BAB DUA PULUH DUA ANNABETH

BAB DUA PULUH DUA ANNABETH

NANTINYA, ANNABETH MEMBULATKAN TEKAD: JANGAN pernah tidur di Tartarus. Mimpi-mimpi demigod selalu buruk. Bahkan, dalam keamanan tempat tidurnya di perkemahan, dia selalu mendapat mimpi buruk yang mengerikan. Di Tartarus, mimpi itu seribu kali lebih nyata. Mimpi pertama, dia menjadi seorang gadis kecil lagi, tengah berjuang menaiki Bukit Blasteran. Luke Castellan memegang

tangannya, menariknya untuk terus maju. Satir pemandu Grover Underwood berjingkrak-jingkrak gugup di puncak bukit, berteriak, "Cepat! Cepat!" Thalia Grace berdiri di belakang mereka, menahan sepasukan anjing setan dengan tamengnya yang menerbitkan rasa takut, Aegis. Dari puncak bukit, Annabeth bisa melihat perkemahan pada lembah di bawahnya —cahaya hangat pondok-pondok, peluang perlindungan. Annabeth tersandung, pergelangan kakinya terkilir, dan Luke mengangkat Annabeth, lalu menggendongnya. Ketika mereka melihat ke belakang, monster-monster itu tinggal beberapa meter lagi —lusinan monster mengepung Thalia. "Pergilah!" pekik Thalia. "Aku akan menahan mereka." Dia mengacungkan tombaknya, dan kilat bercabang mengiris barisan monster; tetapi saat anjing-anjing setan itu jatuh, lebih hanyak lagi yang menggantikan tempat mereka. "Kim harus larir Grover berteriak. Dia memimpin jalan menuju perkemahan. Luke mengikuti, ement ar a Annabeth menangis, mernukul-mukul dada Luke, dan berteriak bahwa mereka tak bisa meninggalkan Thalia sendirian. rapi, sudah terlambat. Adegan berganti. Annabeth sudah lebih besar, tengah menaiki puncak Bukit blasteran. Di tempat Thalia berdiri kali terakhir, kini menjulang ebatang pohon pinus yang tinggi. Di atas, badai tengah mengamuk. Guruh mengguncang lembah. Ledakan petir membelah pohon int hingga akar, memunculkan sebuah retakan yang mengepulkan asap. Dalam kegelapan di bawah sana, berdirilah Reyna, praetor Roma Baru. Jubahnya sewarna darah segar yang baru keluar dari pembuluh darah. Baju baja emasnya berkilauan. Reyna menatap ke atas, wajahnya agung dan jauh, dan dia berbicara langsung ke dalam pikiran Annabeth. Kau telah bertindak dengan baik, kata Reyna, tetapi suaranya adalah suara Athena. Sisa perjalananku pastilah di sayap Romawi. Mata hitam sang praetor berubah kelabu seperti awan badai. Aku harus berdiri di sini, kata Reyna kepadanya. Bangsa Romawi harus membawaku. Bukit itu bergetar. Tanah beriak saat rumpus berubah menjadi I ipatan kain sutra —gaun sesosok dewi raksasa. Gaea bangkit di atas Perkemahan Blasteran wajahnya yang sedang tidur sebesar gunung. Anjing-anjing setan membanjiri perbukitan. Raksasa, Anak Bumi bertangan enam, dan cyclops liar menyerbu dari pantai, menghancurkan paviliun makan, membakar pondok-pondok dan Rumah Besar. Bergegaslah, ujar suara Athena. Pesan harus dikirim. Bumi membelah di kaki Annabeth dan dia terjatuh dalam kegelapan. Mata Annabeth tersentak membuka. Dia memekik, sambil mencengkam lengan Percy. Dia masih berada di Tartarus, di Kuil Hermes. "Tidak apa-apa." Percy menenangkan. "Mimpi buruk?" Tubuh Annabeth dirayapi ketakutan. "Apa —apakah sudah giliranku jaga?" "Belum, belum. Kami baik- baik saja. Kau tidurlah." "Percy!" "Hei, tidak apa-apa. Lagi pula, aku terlalu bersernangat untuk tidur. Lihat." Bob sang Titan duduk menyilangkan kaki di tepi altar, dengan riang mengunyah sepotong piza. Annabeth menggosok-gosok matanya, bertanya-tanya apakah dia masih bermimpi. "Apakah itu ... pepperoni?" "Sesaji bakar," jelas Percy. "Sesaji untuk Hermes dari dunia manusia, kurasa. Makanan