dengan harga lebih rendah dari kedelai dalam negeri. Tahun 2004 sampai 2006 produksi mengalami peningkatan, namun sangat lambat yaitu 723 483 ton 2004,
808 353 ton 2005 dan 746 611 2006. Tahun 2007 produksi turun kembali 20 persen dari tahun 2006 menjadi 608 000 ton.
9
Kebijakan Tarif dan Impor Kedelai. Upaya pemerintah memenuhi
kebutuhan bahan baku industri merupakan awal munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia. Pada dasawarsa 1980-an perbandingan antara impor dan
produksi kedelai dalam negeri mencapai rata-rata 45 persen pertahun yang merupakan angka tertinggi dibanding dengan dasawarsa 1970-an dan 1990-an.
Sesuai aturan WTO dimana setiap negara diperkenankan menerapkan applied tariff maksimal sama dengan bound tariff dalam schedule yang didaftarkan.
Namun dengan pertimbangan antara lain daya beli masyarakat Indonesia, maka tahun 1998 Pemerintah Indonesia menerapkan tarif impor jauh di bawah
bound tariff 0 – 5 persen, termasuk kedelai Rachman, et al. 1996. Namun dengan kenaikan harga kedelai di pasar dunia akhir tahun 2007 mengakibatkan
harga kedelai impor tinggi, untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri maka Pemerintah menurunkan tarif impor sampai 0 persen.
2.3 Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai tanaman kedelai telah dilakukan oleh Nurmanaf 1987, Rusastra, et al. 1992, Saptana 1993, Puspodewi 2004,
Elizabeth 2007 dan Nuryanti dan Kustiari 2007.
9
Team TP. 2008. Press Release Mentan Pada Panen Kedelai. http:ditjentan.deptan.go.id
. 4 Februari 2008
Penelitian terhadap jalur tataniaga kedelai di daerah transmigrasi Jambi yang dilakukan Nurmanaf 1987 bertujuan menganalisis sistem tataniaga kedelai
di daerah transmigrasi Jambi, meliputi jalur tataniaga, rantai tataniaga dan tingkat harga, biaya angkut, margin tataniaga dan bagian harga yang diterima petani.
Nurmanaf 1987 menyatakan bahwa tataniaga kedelai di satuan pemukiman transmigrasi Jambi belum efisien. Hal ini terlihat dari tingginya
margin tataniaga di tiga satuan pemukiman transmigrasi, yaitu Singkut III sebesar Rp 275kg, Pamenang I sebesar Rp 200kg dan Kuamang Kuning sebesar Rp
225kg. Harga yang diterima petani di tiga satuan pemukiman masing-masing sebesar 60.7, 69.2 dan 62.5 persen. Tingginya margin tataniaga kedelai terutama
disebabkan tingginya biaya angkutan hasil, baik biaya angkutan dari satuan pemukiman transmigrasi ke pasar, antar pasar maupun biaya angkut antar daerah.
Rusastra, et al. 1992 melakukan penelitian aspek produksi dan tataniaga kedelai di Jawa Timur. Tujuan penelitian ini mengungkap keragaan dan
permasalahan aspek produksi, usahatani dan tataniaga kedelai di Jawa Timur sebagai daerah sentra produksi secara nasional. Produksi kedelai di Jawa Timur
setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan produksi, areal panen dan produktivitas kedelai dari tahun 1984-1990 masing-
masing sebesar 2.8; 3.1 dan 5.9 persen per tahun. Tingkat pendapatan usahatani kedelai dengan mempertimbangkan basis
agroekosistem pengembangan tahun 1990, menunjukkan usahatani kedelai di lahan sawah lebih menguntungkan dibandingkan di lahan kering Rp 366 900 vs
Rp 298 400 per hektar. Dilihat dari efisiensi pemanfaatan modal tidak terdapat
perbedaan yang berarti, RC kedelai di lahan sawah 1.4 dan di lahan kering sedikit lebih baik yaitu 1.43.
Hasil penelitian yang dilakukan Rusastra, et al menunjukkan bahwa hasil usahatani kedelai dengan pola kerjasama dengan pihak swasta lebih tinggi yaitu
17.6 persen dibandingkan sebelum kerjasama dan 15.9 persen dibandingkan dengan non kerjasama. Permasalahan pada sistem kerjasama yang perlu
diperhatikan adalah 1 Penyampaian informasi yang sempurna kepada petani, 2 Peningkatan sistem pembinaan dikaitkan dengan sistem pengadaan dan
penyaluran saprodi, 3 Masalah birokrasi dan keterlambatan penyediaan dana, serta 4 Keterbatasan tenaga lapang.
