BAB LIMA PULUH LEO

BAB LIMA PULUH LEO

"DEMI HEPHAESTUS," SERU LEO. Jalur setapak itu membuka ke taman terindah yang pernal dilihat Leo. Tidak berarti dia pernah menghabiskan banyak waktu di taman-taman, tapi wow. Di sisi kiri terdapat kebun anggur da buah-buahan —pohon-pohon persik dengan buah-buah merah-keemasan yang begitu harum di tengah hangatnya mentari, dengan sulur-sulur terpangkas rapi yang menyeruak anggur-anggur, punjung dengan melati bermekaran, dan sekumpulan tanaman lain yang tak dikenali Leo. Di sisi kanan terdapat petak-petak cantik sayur-mayur dan, tanaman obat, tertata seperti jeruji di sekeliling air mancur besar berkilauan tempat satir-satir perunggu memuntahkan air ke dalam, mangkuk di tengah. Di belakang taman, tempat jalur setapak berakhir, tampak gua. membuka di sisi bukit berumput. Dibandingkan dengan Bunker Sembilan di perkemahan, jalan masuk gua ini kecil tetapi begitu mengesankan. Di masing-masing sisinya, tampak batu kristal dipahat menjadi pilar-pilar khas Yunani. Bagian atasnya dipasang tiang perunggu yang menyangga tirai- tirai sutra putih. Penciuman Leo digempur oleh bau wewangian —pohon cedar, j titan saru, melati, persik, dan tanaman herba segar. Aroma yang menyeruak dari gua menarik perhatiannya —seperti semur daging tengah dimasak. Leo mulai melangkah menuju jalan masuk. Bagaimana mungkin dia tidak melakukannya? Langkahnya terhenti saat didapatinya sosok sang gadis. Gadis itu sedang bersimpuh di kebun sayurnya, punggungnya menghadap Leo. Dia menggumam sendiri sambil menggali dengan gusar menggunakan sekopnya. Leo mendekatinya dari arah samping agar gadis itu bisa melihatnya. Leo tidak ingin mengagetkannya di saat gadis itu bersenjatakan perkakas berkebun yang tajam. Gadis itu terus- menerus mengutuk dalam bahasa Yunani kuno seraya menikami tanah. Bercak tanah mengotori sekujur lengan, wajah, dan gaun putihnya, tapi sepertinya dia tak peduli. Leo menyukai itu. Gadis terlihat lebih baik dengan sedikit lumpur —lebih tidak menyerupai seorang ratu kecantikan dan lebih menyerupai sewajarnya orang yang tidak takut berkotor-koto r. "Kurasa kau sudah cukup menyiksa tanah itu," ujar Leo. Gadis itu memandangnya dengan marah, matanya merah dan basah. "Pergilah." "Kau menangis," ucap Leo, yang jelas pernyataan bodoh; tapi melihatnya seperti itu bisa dibilang seperti merebut angin "DEMI HEPHAESTUS," SERU LEO. Jalur setapak itu membuka ke taman terindah yang pernal dilihat Leo. Tidak berarti dia pernah menghabiskan banyak waktu di taman-taman, tapi wow. Di sisi kiri terdapat kebun anggur da buah-buahan —pohon-pohon persik dengan buah-buah merah-keemasan yang begitu harum di tengah hangatnya mentari, dengan sulur-sulur terpangkas rapi yang menyeruak anggur-anggur, punjung dengan melati bermekaran, dan sekumpulan tanaman lain yang tak dikenali Leo. Di sisi kanan terdapat petak-petak cantik sayur-mayur dan, tanaman obat, tertata seperti jeruji di sekeliling air mancur besar berkilauan tempat satir-satir perunggu memuntahkan air ke dalam, mangkuk di tengah. Di belakang taman, tempat jalur setapak berakhir, tampak gua. membuka di sisi bukit berumput. Dibandingkan dengan Bunker Sembilan di perkemahan, jalan masuk gua ini kecil tetapi begitu mengesankan. Di masing-masing sisinya, tampak batu kristal dipahat menjadi pilar-pilar khas Yunani. Bagian atasnya dipasang tiang perunggu yang menyangga tirai- tirai sutra putih. Penciuman Leo digempur oleh bau wewangian —pohon cedar, j titan saru, melati, persik, dan tanaman herba segar. Aroma yang menyeruak dari gua menarik perhatiannya —seperti semur daging tengah dimasak. Leo mulai melangkah menuju jalan masuk. Bagaimana mungkin dia tidak melakukannya? Langkahnya terhenti saat didapatinya sosok sang gadis. Gadis itu sedang bersimpuh di kebun sayurnya, punggungnya menghadap Leo. Dia menggumam sendiri sambil menggali dengan gusar menggunakan sekopnya. Leo mendekatinya dari arah samping agar gadis itu bisa melihatnya. Leo tidak ingin mengagetkannya di saat gadis itu bersenjatakan perkakas berkebun yang tajam. Gadis itu terus- menerus mengutuk dalam bahasa Yunani kuno seraya menikami tanah. Bercak tanah mengotori sekujur lengan, wajah, dan gaun putihnya, tapi sepertinya dia tak peduli. Leo menyukai itu. Gadis terlihat lebih baik dengan sedikit lumpur —lebih tidak menyerupai seorang ratu kecantikan dan lebih menyerupai sewajarnya orang yang tidak takut berkotor-koto r. "Kurasa kau sudah cukup menyiksa tanah itu," ujar Leo. Gadis itu memandangnya dengan marah, matanya merah dan basah. "Pergilah." "Kau menangis," ucap Leo, yang jelas pernyataan bodoh; tapi melihatnya seperti itu bisa dibilang seperti merebut angin

