BAB ENAM PULUH ENAM FRANK

BAB ENAM PULUH ENAM FRANK

MESKIPUN HAWA TENGAH HARI PANAS terik dangelombang energi maut tengah menggila, sekelompok wisatawan mendaki reruntuhan dengan santainya. Untung jumlah mereka tidak banyak. Selain itu, mereka juga tidak menghiraukan para demigod. Selepas kunjungan ke Roma nan ramai, Frank tidak lagi khawatir kalau-kalau diperhatikan orang. Kalau mereka bisa menembakkan pelontar misil selagi terbang

ke tengah-tengah Koloseum Romawi tanpa menyebabkan kemacetan lalu lintas, Frank menduga mereka bisa melakukan apa saja tanpa mem rik perhatian. Nico berjalan paling depan. Di puncak bukit, mereka memanjati tembok pertahanan tua dan turun ke lokasi ekskavasi. Akhirnya, tibalah mereka di ambang pintu batu yang mengai ah ke dalam lereng. Gelombang maut sepertinya berasal tepat dari atas kepala mereka. Saat mendongak untuk melihat sulur-sulur kegelapan yang berputar-putar, Frank merasa seperti terperangli ap di dasar jamban yang sedang digelontor air. Khayalan ini tidak menenangkannya sama sekali. Nico membalikkan badan untuk menghadapi rombongan. "Dari sini, perjalanan akan semakin berat." "Asyik," kata Leo. "Soalnya, aku sudah menahan diri sejak tadi." Nico memelototinya. "Kita lihat saja berapa lama lagi kau bisa mempertahankan selera humormu. Ingat, di sinilah para peziarah berkomunikasi dengan arwah leluhur. Di bawah tanah, kalian mungkin akan menyaksikan hal-hal yang seram atau mendengar suara-suara yang mencoba menyesatkan kalian dalam terowongan. Frank, apa kau membawa kue jelai?" "Apa?" Frank sedang memikirkan nenek dan ibunya, bertanya-tanya apakah mereka bakal muncul di hadapannya. Untuk pertama kalinya setelah berhari-hari, suara Ares dan Mars mulai berdebat lagi dalam benak Frank, mempertengkarkan bentuk kematian mengenaskan mana yang paling mereka sukai. "Aku membawa kue itu," kata Hazel. Dia mengeluarkan biskuit jelai yang mereka buat dari padi-padian pemberian Triptolemus di Venezia. "Makanlah." Nico menganjurkan. Frank mengunyah biskuit maut jatahnya dan menahan perasaan ingin muntah. Kue itu seperti terbuat dari serbuk gergaji alih-alih gula. "Lezatnya," kata Piper. Bahkan putri Aphrodite mau tidak mau meringis jijik juga. "Oke." Nico memaksakan diri untuk menelan potongan terakhir kue jelai. "Sekarang kita semestinya terlindung dari racun." "Racun?" tanya Leo. "Apa aku tidak kebagian racun? Soalnya racun itu kegemaranku." "Sebentar lagi," janji Nico. "Pokoknya jangan jauh-jauh, supaya tidak tersasar atau jadi gila."

