BAB DELAPAN BELAS FRANK

BAB DELAPAN BELAS FRANK

FRANK MUNGKIN MENYUKAI VENES1A JIKA saja saat itu bukan musim panas dan banyak wisatawan, dan jika kota itu tidak dibanjiri oleh makhluk-makhluk besar berbulu. Di antara deretan kanal dan rumah tua, trotoar terlalu sempit untuk kerumunan orang yang berdesak-desakan dan kerap berhenti untuk berfoto. Monster-monster itu memperburuk situasi. Mereka berjalan terseret-seret dengan kepala terjuntai, menabrak manusia, dan mengendus-endus trotoar. Salah satu makhluk itu tampaknya menemukan sesuatu yang is sukai di tepian sebuah kanal. Ia menggigit-gigit dan menjilat-jilat sebuah retakan di sela-sela batu hingga berhasil mencabut sejenis akar berwarna kehijauan. Monster itu menelannya dengan girang dan berjalan kembali dengan terseret-seret. "Yah, mereka pemakan tanaman," kata Frank. "Itu berita bagus." Hazel menyelipkan tangannya ke dalam tangan Frank. "Kecuali mereka menambahi menu dengan demigod. Semoga tidak."

Frank begitu senang menggandeng tangan Hazel, sampai-sampai kerumunan orang, hawa panas, dan

monster-monster itu tiba-tiba tidak terasa sangat mengganggu. Dia merasa dibutuhkan —berguna. Bukan berarti Hazel membutuhkan perlindungannya. Siapa saja yang pernah melihatnya menyerbu dengan pedang terhunus di atas Arion pasti tahu Hazel bisa menjaga diri sendiri. Tetap saja, Frank suka berada di dekat Hazel, membayangkan dia adalah pengawal Hazel. Jika ada monster yang berusaha menyakiti Hazel, Frank dengan senang hati akan berubah menjadi badak dan mendorong monster itu ke dalam kanal. Bisakah dia berubah menjadi badak? Frank belum pernah mencoba itu sebelumnya. Nico berhenti. "Di sana." Mereka telah membelok ke sebuah jalan yang lebih kecil, meninggalkan kanal. Di depan mereka ada sebuah alun-alun kecil yang tepiannya dihiasi bangunan-bangunan lima tingkat. Anehnya, area itu sangat kosong —seolah-olah manusia bisa merasakan tempat itu tidak aman. Di tengah-tengah lapangan beralas batu bulat itu, selusin makhluk sapi berbulu kusut tengah mengendus- endus dasar sebuah sumur batu tua yang berlumut. "Banyak sekali sapi di satu tempat," kata Frank. "Yeah, tapi lihat," kata Nico. "Selewat gerbang lengkung itu." Mata Nico pastilah lebih tajam daripada matanya. Frank menyipitkan mata. Di ujung jauh alun-alun itu, sebuah gerbang lengkung dari batu yang dihiasi ukiran singa mengarah ke sebuah jalan kecil. Persis setelah gerbang, salah satu rumahnya bercat hitam —satu-satunya bangunan hitam yang dilihat Frank sejauh ini di Venesia. "La Casa Nera," tebaknya. Genggaman Hazel pada jari-jemarinya mengerat. "Aku tidak suka alun-alun itu. Rasanya dingin." Frank tidak yakin apa maksud Hazel. Dia masih berpeluh gila-gilaan. Tetapi, Nico mengangguk. Dia mengamati jendela-jendela rumah bandar, yang sebagian besar ditutupi dengan daun jendela kayu. "Kau benar, Hazel. Lingkungan ini penuh dengan lemures." "Lemur, kukang?" tanya Frank dengan gugup. "Kuduga maksudmu bukan binatang kecil berbulu dari Madagaskar itu, ya?" "Arwah yang marah," sahut Nico. "Lemures berasal dari masa Romawi. Mereka berkeliaran di banyak kota Italia, tapi aku tidak pernah merasakan begitu banyak lemure di satu tempat. 1 bu mengatakan kepadaku ...." Dia ragu-ragu. "Dia dulu sering bercerita tentang hantu-hantu Venesia." Lagi-lagi Frank penasaran tentang masa lalu Nico, tetapi dia t akut bertanya. Dia menatap mata Hazel. Lakukanlah. Begitu sepertinya Hazel berkata. Nico perlu berlatih bicara dengan orang. Bunyi-bunyi senapan serbu dan born atom menjadi semakin nyaring di dalam kepala Frank. Mars dan Ares sedang mencoba herlomba menyanyi dengan lagu "Dixie" dan "The Battle Hymn of die Republic." Frank berusaha sebisa mungkin mengesampingkan hal itu. "Nico, ibumu Venesia?" Nico mengangguk segan. "Dia bertemu Hades di sini, dulu pada 1930-an. Saat Perang Dunia Kedua semakin dekat, dia lari ke Amerika Serikat bersamaku dan saudara perempuanku. Maksud- ku ... Bianca, saudara perempuanku yang lain. Tidak banyak yang kuingat tentang Italia, tapi aku masih bisa berbicara bahasa itu."