Beberapa indikator makro tataniaga seperti pangsa harga yang diterima petani dan kestabilan harga bulanan di tingkat produsen dan konsumen
menunjukkan mantapnya sistem tataniaga kedelai di Jawa Timur. Hal ini terlihat dari pangsa harga petani mencapai 89.4 persen dengan margin tataniaga 10.6
persen. Permasalahan dalam tataniaga adalah rendahnya kualitas kedelai di tingkat pedagang dan konsumen.
Penelitian aspek produksi dan tataniaga kedelai di Jawa Tengah studi kasus di Kabupaten Wonogiri dilakukan oleh Saptana 1993. Bertujuan untuk
mengungkap seberapa jauh dampak penerapan teknologi baru terhadap peningkatan produksi dan pendapatan petani, keragaan dan permasalahan aspek
produksi dan tataniaga kedelai di Wonogiri. Dampak penerapan teknologi baru telah mampu meningkatkan pendapatan
sebesar 76.6 persen 1990 dan 174.43 persen 1991. Selain itu, penerapan teknologi baru juga bisa diterima dari segi efisiensi pemanfaatan modal dengan
nilai RC ratio untuk pola rekomendasi 1.85 sedangkan untuk pola petani 1.80 1990, dan 1.38 untuk pola rekomendasi serta 1.25 untuk pola petani 1991.
Efisiensi tataniaga kedelai di Wonogiri, Jawa Tengah terlihat dari pangsa harga petani sebesar 89.6 persen dengan margin tataniaga 10.4 persen. Margin
tataniaga yang relatif rendah ini dikarenakan fungsi tataniaga yang dilakukan sangat sederhana, yaitu pengumpulan, pengangkutan dan biaya penyusutan.
Menurut Saptana, permasalahan utama tataniaga adalah kualitas kedelai, masalah kualitas ini menjadi lebih serius karena ada faktor kesengajaan dari pedagang
pengumpul dan PB kecamatan yang melakukan pencampuran tanah yang diwarnai mirip kedelai.
Puspodewi 2004 meneliti analisis keunggulan kompetitif dan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan kedelai di Kabupaten
Boyolali, Jawa Tengah kasus desa Bade dengan analisisn PAM. Pengusahaan kedelai di desa Bade menguntungkan dan efisien secara finansial terlihat dari
keuntungan sebesar Rp 361.04 per kilogram dan nilai PCR kurang dari satu. Selain itu, secara ekonomi juga menguntungkan sebesar Rp 281.66 per kilogram
dan nilai DRC 0.88. Nilai DRC yang lebih besar dari nilai PCR terjadi karena adanya intervensi pemerintah.
Dilihat dari keuntungan privat dan sosial yang diperoleh maka Desa Bade Kabupaten Boyolali mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif, sehingga
pengusahaan kedelai layak untuk dikembangkan. Dampak kebijakan input dan output terhadap petani produsen kedelai sangat intensif, karena nilai tambah
keuntungan yang diperoleh petani lebih tinggi dari seharusnya.
Penelitian Nuryanti dan Kustiari 2007 berjudul Meningkatkan kesejahteraan petani kedelai dengan kebijakan tarif optimal. Bertujuan untuk
mengetahui tingkat keuntungan usahatani kedelai pada tingkat tarif saat ini, tingkat tarif optimal dengan tingkat keuntungan usahatani 25 persen, dan dampak
keseimbangan pasar domestik atas kenaikan tarif impor kedelai optimal. Analisa dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat usahatani mikro dan
makro. Analisa mikro dengan menggunakan data I-O diturunkan dari data struktur ongkos rata-rata Indonesia 2006. Analisa tingkat makro menggunakan “partial
welfare analysis” untuk memahami dampak penerapan tarif optimal terhadap harga komoditas di pasar domestik, produksi, permintaan, penawaran dan impor,
serta dampaknya terhadap kesejahteraaan produsen, konsumen dan penerimaan pemerintah.