Setelah mengucapkan kata-kata menggernbirakan itu, Nico membimbing mereka ke bawah tanah. Terowongan yang meliuk melandai ke bawah, langit-langit ditopang oleh pelengkung batu putih yang mengingatkan Frank akan sangkar iga pans. Selagi mereka berjalan, Hazel menelusurkan tangan ke konstruksi batu. "Ini bukan bagian dari kuil," bisiknya. "Ini dulunya lantai bawah tanah sebuah griya yang dibangun pada zaman Yunani akhir ...." Hazel bisa tahu banyak tentang lokasi bawah tanah hanya dengan menginjakkan kaki di sana. Kemampuan Hazel itu membuat Frank merinding. Setahunya, Hazel tidak pernah keliru. "Griya?" tanya Frank. "Tolong jangan bilang kita berada di tempat yang salah." "Gerha Hades terletak tepat di bawah kita." Nico meyakin-kannya. "Tapi Hazel benar, lantai-lantai sebelah atas memang lebih baru. Ketika para arkeolog pertama kali mengekskavasi tempat ini, mereka mengira sudah menemukan Necromanteion. Kemudian mereka menyadari bahwa reruntuhan ini relatif baru, maka mereka menyimpulkan bahwa dugaan mereka keliru. Mereka sudah benar. Mereka semata- mata kurang dalam menggali." Mereka mengitari pojokan, lalu berhenti. Terowongan itu buntu di depan mereka, dihalangi oleh balok batu besar. "Gua runtuh?" tanya Jason. "Ujian," jawab Nico. "Hazel, tolong." Hazel melangkah ke depan. Dia menempelkan tangan ke batu dan batu besar tersebut serta- merta remuk menjadi debu. Terowongan bergetar. Retakan menyebar di sepanjang langit-langit. Selama satu saat mencekam, Frank membayangkan mereka semua bakal remuk di bawah berton-ton tanah — cara yang [ 516 ]

FN mengecewakan untuk mati, sebelah sekian banyak cobaan yang mereka lalui. Lalu gemuruh itu terhenti. Kepulan debu menipis. Tangga spiral menghunjam bumi, sedangkan kubah langit-langit ditahan oleh deretan pelengkung yang berdekatan dan terbuat dari ukiran batu hitam mengilap. Jajaran pelengkung yang melandai ke bawah membuat Frank pusing, seperti sedang melihat cermin hitam yang memantulkan bayangan tak berkesudahan. Di dinding terdapat gambar sederhana ternak sapi hitam yang berbaris ke bawah. "Aku tidak suka sapi-sapi itu," gumam Piper. "Setuju," ujar Frank. "Mereka sapi Hades," kata Nico. "Cuma simbol dari —"Lihat." Frank menunjuk. Di anak tangga pertama, terdapat sebuah cawan keemasan yang mengilap. Frank lumayan yakin bahwa cawan itu tidak berada di sana sesaat sebelumnya. Cawan tersebut berisi cairan hijau tua. "Hone," kata Leo setengah had. "Kutebak itu racun kita." Nico mengambil cawan itu. "Kita sedang berdiri di jalan masuk kuno Necromanteion. Odysseus pernah ke sini, begitu pula lusinan pahlawan lain, untuk meminta saran dari orang mati." "Apa orang mati menyarankan mereka agar meninggalkan tempat ini secepatnya?" tanya Leo. "Aku setuju saja kalau disarankan begitu," aku Piper. Nico minum dari cawan, lalu menyodorkan wadah tersebut kepada Jason. "Kau menyuruhku percaya kepada orang lain dan mengambil risiko? Nah, ini dia, Putra Jupiter. Seberapa besar kau memercayaiku?" Frank tidak memahami maksud Nico, tetapi Jason tidak ragu-ragu. Dia mengambil cawan dan meminum isinya. Mereka mengoperkan cawan itu, masing-masing meminum sesesap racun. Sambil menanti giliran, Frank berusaha supaya