Frank berusaha memikirkan tanggapan yang akan dia berikan. Oh, itu bogus sepertinya tidak cocok. Dia bergaul bukan hanya dengan satu, melainkan dua demigod yang pernah tercerabut dari waktu. Secara teknis, mereka berdua sekitar tujuh puluh tahun lebih tua ketimbang dirinya. "Pasti sulit bagi ibumu," kata Frank. "Kurasa kita akan melakukan apa saja untuk orang yang kita cintai." Hazel meremas tangan Frank sebagai tanda penghargaan. Nico memandangi batu-batu bulat. "Yeah," sahutnya getir. "Kurasa begitu." Frank tidak yakin apa yang sedang dipikirkan oleh Nico. Sulit baginya membayangkan Nico di Angelo mengambil tindakan karena cinta untuk siapa pun kecuali mungkin untuk Hazel. Namun, Frank memutuskan bahwa dia sudah mencapai ambang batas keberaniannya dalam menanyakan hal pribadi. "Jadi, para lemures ...." Dia menelan ludah. "Bagaimana cara kita menghindari mereka?" "Aku sedang mengusahakannya," kata Nico. "Aku mengirim pesan agar mereka tetap menjaga jarak dan

mengabaikan kita. Semoga itu cukup. Kalau tidak bisa gawat." Hazel mengerutkan bibir. "Mari kita berangkat," usulnya. Separuh jalan menyeberangi tanah lapang itu, situasi menjadi kacau, tetapi tidak ada hubungannya dengan para hantu. Mereka tengah melewati sumur di tengah lapangan, berusaha menjaga jarak dengan para monster sapi, ketika Hazel tersandung sebongkah batu bulat yang longgar. Frank menangkap Hazel. Enam atau tujuh makhluk abu-abu berukuran besar menoleh ke arah mereka. Frank menatap sekilas pada mata hijau berkilat-kilat di bawah surai salah satu monster, dan seketika itu juga dia diserang gelombang rasa mual, seperti yang dia rasakan ketika menyantap terlalu banyak keju atau es krim. Makhluk-makhluk itu mengeluarkan bunyi bergetar yang dalam di tenggorokan mereka seperti bunyi peluit kabut yang iiiarah. "Sapi baik," gumam Frank. Dia memosisikan diri di antara teman-temannya dan para monster. "Kawan-Kawan, kurasa kita harus mundur dari sini perlahan-lahan." "Aku ceroboh sekali," bisik Hazel. "Maaf." "Bukan salahmu," kata Nico. "Lihat di dekat kakimu." Frank melirik ke bawah dan tersengal. Di bawah sepatu mereka, bebatuan jalanan bergerak —sulur-sulur tanaman berduri menjulur naik dari retakan. Nico melangkah mundur. Akar-akar itu meliuk-liuk ke arahnya, berusaha mengikuti. Sulur-sulurnya menjadi semakin tebal, mengeluarkan uap hijau panas yang berbau kubis rebus. "Akar- akar ini sepertinya suka demigod." Frank memperhatikan. Tangan Hazel bergerak menuju pangkal pedangnya. "Sementara si makhluk sapi suka akar itu." Seluruh kawanan monster kini menatap ke arah mereka, mengeluarkan raungan bak peluit kabut dan mengentakkan kuku-kuku kaki mereka. Frank cukup mengenal perilaku binatang untuk mengetahui artinya: Kahan berdiri di atas makanan kami. Itu menjadikan kalian musuh kami. Frank mencoba berpikir. Terlalu banyak monster yang harus dilawan. Ada sesuatu pada mata mereka yang tersembunyi di balik surai kusut itu .... Frank menjadi mual hanya dengan melirik sekilas. Dia punya firasat buruk bila monster-monster itu melakukan kontak mata langsung, dia mungkin mengalami lebih dari sekadar mual.