Berdasarkan perhitungan besaran keuntungan usahatani optimal 25 persen, petani kedelai nasional harus mencapai harga jual Rp 4 479kg. Kondisi ini sangat
sulit, karena harga kedelai domestik menjadi tidak dapat bersaing dengan kedelai impor. Satu-satunya solusi untuk memberi insentif produksi kedelai domestik
adalah jaminan harga jual kedelai dengan tingkat keuntungan pasti. Berdasarkan asumsi harga pokok produksi Rp 3 359kg, tarif bea masuk kedelai saat ini 5
persen, untuk memperoleh keuntungan usahatani 25 persen tarif bea masuk yang diterapkan Most Favoured Nation, MFN harus dinaikkan menjadi 22.3 persen
ad valorem atau Rp 625.5kg specific tariff. Tarif yang diikat untuk kedelai adalah 27 persen. Artinya, masih ada
peluang bagi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani kedelai dengan menjamin keuntungan usahatani 25 persen dengan menetapkan tarif impor baru
sebesar 22.3 persen. Harga kedelai impor saat ini Rp 2 806.4kg masih lebih rendah dibandingkan harga pokok produksi kedelai lokal Rp 3 359kg.
Fluktuasi harga produk pangan dan sarana produksi usahatani di pasar global akan ditransmisikan ke semua tingkat harga, termasuk produsen lokal. Namun tidak
semua sistem dan saluran tataniaga komoditas pangan di pasar domestik bersaing sempurna.
Penelitian tentang Penguatan dan pemberdayaan kelembagaan petani mendukung pengembangan agribisnis kedelai oleh Elizabeth 2007. Penelitian ini
bertujuan untuk mengemukakan perspektif penguatan dan pemberdayaan kelembagaan yang terkait dengan petani di perdesaan dalam rangka mendukung
pengembangan agribisnis kedelai. Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di perdesaan, meliputi:
1 Pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifitas lahan, perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan, 2
Perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial pendidikan, gizi dan kesehatan, dan sebagainya, dan 3 Program memperkuat prasarana
kelembagaan dan ketrampilan mengelola kebutuhan perdesaan. Lemahnya kinerja ekonomi perdesaan terutama disebabkan rendahnya kapasitas kelembagaannya,
yang tercermin pada masih rendah interaksi antar kelembagaan, kecilnya akses terhadap kelembagaan modern, dan melemahnya kelembagaan lokal karena
tekanan dari luar. Elizabeth 2007 menyatakan bahwa beberapa kelembagaan pendukung
keberhasilan agribisnis kedelai, seperti: kelompok tani, lembaga tenaga kerja, kelembagaan penyedia input, kelembagaan output, dan kelembagaan permodalan.
Pengembangan kelembagaan untuk menghasilkan pencapaian kesinambungan dan keberlanjutan daya dukung SDA marginal sustainability yield dan berbagai
usaha untuk menopang dan menunjang aktivitas kehidupan, merupakan bagian penting pembangunan pertanian dan perdesaan.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat disimpulkan tingkat pendapatan usahatani lebih menguntungkan bila diusahakan di lahan sawah, pola
kerjasama dengan pihak swasta, dan adanya penerapan teknologi baru, serta intervensi dari pemerintah. Pencapaian keberhasilan agribisnis kedelai
diperlukan suatu kelembagaan pendukung dari tingkat desa sampai di luar desa. Permasalahan di tataniaga kedelai meliputi kualitas kedelai, margin tataniaga
kedelai yang tinggi disebabkan biaya angkut, dengan tarif bea masuk kedelai 5 persen harga kedelai domestik masih lebih tinggi dari harga kedelai impor. Tabel
6 menginformasikan perbedaaan dan persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Tabel 6 Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu
Nama Tahun Judul
Penelitian Metode
Nurmanaf 1987
Jalur tataniaga kedelai di daerah transmigrasi Jambi
Marjin tataniaga Farmer s Share
Rusastra, et al. 1992
Aspek produksi
dan tataniaga
kedelai di
Jawa Timur
Efisiensi usahatani Marjin tataniaga
Saptana 1993
Aspek produksi dan tataniaga kedelai di Jawa Tengah studi kasus di Kabupaten Wonogiri
RC rasio Marjin tataniaga
Puspodewi 2004
Analisis keunggulan
kompetitif dan
komparatif serta dampak kebijakan pemerintah pada
pengusahaan kedelai di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah kasus desa Bade
PAM Elizabeth
2007 Penguatan dan
pemberdayaan kelembagaan
petani mendukung pengembangan agribisnis kedelai
Nuryanti dan Kustiari
2007 Meningkatkan
kesejahteraan petani kedelai
dengan kebijakan tarif optimal Mikro : I – O
Makro : Partial Welfare Analysis
Meryani 2008
Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa
Barat Pendapatan usahatani
Marjin tataniaga, farmer s share, BC
rasio
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1