BAB ENAM PULUH JASON

BAB ENAM PULUH JASON

MEREKA MENEMUKAN LEO DI ATAS benteng kota. Dia duduk-duduk di kafe terbuka yang menghadap ke laut, sedang minum secangkir kopi dan mengenakan ... wow. Kilas balik. Busana Leo identik dengan yang dia kenakan di hari pertama kedatangan mereka di Perkemahan Blasteran —celana jin, baju putih, dan jaket tentara lama. Hanya saja, jaket itu sudah terbakar berbulan-bulan lalu. Piper hampir menjatuhkan Leo dari kursi dengan pelukannya. "Leo! Demi dewa-dewi, ke mana saja kau?" "Valdez!" Pak Pelatih Hedge menyeringai. Kemudian dia tampaknya ingat mesti menjaga reputasi dan sang satir pun memaksakan diri untuk merengut. "Kalau kau menghilang seperti itu lagi, Berandal Kecil, akan kuhajar kau sampai terbang ke bulan depan!" Frank menepuk-nepuk punggung Leo keras-keras sampai dia berjengit, bahkan Nico juga menjabat tangannya. Hazel mengecup pipi Leo. "Kami kira kau sudah meninggal!" Leo tersenyum kecil. "Hai, Kawan-Kawan. Tenang, aku baik-baik saja kok." Jason bisa melihat bahwa Leo tidak baik-baik saja. Leo tidak mau bertemu pandang dengan mereka. Tangannya bergeming di atas meja. Tangan Leo tidakpernah bergeming. Hiperaktivitasnya terkuras habis, digantikan oleh semacam duka penuh nostalgia. Jason membatin apa sebabnya ekspresi Leo tampak tidak asing. Lalu dia tersadar bahwa Nico di Angelo kelihatan sama seperti itu setelah menghadapi Cupid di reruntuhan Salona. Leo sedang patah hati. Sementara yang lain mengambili kursi dari meja-meja dekat sana, Jason mencondongkan badan dan meremas bahu temannya. "Hei, Bung," katanya, "apa yang terjadi?" Mata Leo melirik kelompok mereka. Pesannya jelas: Jangan di sini. Jangan di depan semua orang. "Aku terdampar," ujar Leo. "Ceritanya panjang. Bagaimana dengan kalian? Khione bagaimana?" Pak Pelatih Hedge mendengus. "Bagaimana? Piper beraksi! Kuberi tahu ya, gadis ini memang lihai!" "Pak Pelatih ...," protes Piper. Hedge mulai menceritakan kembali kejadian itu, tapi dalam versinya, Piper bagaikan pembunuh yang ahli kungfu dan jumlah Boread jauh lebih banyak. Sementara sang pelatih berbicara, Jason mengamati Leo dengan khawatir. Kafe ini menghadap tepat ke pelabuhan. Leo pasti melihat Argo Hberlabuh. Namun demikian, dia malah duduk diam di sini sambil minum kopi —yang bahkan tidak dia sukai —untuk menunggu mereka menemukannya. Tidak biasanya Leo bersikap begitu. Kapal tersebut adalah hal terpenting dalam hidupnya. Ketika dia melihat Argo II datang untuk menyelamatkannya, Leo seharusnya lari ke dermaga sambil bersorak keras-keras.

Pak Pelatih Hedge sedang menggambarkan jurus tendangan memutar Piper untuk mengalahkan Khione saat Piper memotong. "Pak Pelatih!" kata Piper. "Kejadiannya tidak seperti itu. Aku tidak mungkin melakukan apa-apa tanpa Festus." Leo mengangkat alis. "Tapi, Festus sedang dideaktivasi." "Anu, soal itu," kata Piper. "Aku membangunkannya." Piper menjelaskan peristiwa itu versi dia —bagaimana dia menyalakan sang naga logam dengan charmspeak. Leo mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja, seolah sebagian energinya telah kembali. "Seharusnya tidak mungkin," gumam Leo. "Kecuali pemutakhiran memungkinkannya untuk merespons perintah suara. Tapi kalau dia sudah diaktivasi secara permanen, berarti sistem navigasi dan kristal ...." "Kristal?" tanya Jason Leo berjengit. "Eh, bukan apa-apa. Omong- omong, apa yang terjadi setelah born angin meledak?" Giliran Hazel yang bercerita. Seorang pelayan mendekat dan menawari mereka menu. Tidak lama berselang, mereka sudah mengunyah roti isi dan menenggak soda, menikmati hari yang cerah hampir seperti sekelompok remaja biasa. Frank menyambar brosur wisata yang terselip di bawah kotak serbet. Dia mulai membaca brosur tersebut. Piper menepuk-nepuk lengan Leo, seolah dia tidak percaya bahwa pemuda tersebut sungguh-sungguh berada di sana. Nico menyempil di tepi kelompok itu, mengamati pejalan kaki yang melintas seakan curiga kalau-kalau mereka adalah musuh. Pak Pelatih Hedge mengunyah wadah garam dan merica. Meskipun reuni itu mestinya membahagiakan, semua orang tampak lebih lesu daripada biasanya — seolah mereka ketularan suasana hati Leo. Jason tidak pernah mempertimbangkan betapa pentingnya selera humor Leo bagi kelompok tersebut. Bahkan ketika situasi sedang amat serius, mereka selalu bisa mengandalkan Leo untuk menceriakan suasana. Sekarang, kesannya seolah seluruh tim tengah terpuruk. "Jadi, Jason kemudian mengekang ventus," pungkas Hazel. "Dan di sinilah kami." Leo bersiul. "Kuda air panas? Keren, Jason. Jadi, pada dasarnya, kau menahan angin sampai ke Malta, kemudian membuang angin sesampainya di sini." Jason mengerutkan kening. "Kau tabu, kesannya kurang heroik kalau kau menyebutnya seperti itu." "Iya sih, tapi aku ini pakar cakap angin. Aku masih bertanya-tanya, kenapa Malta? Rakitku terhanyut ke sini begitu saja, tapi apa karena kebetulan atau —" "Mungkin karena ini." Frank mengetuk brosur. "Di sini disebutkan, Malta dulunya adalah tempat tinggal Calypso." Wajah Leo langsung pucat pasi seperti kurang darah. "A-apa?" Frank mengangkat bahu. "Menurut brosur ini, kampung halamannya yang asli adalah di sebuah pulau bernama Gozo di utara sini. Calypso itu tokoh dari mitologi Yunani, Ian?" "Ah, tokoh dari mitologi Yunani!" Pak Pelatih Hedge menggosok-gosok kedua telapak tangannya. "Mungkin kita harus melawan dia! Apa kita berkesempatan melawan dia? Soalnya, aku sudah siap." "Tidak," gumam Leo. "Tidak, kita tidak harus melawan dia, Pak Pelatih." Piper mengerutkan dahi. "Leo, ada apa? Kau kelihatan —" "Tidak ada apa-apa!" Leo sontak berdiri. "Hei, kita sebaiknya bergegas. Kita punya pekerjaan!" "Tapi kau dari mana?" tanya Hazel. "Dari mana kau mendapatkan pakaian itu? Bagaimana —"