"Jangan tatap mata mereka." Frank memperingatkan. "Akan kualihkan perhatian mereka. Kalian berdua mundur pelan-pelan ke arah rumah hitam itu." Makhluk-makhluk itu menjadi tegang, siap menyerang. "Lupakan saja," kata Frank. "Lari!" Ternyata, Frank tidak bisa berubah menjadi badak, dan dia kehilangan waktu yang sangat berharga untuk mencoba melakukannya. Nico dan Hazel melesat menuju jalan kecil tadi. Frank melangkah ke hadapan para monster, berharap perhatian mereka tetap terarah kepadanya. Dia berteriak sekuat tenaga, membayangkan dirinya adalah seekor badak yang menakutkan, tetapi karena Ares dan Mars berteriak-teriak dalam kepalanya, dia tak bisa berkonsentrasi. Dia tetap Frank yang biasa. Dua monster sapi melepaskan diri dari kawanan mereka untuk mengejar Nico dan Hazel. "Tidak!" Frank berseru ke arah mereka. "Aku! Akulah sang badak!" Sisa kawanan monster mengitari Frank. Mereka menggeram, gas hijau zamrud mengepul dari lubang hidung mereka. Frank melangkah mundur untuk menghindari gas itu, tetapi bau busuknya nyaris membuatnya ambruk. Baiklah, jadi bukan badak. Sesuatu yang lain. Frank tahu dia hanya punya waktu beberapa detik sebelum para monster menginjak-injak atau membuatnya keracunan, tetapi dia tak bisa berpikir. Dia tak bisa mempertahankan gambaran hewan apa pun cukup lama untuk bisa berubah bentuk. Kemudian, dia melirik ke atas ke salah satu balkon rumah bandar dan melihat sebuah ukiran batu —simbol Venesia. Sekejap setelah itu, Frank adalah seekor singa dewasa. Dia meraung menantang, kemudian melompat dari tengah-tengah gerombolan monster dan mendarat delapan meter dari situ, di atas sumur batu tua "Jangan tatap mata mereka." Frank memperingatkan. "Akan kualihkan perhatian mereka. Kalian berdua mundur pelan-pelan ke arah rumah hitam itu." Makhluk-makhluk itu menjadi tegang, siap menyerang. "Lupakan saja," kata Frank. "Lari!" Ternyata, Frank tidak bisa berubah menjadi badak, dan dia kehilangan waktu yang sangat berharga untuk mencoba melakukannya. Nico dan Hazel melesat menuju jalan kecil tadi. Frank melangkah ke hadapan para monster, berharap perhatian mereka tetap terarah kepadanya. Dia berteriak sekuat tenaga, membayangkan dirinya adalah seekor badak yang menakutkan, tetapi karena Ares dan Mars berteriak-teriak dalam kepalanya, dia tak bisa berkonsentrasi. Dia tetap Frank yang biasa. Dua monster sapi melepaskan diri dari kawanan mereka untuk mengejar Nico dan Hazel. "Tidak!" Frank berseru ke arah mereka. "Aku! Akulah sang badak!" Sisa kawanan monster mengitari Frank. Mereka menggeram, gas hijau zamrud mengepul dari lubang hidung mereka. Frank melangkah mundur untuk menghindari gas itu, tetapi bau busuknya nyaris membuatnya ambruk. Baiklah, jadi bukan badak. Sesuatu yang lain. Frank tahu dia hanya punya waktu beberapa detik sebelum para monster menginjak-injak atau membuatnya keracunan, tetapi dia tak bisa berpikir. Dia tak bisa mempertahankan gambaran hewan apa pun cukup lama untuk bisa berubah bentuk. Kemudian, dia melirik ke atas ke salah satu balkon rumah bandar dan melihat sebuah ukiran batu —simbol Venesia. Sekejap setelah itu, Frank adalah seekor singa dewasa. Dia meraung menantang, kemudian melompat dari tengah-tengah gerombolan monster dan mendarat delapan meter dari situ, di atas sumur batu tua

