BAB ENAM PULUH TIGA PERCY

BAB ENAM PULUH TIGA PERCY

SE JAUH INI, RENCANA KAMUFLASE DENGAN Kohut Aja sepertinya berhasil. Jadi, wajar bahwa Percy menduga akan terj ad bencana pada menit-menit terakhir. Satu setengah meter dari Pintu Ajal, Percy dan Annabetl-mematung. "Demi dewa-dewi," gumam Annabeth. "Wujudnya sama persis." Percy tahu apa yang dia maksud. Dengan kusen dari besi. Stygian, portal ajaib itu berb.entuk pintu lift ganda —dua panel perak-hitam bertorehkan desain art deco. Pintu itu sama persis dengan pintu lift Empire State Building, jalan masuk ke Gunung Olympus, hanya saja warnanya berkebalikan. Melihat pintu itu, Percy merasa amat kangen rumah sampai-sampai tidak sanggup bernapas. Dia bukan cuma merindukar. Gunung Olympus. Dia merindukan semua yang dia tinggalkan New York City, Perkemahan Blasteran, ibunya dan ayah tirinya Mata Percy perih. Dia tidak berani bicara karena bisa- SE JAUH INI, RENCANA KAMUFLASE DENGAN Kohut Aja sepertinya berhasil. Jadi, wajar bahwa Percy menduga akan terj ad bencana pada menit-menit terakhir. Satu setengah meter dari Pintu Ajal, Percy dan Annabetl-mematung. "Demi dewa-dewi," gumam Annabeth. "Wujudnya sama persis." Percy tahu apa yang dia maksud. Dengan kusen dari besi. Stygian, portal ajaib itu berb.entuk pintu lift ganda —dua panel perak-hitam bertorehkan desain art deco. Pintu itu sama persis dengan pintu lift Empire State Building, jalan masuk ke Gunung Olympus, hanya saja warnanya berkebalikan. Melihat pintu itu, Percy merasa amat kangen rumah sampai-sampai tidak sanggup bernapas. Dia bukan cuma merindukar. Gunung Olympus. Dia merindukan semua yang dia tinggalkan New York City, Perkemahan Blasteran, ibunya dan ayah tirinya Mata Percy perih. Dia tidak berani bicara karena bisa-

yang bisa menemukan Pintu Ajal. Tapi sekarang, Pintu tersebut dirantai sehingga tidak bisa berpindah tempat." "Kalau begitu, kita potong rantainya," bisik Annabeth. Percy memandangi sosok Hyperion yang menyala-nyala. Kali terakhir dia bertarung dengan Titan itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga. Saat itu sekalipun, Percy nyaris tewas. Sekarang, ada dua Titan yang didukung ribuan monster sebagai bala bantuan. "Kamuflase kita," ujar Percy. "Akankah Ka.but Ajal lurch kalau kami melakukan sesuatu yang agresif, misalnya memotong rantai?" "Aku tidak tahu," kata Bob kepada kucingnya. "Meong," kata Bob Kecil. "Bob, kau harus mengalihkan perhatian mereka," kata Annabeth. "Percy dan aku akan mengendap-endap supaya tidak ketahuan kedua Titan, lalu memotong rantai itu dari belakang." "Ya, baiklah," timpal Bob. "Tapi, itu baru satu masalah. Begitu kalian masuk ke Pintu, seseorang harus tetap berada di luar untuk memencet tombol dan mempertahankannya." Percy berusaha untuk tidak panik. "Eh ... mempertahankan tombol?" Bob mengangguk sambil menggaruk-garuk dagu si anak kucing. "Seseorang harus terus memencet tombol NAIK selama dua belas menit. Kalau tidak, perjalanan takkan berkesudahan." Percy melirik Pintu Ajal. Benar saja, Krios masih menekan tombol NAIK dengan jempolnya. Dua belas menit Entah bagaimana, mereka mesti menjauhkan kedua Titan dari Pintu itu. Kemudian Bob, Percy, atau Annabeth harus memastikan agar tombol tersebut tetap terpencet selama dua belas menit nan panjang, di tengah-tengah sepasukan monster di jantung Tartarus, sementara dua orang sisanya menempuh perjalanan ke dunia fana. Kedengarannya mustahil. "Kenapa dua belas menit?" tanya Percy. "Aku tidak tahu," jawab Bob. "Kenapa dewa Olympia berjumlah dua belas? Kenapa Titan berjumlah dua belas?" "Benar juga," ujar Percy, walaupun mulutnya terasa pahit. "Apa maksudmu perjalanan takkan berkesudahan?" tanya Annabeth. "Apa yang terjadi pada penumpangnya?" Bob tidak menjawab. Dari ekspresi pedih sang Titan, Percy memutuskan dia tidak mau berada dalam lift kalau kompartemen

tersebut macet di antara Tartarus dengan dunia fana. "Kalau kita menekan tombol selama dua belas menit pas," kata Percy, "dan rantainya dipotong —" "Pintu Ajal akan kembali ke setelan awal," kata Bob. "Memang dirancangnya begitu. Pintu tersebut akan menghilang dari Tartarus dan muncul di lokasi lain, tempat Gaea takkan bisa menggunakannya." "Thanatos bisa memperoleh kembali Pintu tersebut," ujar Annabeth. "Maut kembali seperti sediakala, sedangkan monster kehilangan jalan pintas ke dunia fana." Percy mengembuskan napas. "Kecil. Tapi masalahnya banyak." Bob Kecil mengeong. "Akan kutekan tombol itu." Bob mengajukan diri. Aneka perasaan campur aduk dalam diri Percy —duka, kepedihan, rasa terima kasih, dan rasa bersalah yang mengental menjadi satu campuran semen emosi. "Bob, kami tidak boleh memintamu berbuat begitu. Kau ingin melewati Pintu Ajal juga. Kau ingin melihat langit lagi, juga bintang-bintang, dan —" "Aku memang menginginkannya." Bob mengiakan. "Tapi, harus ada yang memencet tombol. Dan begitu rantai dipotong kerabatku akan berjuang untuk mencegah kalian melintas. Mereka takkan ingin Pintu itu menghilang." Percy menatap kawanan monster yang tidak ada habis-habisnya. Kalaupun dia membiarkan Bob berkorban, mana mungkin seorang Titan sanggup mempertahankan diri melawan sekian banyak monster selama dua belas menit, sekaligus terus memencet tombol? Semen emosi membeku dalam diri Percy. Percy sudah curiga dari awal bahwa ujung-ujungnya akan seperti ini. Dia harus bertahan di sini. Sementara Bob menghalau bala tentara musuh, Percy akan memencet tombol lift dan memastikan agar Annabeth kembali ke tempat aman. Entah bagaimana, Percy harus meyakinkan Annabeth agar pergi tanpa dirinya. Asalkan Annabeth selamat dan Pintu Ajal menghilang, Percy rela mati karena dia tahu sudah melakukan tindakan tepat. "Percy Annabeth menatap Percy, suaranya bernada curiga. Annabeth terlalu pintar. Jika Percy memandang matanya, dia pasti akan tahu persis apa yang Percy pikirkan. "Kira tangani dulu persoalan yang me ndesak," kata Percy. "Mari kita potong rantai itu.”[]