"Waduh, Nona-Nona!" kata Leo. "Kuhargai kekhawatiran kalian, tapi aku tidak butuh tambahan dua ibu!" Piper tersenyum bimbang. "Oke, tapi —" "Ayo kita perbaiki kapal!" kata Leo. "Festus mesti dicek! Kita harus meninju wajah dewi Bumi! Apa yang kalian tunggu? Leo sudah kembali!" Dia merentangkan tangan dan menyeringai. Leo mencoba berlagak gagah, tapi Jason bisa masih melihat kesedihan di matanya. Sesuatu telah menimpa Leo ... sesuatu yang ada hubungannya dengan Calypso. Jason berusaha mengingat-ingat kisah tentang Calypso. Dia semacam penyihir, mungkin seperti Medea atau Circe. Tapi kalau Leo baru melarikan diri dari sarang penyihir jahat, kenapa dia tampak sedih sekali? Jason harus berbicara kepada. Leo nanti, untuk memastikan bahwa temannya baik-baik saja. Untuk saat

ini, Leo jelas tidak mau diinterogasi. Jason berdiri dan menepuk pundak Leo. "Leo benar. Kita harus bergegas." Semua orang menanggapi aba-aba tersebut. Mereka mulai membersihkan sisa-sisa makanan dan menghabiskan minuman. Tiba-tiba, Hazel terkesiap. "Teman-Teman ...." Dia menunjuk ke kaki langit sebelah timur laut. Awalnya. Jason tidak melihat apa-apa selain laut. Lalu selarik kegelapar melesat ke udara bagaikan petir hitam —seolah malam kelam telal-merobek siang. "Aku tidak melihat apa-apa," gerutu Pak Pelatih Hedge. "Aku juga," tukas Piper. Jason menelaah wajah teman-temannya. Sebagian besar dar mereka tampak bingung. Selain Hazel dan Jason, hanya Nico yanl tampaknya bisa melihat petir hitam itu. "Tidak mungkin ...," gumam Nico. "Yunani masih ratusan mil dari sini." Kegelapan berkilat-kilat lagi, sekejap mengelantang warna cakrawala. "Menurutmu itu Epirus?" Seluruh rangka Jason tergelitik seperti disambar listrik ribuan volt. Dia tidak tabu apa sebabnya dia bisa melihat kilat gelap itu. Dia bukan anak Dunia Bawah. Tapi, pemandangan tersebut membuat firasatnya tidak enak. Nico mengangguk. "Gerha Hades sudah buka." Beberapa detik berselang, terdengar bunyi menggemuruh mirip ledakan artileri di kejauhan. "Sudah mulai," ujar Hazel. "Apa yang sudah mulai?" tanya Leo. Ketika kilat lagi-lagi tampak, mata Hazel yang keemasan menggelap seperti kertas timah yang dilalap api. "Manuver terakhir Gaea," katanya. "Pintu Ajal bekerja lembur. Pasukannya memasuki dunia fana berduyun-duyun." "Kita takkan sempat sampai di sana," komentar Nico. "Begitu kita tiba, sudah terlalu banyak monster yang keluar. Kita takkan sanggup melawan mereka semua." Jason mengertakkan rahang. "Kita pasti bisa mengalahkan mereka. Dan kita harus sampai di Epirus secepatnya. Kita sudah rnendapatkan Leo kembali. Dia akan memberi kita kecepatan yang kita butuhkan." Dia menoleh kepada temannya. "Ataukah kata-katamu cuma cakap angin?" Leo menyeringai. Matanya seolah berkata: Makasih. "Waktunya terbang, Anak-Anak," katanya. "Paman Leo menyimpan trik untuk dikeluarkan!"[]