"Jadi, tak ada rakit ajaib," kata Leo. "Tak ada cara lain kelt dari pulau?" "Tampaknya tidak!" "Jadi, apa yang mesti kulakukan? Duduk di gundukan pa sampai aku mati?" "Itu juga boleh ...." Gadis itu melempar sekopnya ke tan dan mengutuk ke langit. "Sayangnya, kurasa dia tidak akan b mati di sini, bukan? Zeus! Ini tidak lucu!" Tidak akan bisa mati di sini? "Tunggu dulu." Kepala Leo berputar seperti engkol mesin. Dia tidak bisa menerjemahkan sepenuhnya apa yang dikatakan gadis ini —seperti saat dia mendengar orang asli Spanyol atau Amerika Latin bicara bahasa Spanyol. Yeah, dia bisa memahaminya, sedikit; tapi is terdengar sangat berbeda hingga nyaris terdengar seperti bahasa yang lain. "Aku perlu informasi lebih banyak lagi," ujar Leo. "Kau tidak ingin melihatku, tak masalah. Aku juga tidak ingin berada di sini. Tapi aku tidak akan mati di pojokan. Aku harus pergi dari pulau ini. Pasti ada sebuah jalan. Setiap masalah ada jawabannya." Gadis itu tertawa getir. "Kau belum hidup cukup lama, kalau kau masih memercayai itu." Cara dia mengatakannya membuat tubuhnya bergidik. Gad is itu tampak sebaya dengannya, tapi Leo bertanya-tanya berapa usianya sebenarnya. "Kau tadi mengatakan sesuatu tentang kutukan," ucap Leo. Gadis itu meregangkan jemarinya seakan sedang teknik mencekik tenggorokannya. "Ya. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Ogygia. Ayahku, Atlas, bertarung melawan para dewa, dan aku mendukungnya." "Atlas," ucap Leo. "Maksudmu Atlas sang Titan?" Gadis itu memutar bola matanya. "Ya, dasar kau ...." Apa pun yang hendak dikatakannya, dia membatalkannya. "Aku ditahan di sini, agar aku tidak bisa mengusik dewa-dewi Olympia lagi. Sekitar setahun yang lalu, setelah Peperangan Bangsa Titan Kedua, para dewa-dewi bersumpah untuk mengampuni dan menawarkan amnesti kepada musuh-musuhnya. Sepertinya, Percy membuat mereka berjanji —" "Percy," sahut Leo. "Percy Jackson?" Dia memejamkan matanya rapat. Air mata menetes menuruni pipinya. Oh, batin Leo. "Percy datang ke sini." Leo berucap. Gadis itu membenamkan jernarinya ke dalam tanah. "Aku —aku kira aku akan dilepaskan. Aku telah berani berharap tapi aku masih tetap di sini." Leo ingat sekarang. Kisah itu semestinya sebuah rahasia, tetapi tentu saja itu berarti menyebar seperti kebakaran yang melahap seisi perkemahan. Percy telah memberi tahu Annabeth. Berbulan-hulan kemudian, saat Percy menghilang, Annabeth memberi tahu Piper. Piper memberi tahu Jason .... Percy pernah bercerita tentang mengunjungi tempat ini. Dia bertemu dengan seorang dewi yang akhirnya naksir berat kepadanya dan menginginkan agar Percy menetap, tapi pada akhirnya gadis itu melepasnya pergi. "Kaulah gadis itu," ujar Leo. "Gadis yang dinamai dari musik Karibia." Matanya berkilat penuh kekejaman. "Musik Karibia." "Yeah. Reggae?" Leo menggeleng. "Merengue? Tunggu, bukan itu.

