cukup bermasalah dengan itu. "Mengapa sisi Yunani dan Romawi Anda tidak berkonflik seperti dewa- dewi lain?" "Oh, kadang-kadang aku terserang sakit kepala." Favonius mengangkat bahu. "Saat pagi kadang aku bangun dalam balutan chiton Yunani, padahal aku yakin aku pergi tidur dengan mengenakan piama SPQR. Namun, perang itu lebih sering tidak menggangguku. Perlu kalian ketahui, aku ini dewa kecil —tidak pernah benar-benar mendapat sorotan. Pertempuran antara kalian, para demigod, tidak memengaruhiku sebesar itu." "Jac ...." Jason tidak terlalu yakin apakah sebaiknya dia menyarungkan pedang atau tidak. "Apa yang Anda lakukan di sini?" "Beberapa hal!" jawab Favonius. "Duduk-duduk dengan keranjang buahku. Aku selalu membawa sekeranjang buah. Apakah kalian mau buah pir?" "Tidak usah. Terima kasih." "Mari kita lihat tadi aku ingin makan es krim. Sekarang aku melempar-lempar gelang quoit." Favonius memutar-mutar simpai perunggu itu pada jari telunjuknya. Jason tidak tahu apa itu quoit, tetapi dia berusaha tetap fokus. "Maksud saya, mengapa Anda memunculkan diri kepada kami? Mengapa Anda menggiring kami ke ruang bawah tanah ini?" "Oh!" Favonius mengangguk. "Sarkofagus Diocletian. Ya. Ini "Uh —" Jason menurunkan pedangnya. "Itu tadi kecelakaan. Anda mengejutkan saya." Si pria bersayap terkekeh. "Jason Grace, Angin Barat pernah disebut dengan berbagai julukan hangat, lembut, pemberi kehidupan, dan luar biasa tampan. Tapi, aku belum pernah disebut mengejutkan. Kutinggalkan perilaku bodoh itu untuk saudaraku yang sembrono di utara." Nico melangkah mundur. "Angin Barat? Maksud Anda, Anda adalah —"Favonius." Jason tersadar. "Dewy angin barat." Favonius tersenyum dan membungkukkan badan, jelas-jelas merasa senang dikenali. "Kalian bisa memanggilku dengan nama Romawiku, tentu saja, atau Zephyros, jika kalian Yunani. Aku tidak bermasalah dengan itu." Nico terlihat cukup bermasalah dengan itu. "Mengapa sisi Yunani dan Romawi Anda tidak berkonflik seperti dewa- dewi lain?" "Oh, kadang-kadang aku terserang sakit kepala." Favonius mengangkat bahu. "Saat pagi kadang aku bangun dalam balutan chiton Yunani, padahal aku yakin aku pergi tidur dengan mengenakan piama SPQR. Namun, perang itu lebih sering tidak menggangguku. Perlu kalian ketahui, aku ini dewa kecil —tidak pernah benar-benar mendapat sorotan. Pertempuran antara kalian, para demigod, tidak memengaruhiku sebesar itu." "Jac ...." Jason tidak terlalu yakin apakah sebaiknya dia menyarungkan pedang atau tidak. "Apa yang Anda lakukan di sini?" "Beberapa hal!" jawab Favonius. "Duduk-duduk dengan keranjang buahku. Aku selalu membawa sekeranjang buah. Apakah kalian mau buah pir?" "Tidak usah. Terima kasih." "Mari kita lihat tadi aku ingin makan es krim. Sekarang aku melempar-lempar gelang quoit." Favonius memutar-mutar simpai perunggu itu pada jari telunjuknya. Jason tidak tahu apa itu quoit, tetapi dia berusaha tetap fokus. "Maksud saya, mengapa Anda memunculkan diri kepada kami? Mengapa Anda menggiring kami ke ruang bawah tanah ini?" "Oh!" Favonius mengangguk. "Sarkofagus Diocletian. Ya. Ini

Wajah Nico berubah lebih pucat dari biasanya. Matanya berkelebatan ke sana-kemari di sekitar ruangan yang seperti gua itu seolah-olah dia mulai merasa terperangkap. "Nico?" kata Jason. "Apa yang dia bicarakan?" "Entahlah. Bukan apa-apa." "Bukan apa-apa?" seru Favonius. "Orang yang paling kau kasihi jatuh ke dalam Tartarus, dan kau masih tidak mau berkata juj ur?" Mendadak Jason merasa seperti sedang menguping. Orang yang paling kau kasihi. Dia teringat apa yang pernah dikatakan Piper tentang perasaan suka Nico kepada Annabeth. Rupanya perasaan Nico jauh lebih dalam ketimbang sekadar rasa suka biasa. "Kami ke sini hanya untuk mencari tongkat kerajaan Diocletian," ujar Nico, jelas sangat ingin mengganti topik pembicaraan. "Di mana benda itu?" "Ah ...." Favonius mengangguk sedih. "Kau mengira itu akan semudah berhadapan dengan hantu Diocletian? Aku khawatir tidak begitu, Nico. Ujianmu akan jauh lebih sukar. Kau tahu, jauh sebelum menjadi. Istana Diocletian, tempat ini adalah gerbang menuju istana tuanku. Aku sudah tinggal di sini selama beribu-ribu tahun, membawa mereka yang mencari cinta ke hadapan Cupid." Jason tidak suka mendengar penyebutan ujian yang sukar. Dia tidak percaya kepada dewa aneh dengan simpai, sayap, dan