ini muncul dalam kepulan asap. Kami mendapat separuh hotdog, beberapa butir anggur, sepiring daging sapi bakar, dan sebungkus permen M&M's isi kacang." "M&M's buat Bob!" timpal Bob dengan riang. "Eh, tidak apa-apa, ya?" Annabeth tidak memprotes. Percy membawakan piring berisi daging panggang untuk Annabeth, dan dia langsung melahapnya. Dia tak pernah merasakan makanan seenak itu. Daging bagian dada itu masih panas, dengan lapisan manis pedas yang persis sama dengan hidangan panggang di Perkemahan Blasteran. "Aku tabu," kata Percy, membaca raut muka Annabeth. "Kurasa itu berasal dari Perkemahan Blasteran." Gagasan itu membuat Annabeth dibanjiri rasa kangen. Pada tiap waktu makan, para penghuni perkemahan membakar sebagian makanan mereka untuk menghormati dewa orangtua tangannya, menariknya untuk terus maju. Satir pemandu Grover Underwood berjingkrak-jingkrak gugup di puncak bukit, berteriak, "Cepat! Cepat!" Thalia Grace berdiri di belakang mereka, menahan sepasukan anjing setan dengan tamengnya yang menerbitkan rasa takut, Aegis. Dari puncak bukit, Annabeth bisa melihat perkemahan pada lembah di bawahnya —cahaya hangat pondok-pondok, peluang perlindungan. Annabeth tersandung, pergelangan kakinya terkilir, dan Luke mengangkat Annabeth, lalu menggendongnya. Ketika mereka melihat ke belakang, monster-monster itu tinggal beberapa meter lagi —lusinan monster mengepung Thalia. "Pergilah!" pekik Thalia. "Aku akan menahan mereka." Dia mengacungkan tombaknya, dan kilat bercabang mengiris barisan monster; tetapi saat anjing-anjing setan itu jatuh, lebih hanyak lagi yang menggantikan tempat mereka. "Kim harus larir Grover berteriak. Dia memimpin jalan menuju perkemahan. Luke mengikuti, ement ar a Annabeth menangis, mernukul-mukul dada Luke, dan berteriak bahwa mereka tak bisa meninggalkan Thalia sendirian. rapi, sudah terlambat. Adegan berganti. Annabeth sudah lebih besar, tengah menaiki puncak Bukit blasteran. Di tempat Thalia berdiri kali terakhir, kini menjulang ebatang pohon pinus yang tinggi. Di atas, badai tengah mengamuk. Guruh mengguncang lembah. Ledakan petir membelah pohon int hingga akar, memunculkan sebuah retakan yang mengepulkan asap. Dalam kegelapan di bawah sana, berdirilah Reyna, praetor Roma Baru. Jubahnya sewarna darah segar yang baru keluar dari pembuluh darah. Baju baja emasnya berkilauan. Reyna menatap ke atas, wajahnya agung dan jauh, dan dia berbicara langsung ke dalam pikiran Annabeth. Kau telah bertindak dengan baik, kata Reyna, tetapi suaranya adalah suara Athena. Sisa perjalananku pastilah di sayap Romawi. Mata hitam sang praetor berubah kelabu seperti awan badai. Aku harus berdiri di sini, kata Reyna kepadanya. Bangsa Romawi harus membawaku. Bukit itu bergetar. Tanah beriak saat rumpus berubah menjadi I ipatan kain sutra —gaun sesosok dewi raksasa. Gaea bangkit di atas Perkemahan Blasteran wajahnya yang sedang tidur sebesar gunung. Anjing-anjing setan membanjiri perbukitan. Raksasa, Anak Bumi bertangan enam, dan cyclops liar menyerbu dari pantai, menghancurkan paviliun makan, membakar pondok-pondok dan Rumah Besar. Bergegaslah, ujar suara Athena. Pesan harus dikirim. Bumi membelah di kaki Annabeth dan dia terjatuh dalam kegelapan. Mata Annabeth tersentak membuka. Dia memekik, sambil mencengkam lengan Percy. Dia masih berada di Tartarus, di Kuil Hermes. "Tidak apa-apa." Percy menenangkan. "Mimpi buruk?" Tubuh Annabeth dirayapi ketakutan. "Apa —apakah sudah giliranku jaga?" "Belum, belum. Kami baik- baik saja. Kau