tungkainya tidak gemetaran dan perutnya tidak mulas. Dia bertanya-tanya apa kata neneknya jika bisa melihat dia. Dasar Fai Zhang bodoh! Mungkin neneknya akan mengomel demikian. Kalau semzia kawanmu meminum racun, akankah kau rnelakukannya juga? Frank adalah yang terakhir. Menurutnya, rasa cairan itu mirip jus apel basi. Frank menghabiskan isi cawan. Wadah tersebut berubah menjadi asap di tangannya. Nico mengangguk, rupanya puas. "Selamat. Dengan asumsi bahwa racun itu tidak menewaskan kita, kita semestinya akan bisa menemukan jalan di tingkat pertama Necromanteion." "Cuma tingkat pertarna?" tanya Piper. Nico menoleh kepada. Hazel dan menunjuk ke tangga. "Silakan duluan, Kak." Tidak lama berselang, Frank sudah merasa tersesat. Tangga bercabang ke tiga arch berlainan. Begitu Hazel memilih salah satu, tangga tersebut bercabang lagi. Mereka. berliku-liku menyusuri terowongan yang sambung-menyambung dan ruang kuburan berdinding kasar yang kelihatan sama semua —ukiran relung di Binding dulunya barangkali menyimpan mayat. Pelengkung pintu bercatkan gambar sapi hitam, pohon poplar putih, dan burung hantu. "Kukira burung hantu adalah simbol Minerva," gurnam Jason. "Burung hantu celepuk adalah salah satu hewan keramat Hades," kata Nico. "Jeritannya merupakan pertanda buruk." "Ke sini." Hazel menunjuk ke ambang pintu yang kelihatannya sama seperti yang lain. "Itulah satu-satunya jalan yang takkan runtuh menimpa kita." "Pilihan bagus, kalau begitu," komentar Leo. Frank mulai merasa dirinya tengah meninggalkan duriia orang hidup. Badannya kesemutan, dia pun bertanya-tanya apakah ini adalah efek samping racun. Kantong serut berisi kayu bakar yang tersandang di sabuknya seolah bertambah berat. Di ba.wah pendar angker senjata magis mereka, teman-temannya menyerupai hantu kelap-kelip. Udara dingin membelai wajah Frank. Dalam benaknya, Ares dan Mars diarn seribu. bahasa, tetapi Frank merasa mendengar suara-suara lain yang berbisik di koridor-koridor samping, memanggilnya agar menyirnpang dari jalur, agar mendekat da.n mendengarkan mereka bicara.

Akhirnya mereka tiba di pelengkung berbentuk tumpukan tengkorak m.anusia —atau komponen penyusunnya barangkali mernang tengkorak manusia asli yang dijejalkan ke batu. Di bawah cahaya ungu tongkat Diocletian, rongga-rongga mata kosong seolah berkedip. Frank hampir membentur langit-langit ketika Hazel memegangi lengannya. "Ini jalan masuk ke tingkat kedua," kata gadis itu. "Sebaiknya kulihat dulu." Frank bahkan tidak sadar bahwa dia sudah bergerak ke depan ambang pintu. "Eh, oke ...." Dia memberi Hazel jalan. Hazel menelusurkan jemarinya ke deretan tengkorak. "Tidak ada jebakan di ambang pintu, tapi ada yang janggal di sini. Indra bawah tanahku----samar, seperti ada yang menangkalnya, menyembunyikan situasi di depan kita." "Penyihir yang kata Hecate harus kau waspada.i?" terka Jason. "Yang Leo lihat dalam tnimpi? Siapa namanya?"

Hazel menggigit bibir. "Lebih arnan kalau kita tidak menycl )1 ii namanya. Tapi, tetaplah awas. Satu hal yang kutahu pasti: Dari SIIII hingga seterusnya, orang mati lebih kuat daripada orang hidup." Frank tidak tahu bagaimana ceritanya sampai Hazel menge tahui itu, tetapi dia percaya kepada gadis tersebut. Suara-suara dalam kegelapan seolah berbisik semakin keras. Frank menangkap sekilas gerakan di keremangan. Melihat teman-temannya jelalat an, Frank menduga bahwa mereka melihat macam- macam juga. "Mana monster-monster itu?" Dia membatin keras-keras. "Kukira Gaea menempatkan pasukan untuk menjaga Pintu Ajal." "Tidak tahu," tukas Jason. Kulitnya yang pucat hampir sehijau racun dalam cawan. "Pada tahap ini, aku hampir-hampir lebih