Leo menjentikkan jemarinya. "Calypso! Tapi Percy bilang kau begitu mengagumkan. Dia bilang kau begitu manis dan baik hati, bukan, em Dia bangkit berdiri. "Ya?" "Eh, bukan apa-apa," kata Leo. "Apa kau akan bersikap manis," tuntutnya, "kalau para dewa melupakan janji mereka untuk melepaskanmu? Apa kau aka bersikap manis kalau mereka mengejekmu dengan mengirimka seorang pahlawan baru, tapi pahlawan yang tampak seperti –seperti kau?" "Apa itu pertanyaan jebakan?" "Di Immortales!" Dia berpaling dan bergegas pergi menuj guanya. "Hei”Leo mengejarnya. Saat tiba di dalam, alur pikirannya terputus. Dinding-dindin gua itu terbuat dari bongkahan bate kristal aneka warna. putih Leo menjentikkan jemarinya. "Calypso! Tapi Percy bilang kau begitu mengagumkan. Dia bilang kau begitu manis dan baik hati, bukan, em Dia bangkit berdiri. "Ya?" "Eh, bukan apa-apa," kata Leo. "Apa kau akan bersikap manis," tuntutnya, "kalau para dewa melupakan janji mereka untuk melepaskanmu? Apa kau aka bersikap manis kalau mereka mengejekmu dengan mengirimka seorang pahlawan baru, tapi pahlawan yang tampak seperti –seperti kau?" "Apa itu pertanyaan jebakan?" "Di Immortales!" Dia berpaling dan bergegas pergi menuj guanya. "Hei”Leo mengejarnya. Saat tiba di dalam, alur pikirannya terputus. Dinding-dindin gua itu terbuat dari bongkahan bate kristal aneka warna. putih

Leo berdeham. Kalau ingin mendapatkan bantuan dari gadis Ini, dia harus menjaga sikapnya. "Jadi aku mengerti alasan kau marah. Kau mungkin tidak ingin lagi bertemu dengan demigod. Kurasa kejadiannya tidak berjalan sebagaimana seharusnya saat, Percy meninggalkanmu —" "Dia hanya yang pergi terakhir," geramnya. "Sebelumnya, ada sang bajak laut Drake. Dan sebelumnya, Odysseus. Mereka semua ma saja! Para dewa mengirimiku pahlawan-pahlawan terbaik, orang-orang yang tak kuasa membuatku ...." "Kau jatuh hati pada mereka." Leo menebak. "Tapi kemudian mereka meninggalkanmu." Dagunya bergetar. "Itulah kutukanku. Aku telah berharap akan terbebas dari kutukan itu saat ini, tapi sekarang di sinilah ku, masih tertahan di Ogygia setelah tiga ribu tahun." "Tiga ribu." Mulut Leo terasa geli, seperti baru saja melahap permen Pop Rocks. "Eh, kau terlihat cantik untuk ukuran tiga ribu tahun." "Dan sekarang penghinaan terburuknya. Para dewa mengejekku dengan mengirimkan dirimu." Amarah membuncah di perut Leo. Yeah, biasa. Kalau Jason berada di sini, Calypso sudah akan mabuk kepayang padanya. Dia akan memohon padanya untuk menetap, tapi Jason akan bersikap mulia dengan memaksa kembali kepada kewajibannya, dan dia akan meninggalkan Calypso dengan hati yang remuk. Rakit ajaib itu jelas akan muncul untuk dirinya. Tapi Leo? Dia adalah tamu menjengkelkan yang tidak bisa dienyahkannya. Gadis itu tidak akan pernah jatuh hati kepadanya karena dia jelas terlalu tinggi baginya. Bukan berarti Leo peduli. gadis itu bukanlah tipenya. Dia terlalu menjengkelkan, terlalu cantik, dan —yah, itu tidaklah penting.

"Baiklah," ujar Leo. "Aku akan meninggalkanmu sendiri. Aku akan membuat sesuatu sendiri dan keluar dari pulau bodoh tanpa bantuanmu." Dia menggelengkan kepala sedih. "Kau tidak mengerti, yah? Para dewa menertawakan kita berdua. Kalau rakit itu tak muncul, itu berarti mereka telah menutup Ogygia.

Kau tertahan di sini sama sepertiku. Kau takkan pernah bisa pergi.”[]