tidurlah." "Percy!" "Hei, tidak apa-apa. Lagi pula, aku terlalu bersernangat untuk tidur. Lihat." Bob sang Titan duduk menyilangkan kaki di tepi altar, dengan riang mengunyah sepotong piza. Annabeth menggosok-gosok matanya, bertanya-tanya apakah dia masih bermimpi. "Apakah itu ... pepperoni?" "Sesaji bakar," jelas Percy. "Sesaji untuk Hermes dari dunia manusia, kurasa. Makanan ini muncul dalam kepulan asap. Kami mendapat separuh hotdog, beberapa butir anggur, sepiring daging sapi bakar, dan sebungkus permen M&M's isi kacang." "M&M's buat Bob!" timpal Bob dengan riang. "Eh, tidak apa-apa, ya?" Annabeth tidak memprotes. Percy membawakan piring berisi daging panggang untuk Annabeth, dan dia langsung melahapnya. Dia tak pernah merasakan makanan seenak itu. Daging bagian dada itu masih panas, dengan lapisan manis pedas yang persis sama dengan hidangan panggang di Perkemahan Blasteran. "Aku tabu," kata Percy, membaca raut muka Annabeth. "Kurasa itu berasal dari Perkemahan Blasteran." Gagasan itu membuat Annabeth dibanjiri rasa kangen. Pada tiap waktu makan, para penghuni perkemahan membakar sebagian makanan mereka untuk menghormati dewa orangtua

banyak. Bob, raksasa-raksasa mana yang kita bicarakan ini? Titan yang mana?" Bob menggerutu. "Tidak yakin namanya. Enam, mungkin tujuh. Aku bisa merasakan mereka." "Enam atau tujuh?" Annabeth tidak yakin daging panggangnya akan tetap berada di perut. "Apakah mereka bisa merasakan keberadaanmu?" "Tidak tahu." Bob tersenyum. "Bob berbeda! Tapi, mereka bisa mencium demigod, memang. Kalian berdua berbau sangat kuat. Kuat enak. Seperti Hmmm. Seperti roti mentega!" "Roti mentega," ulang Annabeth. "Yah, itu bagus." Percy naik kembali ke altar. "Apakah mungkin membunuh raksasa di Tartarus? Maksudku, mengingat tidak ada dewa yang bisa membantu kita?" Dia memandang Annabeth seolah-olah Annabeth punya jawaban. "Entahlah, Percy. Melakukan perjalanan di Tartarus, melawan monster di sini tidak pernah dilakukan sebelumnya. Mungkin Bob bisa membantu kita membunuh raksasa? Mungkin seorang Titan bisa dianggap sebagai dewa? Entahlah." "Yeah," sahut Percy. "Baiklah." Annabeth bisa melihat kekhawatiran di mata Percy. Selama bertahun-tahun Percy mengandalkannya untuk mendapat jawaban. Kini, ketika Percy paling membutuhkannya, Annabeth tidak bisa membantu. Annabeth benci ketidaktahuannya, tetapi tak satu pun yang pernah dia pelajari di perkemahan mempersiapkannya untuk Tartarus. Hanya satu hal yang dia yakini: mereka harus terus bergerak. Mereka tidak bisa tertangkap oleh enam atau tujuh makhluk kekal. Dia berdiri, masih linglung karena mimpi buruknya. Bob mulai bersih-bersih, mengumpulkan sampah mereka ke dalam undukan kecil, menggunakan botol semprotnya untuk menyeka rar. "Ke mana sekarang?" tanya Annabeth. Percy menunjuk ke arah dinding badai kegelapan. "Bob bilang arah sana. Tampaknya Pintu Ajal —" "Kau memberi tahu Bob?" Annabeth tidak bermaksud mengucapkannya dengan nada sekeras itu, tetapi Percy berjengit. "Saar kau sedang tidur," aku Percy. "Annabeth, Bob bisa membantu. Kita perlu pemandu." "Bob membantu!" Bob membenarkan. "Me.masuki Tanah Kelam. Pintu Ajal hmmm, jalan kaki langsung ke sana tidak bagus. Terlalu banyak monster berkumpul di sana. Bahkan, Bob tidak bisa menyapu sebanyak itu. Mereka akan membunuh Percy dan Annabeth kira-kira dalam dua menit." Titan itu mengernyit. "Kurasa detik. Sulit menentukan waktu di Tartarus." "Baiklah," gerutu Annabeth. "Jadi, ada jalan lain?" "Bersembunyi," kata Bob. "Kabut Kematian bisa menyem-bunyikan