BAB ENAM PULUH SATU PERCY
BAB ENAM PULUH SATU PERCY
PERCY BELUM MATI, TAPI DIA sudah bosan menjadi mayat. Selagi mereka tersaruk-saruk menuju jantung Tartarus, dia terus melirik tubuhnya sendiri, bertanya-tanya bagaimana mungkin jasad keriput ini adalah badannya. Lengannya kelihatan seperti kulit samakan yang ditarik sepanjang sebatang tongkat. Tungkai cekingnya seolah mengabur menjadi asap tiap kali dia melangkah. Dia sudah belajar bergerak dengan normal di dalam Kabut Ajal, kurang lebih, tapi tabir magis itu itu tetap membuatnya merasa seperti terkungkung dalam selubung helium. Dia cemas kalau-kalau Kabut Ajal bakal menempelinya selamanya, sekalipun mereka entah bagaimana berhasil keluar dengan selamat dari Tartarus. Dia tidak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan penampilan seperti pemain figuran zombi di drama The Walking Dead. Percy mencoba memfokuskan perhatian pada hal lain, tapi ke mana pun dia menengok, tidak ada yang aman. Di bawah kakinya, tanah berkilau ungu menjijikkan, menyembunyikan jejaring pembuluh darah yang berdenyut- PERCY BELUM MATI, TAPI DIA sudah bosan menjadi mayat. Selagi mereka tersaruk-saruk menuju jantung Tartarus, dia terus melirik tubuhnya sendiri, bertanya-tanya bagaimana mungkin jasad keriput ini adalah badannya. Lengannya kelihatan seperti kulit samakan yang ditarik sepanjang sebatang tongkat. Tungkai cekingnya seolah mengabur menjadi asap tiap kali dia melangkah. Dia sudah belajar bergerak dengan normal di dalam Kabut Ajal, kurang lebih, tapi tabir magis itu itu tetap membuatnya merasa seperti terkungkung dalam selubung helium. Dia cemas kalau-kalau Kabut Ajal bakal menempelinya selamanya, sekalipun mereka entah bagaimana berhasil keluar dengan selamat dari Tartarus. Dia tidak mau menghabiskan sisa hidupnya dengan penampilan seperti pemain figuran zombi di drama The Walking Dead. Percy mencoba memfokuskan perhatian pada hal lain, tapi ke mana pun dia menengok, tidak ada yang aman. Di bawah kakinya, tanah berkilau ungu menjijikkan, menyembunyikan jejaring pembuluh darah yang berdenyut-
"Eh ... baiklah." Annabeth kedengarannya tidak yakin, tapi mereka sekarang sudah hampir sampai. Mereka tidak punya pilihan kecuali mencoba. Percy menatap kawanan monster buas. "Setidaknya kita tak perlu khawatir kalau-kalau berpapasan dengan teman-ternan lain di antara kerumunan ini." Bob menyeringai. "Ya, itu kabar bagus! Nah, ayo pergi. Ajal sudah dekat." "Pintu Ajal sudah dekat," ralat Annabeth. "Jangan sembarangan bicara." Mereka masuk ke tengah-tengah kerumunan. Percy gemetar hebat sampai-sampai dia takut Kabut Ajal bakal tanggal. Dia sudah pernah melihat sekelompok besar monster. Dia pernah bertarung melawan sepasukan monster di Pertempuran Manhattan. Tapi, ini lain. Kapan pun dirinya bertarung melawan monster di dunia fana, Percy setidaknya tahu dia tengah mempertahankan rumakiny ra. Pengetahuan itu memberinya keberanian, tidak peduli betapa kecil peluangnya untuk menang. Di sini, Percy adalah si penyusup. Dia tidak semestinya berada di tengah-tengah monster, sebagaimana Minotaurus tidak semestinya berada di Stasiun Penn saat jam sibuk. Beberapa kaki dari sana, sekelompok empousa merobek-robek bangkai gryphon sementara sejumlah gryphon lain terbang mengitari mereka sambil memekik-mekik murka. Anak Burn i bertangan enam dan seorang raksasa Laistrygonian sedang saling timpuk dengan batu, walaupun Percy tidak yakin apakah mereka tengah bertarung atau hanya main- main. Selarik asap gelap pasti eidolon, menurut tebakan Percy---merasuki seorang Cyclops, menyebabkan monster itu memukul wajahnya sendiri, lalu pindah untuk merasuki korban lainnya. Annabeth berbisik, "Percy, lihat." Selemparan batu dari sana, seorang lelaki berpakaian koboi tengah melecutkan cambuk ke sejumlah kuda bernapas api. Si pawang ternak mengenakan topi koboi di rambutnya yang berminyak, celana jin ekstrabesar, dan sepasang sepatu bot kulit hitam. Dari samping, dia kelihatan seperti manusia —tetapi saat dia berbalik badan, barulah Percy melihat bahwa tubuh bagian atasnya terdiri dari tiga dada berlainan yang masing-masing mengenakan kemeja koboi berbeda warna. Pria itu jelas adalah