suka kalau kita harus bertarung langsung." "Hari-hati kalau mengucap permohonan, Bung." Leo memunculkan bola api di tangannya dan, sekali ini, Frank bersyukur melihat kobaran api. "Aku pribadi berharap tidak ada siapa-siapa di rumah. Kita langsung masuk saja, cari Percy dan Annabeth, hancurkan Pintu Ajal, kemudian keluar. Mungkin mampir sebentar di toko cendera mata." "Hah," kata Frank, "mimpi saja." Terowongan berguncang. Kerikil menghujani mereka dari langit-langit. Hazel menyambar tangan Frank. "Nyaris saja," gumam gadis itu. "Koridor-koridor tidak tahan lagi menanggung beban." "Pintu Ajal baru terbuka lagi," kata Nico. "Pintu itu terbuka tiap lima belas menit, ya?!" komentar Piper. "Dua belas." Nico mengoreksi, walaupun dia tidak menjelaskan dari mana dia tahu. "Kita sebaiknya bergegas. Percy dan Annabeth sudah dekat. Mereka dalam bahaya. Aku bisa merasakannya." Semakin dalam mereka melangkah, semakin lebarlah koridor. Langit-langit menjulang setinggi enam meter, dihiasi lukisan elok burung hantu di dahan pohon poplar putih. Ruang yang Iii semestinya membuat Frank merasa membaik, tetapi hanya uasi taktis yang terpikir olehnya. Terowongan itu cukup besar 'auk memuat monster-monster besar, bahkan juga raksasa. Di ti lana-mana terdapat pojok tersembunyi, sempurna untuk lokasi pcnyergapan. Kelompok mereka bisa dengan mudah dijepit atau dikepung. Mereka tidak punya alternatif bagus untuk mundur. Seluruh insting Frank menyuruhnya keluar dari terowongan tersebut. Kalaupun tidak tampak satu monster pun, mungkin saja mereka semata-mata sedang bersembunyi, menunggu saatnya menjebak para demigod. Kendati Frank mengetahui hal itu, tiada yang bisa dia lakukan. Mereka harus menemukan Pintu Ajal. Leo mengulurkan api ke dekat dinding. Frank melihat grafiti Yunani Kuno tertoreh di batu. Dia tidak bisa membaca bahasa Yunani Kuno, tetapi dia menebak bahwa tulisan tersebut adalah doa atau permintaan kepada arwah orang mati, diguratkan oleh peziarah beribu-ribu tahun silam. Pecahan keramik dan koin perak berserakan di lantai terowongan. "Sesaji?" terka Piper. "Ya," jawab Nico. "Jika kau ingin leluhurmu muncul, kau harus memberi sesaji." "Tidak usah beri sesaji." Jason menyarankan. Tidak ada yang membantah. "Terowongan mulai tidak stabil dari sini." Hazel mewanti-wanti. "Lantainya mungkin bakal pokoknya, ikuti saja aku. Injakkan kaki Hazel menggigit bibir. "Lebih arnan kalau kita tidak menycl )1 ii namanya. Tapi, tetaplah awas. Satu hal yang kutahu pasti: Dari SIIII hingga seterusnya, orang mati lebih kuat daripada orang hidup." Frank tidak tahu bagaimana ceritanya sampai Hazel menge tahui itu, tetapi dia percaya kepada gadis tersebut. Suara-suara dalam kegelapan seolah berbisik semakin keras. Frank menangkap sekilas gerakan di keremangan. Melihat teman-temannya jelalat an, Frank menduga bahwa mereka melihat macam- macam juga. "Mana monster-monster itu?" Dia membatin keras-keras. "Kukira Gaea menempatkan pasukan untuk menjaga Pintu Ajal." "Tidak tahu," tukas Jason. Kulitnya yang pucat hampir sehijau racun dalam cawan. "Pada tahap ini, aku hampir-hampir lebih suka kalau kita harus bertarung langsung." "Hari-hati kalau mengucap permohonan, Bung." Leo memunculkan bola api di tangannya dan, sekali ini, Frank bersyukur melihat kobaran api. "Aku pribadi berharap tidak ada siapa-siapa di rumah. Kita langsung masuk saja, cari Percy dan Annabeth, hancurkan Pintu Ajal, kemudian