Perumusan Masalah Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Budidaya kedelai di Kabupaten Cianjur merupakan tanaman cash crop yang umumnya diusahakan pada lahan sawah irigasi dan sebagian kecil diusahakan pada sawah tadah hujan dan lahan kering. Berdasarkan hasil panennya usahatani kedelai di Kabupaten Cianjur dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu hasil panen kedelai dalam bentuk biji tua dan panen dalam bentuk polong muda.

1.2 Perumusan Masalah

Harga kedelai di pasar dunia berdampak langsung terhadap harga kedelai impor di dalam negeri juga meningkat. Awal Januari 2007, di dalam negeri harga kedelai eceran mencapai Rp 3 450Kg dan terus naik mencapai Rp 7 500Kg. Dampaknya produsen tahu, tempe dan industri makanan dan minuman berbahan baku kedelai melakukan pengurangan jumlah produksi dan ukuran produknya karena tingginya biaya produksi. Bagi konsumen akhir dampaknya adalah semakin mahalnya harga produl-produk olahan berbahan baku kedelai, sedangkan bagi petani hal ini menjadi pendorong untuk kembali menanam kedelai. Kedelai impor dapat membanjiri pasar kedelai dalam negeri disebabkan hal-hal sebagai berikut: a adanya pasar yang besar sampai ke tingkat desa, b peraturan yang memperbolehkan hal tersebut, c adanya pihak atau institusi atau organisasi yang menangani dengan baik karena mendapat insentif yang besar, dan d kedelai dari petani sampai ke pasar atau konsumen belum tertangani dengan baik tetapi berjalan sendiri secara alami, sehingga konsumen sulit mencarinya dan harganya menjadi tinggi. 6 Hal tersebut yang menyebabkan tataniaga kedelai di tingkat petani di Indonesia belum tertangani dengan baik. Faktor utama turunnya produksi kedelai nasional adalah tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai. Harga kedelai impor jauh lebih murah dari produksi dalam negeri karena tidak ada tarif impor untuk kedelai, keberlanjutan pasokan kedelai impor lebih terjamin dibanding kedelai nasional, dan belum diaturnya tataniaga kedelai sehingga petani dalam negeri sulit bersaing dengan petani luar negeri Departemen Pertanian, 2004. Berdasarkan data BPS menunjukkan bahwa harga kedelai lokal dari tahun ke tahun lebih mahal dari kedelai impor. Tahun 1992, harga kedelai impor sebesar Rp 544 per kilogram sedangkan harga kedelai dalam negeri lebih mahal dari kedelai impor yaitu sebesar Rp 847 per kilogram sehingga terdapat selisih sebesar Rp 303 per kilogram. Perbedaaan harga tersebut terus meningkat, pada tahun 2000 harga kedelai impor naik menjadi Rp 1 827.5 per kilogram dan kedelai dalam negeri menjadi Rp 2 844 per kilogram sehingga terdapat selisih sebesar Rp 1 016.5 per kilogram. Pada tahun 2006 harga kedelai dalam negeri mencapai Rp 4 977.85 per kilogram. Kondisi ini menyebabkan kedelai dalam negeri menjadi tertekan dan terdesak oleh kedelai impor. 7 Prospek pengembangan kedelai di dalam negeri untuk menekan impor cukup baik. Ketersediaan sumberdaya lahan yang cukup luas, iklim yang cocok, teknologi yang telah dihasilkan, serta sumberdaya manusia yang cukup terampil dalam agribisnis dapat membantu dalam pengembangan kedelai dalam negeri. 6 Team TP. 2008. Press Release Mentan Pada Panen Kedelai. http:ditjentan.deptan.go.id . 4 Februari 2008. 7 Departemen Pertanian. 2002. Kedelai. http:www.litbang.deptan.go.id . 31 Januari 2008. Selain itu, pasar komoditas kedelai masih terbuka lebar, dilihat dari banyaknya konsumsi kedelai di Indonesia. Perkembangan produksi kedelai dalam negeri sampai tahun 1992 sangat baik yaitu mencapai 1.8 juta ton. Hal ini terlihat dari perkembangan luas areal tanam kedelai di sebagian daerah. Selain itu, kondisi pada saat itu juga didukung oleh analisa usahatani kedelai yang cukup menguntungkan. Namun, sejak tahun 1993 produksi dalam negeri terus mengalami penurunan terlihat dari penurunan luas areal tanam. Hal ini disebabkan oleh penetapan kebijakan harga sejak tahun 1992 ditiadakan, kebijakan tataniaga kedelai yang bebas dilakukan oleh pengusaha importir dan penetapan tarif impor tahun 1998 jauh di bawah bound tariff menyebabkan masuknya kedelai impor dengan harga murah. Akibatnya petani dalam negeri sulit bersaing dengan kedelai impor. Di Kabupaten Cianjur terdapat beberapa daerah yang merupakan sentra produksi kedelai, antara lain Ciranjang, Sukaluyu dan Bojong Picung. Namun pada tahun 2007, terjadi penurunan luas tanam di beberapa kecamatan seperti Kecamatan Sukaluyu mengalami penurunan produksi sangat tajam, terlihat dari penurunan luas tanam menjadi 10 hektar dari 995.17 hektar pada tahun 2006. Hal ini disebabkan oleh petani yang semula menanam kedelai beralih menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti padi, jagung dan sayur- sayuran. Di Kabupaten Cianjur, petani dalam memasarkan produknya mempunyai kebebasan untuk memilih saluran tataniaga yang dapat memberikan keuntungan dari hasil usahataninya, tetapi harga jual yang diterima petani masih rendah. Pada umumnya petani langsung menjual hasil panen kepada pedagang pengumpul atau tengkulak secara perorangan, masih sangat terbatas petani menjual secara berkelompok. Hal ini karena petani membutuhkan uang saat panen sehingga harga jual sangat ditentukan oleh tengkulak, walaupun terjadi tawar-menawar antara petani dan pedagang pengumpul keputusan akhirnya tetap ditentukan oleh pedagang pengumpul. Lembaga tataniaga cenderung menuntut biaya tataniaga dan keuntungan besar dari jasa tataniaga yang dilakukan. Lemahnya posisi tawar petani menyebabkan petani tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga berdasarkan biaya produksi yang telah dikeluarkan, akibatnya tingkat pendapatan petani menjadi rendah. 8 Oleh sebab itu, untuk mengetahui tingkat pendapatan petani dan posisi tawar petani pada tataniaga kedelai di Kabupaten Cianjur maka perlu dilakukan penelitian mengenai usahatani dan tataniaga kedelai. Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur setelah kebijakan tarif impor ditiadakan? 2. Bagaimana saluran tataniaga dan struktur pasar dan tingkat efisiensi tataniaga kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur?

1.3 Tujuan Penelitian