Geryon, yang mencoba membunuh Percy dua tahun lalu di Texas. Rupanya sang peternak jahat tidak sabar untuk menjinakkan kawanan hewan barunya. Membayangkan laki-laki itu berkuda ke luar Pintu Ajal, pinggang Percy terasa nyeri lagi. Iganya berdenyut-denyut di tempat arai "Eh ... baiklah." Annabeth kedengarannya tidak yakin, tapi mereka sekarang sudah hampir sampai. Mereka tidak punya pilihan kecuali mencoba. Percy menatap kawanan monster buas. "Setidaknya kita tak perlu khawatir kalau-kalau berpapasan dengan teman-ternan lain di antara kerumunan ini." Bob menyeringai. "Ya, itu kabar bagus! Nah, ayo pergi. Ajal sudah dekat." "Pintu Ajal sudah dekat," ralat Annabeth. "Jangan sembarangan bicara." Mereka masuk ke tengah-tengah kerumunan. Percy gemetar hebat sampai-sampai dia takut Kabut Ajal bakal tanggal. Dia sudah pernah melihat sekelompok besar monster. Dia pernah bertarung melawan sepasukan monster di Pertempuran Manhattan. Tapi, ini lain. Kapan pun dirinya bertarung melawan monster di dunia fana, Percy setidaknya tahu dia tengah mempertahankan rumakiny ra. Pengetahuan itu memberinya keberanian, tidak peduli betapa kecil peluangnya untuk menang. Di sini, Percy adalah si penyusup. Dia tidak semestinya berada di tengah-tengah monster, sebagaimana Minotaurus tidak semestinya berada di Stasiun Penn saat jam sibuk. Beberapa kaki dari sana, sekelompok empousa merobek-robek bangkai gryphon sementara sejumlah gryphon lain terbang mengitari mereka sambil memekik-mekik murka. Anak Burn i bertangan enam dan seorang raksasa Laistrygonian sedang saling timpuk dengan batu, walaupun Percy tidak yakin apakah mereka tengah bertarung atau hanya main- main. Selarik asap gelap pasti eidolon, menurut tebakan Percy---merasuki seorang Cyclops, menyebabkan monster itu memukul wajahnya sendiri, lalu pindah untuk merasuki korban lainnya. Annabeth berbisik, "Percy, lihat." Selemparan batu dari sana, seorang lelaki berpakaian koboi tengah melecutkan cambuk ke sejumlah kuda bernapas api. Si pawang ternak mengenakan topi koboi di rambutnya yang berminyak, celana jin ekstrabesar, dan sepasang sepatu bot kulit hitam. Dari samping, dia kelihatan seperti manusia —tetapi saat dia berbalik badan, barulah Percy melihat bahwa tubuh bagian atasnya terdiri dari tiga dada berlainan yang masing-masing mengenakan kemeja koboi berbeda warna. Pria itu jelas adalah Geryon, yang mencoba membunuh Percy dua tahun lalu di Texas. Rupanya sang peternak jahat tidak sabar untuk menjinakkan kawanan hewan barunya. Membayangkan laki-laki itu berkuda ke luar Pintu Ajal, pinggang Percy terasa nyeri lagi. Iganya berdenyut-denyut di tempat arai
Cocytus. Lalu kenapa kalau dia pahlawan? Lalu kenapa kalau dia melakukan tindakan berani? Kejahatan senantiasa hadir, beregenerasi, menggelegak di bawah permukaan. Percy tak lebih dari sekadar gangguan remeh bagi makhluk-makhluk kekal ini. Suatu hari kelak, putra atau putri Percy mungkin harus menghadapi mereka lagi. Putra atau putri. Pemikiran itu memedihkannya. Secepat munculnya keputus- asaan yang melanda Percy, secepat itu pulalah perasaan tersebut menghilang. Dia melirik Annabeth. Gadis itu masih menyerupai mayat berbalut kabut, tetapi Percy membayangkan penampilan sejati Annabeth —mata kelabunya yang penuh tekad, rambut pirangnya yang diikat dengan bandana, wajahnya yang letih dan bercoreng-moreng debu, tapi tetap secantik biasanya. Oke, mungkin monster- monster itu akan kembali berulang-ulang, untuk selamanya. Tapi, demigod juga begitu. Perkemahan Blasteran telah bertahan selama bergenerasi-generasi. Demikian pula Perkemahan Jupiter. Meski berjuang sendiri-sendiri, kedua kubu mampu terus bertahan. Jika bangsa Yunani dan Ro.mawi bisa bersatu padu, mereka akan semakin kuat. Masih ada harapan. Percy dan Annabeth sudah menempuh perjalanan sejauh ini. Pintu Ajal hampir dalam jangkauan. Putra dan putri. Pemikiran yang konyol. Pemikiran yang menakjubkan. Tepat di jantung Tartarus, Percy menyeringai. "Ada apa?" bisik Annabeth. Di balik tabir zombi Kabut Ajal, Percy barangkali kelihatat sedang menyeringai kesakitan. "Bukan apa- apa," katanya. "Aku cuma —Dari depan mereka, sebuah suara menggerung, "IAPETUS!"[]