keluar. Mungkin mampir sebentar di toko cendera mata." "Hah," kata Frank, "mimpi saja." Terowongan berguncang. Kerikil menghujani mereka dari langit-langit. Hazel menyambar tangan Frank. "Nyaris saja," gumam gadis itu. "Koridor-koridor tidak tahan lagi menanggung beban." "Pintu Ajal baru terbuka lagi," kata Nico. "Pintu itu terbuka tiap lima belas menit, ya?!" komentar Piper. "Dua belas." Nico mengoreksi, walaupun dia tidak menjelaskan dari mana dia tahu. "Kita sebaiknya bergegas. Percy dan Annabeth sudah dekat. Mereka dalam bahaya. Aku bisa merasakannya." Semakin dalam mereka melangkah, semakin lebarlah koridor. Langit-langit menjulang setinggi enam meter, dihiasi lukisan elok burung hantu di dahan pohon poplar putih. Ruang yang Iii semestinya membuat Frank merasa membaik, tetapi hanya uasi taktis yang terpikir olehnya. Terowongan itu cukup besar 'auk memuat monster-monster besar, bahkan juga raksasa. Di ti lana-mana terdapat pojok tersembunyi, sempurna untuk lokasi pcnyergapan. Kelompok mereka bisa dengan mudah dijepit atau dikepung. Mereka tidak punya alternatif bagus untuk mundur. Seluruh insting Frank menyuruhnya keluar dari terowongan tersebut. Kalaupun tidak tampak satu monster pun, mungkin saja mereka semata-mata sedang bersembunyi, menunggu saatnya menjebak para demigod. Kendati Frank mengetahui hal itu, tiada yang bisa dia lakukan. Mereka harus menemukan Pintu Ajal. Leo mengulurkan api ke dekat dinding. Frank melihat grafiti Yunani Kuno tertoreh di batu. Dia tidak bisa membaca bahasa Yunani Kuno, tetapi dia menebak bahwa tulisan tersebut adalah doa atau permintaan kepada arwah orang mati, diguratkan oleh peziarah beribu-ribu tahun silam. Pecahan keramik dan koin perak berserakan di lantai terowongan. "Sesaji?" terka Piper. "Ya," jawab Nico. "Jika kau ingin leluhurmu muncul, kau harus memberi sesaji." "Tidak usah beri sesaji." Jason menyarankan. Tidak ada yang membantah. "Terowongan mulai tidak stabil dari sini." Hazel mewanti-wanti. "Lantainya mungkin bakal pokoknya, ikuti saja aku. Injakkan kaki

Fai Zhang Frank sontak berhenti. Suara itu bukanlah suara Ares atau Mars. Suara itu seolah berasal tepat dari sampingnya, seperti ada, yang berbisik ke kupingnya. "Frank?" Jason berbisik di belakangnya. "Hazel, tunggu se-bentar. Frank, ada apa?" "Tidak ada apa-apa," gumam Frank. "Aku cuma —Pylos, kata suara itu. Kutunggu kau di Pyles. Frank merasa seakan-akan racun tengah menggelegak di kerongkongannya. Dia sudah berkali-kali merasa takut sebelumnya. Dia bahkan pernah menghadapi dewa kematian. Tetapi, suara ini menakutinya dengan cara lain. Suara tersebut beresonansi dalam tulang-tulangnya, seakan tahu segalanya tentang diri Frank —kutukannya, riwayatnya, masa depannya. Nenek Frank selalu menekankan pentingnya menghormati leluhur. Itu adalah tradisi China. Kita harus berbaik-baik kepada orang mati. Kita harus menyikapi mereka secara serius. Frank selalu beranggapan bahwa takhayul kepercayaan neneknya konyol. Sekarang dia berubah pikiran. Dia tidak ragu lagi suara yang barusan berbicara kepadanya adalah suara salah satu leluhurnya. "Frank, jangan bergerak." Hazel kedengarannya waswas. Frank menoleh ke bawah dan menyadari dia hendak keluar barusan. Supaya selamat, kau harus memimpin, kata suara itu. Di ambang jurang, kau harus mengemban tanggung jawab. "Memimpin ke mana?" tanyanya keras-keras. Kemudian, hilanglah suara itu. Frank bisa merasakan kepergiannya, seolah-olah