keranjang buah ini. Namun, sebuah cerita lama muncul dalam benaknya —sesuatu yang pernah dia dengar di Perkemahan Jupiter. "Seperti Psyche, istri Cupid. Anda membawanya ke Istana Cupid." Mata Favonius berbinar-binar. "Bagus sekali, Jason Grace. Persis dari tempat ini, aku membopong Psyche dengan angin dan membawanya ke ruangan tuanku. Bahkan, itulah alasan Diocletian inembangun istananya di sini. Tempat ini selalu diberkahi oleh Angin Barat yang lembut." Dia merentangkan tangannya. "Ini adalah tempat ketenteraman dan cinta dalam dunia yang kacau. Ketika Istana Diocletian dijarah —" "Anda mengambil tongkat kerajaannya," tebak Jason. "Untuk diamankan." Favonius membenarkan. "Benda itu adalah salah satu dari banyak harta Cupid, pengingat akan masa- masa yang lebih baik. Jika kau menginginkannya ...." Favonius menghadap pada Nico, "kau harus menghadapi dewa cinta." Nico menatap cahaya matahari yang masuk melalui jendela, seolah-olah berharap dia bisa melarikan diri melalui celah-celah sempit itu. Jason tidak yakin apa yang diinginkan Favonius, tetapi jika menghadapi dewa cinta berarti memaksa Nico melakukan semacam pengakuan tentang gadis mana yang dia sukai, sepertinya itu tidak terlalu buruk. "Nico, kau bisa melakukannya," kata Jason. "Mungkin memalukan, tapi ini demi tongkat itu." Nico tidak tampak teryakinkan. Dia malah terlihat seperti akan muntah. Namun, dia menegapkan bahu dan mengangguk. "Kau benar. Aku aku tidak takut kepada dewa cinta." Wajah Favonius berseri-seri. "Bagus sekali! Apakah kalian mau makanan Wajah Nico berubah lebih pucat dari biasanya. Matanya berkelebatan ke sana-kemari di sekitar ruangan yang seperti gua itu seolah-olah dia mulai merasa terperangkap. "Nico?" kata Jason. "Apa yang dia bicarakan?" "Entahlah. Bukan apa-apa." "Bukan apa-apa?" seru Favonius. "Orang yang paling kau kasihi jatuh ke dalam Tartarus, dan kau masih tidak mau berkata juj ur?" Mendadak Jason merasa seperti sedang menguping. Orang yang paling kau kasihi. Dia teringat apa yang pernah dikatakan Piper tentang perasaan suka Nico kepada Annabeth. Rupanya perasaan Nico jauh lebih dalam ketimbang sekadar rasa suka biasa. "Kami ke sini hanya untuk mencari tongkat kerajaan Diocletian," ujar Nico, jelas sangat ingin mengganti topik pembicaraan. "Di mana benda itu?" "Ah ...." Favonius mengangguk sedih. "Kau mengira itu akan semudah berhadapan dengan hantu Diocletian? Aku khawatir tidak begitu, Nico. Ujianmu akan jauh lebih sukar. Kau tahu, jauh sebelum menjadi. Istana Diocletian, tempat ini adalah gerbang menuju istana tuanku. Aku sudah tinggal di sini selama beribu-ribu tahun, membawa mereka yang mencari cinta ke hadapan Cupid." Jason tidak suka mendengar penyebutan ujian yang sukar. Dia tidak percaya kepada dewa aneh dengan simpai, sayap, dan keranjang buah ini. Namun, sebuah cerita lama muncul dalam benaknya —sesuatu yang pernah dia dengar di Perkemahan Jupiter. "Seperti Psyche, istri Cupid. Anda membawanya ke Istana Cupid." Mata Favonius berbinar-binar. "Bagus sekali, Jason Grace. Persis dari tempat ini, aku membopong Psyche dengan angin dan membawanya ke ruangan tuanku. Bahkan, itulah alasan Diocletian inembangun istananya di sini. Tempat ini selalu diberkahi oleh Angin Barat yang lembut." Dia merentangkan tangannya. "Ini adalah tempat ketenteraman dan cinta dalam dunia yang kacau. Ketika Istana Diocletian dijarah —" "Anda mengambil tongkat kerajaannya," tebak Jason. "Untuk diamankan." Favonius membenarkan. "Benda itu adalah salah satu dari banyak harta Cupid, pengingat akan masa- masa yang lebih baik. Jika kau menginginkannya ...." Favonius menghadap pada Nico, "kau harus menghadapi dewa cinta." Nico menatap cahaya matahari yang masuk melalui jendela, seolah-olah berharap dia bisa melarikan diri melalui celah-celah sempit itu. Jason tidak yakin apa yang diinginkan Favonius, tetapi jika menghadapi dewa cinta berarti memaksa Nico melakukan semacam pengakuan tentang gadis mana yang dia sukai, sepertinya itu tidak terlalu buruk. "Nico, kau bisa melakukannya," kata Jason. "Mungkin memalukan, tapi ini demi tongkat itu." Nico tidak tampak teryakinkan. Dia malah terlihat seperti akan muntah. Namun, dia menegapkan bahu dan mengangguk. "Kau benar. Aku aku tidak takut kepada dewa cinta." Wajah Favonius berseri-seri. "Bagus sekali! Apakah kalian mau makanan