kalian." "Oh ...." Annabeth mendadak merasa sangat kecil dalam bayangan Titan itu. "Ehm, Kabut Kematian itu apa?" "Itu berbahaya," kata Bob. "Tapi, jika si Nyonya mau mem-berimu Kabut Kematian, kabut itu bisa menyembunyikan kalian. Jika kita bisa menghindari Malam. Si Nyonya sangat dekat dengan Malam. Buruk." "Si Nyonya." Percy mengulangi. "Ya." Bob menunjuk ke depan mereka ke arah kegelapan banyak. Bob, raksasa-raksasa mana yang kita bicarakan ini? Titan yang mana?" Bob menggerutu. "Tidak yakin namanya. Enam, mungkin tujuh. Aku bisa merasakan mereka." "Enam atau tujuh?" Annabeth tidak yakin daging panggangnya akan tetap berada di perut. "Apakah mereka bisa merasakan keberadaanmu?" "Tidak tahu." Bob tersenyum. "Bob berbeda! Tapi, mereka bisa mencium demigod, memang. Kalian berdua berbau sangat kuat. Kuat enak. Seperti Hmmm. Seperti roti mentega!" "Roti mentega," ulang Annabeth. "Yah, itu bagus." Percy naik kembali ke altar. "Apakah mungkin membunuh raksasa di Tartarus? Maksudku, mengingat tidak ada dewa yang bisa membantu kita?" Dia memandang Annabeth seolah-olah Annabeth punya jawaban. "Entahlah, Percy. Melakukan perjalanan di Tartarus, melawan monster di sini tidak pernah dilakukan sebelumnya. Mungkin Bob bisa membantu kita membunuh raksasa? Mungkin seorang Titan bisa dianggap sebagai dewa? Entahlah." "Yeah," sahut Percy. "Baiklah." Annabeth bisa melihat kekhawatiran di mata Percy. Selama bertahun-tahun Percy mengandalkannya untuk mendapat jawaban. Kini, ketika Percy paling membutuhkannya, Annabeth tidak bisa membantu. Annabeth benci ketidaktahuannya, tetapi tak satu pun yang pernah dia pelajari di perkemahan mempersiapkannya untuk Tartarus. Hanya satu hal yang dia yakini: mereka harus terus bergerak. Mereka tidak bisa tertangkap oleh enam atau tujuh makhluk kekal. Dia berdiri, masih linglung karena mimpi buruknya. Bob mulai bersih-bersih, mengumpulkan sampah mereka ke dalam undukan kecil, menggunakan botol semprotnya untuk menyeka rar. "Ke mana sekarang?" tanya Annabeth. Percy menunjuk ke arah dinding badai kegelapan. "Bob bilang arah sana. Tampaknya Pintu Ajal —" "Kau memberi tahu Bob?" Annabeth tidak bermaksud mengucapkannya dengan nada sekeras itu, tetapi Percy berjengit. "Saar kau sedang tidur," aku Percy. "Annabeth, Bob bisa membantu. Kita perlu pemandu." "Bob membantu!" Bob membenarkan. "Me.masuki Tanah Kelam. Pintu Ajal hmmm, jalan kaki langsung ke sana tidak bagus. Terlalu banyak monster berkumpul di sana. Bahkan, Bob tidak bisa menyapu sebanyak itu. Mereka akan membunuh Percy dan Annabeth kira-kira dalam dua menit." Titan itu mengernyit. "Kurasa detik. Sulit menentukan waktu di Tartarus." "Baiklah," gerutu Annabeth. "Jadi, ada jalan lain?" "Bersembunyi," kata Bob. "Kabut Kematian bisa menyem-bunyikan kalian." "Oh ...." Annabeth mendadak merasa sangat kecil dalam bayangan Titan itu. "Ehm, Kabut Kematian itu apa?" "Itu berbahaya," kata Bob. "Tapi, jika si Nyonya mau mem-berimu Kabut Kematian, kabut itu bisa menyembunyikan kalian. Jika kita bisa menghindari Malam. Si Nyonya sangat dekat dengan Malam. Buruk." "Si Nyonya." Percy mengulangi. "Ya." Bob menunjuk ke depan mereka ke arah kegelapan