kelembapan udara baru saja merosot. "Eh, Bung?" kata Leo. "Kumohon, jangan bicara sendiri, bisa tidak? Terima kasih." Semua teman Frank memandanginya dengan khawatir. "Aku baik-baik saja," timpal Frank. "Cuma ada suara." Nico mengangguk. "Aku sudah memperingatkanmu. Dari sini, suasananya akan bertambah buruk. Kita sebaiknya —" Hazel mengangkat tangan untuk memberi mereka aba-aba supaya diam. "Tunggu di sini, Teman-Teman." Frank tidak suka mendengar itu, tetapi Hazel menerjang ke depan sendirian. Hazel baru kembali ketika Frank sudah rnenghitung sa.mpai 23, wajah gadis itu lesu dan serius. "Ruangan menyeramkan di depan sana." Dia memperingatkan. "Jangan panik." "Seram dan jangan panik, keduanya tidak cocok." Leo bergumam. Tetapi, mereka tetap saja mengikuti Hazel ke dalam gua. Tempat tersebut menyerupai katedral bundar yang berlangit-langit sedemikian tinggi sehingga tidak terlihat di keremangan. Lusinan terowongan lain menjulur ke arah berlainan, masing-masing diramaikan gema suara hantu. Yang paling membuat Frank gugup adalah lantainya. Lantai tersebut disusun oleh mozaik tulang dan batu berharga —tulang paha, panggul, dan iga manusia yang berpuntir dan berpaut sehingga membentuk permukaan mulus, diseling-seling oleh berlian dan rubi. Tulang-tulang tersebut membentuk pola, seperti kerangka lentur yang bergelung dan meliuk untuk melindungi bebatuan berharga —tarian maut dan kekayaan. "Jangan sentuh apa-apa," kata Hazel. "Aku tidak berencana pegang-pegang," gerutu Leo. Jason menelaah lusinan jalan keluar. "Sekarang ke mana?" Sekali ini, Nico tampak tidak yakin. "Ini semestinya ruangan tempat pendeta memanggil roh-roh terkuat. Salah satu koridor

mengarah ke kuil lebih ke dalam, ke tingkat ketiga dan altar Hades sendiri. Tapi, sebelah —" "Yang itu." Frank menunjuk. Di ambang pintu di seberang ruangan, seorang legiunari Romawi melambai kepada mereka. Wajahnya samar dan tidak jelas, tetapi Frank mendapat firasat bahwa hantu itu sedang menatap tepat ke arahnya. Hazel mengerutkan kening. "Kenapa yang itu?" "Kau tidak melihat hantu

itu?" tanya Frank. "Hantu?" tanya Nico. Oke kalau Frank melihat hantu yang tidak bisa dilihat anak-anak Dunia Bawah, jelas bahwa ada yang tidak beres. Frank merasa seolah lantai bergetar di bawahnya. Kemudian dia menyadari bahwa lantai memang bergetar. "Kita harus ke jalan keluar yang itu," kata Frank. "Sekarang!" Hazel hampir saja harus menjegal Frank untuk menahannya. "Tunggu, Frank! Lantai ini tidak stabil, sedangkan di bawah-nya sejujurnya, aku tidak tahu apa yang ada di bawah. Aku harus memastikan dulu bahwa jalan itu aman." "Bergegaslah, kalau begitu," desak Frank. Frank mencabut busurnya dan menggiring Hazel secepat yang berani dia lakukan. Leo tergopoh-gopoh di belakangnya untuk memberi penerangan. Yang lain berjaga di buntut. Frank tahu dia menakuti teman-temannya, tetapi mau bagaimana lagi? Firasatnya mengatakan bahwa tinggal beberapa detik lagi sebelum Di hadapan mereka, hantu legiunari terbuyarkan. Raungan dahsyat —lusinan, mungkin bahkan ratusan musuh yang keluar dari segala arah —membahana di dalam gua. Frank mengenali raungan serak Anak Bumi, kaok gryphon, pekik perang Cyclops yang menggerung —semua suara yang dia ingat dari Pertempuran Roma Baru, diperkeras oleh rongga bawah tanah, bergema dalam kepalanya lebih nyaring daripada suara-suara dewa perang. "Hazel, jangan berhenti!" perintah Nico. Dia mencabut tongkat