BAB TUJUH PULUH SATU ANNABETH

BAB TUJUH PULUH SATU ANNABETH

APA INI? DESIS DEWA LUBANG. Kenapa kau datang, wahai Putraku si Pembawa Aib? Damasen melirik Annabeth, sebuah pesan tersirat jelas, di matanya: Pergi. Sekarang. Sang raksasa menoleh ke arah Tartarus. Drakon Maeonian menjejakkan kaki dan menggeram. "Apakah Ayahanda menginginkan musuh yang lebih pantas?" tanya Damasen tenang. "Akulah salah satu raksasa yang demikian Ayahanda banggakan. Ayahanda berharap agar aku lebih mencintai peperangan? Barangkali, aku akan merintisnya dengan membinasakan Ayahanda!" Damasen menodongkan ganjurnya dan menyerang. Pasukan monster mengepungnya, tetapi drakon Maeonian menggepengkan semua yang menghalangi jalannya, menyabetkan ekornya dan menyemburkan racun sementara Damasen menikamkan senjata kepada Tartarus, memaksa sang dewa untuk mundur bagaikan singa yang terpojok.

Bob terhuyung-huyung menjauhi pertempuran tersebut, didampingi kucing bergigi pedang di sisinya. Percy melindungi mereka sebisa mungkin —memecahkan pembuluh darah di tanah satu demi satu. Sebagian monster terbuyarkan berkat semburan air Sungai Styx. Sebagian lagi mandi air Sungai Cocytus dan ambruk sambil menangis merana. Yang lain basah kuyup terkena cairan Sungai Lethe dan menatap bengong ke sekeliling mereka, tidak tahu lagi di mana mereka berada atau bahkan siapa diri mereka. Bob terpincang-pincang ke Pintu Ajal. Ichor keemasan mengucur dari luka-luka di lengan dan dadanya. Seragam petugas kebersihannya robek-robek. Posturnya loyo dan bungkuk, seolah ketika Tartarus mematahkan tombaknya, dewa itu juga telah mematahkan sesuatu dalam diri sang Titan. Meski begitu, Bob menyeringai lebar, mata peraknya berkilat-kilat puas. "Pergilah," perintahnya. 'Akan kupencetkan tombol." Percy memandanginya sambil melongo. "Bob, kondisimu sedang tidak —" "Percy." Suara Annabeth hampir pecah. Dia benci dirinya sendiri karena membiarkan Bob berbuat begini, tetapi dia tahu inilah satu-satunya cara. "Kita harus pergi." "Kita tidak bisa membiarkan mereka begitu saja!" "Hams, Teman." Bob menepuk lengan Percy, nyaris menjungkalkannya. "Aku masih bisa memencet tombol. Selain itu, aku punya kucing baik yang bisa menjagaku." Bob Kecil bergigi pedang menggeram

setuju. "Lagi pula," ujar Bob, "takdir kalian adalah kembali ke dunia. Akhiri kegilaan Gaea ini." Cyclops yang menjerit, badannya mendesis terkena semprotan racun, melayang melampaui kepala mereka. Lima puluh meter kurang dari sana, si drakon Maeonian menggilas kerumunan monster, kakinya menghasilkan bunyi benyek menjijikkan seperti sedang menginjak-injak anggur. Di punggungnya, Damasen meneriakkan penghinaan dan menghunjamkan senjata ke arah sang dewa lubang, memancing Tartarus kian jauh dari Pintu Ajal. Tartarus tertatih-tatih mengejar Damasen, sepatu bot besinya menciptakan kawah di tanah. Kau tidak bisa membunuhku! gerung sang dewa. Aku adalah lubang ini sendiri. Ini sama sia-sianya seperti berusaha membunuh bumi. Gaea dan aku —kami abadi. Kami adalah pemilik jiwa dan raga kalian! Dia menggebrakkan kepalannya yang mahabesar, tetapi Damasen mengelak ke samping, menikamkan tombaknya ke sebelah samping leher Tartarus. Tartarus menggeram, rupanya jengkel alih- alih kesakitan. Dia memalingkan wajah vakumnya ke arah sang raksasa, tetapi Damasen masih sempat menghindar. Selusin monster tersedot ke dalam vorteks dan menghilang. "Bob, jangan!" kata Percy, ekspresi memohon di matanya. "Dia akan membinasakanmu secara permanen. Kau takkan kembali lagi. Takkan terlahir kembali." Bob mengangkat bahu. "Siapa tahu apa yang akan terjadi? Kalian harus pergi sekarang. Tartarus benar tentang satu hal. Kita tidak bisa mengalahkannya. Kami hanya bisa mengulur- ulur waktu untuk kalian." Pintu Ajal hendak tertutup dan menjepit kaki Annabeth. "Dua belas menit," ujar sang Titan. "Aku bisa memberi kalian waktu selama itu." "Percy ... tahan Pintu ini." Annabeth melompat, kemudian memeluk leher sang Titan. Dia mengecup pipi Bob, air mata yang menggenang membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. Wajah Bob yang berjanggut pendek kasar menguarkan aroma cairan

pembersih —cairan pemoles furnitur wangi lemon dan minyak pengilap kayu. "Monster itu kekal," kata Annabeth kepada Bob, berusaha untuk tidak terisak. 'Akan kami kenang kau dan Damasen sebagai pahlawan, sebagai Titan terbaik dan raksasa terbaik. Akan kami ceritakan kisah kalian kepada anak-anak kami. Akan kami lestarikan riwayat kalian. Suatu hari kelak, kalian akan beregenerasi." Bob mengacak- acak rambut Annabeth. Keriput nan ramah terbentuk di seputar matanya saat dia tersenyum. "Begitu bagus. Sampai saat itu, Teman-Teman, sampaikan salamku kepada matahari dan bintang-bintang. Dan bersikaplah tegar. In i mungkin bukan pengorbanan terakhir yang mesti kalian buat demi menghentikan Gaea." Sang Titan mendorong Annabeth menjauh dengan lembut. "Tidak ada waktu lagi. Sana." Annabeth menggapai tangan Percy. Dia menyeret Percy ke dalam kompartemen lift. Untuk kali terakhir, sekilas saja, Annabeth melihat drakon Maeonian menggoyang-goyangkan monster nan jelek seperti boneka kaus kaki dan Damasen menikam tungkai Tartarus. Sang dewa lubang menunjuk Pintu Ajal dan berteriak: Monster-monster, hentikan mereka! Bob Kecil bergigi pedang berjongkok dan menggeram, siap beraksi. Bob berkedip kepada Annabeth. "Tahan Pintu agar terus tertutup dari dalam," katanya. "Pintu Ajal akan menghalang-halangi perjalanan kalian. Tahan —" Kedua panel bergeser hingga tertutup.[]