dan pusing, samar-samar menyadari bahwa Nico meneriakkan namanya. "Frank! Frank!" Frank berusaha memusatkan perhatian. Dia kembali berwujud manusia, muntah-muntah dan terhuyung-huyung. Wajahnya seolah mengelupas. Di depannya, gumpalan gas hijau melayang di antara dia dan kawanan monster. Monster-monster sapi yang masih tersisa mengamatinya dengan waspada, barangkali bertanya-tanya apakah Frank punya muslihat lain yang belum dikeluarkan. Frank melirik ke belakangnya. Di bawah gerbang lengkung batu, Nico di Angelo tengah memegang pedang besi Stygian hitamnya, memberi isyarat kepada Frank untuk bergegas. Di dekat kaki Nico, dua kubangan hitam mengotori trotoar —sudah jelas, sisa-sisa monster sapi yang tadi mengejar mereka. Sementara Hazel ... dia tersandar pada dinding di belakang saudara lelakinya. Hazel tidak bergerak. Frank berlari ke arah mereka, lupa akan kawanan monster. Dia melesat melewati Nico dan mencengkeram bahu Hazel. Kepala Hazel terkulai ke dadanya. "Dia terkena semburan gas hijau persis di wajah," kata Nico dengan merana. "Aku — aku tidak cukup cepat." Frank tidak tahu apakah Hazel masih bernapas. Amarah dan keputusasaan bergumul di dalam dirinya. Selama ini dia selalu takut terhadap Nico. Sekarang dia ingin menendang putra Hades itu ke dalam kanal terdekat. Mungkin itu tidak adil, tetapi Frank tidak peduli. Begitu pula dewa-dewa perang di dalam kepalanya. "Kita perlu membawanya kembali ke kapal," kata Frank. Kawanan monster sapi bergerak dengan hati-hati persis di seberang gerbang lengkung. Mereka meraungkan jeritan mereka yang bagaikan peluit kabut. Dari jalan-jalan di dekat situ, monster- monster lain menyahut. Bala bantuan akan segera mengepung para demigod. "Kita tak akan berhasil mencapainya dengan berjalan kaki," kata Nico. "Frank, berubahlah menjadi elang raksasa. Jangan khawatirkan aku. Bawa Hazel kembali ke Argo II!" Dengan wajah terbakar dan suara-suara berteriak dalam kepalanya, Frank tidak yakin dia bisa berubah wujud, tetapi dia sudah hendak mencobanya ketika sebuah suara di belakang mereka berkata. "Teman-teman kalian tidak bisa membantu. Mereka tidak tahu obatnya." Frank memutar tubuh. Di ambang pintu Rumah Hitam berdirilah seorang pria muda yang mengenakan celana jin dan kemeja denim. Rambutnya berwarna hitam dan senyumnya ramah, walau Frank ragu apakah dia memang ramah. Mungkin dia bahkan bukan manusia. Pada saat itu, Frank tidak dan pusing, samar-samar menyadari bahwa Nico meneriakkan namanya. "Frank! Frank!" Frank berusaha memusatkan perhatian. Dia kembali berwujud manusia, muntah-muntah dan terhuyung-huyung. Wajahnya seolah mengelupas. Di depannya, gumpalan gas hijau melayang di antara dia dan kawanan monster. Monster-monster sapi yang masih tersisa mengamatinya dengan waspada, barangkali bertanya-tanya apakah Frank punya muslihat lain yang belum dikeluarkan. Frank melirik ke belakangnya. Di bawah gerbang lengkung batu, Nico di Angelo tengah memegang pedang besi Stygian hitamnya, memberi isyarat kepada Frank untuk bergegas. Di dekat kaki Nico, dua kubangan hitam mengotori trotoar —sudah jelas, sisa-sisa monster sapi yang tadi mengejar mereka. Sementara Hazel ... dia tersandar pada dinding di belakang saudara lelakinya. Hazel tidak bergerak. Frank berlari ke arah mereka, lupa akan kawanan monster. Dia melesat melewati Nico dan mencengkeram bahu Hazel. Kepala Hazel terkulai ke dadanya. "Dia terkena semburan gas hijau persis di wajah," kata Nico dengan merana. "Aku — aku tidak cukup cepat." Frank tidak tahu apakah Hazel masih bernapas. Amarah dan keputusasaan bergumul di dalam dirinya. Selama ini dia selalu takut terhadap Nico. Sekarang dia ingin menendang putra Hades itu ke dalam kanal terdekat. Mungkin itu tidak adil, tetapi Frank tidak peduli. Begitu pula dewa-dewa perang di dalam kepalanya. "Kita perlu membawanya kembali ke kapal," kata Frank. Kawanan monster sapi bergerak dengan hati-hati persis di seberang gerbang lengkung. Mereka meraungkan jeritan mereka yang bagaikan peluit kabut. Dari jalan-jalan di dekat situ, monster- monster lain menyahut. Bala bantuan akan segera mengepung para demigod. "Kita tak akan berhasil mencapainya dengan berjalan kaki," kata Nico. "Frank, berubahlah menjadi elang raksasa. Jangan khawatirkan aku. Bawa Hazel kembali ke Argo II!" Dengan wajah terbakar dan suara-suara berteriak dalam kepalanya, Frank tidak yakin dia bisa berubah wujud, tetapi dia sudah hendak mencobanya ketika sebuah suara di belakang mereka berkata. "Teman-teman kalian tidak bisa membantu. Mereka tidak tahu obatnya." Frank memutar tubuh. Di ambang pintu Rumah Hitam berdirilah seorang pria muda yang mengenakan celana jin dan kemeja denim. Rambutnya berwarna hitam dan senyumnya ramah, walau Frank ragu apakah dia memang ramah. Mungkin dia bahkan bukan manusia. Pada saat itu, Frank tidak