Diocletian dari sabuknya. Piper dan Jason menghunus pedang masing-masing scat para monster tumpah ruah ke dalam gua. Baris depan yang terdiri dari Anak Bumi bertangan enam melontarkan batu-batu yang memecahkan lantai tulang-batu berharga seperti es. Retakan menyebar di tengah ruangan, merambat tepat ke arah Leo dan Hazel. Tidak ada waktu untuk berhati-hati, Frank menjegal kawan-kawannya dan tergelincirlah mereka bertiga ke seberang gua, berhenti di tepi terowongan hantu sernentara batu serta tombak beterbangan di atas. "Lari!" teriak Frank. "Lari! Cepat!" Hazel dan Leo bergegas-gegas ke dalam terowongan, yang sepertinya adalah satu-satunya koridor bebas monster. Frank tidak yakin itu adalah pertanda bagus. Dua meter di dalam terowongan, Leo membalikkan badan, "Yang lain!" Seisi gua berguncang. Frank menengok ke belakang dan keberaniannya sontak remuk redam. Gua tersebut kini dipisahkan jurang selebar lima belas meter, hanya dihubungkan oleh dua titian sempit dari lantai tulang. Sebagian besar pasukan monster berada di seberang, meraung-raung frustrasi dan melemparkan apa saja yang bisa mereka temukan, termasuk satu sama lain. Beberapa berupaya menyeberangi titian yang berderit dan berderak di bawah bobot mereka. Jason, Piper, dan Nico berdiri sesisi dengan Frank dan yang lainnya, tetapi mereka dikepung oleh kerumunan Cyclops dan anjing neraka. Monster yang tumpah ruah dari koridor- koridor samping semakin banyak, sedangkan gryphon berputar-putar di atas, tidak gentar pada lantai yang runtuh.

Ketiga demigod itu takkan bisa mencapai terowongan. Kalau-pun Jason mencoba menerbangkan mereka, ketiganya semata-mata akan diempaskan musuh hingga jatuh dari udara. Frank teringat suara leluhurnya: Di ambangjurang, kau harus mengemban tanggungjawab. "Kita harus menolong mereka," ujar Hazel. Pikiran Frank berpacu, membuat kalkulasi strategis. Dia memperhitungkan apa yang kiranya bakal terjadi —di mana dan kapan Leman-temannya bakal kewalahan, nasib mereka yang niscaya berujung kematian di gua ini kecuali Frank mengubah situasi. "Nico!" teriaknya. "Tongkat itu." Nico mengangkat tongkat Diocletian dan serta-merta, udara dalam gua berdenyar ungu. Hantu-hantu merangkak keluar dari retakan dan merembes keluar dari dinding —legiun Romawi berpakaian tempur lengkap. Mereka mulai mewujud sebagai mayat hidup, tetapi mereka kelihatan bingung. Jason berteriak dalam bahasa Latin, memerintahkan mereka berbaris dan menyerang. Orang-orang mate tersebut Ketiga demigod itu takkan bisa mencapai terowongan. Kalau-pun Jason mencoba menerbangkan mereka, ketiganya semata-mata akan diempaskan musuh hingga jatuh dari udara. Frank teringat suara leluhurnya: Di ambangjurang, kau harus mengemban tanggungjawab. "Kita harus menolong mereka," ujar Hazel. Pikiran Frank berpacu, membuat kalkulasi strategis. Dia memperhitungkan apa yang kiranya bakal terjadi —di mana dan kapan Leman-temannya bakal kewalahan, nasib mereka yang niscaya berujung kematian di gua ini kecuali Frank mengubah situasi. "Nico!" teriaknya. "Tongkat itu." Nico mengangkat tongkat Diocletian dan serta-merta, udara dalam gua berdenyar ungu. Hantu-hantu merangkak keluar dari retakan dan merembes keluar dari dinding —legiun Romawi berpakaian tempur lengkap. Mereka mulai mewujud sebagai mayat hidup, tetapi mereka kelihatan bingung. Jason berteriak dalam bahasa Latin, memerintahkan mereka berbaris dan menyerang. Orang-orang mate tersebut