bangkit di punggung bukit dan melepaskan monster-monsternya untuk menyerbu Perkemahan Blasteran. "Baiklah kalau begitu," kata Percy. "Kukira kita akan melihat si Nyonya di sekitar suatu Kabut Kematian." "Tunggu," tukas Annabeth. Benak Annabeth berpacu. Dia berpikir tentang mimpinya tentang Luke dan Thalia. Dia teringat cerita-cerita yang disampai-kan Luke kepadanya tentang ayah Luke, Hermes —dewa pengem-bara, pemandu bagi arwah orang mati, dewa komunikasi. Dia menatap altar hitam itu. "Annabeth?" Percy terdengar cemas. Annabeth berjalan menuju tumpukan sampah dan memungut selembar serbet kertas yang masih cukup bersih. Dia teringat penglihatannya tentang Reyna, yang berdiri di retakan berasap di bawah sisa-sisa pohon pinus Thalia, berbicara dengan suara Athena. Aku bares berdiri di sini. Bangsa Romawi hares membawaku. Bergegaslah. Pesan hares dikirimkan. "Bob," panggil Annabeth, "sesaji yang dibakar di dunia manusia muncul di altar ini, bukan?" Bob mengerutkan kening dengan tidak nyaman, seolah-olah dia tidak siap menghadapi tes dadakan. "Ya?" "Jadi, apa yang terjadi jika aku membakar sesuatu di altar ini?" "Eh ...." "Tidak apa-apa," kata Annabeth. "Kau tidak tahu. Tidak ada yang tahu karena itu belum pernah dilakukan." Ada kemungkinan, pikir Annabeth, kemungkinan yang amat sangat kecil bahwa sesaji yang dibakar di atas altar ini akan muncul di Perkemahan Blasteran. Meragukan, tetapi jika ini benar-benar berhasil "Annabeth?" kata Percy lagi. "Kau merencanakan sesuatu. Ada ekspresi aku-merencanakan-sesuatu di wajahmu." "Aku tidak punya ekspresi aku-merencanakan-sesuatu." "Yeah, jelas punya. Kedua alismu bertaut, bibirmu merapat, dan —" "Kau punya pulpen?" tanya Annabeth kepada Percy. "Kau bercanda, ya?" Percy mengeluarkan Riptide. "Ya, tapi apakah benda ini bisa digunakan untuk menulis?" "Aku —aku tidak tahu." Percy mengakui. "Tidak pernah kucoba." Percy melepas tutup pulpen itu. Seperti biasa, Riptide mencuat menjadi pedang berukuran sebenarnya. Annabeth telah inelihat Percy melakukan hal ini ratusan kali. Biasanya ketika dia bertarung, Percy membuang begitu saja tutupnya. Tutup itu selalu muncul lagi nanti dalam sakunya, sesuai kebutuhan. Ketika dia menyentuhkan tutup pada ujung pedang, Riptide akan kembali menjadi sebuah pulpen. "Bagaimana jika kau sentuhkan tutupnya di ujung pedang yang satunya?" kata Annabeth. "Seperti tempat tutup itu seharusnya berada jika kau memang hendak menulis dengan pulpen." "Ehm ...." Percy tampak ragu-ragu, tetapi dia menyentuhkan tutup itu pada pangkal pedang. Riptide menyusut kembali menjadi sebatang pulpen, tetapi sekarang ujung tulisnya terbuka. "Boleh kupakai?" Annabeth merebut pulpen itu dari tangan Percy. Dia meratakan serbet itu pada altar dan mulai menulis. Tinta Riptide memancarkan cahaya perunggu langit. "Apa yang kau lakukan?" tanya Percy. "Mengirim pesan," jawab Annabeth. "Aku hanya berharap Rachel memahaminya." "Rachel?" tanya Percy. "Maksudmu Rachel kita? Rachel sang Oracle Delphi?"

"Rachel yang itu." Annabeth menahan senyum. Setiap kali Annabeth menyinggung nama Rachel, Percy menjadi gugup. Pada satu waktu, Rachel pernah tertarik memacari Percy. Itu cerita lama. Rachel dan Annabeth sekarang berteman baik. Tetapi, Annabeth tidak berkeberatan membuat Percy agak tidak nyaman. Kita tak boleh membiarkan pacar kita terlalu santai. Annabeth menyelesaikan suratnya dan melipat serbet itu. Di bagian luar, dia menuliskan: Connor, Berikan ini kepada Rachel. Ini bukan lelucon. Jangan bodoh.

Salam sayang, Annabeth Annabeth memandangi dinding kegelapan di depan mereka. Di tempat di dalam sana ada seorang nyonya yang membagikan Kabut Kematian yang mungkin menyembunyikan mereka dari monster — rencana yang direkomendasikan oleh seorang Titan, .,,Ilah satu musuh terkeji mereka. Sam lagi dosis keanehan yang bisa meledakkan otaknya. "Baiklah," kata Annabeth. "Aku siap."[]